Pages

Minggu, 18 Maret 2012

Damai Yuk! Capek Konflik Mulu!

Malaysia. Negara yang terletak di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan ini memang selalu akrab dengan Indonesia. Bagaimana tidak? Karena kedua negara mempunyai akar budaya yang sama, budaya Melayu, yang kemudian berimbas pada segala bentuk kehidupan termasuk bahasanya. Maka, memang tak salah kalau kedua negara disebut negara serumpun. Meski di kemudian hari akar yang sama itu banyak berubah bentuk mengikuti situasi yang ada di kedua negara.


Meski serumpun, jangan harap bisa ada kehangatan dan keakraban lebih di antara keduanya. Banyak konflik yang terjadi antara dua negara. Mulai dari TKI, kebudayaan, polusi asap, olahraga hingga paten kebudayaan. Hal yang demikian membuat semacam rasa benci dan pikiran negatif bagi rakyat kedua negara. Hal itulah yang rupanya menjangkiti Rasyid. Melihat banyaknya konflik Indonesia-Malaysia, rasa benci pada negeri jiran itu semakin bertambah,


"Dasar Malon! Nggak ada kapoknya ente ngerampas budaya ane!" ujarnya kesal sambil melihat sebuah artikel di internet tentang klaim budaya Indonesia oleh Malaysia. Ia jadi teringat dulu waktu zaman Sukarno, saat presiden pertama Indonesia mencanangkan Dwikora dengan slogan "Ganyang Malaysia",
"Benar nih yang dibilang Bung Karno, Malaysia memang neo-kolonialis!"


Ia kemudian juga teringat dengan slogan keramat itu, ia semangati para pemain timnas sepak bola Indonesia saat melawan Malaysia di Senayan. Sayang, timnas kalah dan rasa benci semakin bertambah.
"Sebenarnya ane kagak setuju dibilang serumpun sama Malon! Apa dasarnya? di sana kan Melayu semua. Di sini beraneka ragam,"


Ketika seperti itu, handphonenya tiba-tiba berdering. Dilihat di layarnya ada tulisan rumah.
"Aduh, apa lagi ini?" gerutunya.
Ia jawab panggilan itu dan mulailah ia mengenal suara yang memanggilnya,
"Cepat kamu pulang,"
"Kenapa sih, Ma? Ganggu aja,"
"Ada saudara kita mau datang,"
"Siapa? Yang dari Jawa?"
"Pokoknya, cepat kamu pulang,"


Rasyid, yang tampak kesal karena selancar di internetnya terhenti, menurut saja apa kata ibunya yang menurutnya penting. Tapi bagi Rasyid tidak.


Jarak rumah dan warnet adalah sekitar 500 meter. Itu berarti cukup dekat. Dalam pikirannya Rasyid berkata, pasti belum datanglah.


Namun, saat ia masuk, ada sebuah Avanza terparkir di halaman rumahnya,


"Dari Jawa naik Avanza? Apa nggak pegel nyetir?"
Ketika ia masuk ke ruang tamu, nampaklah ramai ruang tamu itu. Di situ ada kedua orangtuanya, dua adik perempuannya, dan ada satu keluarga yang nampaknya asing baginya.
"Inikah saudara dari Jawa itu? Kok jarang ngeliat ya?" tanyanya dalam hati.
"Akhirnya, kamu datang juga, Nak," ujar bapaknya.
"Ini siapa, Yah?" tanya Rasyid kepada bapaknya.


Ibunya lalu berkata,


"Kenalkan, ini Wan Azis dan Bu Hadijah, sama anaknya, Ismail,"
Ketika mendengar nama itu, Rasyid malah semakin bertanya-tanya dalam hati, Wan? Ah, ini bukan Jawa,"
Disertai dengan seperti itu, ia menyalami mereka. Setelah itu,
"Mereka itu saudara kita yang tinggal di Malaysia,"
Apa? Malaysia? terkejutlah ia dalam hati,
"Malaysia?" Saudara apa, Ma?" tanya Rasyid, "Memang iya?"
"Betul itu, Rasyid," kata Wan Aziz menimpali, "Kitaorang di Malaysie memanglah bersaudare dengan ibu-bapak kamu,"
"Jadi, Wan Azis ini saudara Bapak dari pihak paman yang tinggal di Malaysia dan sudah menjadi warga negara di sana,"
"Kok bisa? kok aku baru dengar?" tanya Rasyid tambah heran.
Mereka semua yang berada di ruangan tertawa,
"Ceritanya panjang," kata bapaknya, "Sebaiknya main lah kamu dengan Ismail,"
Kemudian bapaknya berucap Jawa dengan Wan Azis dan Wan Azis mengerti. Ia tambah bingung.
Ismail, anak si Wan Azis segera menyamperi Rasyid dan Rasyid mengajaknya keluar.
"Boleh kite bermula kenalan?" tanya Ismail dengan logat Melayunya.
"Sebelum kenalan, ane mau nanya," kata Rasyid, "Ente benar dari Malaysia?"
"Memang," kata Ismai, "Ape ade masalah?"
"Banyak tuh masalahnya," kata Rasyid, "Negara ente tuh memang reseh alias suka mencari masalah dengan negara kami,"
"Masalah ape?" tanya Ismail heran, "Aku tak paham kamu cakap apa?"
"Masa kamu nggak tahu?" tanya Rasyid yang berbalik heran, "Apa itu? TKI, perbatasan, Reog Ponorogo, Rasa Sayange dan lainnya?"
"Kalo TKI saye tahu tapi Reog Ponorogo tidak,"
"Kamu ini memang malon tapi benar-benar tidak mau mengaku menjadi maling!" kata Rasyid kesal, "Ayo ikut aku ke warnet,"
"Sebentar," kata Ismail lagi, "Apa itu malon, maling sama warnet?"
"O, iya ya," kata Rasyid tersenyum jahat, "Ane lupa kosakata kita aja berbeda dan kenapa harus dibilang serumpun?"
Ismail geleng-geleng kepala,
"Begini ya gue kasih tahu ke elo," kata Rasyid sedikit geram, "Malon itu adalah ejekan buat lo karena lo dan semua bangsa lo memanggil kita Indon, maling itu lamun, dan warnet itu warung internet alias kafe siber. Paham?"
"Kenape kamu cakap begitu sama saye?"
"Makanya, ikut gue sekarang ke warnet. Biar lo tahu,"


Kedua orang itu segera meninggalkan rumah dan menuju sebuah warnet, yang kebetulan memang tempat favorit Rasyid menghabiskan waktu dengan berselancar. Kemudian keduanya duduk dan mulailah Rasyid berselancar. Ia segera membuka beberapa berita terutama konflik Indonesia dan Malaysia,


"Ini apa?" tanyanya kepada Ismail sembari menunjukkan sebuah artikel mengenai pencaplokan perbatasan di Camar Bulan.
"Jika mengenai Camar Bulan, kitaorang tidak mengambil kok," kata Ismail, "Bukannya sudah ada perjanjian antar dua negara?"
"Yee...perjanjian itu dibuat biar lo nggak macam-macam lagi!"
Kemudian Rasyid mencari situs lain. Kali ini tentang klaim budaya.
"Ini Reog Ponorogo. Ini punya kami bukan punya kalian. Kenapa kalian mengambilnya?" tanya Rasyid geram.
"Mengenai itu, saye tidak tahu sama sekali," kata Ismail.
"Ah, kau jangan bohongi awak,"
"Benar,"
Rasyid memperhatikan raut wajah Ismail yang memang menyiratkan kejujuran bahwa ia tidak tahu sama sekali,
"Apa ini aja?" tanya Rasyid.
"Semuanya. Kami benar-benar tidak tahu. Jikalau tahu itu hanya sedikit,"
"Mengapa?"
"Sebelum saye ke mau ke sini, beberapa teman dah bilang ke saye, pasti akan ade orang Indonesia yang bertanya-tanya tentang konflik Malaysia-Indonesia. Lalu teman saye yang dah lama mukim di Indonesia bilang bahwa media-media di Indonesia suka memberitakan semua dengan panas dan besar-besar,"
"Memang di Malaysia?"
"Tidak seperti di sini," kata Ismail, "Di sana berita hanya sewajarnya. Jikalau ada berita konflik dengan Indonesia, diberitakan sedikit atau malah tidak sama sekali,"
"Kenapa begitu? kalian kan lebih maju dari kami?"
"Memang, kami maju, tetapi tidak semaju dan sebebas kalian,"
Mendengar itu, Rasyid malah tambah bingung,
"Kamu pasti kira di negara kami selalu ada demonstrasi, selalu ada media yang membangkang terhadap kerajaan? Oh, itu tidak ada sama sekali. Kalau pun ada selalu eksesnya dibatasi,"
"Kenapa begitu?"
"Ini semua demi kemakmuran semua rakyat sahaja," kata Ismail, "Kami memang makmur. Orang antarbangsa selalu melihat Malaysia makmur, tetapi tak ada yang namanya kebebasan berekspresi. Kami dibatasi. Kalau ada yang membangkang langsung terkena ISA. Ditangkap tanpa proses ke pengadilan,"
"Apa itu ISA?" tanya Rasyid.
"Internal Security Act atau Akta Keamanan Dalam Negeri. Ini semacam akta yang berusaha supaya tiada pembangkangan di Malaysia. Kamu jangan heran bila Dokter Azhari dan Noordin M.Top bukan membom di Malaysia, tapi di sini. Itu karena negaramu belum ada ISA,"
"Oh, gue jadi ngerti," kata Rasyid, "Sebenarnya kami setelah itu sudah ada, namun nyatanya dalam praktek ini bisa berimbas kepada orang yang tidak bersalah. Makanya, banyak yang menentang. Tapi, gue pikir-pikir negaramu seperti zaman Orde Baru saja. Mirip sekali. Pernah dengar nama Orde Baru atau Orba?"
"Pernah," kata Ismail, "Itu masa dimana Indonesia dikuasai Soeharto?"
"Ya, betul sekali," kata Rasyid, "Zaman itu boleh dibilang zaman yang normal. Tidak ada demonstrasi, pers bebas, atau kekerasan. Yah, rakyat dibuat kenyang aja perutnya tapi dengan utang,"
"Makanya, kalian begitu bergembira ketika ia melepas posisinya?"
"Betul. Tapi, itu malah harus dibayar dengan konsekuensi seperti sekarang ini,"
"Di Malaysia, kami juga ingin demikian, tetapi dengan cara halus tanpa harus ada chaos. Namun, itu sulit terlaksana jika kelompok pembangkang dipersulit dia punya kedudukan. Tetapi, begitulah kerajaan,"
"Suatu saat bisa dan gue harap negara gue kaya negara lo tapi tidak boleh ada larangan ini-itu,"
Mereka pun tertawa,
"Cuma kenapa kita ini disebut serumpun?" tanya Rasyid lagi, "Kalau pun Melayu kan cuma di Sumatera dan Kalimantan saja?"
"Kamu tahu kan saya ini orang Malaysia tetapi berdarah Jawa?" kata Ismail.
"Lalu?"
"Di Malaysia ada banyak sekali orang Jawa. Bukan hanya yang TKI, tetapi juga mereka yang sudah menetap lama di Malaysia sekian lama bahkan sejak awal abad ke-20. Kebanyakan dari mereka adalah pedagang kemudian menjadi warga negara Malaysia. Di Malaysia sendiri untuk menandakan kawasan itu kawasan orang Jawa biasanya ada namanya, seperti Parit Jawa dan Kampung Chokro,"
"Wah, gue baru tahu. Lalu beberapa dari mereka ada yang jadi orang penting?"
"Oh, banyak," kata Ismail, "Contohnya, Pak Zahid Hamidi, Menteri Pertahanan kami, lalu Khir Toyo, Ning Baizura, dan Safee Sali,"
Apa? Safee Sali orang Jawa?"
"Betul,"
"Wah, ini seperti di Suriname dan Kaledonia Baru saja. Apa hanya orang Jawa saja?"
"Banyak. Ada yang dari Aceh, Minangkabau, Bugis, dan Banjar,"
"Kenapa bisa demikian?"
"Ini ada hubungannya dengan kebijakan Dr. Mahattir Mohammad, yang pada era 80-an, meminta tenaga kerja dari Indonesia agar bisa memenuhi dan menandingi orang-orang India dan Cina di sana. Orang-orang dari Indonesia itu kemudian ada yang menjadi warga negara Malaysia dan mereka diberi status orang Melayu, mulai dari nama hingga cara berbahasa,"
"Jadi, suku bangsa dari Indonesia itu disebut orang Melayu?"
"Betul. Ini beza dengan kamu yang bilang Melayu itu hanya di Sumatera dan Kalimantan,"
"Apa karena itu banyak orang keturunan Indonesia di sana, karena rindu kampung halaman, berusaha mengembangkan kebudayaan asalnya?"
"Itu bisa jadi. Seperti kasus Reog Ponorogo dan rendang. Mereka itu hanya berusaha melestarikan dan mengembangkan bukan mencuri seperti yang digembar-gemborkan di sini. Apa itu salah? Lagipula, dari kacamata orang yang mengerti kebudayaan, pasti mengerti mana yang asli dari Indonesia atau yang dikembangkan dari Malaysia. Makanya, seperti rendang, ada nama rendang Padang, ada juga rendang Malaysia,"


Mendengar ucapan itu, Rasyid jadi teringat tentang kebudayaan Cina dan India di Indonesia. Ada banyak sekali kebudayaan dua negara itu di sini. Tetapi, kenapa mereka tidak marah-marah terhadap Indonesia? Malah santai saja dan senang. Di Amerika pun, kebudayaan Belanda dan Irlandia diakui sebagai bagian dari kebudayaan AS, tetapi dua negara itu santai-santai saja. Sekarang, ia sadar budaya dan kebudayaan itu sifatnya universal.


"Wah, gue juga nggak ngerti kenapa? Mungkin ada yang mengadu domba kali. Lagipula kita ini sama-sama muslim kan?"
"Betul. Itulah yang kami sayangkan dari Indonesia. Padahal, ormas-ormas Islam kalian bersabahat erat dengan ormas-ormas Islam kami,"
"Ya sudah kita kenalan dulu deh," kata Rasyid, "Tadi Pak Cik minta kenalan kan?"
Mereka lalu berkenalan,
"Sudah seharusnya ada forum komunikasi Indonesia-Malaysia biar tidak terjadi kesalahpahaman," kata Rasyid.
"Ah, itu betul sekali," kata Ismail.
"Capek kayanya konflik mulu," kata Rasyid, "Lagipula kamu saudara aku. Bisa ngomong jowo?"
Ismail tertawa, "Wah, ora iso, mas," ujarnya dengan nada Melayunya.


Begitulah. Kedua orang itu kemudian keluar dari warnet dan berjalan menuju rumah. Kini di pikiran Rasyid yang adalah ingin supaya semua yang terjadi antara kedua negara bisa diselesaikan baik-baik tanpa harus mengorbankan nyawa karena bagaimana pun, hubungan darah secara tidak langsung masih ada dan terus ada,


"Tapi, kalo bermain bola dan badminton pengecualian ya?"


Ismail hanya tertawa.











0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran