Pages

Kamis, 30 Januari 2014

Jernih



Hamparan perkebunan teh itu terlihat begitu menyegarkan mata yang memandang. Berpadu dengan sejuknya udara yang berembus dari Gunung Gede Pangrango yang tampak gagah kebiruan meskipun beberapa awan hendak menutupi. Di samping hamparan perkebunan itu nampak jalan untuk kendaraan yang sepi dan berkelok-kelok. Benar-benar sebuah lanskap yang indah. Pantas saja Daendels mengaguminya ketika membangun Jalan Raya Pos, ratusan tahun silam.

Baiklah, itu mungkin kesanku atas wilayah Puncak. Sebuah wilayah yang sejujurnya bukanlah sesuatu yang asing bagiku. Mengapa? Sebab ia merupakan wilayah yang sedari dulu lekat dengan tempat peristirahatan dan objek wisata. Sebut saja Taman Safari, Kebun Raya Cibodas, Taman Bunga Cipanas,  Telaga Warna yang membuat Hella Hasse, si wanita penulis dari Belanda terpesona sampai-sampai diabadikan dalam salah satu karyanya, Oeroeg, dan lain-lain. Bahkan, Puncak merupakan wilayah yang lekat dengan Bandung. Jauh sebelum Tol Cipularang dibangun, Puncak merupakan primadona jalur Jakarta-Bandung.

Tapi bukan itu yang sebenarnya tak ingin aku ceritakan. Lha, untuk apa juga? Toh, semua juga sudah tahu dan hafal dengan tempat-tempat wisata yang kusebut di atas. Apalagi villa-villa yang bercokol angkuh di sana. Aku hanya ingin bercerita tentang suatu hal di Puncak. Suatu hal yang semua orang melewatkan dan bahkan tak peduli. Ia hanya dipedulikan ketika musim penghujan tiba.

“Jernih bukan?” tanya seorang wanita kepadaku sambil memasukkan tangannya ke dalam sebuah air dari sebuah sungai kecil yang berukuran tubuh orang dewasa. Sungai kecil itu berada di antara hamparan perkebunan teh. Widya nama wanita itu.
Aku lantas ikut menunduk seperti dia lalu memasukkan tanganku ke dalam air itu yang mengalir deras. Merasakan derasan air yang menghantam tanganku sekaligus membuat diriku seperti orang yang baru pertama kali melihat air jernih mengalir dengan deras namun tenang dan seperti bernyanyi.
“Iya,” jawabku mengiyakan Widya.
Saking suka dengan air jernih itu kumasukkan lagi satu tanganku. Kurasakan benar-benar seperti di surga meskipun surga itu hanyalah imaji yang muncul tiba-tiba dalam pikiranku. Aku menutup mata. Mencoba ingin bersyahdu. Rasanya benar-benar tenang. Ingin rasanya aku mandi di sungai kecil ini.

“Kenapa? Kamu tampaknya suka sekali?” tanya Widya yang memperhatikanku dengan sedikit heran. Mungkin di pikirannya mengatakan bahwa aku seperti orang yang baru pertama kali melihat sungai jernih sehingga nampak “kampungan”.
“Eh, iya, “ jawabku mengiyakan kembali, “Aku suka dengan air jernih soalnya. Jarang lho aku bisa melihat sungai yang jernih lalu memasukkan tangan ke dalam,”
“Lho, kenapa memangnya?” Widya mulai penasaran dan rasa penasaran itu aku jawab dengan sejujurnya,
“Ya, karena aku sering lihatnya sungai-sungai berwarna coklat, keruh, banyak sampah, dan bau. Apalagi sungai di dekat rumahku. Ah, pasti kamu tahu kan Sungai Ciliwung?”
“Tentu saja aku tahu,” kata Widya yakin, “Itu kan yang sering menyebabkan banjir di Jakarta kalo musim hujan datang?”
“100 persen buat kamu,” kataku lagi dengan senyum lebar, “Ya, gara-gara itu juga rumahku malah kena banjir. Bener-bener deh tuh sungai,”
“Lho, kok sungai yang disalahkan?” tanya Widya yang sepertinya tidak menerima pernyataanku, “Itu kan juga karena ulah manusianya yang berperilaku seenak perutnya. Buang sampah di sungai, buang hajat juga di sungai. Tinggal di dekat sungai yang jelas-jelas nggak boleh didiami,”
“Ya, maksudku bukan begitu,” kataku hendak membela diri dari argumentasinya, “Ciliwung itu benar-benar ganas jika musim hujan tiba,”
“Sebenarnya sih nggak ganas kalo manusianya tahu aturan,” kata Widya kembali mengajak berargumen, “Semua itu kan karena perilaku manusianya. Semua ada di manusianya,”
Ya, argumennya itu memang benar. Jujur, aku tak bisa membalas argumennya itu. Jadinya, aku hanya mengiyakan seperti anak kelas 1 SD yang sedang diajari oleh gurunya tentang perilaku hidup sehat.
“Kamu sepertinya memang benar-benar suka ya dengan air dari sungai yang jernih ini?” tanya Widya kembali mengulang seperti pertanyaan awal.
“Iya, dan aku ingin mandi,” jawabku sambil terkekeh.
“Lho kenapa ingin mandi?” tanya Widya kembali.
“Ya, karena segar,” jawabku yang nampak tidak sabaran ingin membuka baju dan berendam.
“Bagaimana kalau tidak segar?”
“Ya, aku tidak akan mandi,”
Jawabanku yang nampak simpel itu langsung ditanggapi Widya dengan sebuah senyuman yang nampak ambisius. Ah, ia pasti akan bertanya kembali.
“Aku suka jawabanmu,” ujarnya kembali, “Tapi, memangnya kamu tidak sadar kalau sungai jernih yang sekarang berada di depan kita ini sungai yang membanjiri tempatmu?”
Mendengar dia berkata seperti itu, bola mataku membesar seperti melihat sesuatu yang menggemparkan.
“Maksudmu?” tanyaku tak percaya. Aku paham maksudnya.
“Kamu ini,” Widya lalu tertawa-tawa. Ia lalu menepuk bahuku. Tepukan yang diselingi dengan wangi rambutnya yang hitam memanjang.
“Ya, sungai kecil yang berada di depan kita ini ya Sungai Ciliwung,”
Ia tersenyum simpul setelah itu.
Aku jujur seperti dihantam sebuah godam. Godam itu seperti membuatku harus mengetahui sesuatu yang baru dan itu mengejutkanku. Air jernih ini? Sungai kecil ini? Ia yang mengalir deras, Ciliwung? Jujur, aku tak percaya. Benar-benar percaya. Bagaimana mungkin Sungai Ciliwung yang aku tahu coklat, kotor, bau, dan banyak bermuatan polusi ternyata....
“Aku tahu kamu pasti tidak percaya,” kata Widya yang bisa membaca raut mukaku.
“Memang,” jawabku kini serius.
“Ya, kamu boleh tidak percaya,” kata Widya mulai bangkit lalu berdiri. Aku perhatikan ia mengarahkan pandangannya ke Gunung Gede-Pangrango,
“Seandainya kamu suka membaca geografi, kamu pasti tahu kalau Sungai Ciliwung itu asalnya dari sana,”
Ia menunjuk ke arah Gunung Gede-Pangrango yang nampak biru terang dan diliputi awan puncaknya.
“Lembah Mandalawangi asal Ciliwung, “ujarnya menjelaskan, “Di lembah itulah sungai ini berhulu dalam bentuk yang lebih kecil dari ini. Ia lalu mengalir turun ke Puncak kemudian ke Bogor lalu Depok, dan terakhir Jakarta, tempat kamu itu,”
Widya yang menjelaskan itu kemudian memalingkan pandangannya ke arah sungai kecil ini mengalir,
“Dari Mandalawangi hingga Bogor Ciliwung masih jernih tetapi ketika sudah memasuki Depok dan Jakarta keruh bahkan hingga ke laut,”
Ketika ia berkata seperti itu, aku jadi tersadar akan suatu hal. Ya, banjir yang terjadi di Jakarta itu karena dari Bogor asalnya. Banjir kiriman istilahnya.
“Ya, karena Bogor yang mengirim banjir ini kan?” tanyaku sejalan dengan pikiranku.
Mendengar pertanyaanku seperti itu, Widya langsung berubah tatapan dan wajahnya. Nampak ia tidak terima tanyaku.
“Apa apa Bogor,” katanya ketus, “Apa apa Bogor. Kamu ini kok jadi manusia tidak bisa berpikir bijaksana sekali?”
“Tapi, memang benar kan kenyataannya?” tanyaku sembari membela diri.
“Oh, jadi kamu sudah termakan dengan banyak ucapan orang kalau Bogor mengirim banjir. Sekarang aku mau tanya siapa yang banyak membangun villa di Puncak ini?”
Ia kembali menunjuk ke beberapa rumah mewah yang nampak berdiri megah di atas sebuah bukit. Rumah-rumah itu, yang lebih sering disebut villa, nampak kelihatan nyaman untuk ditinggali. Apalagi pemandangannya pasti mengarah langsung ke lanskap Puncak. Sungguh seperti di surga. Nyaman.
Tetapi, tiba-tiba aku tersadar. Aku sekarang sedang ditanyai oleh dia, Widya. Ia nampak benar-benar tersinggung atas ucapanku. Tatapannya seperti ingin membunuh tatapanku. Aku jadi takut. Aku terdiam sejenak. Lalu tersadar kembali siapa yang membangun villa-villa itu.
“Kenapa kamu diam?” tanyanya, “Kamu nggak tahu atau pura-pura nggak tahu,”
Aku bingung menjawabnya.
“Kamu ini memang....dasar!”
Aku, jujur, masih bingung menjawab.
Ia lalu menarik nafas sebentar dan berkata,
“Ini semua kerjaan orang Jakarta, bukan?”
Aku masih diam. Ia lalu menyerocos,
“Orang Jakarta sendiri yang menyebabkan banjir di Jakarta. Tanah di Puncak habis dibabat cuma untuk villa. Akhirnya, ketika hujan datang tidak ada resapan, dan air langsung begitu saja mengalir turun dengan deras sampai ke tempatmu. Jadi, jangan salahkan Bogor kalau banjir datang sebab yang menyebabkan banjir itu orang Jakarta sendiri dari hulu hingga ke hilir,”
Oke, oke, ujarku dalam hati, aku memang salah.
“Iya, ini memang salah orang Jakarta semua,” kataku menyalahkan diri sendiri.
“Baguslah kalau kamu mengaku salah,” kata Widya, “Tapi, kalo kamu doang sepertinya tidak berpengaruh seharusnya yang membangun villa-villa itu juga meminta maaf,”
“Oke, oke, “kataku setelah itu, “Bisakah kita berbicara hal yang lain lagi selain Ciliwung?”
“Kenapa? Kamu nggak suka? Takut disalahin lagi?”
“Bukan...bukan itu,” kataku mengelak, “Ya, maksudku untuk penyegaran aja,”
“Penyegaran? Bukannya kamu udah segar tuh merendam tangan di air jernih?”
“Eh, itu belom kok,” ujarku mengelak lagi, “Sepertinya aku lebih segar jika melihat kamu,”
Aku tertawa. Widya merasa risih tetapi kemudian menabok bahuku sambil mencubit,
“Kamu ya...bisa aja,”
Aku jelas kesakitan tetapi aku biarkan saja daripada ia terus cerocos soal Ciliwung.
Setelah itu kami berdua duduk di tepian sungai sambil memandang langit Puncak yang cerah,
“Seandainya orang-orang masa sekarang mencontoh apa yang dilakukan para raja Pajajaran mengenai Sungai Ciliwung, ya Ciliwung itu akan ramah,”

Aku hanya mengiyakan.

Angin berembus. Menerbangkan sedikit rambutnya. Harum tercium. Kubelai halus rambutnya. Kulihat wajahnya. Oh, Widya, kamu memang begitu manis. Dan....

0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran