Pages

Rabu, 01 Oktober 2025

Hilangnya Ayam-ayam Kami


"Mau ke mana lagi, Pak?" ujar Bu Reni kepada suaminya, Pak Parto, di suatu pagi yang sedikit cerah, sedikit mendung alias gamang. Bingung antara turun hujan dan tidak. Bu Reni bertanya seperti itu kepada suaminya yang sudah berpakaian sangat rapi dengan tampilan berupa kaos hitam kemudian memakai rompi hijau tua kecoklatan. Kemudian pada bagian bawah ia memakai celana kargo juga dengan warna sama, dan gesper coklat keemasan sebagai penanda. Pak Parto yang berkumis tebal baplang itu dengan rambut selalu cepak pada bagian kiri dan kanan kepala sembari menenteng sebuah tongkat hitam yang jika dipencet pada bagian tombol di bawah akan bisa mengeluarkan sebuah jaring. Semua berkelindan dengan sepatu bot hitam yang jadi alasnya. Tampak ia begitu tegap dan gagah.

Bu Reni yang melihatnya mencium bau kecurigaan pada suaminya tersebut. Kecurigaan yang sering kali muncul saat suaminya berpenampilan jantan tersebut.

"Kamu mau berburu lagi, Pak?" tanyanya untuk mengonfirmasi rasa kecurigaan tersebut

Dengan tegas, Pak Parto yang ditanyai sesuatu yang menurutnya menganggu itu menjawab,

"Ya, Bu! Aku mau berburu ayam lagi!" Ia arahkan pandangannya ke halaman rumahnya yang luas yang dipenuhi banyak pohon jati yang ranting dan daunnya menurun sehingga membentuk segitiga meleyot.

Jawaban yang meluncur dari suaminya itu jelas membenarkan kecurigaan tersebut. Bu Reni pun langsung berkata

"Memangnya ayam-ayam yang ada nggak udah bikin kamu puas?" tanyanya. Ia lalu memohon pada suaminya itu, "Tolong, Pak, jangan kasihan. Jangan berburu mereka lagi. Jangan kamu turuti nafsu kamu karena kamu cuma keindahan yang dimiliki mereka. Apa kamu nggak kasihan sama istrimu ini yang rela tidak kamu sentuh lagi gara-gara ayam-ayam itu?"

Permintaan Bu Reni yang memelas itu sangat menganggu gairah Pak Parto yang tengah memuncak dan tinggi-tingginya. Ia anggap itu sebagai batu kerikil yang harus dibuang,

"Kamu jangan banyak omong, Bu!" Kini Pak Parto dalam keadaan marah. Seketika tubuhnya berubah menjadi seekor elang raksasa yang menatap tajam istrinya. Bu Reni yang melihat itu langsung terkejut, bergidik lalu bersujud memohon ampun. Barulah setelah itu Pak Parto berubah lagi jadi manusia, dan berkata mengancam,

"Awas sekali lagi kamu kayak tadi,"" Ia arahkan tongkat ke Bu Reni yang ketakutan, "Aku takkan segan-segan masukkan kamu dalam karung biar kamu aku buang ke sungai, dan dimakan buaya! Paham?"

"I...iya, Pak," kata Bu Reni yang masih ketakutan dalam sujudnya, dan tidak mau melihat wajah suaminya yang marah besar dan berubah jadi elang. Selepas itu, Pak Parto pergi dengan tegapnya meninggalkan sang istri yang setelahnya bangkit dari sujudnya kemudian duduk untuk menetralkan rasa takutnya. Dibasuhnya keringat yang tadi keluar saat kemarahan suaminya itu. Ia kemudian mencoba menarik napas lalu mengeluarkannya perlahan. Kini rasa lega muncul pada dirinya. Ia menggelengkan-gelengkan kepalanya atas tindakan suaminya itu kemudian muncul sebuah sumpah serapah darinya,

"Semoga burungmu tidak bisa berdiri lagi,"

Setelah itu ia bangkit berdiri kemudian berjalan ke bagian belakang rumah yang besar bak istana namun sering mencekam setiap harinya.

***

Kenalkan, ini adalah Pak Parto. Seorang lelaki dengan umur lebih dari setengah abad yang tinggal di sebuah kampung bernama Muara Jaya. Dinamakan demikian karena kampung ini dekat dengan sebuah muara sungai besar yang dihuni banyak buaya yang selalu lapar tanpa kenal henti, membuat orang-orang yang melintas sungai harus selalu membaca mantra-mantra turun-temurun dari para tetua.

Pak Parto adalah seorang pensiunan baju hijau yang datang ke Muara Jaya, yang sebenarnya untuk beristirahat. Namun, hal itu ia urungkan setelah tahu di desa ini para penduduknya memelihara ayam-ayam yang luar biasa cantik bulu dan suaranya. Tak hanya di rumah penduduk, di hutan pun ada ayam-ayam seperti itu. Akan tetapi, ayam-ayam yang ada pada rumah penduduk ini selalu dikonsumsi, dan setelah dikonsumsi bulu-bulu mereka yang bagus akan ditanam di hutan kemudian berubah menjadi ayam lagi.

Tidak halnya bagi Pak Parto. Ia menganggap ayam-ayam itu harus dijadikan pajangan yang bisa dilihat setiap detik, menit, dan jam serta juga bisa dipermainkan sesuka hati. Pak Parto merasakan naik berahinya melihat ayam-ayam cantik ini. Maka, mulailah ia mengambil paksa ayam-ayam milik penduduk. Dengan ajian elang pada dirinya, ia ubah wujud jadi elang raksasa menakutkan jika para penduduk enggan memberi. Para penduduk yang ayamnya diambil tentu hanya pasrah. Padahal ayam-ayam itu sangat penting untuk kehidupan sehari-hari mereka terutama untuk tumbuh-kembang keturunan. Akibatnya, para penduduk kini cuma bisa makan bayam dan kangkung liar yang sebenarnya tidak cukup untuk kebutuhan tubuh sehari-hari.

Kepala Desa Muara Jaya juga tidak bisa berbuat apa-apa karena kekuatan dan keperkasaan yang dimiliki Pak Parto. Bahkan ia sangat ketakutan sekali ketika Pak Parto datang ke kantor desa, dan selalu berwujud elang. Ia mengancam Kepala Desa untuk jangan-jangan menghalangi dia dalam mencari ayam atau nasibnya bisa seperti warga desa yang ia buang ke sungai penuh buaya biar mereka terus berpesta.

Ketika ayam-ayam cantik ini habis di rumah penduduk, ia akan mencari ayam-ayam itu di hutan yang ternyata banyak dan melimpah. Lalu apa yang Pak Parto lakukan terhadap ayam-ayam ini? Apakah sekadar untuk hiasan belaka demi sebuah hasrat? Kenyataannya, Pak Parto menyetubuhi ayam-ayam itu. Setiap malam ia akan selalu ke ruangan yang merupakan kandang ayam. Ayam-ayam yang ada di kandang jelas ketakutan karena kalau Pak Parto datang berarti pertanda siap-siap diajak ke kamar. Setelah dipilih dan diambil, ayam cantik itu dibawa ke kamar lalu di dalam kamar diubahlah menjadi seorang wanita yang sama cantik saat seperti ayam. Pak Parto menjadi dikuasai oleh nafsunya. Tongkat emas pada dirinya menegang kencang tanda berahi itu bagaikan air sungai yang tidak bisa dibendung-bendung.

Wanita dari ayam itu jelas ketakutan namun pasrah tubuhnya dirajah sesuka hati. Ia sendiri tidak bisa melawan karena jika melawan Pak Parto akan langsung mengubah dirinya menjadi elang raksasa yang siap mengoyak-ngoyak si wanita. Bu Reni yang melihat itu hanya bisa menangis pasrah. Ia dalam hati cemburu Pak Parto lebih suka bermain dengan ayam-ayamnya yang masih terlihat menawan dan memukau daripada ia yang sudah dalam keadaan keriput dan berlemak pada beberapa bagian tubuhnya. Namun di sisi lain ia juga kasihan dengan ayam-ayam itu. Ia berharap suatu saat ada keajaiban datang untuk menyadarkan suaminya itu.

Kini Pak Parto dengan gagahnya seperti biasa masuk ke hutan untuk memburu ayam-ayam cantik. Dipegang dengan erat tongkat hitam itu sembari ia bersiul-siul melihat keadaan di sekeliling. Sebuah keadaan yang sepi dan sunyi. Hanya hijau-hijau daun yang menemani. Seberkas sinar matahari tampak masuk menembus hutan membentuk sebuah tongkat yang menyerong panjang.

Ia berjalan pelan pada lantai hutan yang tampak selalu basah dan gembur. Menerebos sulur-sulur penghalang di depan. Ia terus bersiul-siul dengan harapan ada ayam cantik muncul di depan. Tak lama kemudian, ia melihat seekor ayam yang sedang menapak di bawah pohon mahoni besar. Ayam itu sangat terlihat cantik. Tubuhnya gemuk berisi berwarna hijau toska. Pada dadanya terdapat corak warna merah marun. Begitu juga pada jambul dan jenggernya yang jika terkena siraman sinar matahari berubah warna jadi oranye memukau. Pada sayap pun ia melihat ada corak kuning dan putih yang memanjang sampai ekor.

Pak Parto yang melihat ini segera terbit nafsunya. Tubuhnya mengencang menegang. Ia harus mendapatkan ayam itu sebagai koleksi terbarunya untuk nanti malam ditumbuk-tumbuk di bilik peraduan. Ia kemudian keluar dari semak persembunyiannya lalu mengacungkan tongkat hitam sembari memencet tombol hingga keluar jaring besar yang menyasar ke si ayam. Namun, ayam cantik yang sudah tahu hal itu, dengan cepat menghindar sehingga tidak kena. 

Pak Parto terkejut sebab baru kali ini ada ayam bisa menghindari jaring besar dari tongkatnya. Ia tarik lagi jaring itu kemudian ia lempar untuk menjala si ayam yang sudah ada di posisi lain. Tetapi, tetap saja si ayam bisa menghindar, dan bahkan meloncat. Pak Parto pun heran dibuatnya. Ia sekali lagi melempar jaringnya, dan si ayam tetap bisa menghindar. Ia pun kesal sembari berujar,

"Kurang ajar, kau, ayam cecunguk!"

Ayam itu tampak meledeknya kemudian berlari kencang. Pak Parto yang tidak ingin kalah apalagi buruannya kabur segera mengejar ayam itu ke bagian hutan paling dalam. Langkahnya pun seperti setan saat seperti itu, dan tanpa disadari ia menyadari bahwa dirinya kini ada di sebuah bagian hutan yang lain. Yang tampak bagai surga. Ada sungai jernih mengalir yang bermuara ke sebuah danau. Di situ juga ada alunan musik yang mengalun-alun membentuk nada-nada yang indah. Pohon yang berwarna-warni bagai sebuah mozaik, dan tak lupa awan yang tak selalu putih tetapi bisa kuning, merah, bahkan hijau layaknya pelangi. Tentu saja pemandangan ini akan memukau mereka yang ada di dalamnya. Begitu juga Pak Parto.

Di surga itu tampak banyak sekali ayam yang tampilannya sama seperti yang tadi ia cari. Hasrat buasnya seketika muncul lagi. Ia mulai mendekati ayam-ayam itu, mengejar hingga dapat. Sayang, tidak bisa. Mereka cukup lincah dan bisa mengelabui Pak Parto. Pak Parto pun gusar. Ia rasanya ingin menghancurkan surga ini. Sampai kemudian ada satu ayam di depannya yang lalu ia kejar meski merasa lelah juga. Ketika mengejar ayam tersebut mendadak menghilang, dan di hadapannya kini seorang wanita dengan badan tinggi, berambut panjang lurus, memakai baju hijau dengan corak hijau muda pada bagian dada. Warna celananya pun sama, dengan sandal gunung sebagai alas. Di tangannya ada sebuah pedang tajam.

"Siapa kamu?" tanya Pak Parto dalam keterkejutannya, "Jangan halangi jalan saya atau kamu akan merasakan akibatnya!"

Si wanita baju hijau ini tampak santai menanggapi Pak Parto yang mengancam dirinya dengan sebuah tongkat hitam yang diarahkan ke mukanya.

"Saya bukan siapa-siapa, Pak!" kata si wanita itu kemudian melihat ke sekitarnya. Ada ayam-ayam cantik yang tiba-tiba bermunculan, juga ayam yang tadi dikejar Pak Parto muncul dari belakang si wanita, "Saya cuma pembela ayam-ayam di sini, ayam-ayam yang telah bapak rampas haknya hanya untuk kesenangan bapak saja!"

Perlahan ayam-ayam cantik yang tadi bermunculan mengubah wujudnya menjadi para wanita pendekar. Mereka sama dengan si wanita baju hijau. Ada pedang pada tangan-tangan mereka yang siap menebas kezaliman.

"Saya minta bapak lepaskan ayam-ayam yang sudah bapak tawan," kata si wanita baju hijau, "Bapak jangan seenak perut ambil mereka. Karena kelakuan bapak, semua jadi sengsara!"

Pak Parto yang merasa dirinya diancam tentu tidak bisa terima karena selama ini dia yang mengancam orang-orang dengan wujud elangnya. Ia lantas menantang balik si wanita baju hijau itu,

"Kamu jangan ngomong sembarangan sama saya!" Ia mulai emosi. Bola matanya membara, dan kedua tangannya perlahan-lahan mengepal kencang sembari memegang tongkat, "Kamu belum tahu siapa ya?"

"Saya tidak peduli siapa bapak!" kata si wanita baju hijau kini mulai bersiap memegang pedang kencang dan pasang kuda-kuda. Ia merasakan sebentar lagi akan ada pertarungan dengan orang yang sangat sombong ini di depannya.

Pak Parto yang sangat emosi itu langsung mengubah tubuhnya jadi seekor elang raksasa warna coklat dengan warna putih pada kepala dan dada. Seekor elang yang matanya sangat tajam, paruhnya runcing, kedua sayapnya besar dan lebar, dan kakinya yang bercakar dengan cengkraman yang superkuat.

Ia mulai menyerang si wanita baju hijau yang dengan cepat mengubah dirinya menjadi seekor ayam cantik warna hijau dan petarung. Begitu juga dengan para wanita yang lain. Mereka ubah dirinya jadi ayam. Mereka segera menyerang elang besar wujud dari Pak Parto itu bersama-sama. Terjadilah pertarungan antara seekor elang besar dan ayam-ayam cantik petarung.

Pak Parto yang berwujud elang itu tentu saja pada awalnya mampu menangkis serangan ayam-ayam tersebut dengan sayap dan tongkatnya. Namun, ayam-ayam ini bukanlah ayam-ayam yang biasa ia setubuhi setiap malam dengan mudahnya disertai perasaan takut dan pasrah. Ini adalah ayam-ayam petarung yang benar-benar gigih menyerang. Mereka membuat si elang besar itu kewalahan. Kaki dan sayapnya yang merupakan perlambang kesombongan dan kegagahan itu mereka ikat dengan tali lalu mereka kaitkan pada batang pohon sehingga si elang tidak bisa bergerak sama sekali. Paruhnya yang runcing mereka mereka tebas dengan pedang. Si elang itu kaget ketika mulut yang biasa ia gunakan itu kini telah terpisah, dan jatuh ke tanah. Dan, belum habis rasa kagetnya seekor ayam tiba-tiba muncul di depannya. Ayam itu meloncat sembari memegang pedang dengan mata tajam yang kemudian dengan cepat ia tebas pada kepala elang itu. Mata elang itu membelalak. Seketika itu juga kepala terlepas dan menggelinding. Darah mengucur deras. Tanah pun menelannya dengan suka cita. Tubuh tanpa kepala itu perlahan menunduk dan berbaring ke tanah. Lepas sudah rasa keangkuhan dan kezaliman itu.

***

Bu Reni terbangun dari tidurnya. Kemudian dilihatnya jam di dinding. Jarum jam menunjuk ke arah jam 2. Rupanya sudah tengah malam, dan pada jam segini ia sadari suaminya belum juga pulang dari berburu. Ia terbangun karena ada suara ketukan kencang. Pasti itu suaminya, demikian gumamnya. Jujur ada perasaan malas ketika seperti itu karena itu tandanya ia berhasil membawa pulang ayam buruan yang siap dihabisi di ranjang. Soal itu, ia sudah siap mengalah, dan nanti akan tidur di ruangan lain. Namun yang jadi pertanyaan adalah mengapa jam segini Pak Parto baru pulang. Demikian ia membatin lagi.

Suara ketukan pintu itu terasa kencang. Membuat ia segera berlari untuk membuka pintu. Namun ketika pintu dibuka suara ketukan malah menghilang. Dan, saat itu pula ia tidak melihat siapa pun. Cuma ada barisan pohon jati di halaman dan embusan angin malam serta cahaya lampu dari rumah. Ia merasa heran, dan mengira itu Pak Parto. Namun kemudian perhatiannya tiba-tiba tertuju pada sebuah kotak besar dan tertutup di halaman rumahnya. Ia dekati kotak itu. Dalam dirinya timbul penasaran mengenai isi dalam kotak ini dan pengirimnya. Ia sempat urungkan untuk membuka. Namun karena penasaran ia putuskan membuka. Ada rasa campur aduk saat membukanya secara perlahan.

Lalu terkejutlah ia saat membuka penutup kotak. Mulutnya menganga karena melihat apa yang ia tidak bisa percayai. Dalam kotak itu ada kepala Pak Parto yang matanya membelalak, dan pada mulutnya sebuah tongkat keperkasaan yang dulu pernah merobek keperawanannya serta sebagai senjata untuk menjajah para ayam menjadi sumpalan.

Bu Reni sendiri tidak habis pikir siapa yang berbuat keji pada suaminya ini. Ia perlahan menangis tetapi kemudian ia merasakan kegembiraan karena doanya terkabul. Ia lalu sujud syukur sebab beban hidupnya kini hilang. Setelah itu terdengarlah suara ayam-ayam dari belakang yang kemudian ke halaman depan lalu terbang berubah menjadi bidadari dengan cahaya hijau terang menembus cakrawala yang masih gelap.

Bu Reni yang melihat itu merasa gembira karena ayam-ayam itu akhirnya bisa lepas dari cengkraman suaminya. Bahkan salah satu ayam sempat tersenyum padanya seolah-olah ingin berucap terima kasih.

***

Setelah kejadian itu, penduduk Desa Muara Jaya kembali ceria karena ayam-ayam mereka yang hilang kembali. Kehidupan seperti sedia kala. Ayam yang ada untuk dikonsumsi, bukan dipajang atau diadu. Jika sudah dikonsumsi, kuburkan bulu-bulu cantiknya di hutan agar mereka bisa muncul lagi. 

Tak jauh dari situ, seorang wanita muda dengan rasa percaya diri segera mengemasi barang-barangnya. Ia perhatikan rumah yang dulu pernah ia tempati. Rumah yang selalu mencekam karena tingkah Pak Parto. Bu Reni yang setelah kejadian mendapati dirinya menjadi wanita muda segera tinggalkan rumah itu yang perlahan terbakar dan akan menjadi abu. Asap yang membumbung tinggi perlahan menghilang ditiup angin. Hilang sudah semua memori kelam itu. Bu Reni kini siap mencari pelabuhan baru.



 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran