Pages

Jumat, 15 Agustus 2014

"Ya, Seharusnya Seperti itu"

Layar itu menyala terang. Di dalamnya menampilkan tulisan: Tarif: Rp.2000, Sisa Saldo: Rp 75.000. Seorang petugas segera berkata pada dirinya:
“Ayo, pak, silakan,” ujar si petugas ramah.
Ia lantas membalas keramahan si petugas dengan senyuman sembari melewati gerbang elektronik atau e-gate. Ketika keluar, sebuah raut puas terpancar sekaligus juga raut tidak percaya dan takjub. Di depannya berjejer 5-6 gerbang elektronik sebagai pintu keluar masuk bagi orang-orang yang hendak naik dan turun dari kereta api. Gerbang-gerbang elektronik itu begitu ramai dihilir-mudik dan tak pernah lelah menyalakan lampu penanda masuk dan keluar ketika orang-orang itu, para penumpang kereta api, menempelkan kartu elektronik di gerbang itu. Terlihat simpel dan praktis.
beritakereta.wordpress.com
Ia yang memperhatikan langsung bergumam dalam hatinya,
“Oh, ini sudah seperti di Eropa,”. Matanya lalu mengarah kepada stasiun tempat ia sekarang berada. Stasiun begitu modern. Berwarna abu-abu minimalis. Ada jasa keamanan dan kebersihan. Tak nampak sekalipun pedagang kaki lima, kios, dan gelandang-pengemis. Benar-benar steril.
“Ya, ini seperti di Eropa. Menakjubkan,” gumamnya lagi.
Pikirannya lantas melayang ke salah satu negara di Eropa, Jerman. Negara itu tempat ia dulu belajar dan bekerja hingga akhirnya tinggal selama 20 tahun lebih. Selama di Jerman itu, dirinya merasakan menjadi bagian dari kemajuan Jerman dalam berbagai bidang. Apalagi transportasinya. Jamaknya negara maju, sudah pasti transportasi yang diandalkan ialah transportasi publik, bukan pribadi. Karena itu, banyak yang menjadikan transportasi publik sebagai primadona. Bus, kereta api, trem sudah pasti diserbu.

Kemajuan itu juga terlihat dari fasilitas yang ada. Ia yang sering ke kantor naik kereta api benar-benar merasakan. Naik kereta pun menggunakan tiket elektronik. Sesuatu yang jarang ia dapatkan. Stasiun yang modern dan bersih. Benar-benar membuatnya takjub dan merasakan dirinya ada di sebuah negara di dalam negeri dongeng. Ketika itu juga ia teringat tentang Indonesia, terutama kereta api Indonesia. Benar-benar berbeda jauh dengan apa yang dilihat sekarang. Apabila ia melihat kereta yang di hadapannya sekarang dan bertulisan DB, perusahaan kereta api Jerman, begitu bersih dan kinclong, berkebalikan jika ia membandingkan dengan kereta api Indonesia yang nampak kumuh, kotor, banyak PKL dan gepeng berkeliaran, serta mereka yang dinamakan atapers atau penumpang yang berada di atap kereta. Belum lagi stasiun yang nampak padat karena kios-kios. Stasiun pun sudah seperti pasar rakyat.

Ia jadi teringat suasana itu kala setiap hari berangkat kuliah menggunakan kereta. Kereta menjadi transportasi andalan untuk menuju kampusnya di Depok. Dalam tiap hari itu ia mengalami kereta yang begitu padat penumpang namun juga PKL dan gepeng. Para PKL tak henti-hentinya meneriakkan barang dagangan kepada setiap penumpang meskipun dibeli atau tidak. Kemudian ada para gepeng yang hendak mengais rezeki dengan cara meminta dan merengek. Ada yang bermodalkan sapu, agama, dan lapar. Pernah ia dimintai gepeng dengan cara merengek-rengek meminta uang untuk makan. Lantas ia tolak dengan sopan tetapi si gepeng tetap merengek-rengek. Ia kemudian diamkan si gepeng dan si si gepeng pun berlalu mencari mangsa yang lain. Esok-esoknya si gepeng segan meminta kepada dirinya.

Ia juga teringat kejadian pencopetan dan penjambretan yang terjadi di depan mata kepala sendiri. Sudah menjadi hal lumrah pencopetan dan penjambretan marak terjadi di transportasi publik. Apalagi di kereta api. Ia ingat kereta api selalu terbuka pintunya sebab sudah rusak kemudian panas karena pendinginnya juga rusak. Keadaan yang demikian jelas memudahkan para penumpang keluar dari kereta tanpa harus menunggu pintu buka-tutup otomatis. Keadaan yang demikian juga memudahkan para penjambret dan pencopet mudah melarikan diri. Itulah yang ia lihat ketika seorang wanita dijambret kalung yang melingkar di leher. Wanita itu berteriak histeris mengundang penumpang lain. Sayang, itu percuma. Salah satu penumpang bilang kalau memakai perhiasan jangan berada di depan pintu kereta sebaiknya berada jauh dari pintu dan juga jendela. Tetapi sepertinya si penumpang ini memang tidak tahu tentang perihal kehidupan di kereta api.

Melihat keadaan-keadaan seperti itu, ia jadi berpikir lalu berkomentar kereta api Tanah Air tidak aman dinaiki dan tidak pantas menjadi transportasi publik yang diandalkan meski murah. Ia ingin kereta api Indonesia seperti di negara-negara lain, terutama negara jiran Malaysia yang nampak maju dalam fasilitas terutama tiket yang dipindai dengan komputer. Berbeda dengan kereta api Indonesia yang masih mengandalkan karcis. Gara-gara karcis pembohongan identitas bisa terjadi.

Usai lulus kuliah, ia lalu bekerja dan kemudian mendapatkan tawaran beasiswa kuliah magister sembari bekerja di Jerman. Perusahaannya merekomendasikan dirinya agar ke Jerman. Dan di Jermanlah ia mengalami keterkejutan. Keterkejutan yang awalnya sulit beradaptasi. Mulai dari cuaca, makanan, masyarakat, sampai bahasa. Padahal, ia sebelumnya sudah belajar bahasa Jerman. Tetapi memang beda teori dan praktek. Lama-kelamaan ia pun terbiasa dan nyaman dengan segala kemajuan yang diperlihatkan Jerman. Segalanya menjadi mudah dan efektif. Ia merasakan di stasiun kereta api. Tak perlu lama-lama mengantre. Cukup tap pada mesin dan masuk. Begitu juga ketika keluar. Ia merasa beruntung.

Namun di dalam kemajuan itu ia tetap merindukan Tanah Air. Ia merasa Tanah Air sesungguhnya tempat yang paling tepat di hati. Ketika libur datang, sesekali ia sempatkan diri pulang. Menjamah kampung halaman di Jakarta dan berlibur ke berbagai tempat di Indonesia. Ia merasakan Indonesia memang begitu indah. Jerman yang maju itu tidak ada apa-apanya. Sayang, keindahan itu sirna kala sifat orang-orangnya yang menyebalkan, terutama di birokrasi. Indonesia memang indah tetapi orang-orangnya jauh dari bersih dan beradab. Berbeda dengan di Eropa.

Selanjutnya, ia pada liburan selanjutnya berkeliling Eropa. Di sini ia merasa kagum dan takjub. Namun, tetap saja Indonesia tetaplah yang terindah. Rasa ingin kembali dan menetap di Indonesia di hari tua ia canangkan. Ia lalu menikah dengan gadis Indonesia yang juga bekerja di Jerman kemudian mempunyai anak. Barulah ketika anak-anaknya sudah mahasiswa dan dirasa mandiri, ia putuskan pulang kembali sebagai seorang pensiunan yang hendak membuka usaha bengkel mobil berbekal uang pensiun yang jumlahnya lumayan.

Dua puluh tahun lebih di Jerman, membuatnya hanya tahu sedikit berita dari Indonesia. Apalagi untuk transportasi. Ia masih berpikiran transportasi Indonesia, terutama kereta api, pasti masih seperti dulu. Namun, semua berubah tatkala ia mencoba kembali kereta api Indonesia. Ia terkejut dan terheran-heran sampai-sampai berkata kepada salah seorang teman dekatnya. Temannya hanya berkata,
“Ya udah belakangan ini kereta api berubah. Nggak kaya dulu lagi. Sekarang bersih dan steril karena pake AC...hehehe,”
“Jadi, kereta yang terbuka itu udah nggak ada lagi?”
“Iya, udah dipensiunkan,”

Dua kereta melintas berlawanan di dua jalur yang berbeda. Satu melintas di peron Bogor. Satu di peron Jakarta. Pemandangan itu membuat ia terkesima.
“Seperti inilah seharusnya,” gumamnya senang.

Ketika seperti itu, seseorang menepuknya dari belakang.
“Rendi, jangan bengong. Setan masuk lho,” ujarnya sambil tertawa.
Ia menoleh ke belakang. Tersenyumlah ia. Teman dekatnya, Ardi.
“Udah lama nunggu?” tanya Ardi
“Ah, bentar aja gue,” jawab Rendi.
“Yuk dah kita naik kereta,”
“Oke,”
Keduanya lalu bergegas ke peron Bogor. Ketika sampai peron, kereta jurusan Bogor sudah tiba. Keduanya masuk. Rendi tetap tersenyum sambil bergumam,
“Ya, seharusnya seperti ini,”

0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran