Pages

Rabu, 17 Oktober 2012

Berlalu Musim

Rel tua di depanku ini seperti sesuatu yang tak berdaya. Merenta dan rela dirambati ilalang panjang. Tak satu pun yang hendak menjenguknya walau hanya sebentar. Aku hanya terduduk diam memandangi nasibnya seperti mereka-mereka yang terlupakan walau sudah berjasa. Tetapi, aku tak ingin bercerita mengenai rel tua itu yang terlihat meminta sesuap pertolongan. Aku ingin bercerita bahwa di atas rel tua itu pernah ada sebuah cerita yang sudah beberapa musim terlewat dan juga terhempas.

analisadaily.com

Angin pelan mendesiri wajahku. Desiran itu bagaikan tangan lembut seorang wanita yang bisa membuatku tenang. Di atas bangku kayu di depan sebuah stasiun aku duduk. Menatap rel tua itu dan mengembarakan pikiranku akan cerita di masa silam. Ini cerita semasa aku menempuh pendidikan di sebuah perguruan tinggi yang letaknya tak jauh dari rel tua itu. Hanya terpisah oleh jalan besar dan juga perumahan penduduk tetapi bentuk bangunannya yang tinggi jelas terlihat.

Dan rel tua itu adalah saksi bagaimana aku bergumul dengan berlainan jenis. Bercerita mengenai kehidupan sehari-hari, tentang kuliah, dan juga tentang cinta. Duduk di atas rel tua dan memetik ilalang-ilalang yang mengganggu sambil bersua tentang harapan di masa yang akan datang. Namanya pun masih aku ingat dalam hatiku. Nufus. Cukup sederhana namanya. Sesederhana seperti orangnya.

Aku mengenal dirinya sewaktu kuliah. Ia sendiri bukanlah teman sejurusanku, tetapi dari jurusan lain. Aku sendiri jurusan sastra dan ia filsafat. Aku mengenalnya sewaktu kami sama-sama menjadi panitia acara di kampus. Sejujurnya, ada perasaan biasa saja ketika aku mengenalnya. Aku tak menangkap kesan bahwa ia cantik. Tidak sama sekali. Tetapi, lama-kelamaan aku menangkap ada kesan itu dan aku menjadi suka dengannya.

Ia yang bertutur lembut dan halus. Tak pernah sekalipun berkata kasar dan jarang marah. Rasa sabar juga menjadi pelengkap bagi dirinya yang akhirnya aku anggap ia sempurna. Ketika berbicara dengannya sehabis kuliah atau jeda, kami akan selalu mengunjungi sebuah rel tua tak bertuan yang dikelilingi oleh padang luas seperti sabana dan stepa. Pohon-pohon juga jarang tumbuh.

Rel tua itu, menurutnya, memiliki sesuatu yang terasa istimewa. Ada yang seolah-olah memanggilnya untuk terus di rel tua itu kala ia sendiri. Lalu duduk termenung dan merasakan ketenangan. Dan Nufus tak peduli ketika ada segelintir yang mengatakannya tak wajar karena kebiasaanya mengunjungi rel tua. Ketika aku masuk dalam kehidupannya, serta-merta ia mengajakku ke rel tua itu. Duduk dan merasakan deraian angin lalu membicarakan kehidupan yang terkadang menjengkelkan.

Aku sebenarnya ingin sesuatu yang sederhana saja,” katanya suatu hari padaku, “Bukan sesuatu yang membuat orang mengerutkan dahi,”

Mendengar itu aku jadi heran dan bertanya,

Tetapi, jurusanmu filsafat kan? Bukannya itu mengerutkan dahi?”

Ia lalu menjawab sambil mematahkan ilalang dan meremasnya,

Itu hanya jurusan dan kamu tidak bisa menjadikan semuanya harus berbanding lurus,”

Aku dan dia lalu terdiam. Memandang pada langit di atas. Langit yang kebiruan. Kebiruan yang memancarkan rasa positif.

Kamu lihat awan-awan yang terbang di langit biru itu,” kata Nufus kemudian sambil menunjukkan dengan sebatang ranting pohon.

Aku mengikuti apa yang dia katakan.

Lihatlah mereka begitu sederhana kan? Tanpa ada embel macam-macam. Begitu murni,”

Ketika aku mendengar ucapannya, timbul rasa tidak mengerti dalam diriku,

Maksudnya?”

Lihat awan-awan itu berjalan saja di langit yang biru tanpa harus disuruh ini-itu. Tuhan memerintahkannya hanya berjalan. Tak lebih. Tetapi, mengapa manusia suka membuat aturan baru, berlebihan, dan melebihi Tuhan?”

Lho, bukankah manusia itu makhluk berpikir?” tanyaku balik, “Dan karena itu pula wajar jika mereka dengan pikirannya menciptakan dan melakukan ini-itu. Kalau begitu, kebudayaan tidak akan tercipta,”

Tidak, manusia harusnya mengucapkan rasa syukur saja karena sudah diberi nafas kehidupan tanpa perlu macam-macam,”

Maksudmu tidak bekerja?”

Ya seperti itu,”
Aku jelas tertawa-tawa mendengar ucapannya yang terkesan normatif dan baru kali ini aku mendengarnya.

Kenapa tertawa?” tanyanya heran.

Kamu ini aneh,” kataku, “Manusia diciptakan itu bekerja selain beribadah. Ingat lho beribadah itu adalah bekerja. Pernah baca “Robohnya Surau Kami”?”

Bagiku beribadah dan bekerja itu berbeda,” katanya, “Dan maaf aku belum pernah membacanya,”

Lalu aku ceritakan kisah dalam “Robohnya Surau Kami”. Tentang seorang pemuka agama yang merasa dirinya akan masuk surga karena selalu beribadah tetapi malah menelantarkan keluarganya hingga ia masuk neraka.

Intinya, bekerja itu perlu,” kataku, “Kamu akan dapat dari mana untuk menghidupi diri kamu sendiri kalau tidak bekerja. Tetapi, harus diimbangi dengan ibadah juga,”

Ya, aku mengerti kok,” kata Nufus setelah itu, “Aku cuma mengetes kamu. Ternyata kamu pintar juga,”

Mendengar itu aku jelas sedikit terkejut,

Tes buat apa?” tanyaku 
 
Buat apa aja,” katanya.

Dasar kamu aneh,” kataku mengomentari, “Tetapi, tidak apa-apa. Aku senang kok bisa mengobrol sama kamu,”

Kami lalu tertawa-tawa bersama. Berlomba melempar batu. Ya itulah yang tiap hari kami lakukan bahkan di saat libur kuliah sekalipun. Ketika berpisah, aku merasa ada rasa rindu ingin bertemu dengannya lagi. Rindu yang terbawa-bawa sampai ke rumah. Rindu yang kulampiaskan dengan mengirimkan pesan pendek dan telepon di telepon genggam. Rindu yang kemudian terobati ketika bertemu lagi, dan rindu yang tiba-tiba hilang ketika aku ingin mengatakan bahwa aku menyukainya.

Entah mengapa. Apa karena perasaanku saja. Ia tidak pernah menyapaku lagi ketika bertemu. Meski aku sering menyapanya. Ketika aku kirimkan pesan pendek tiada jawaban. Ketika aku telepon juga tidak diangkat, dan ketika aku sambangi rel tua itu ia juga tidak ada di situ. Perlahan tapi pasti, aku merasakan duniaku hilang. Seperti seseorang yang kenikmatannya diambil satu per satu. Aku merasakan kesepian karena tiada lagi teman untuk curhat dan juga tiada lagi teman spesial. Ia telah berubah sikap entah kenapa. Tanpa aku tahu sebabnya.

Begitulah. Ini terbawa sampai lulus kuliah. Saat wisuda aku tak melihat dirinya sama sekali. Apalagi saat aku ke jurusan filsafat. Teman-temannya bahkan tidak tahu sama sekali. Pada akhirnya, perlahan semua menghilang dan terlupakan begitu saja.

***
Kini di depan rel tua itu, aku hanya iseng berkunjung. Sekedar bernostalgia walau sebentar dari hiruk-pikuk pekerjaan. Aku lalu ke rel tua itu dan duduk di atasnya. Merasakan lagi kehangatan rel itu semasa kuliah dahulu. Bagiku ia sama sekali tidak berubah walau beberapa musim sudah terlewati. Aku mengelusnya. Ini sama seperti yang aku lakukan dahulu ketika duduk berdampingan dengan dirinya yang entah di mana. Sejujurnya, aku tahu ia di mana. Dari Facebook dan Twitter. Ia sama sekali tidak berubah dari penampilannya dan tetap seperti itu-itu saja meski musim sudah banyak dilewati. Dan aku tidak tahu ini sudah berapa musim. Aku coba menjadikan ia teman dan mengikutinya di dua jejaring sosial itu. Tapi, tiada reaksi. Apakah ia tahu kalau itu adalah aku yang dulu sempat begitu akrab dengannya bahkan intim. Sehingga ada rasa segan dalam dirinya untuk kembali berhubungan denganku lagi?

Tapi, ya sudahlah. Bagiku tiada masalah. Aku hanya mencoba berniat baik.

Angin mendesir pelan. Aku menikmatinya. Seperti diterbangkan ke masa silam, ada yang memanggil namaku,

Rudi,”

Aku menatap ke depan. Ada sesosok wanita. Ia tersenyum padaku. Rambutnya berkibar pelan tertiup angin. Aku pun melihat jelas wajahnya,

Nufus!” ujarku

Dan angin kembali berdesir. Ilalang bergoyang.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran