Alkisah, ada sebuah negeri yang sangat maju. Kehidupan rakyatnya sangat makmur dan sejahtera. Tidak ada ketimpangan sama sekali. Semua mendapatkan hak yang sama dan setara terutama di mata hukum. Pemimpinnya pun arif bijaksana dan sangat peduli akan rakyatnya terutama rakyat yang tidak mampu untuk mempunyai akses ke dua hal penting, kesehatan dan pendidikan. Sang pemimpin juga dikenal tegas dan berwibawa serta tidak pandang bulu dalam menegakkan supremasi hukum berasaskan pada kekuatan sipil. Tidak ada yang namanya kekuatan bersenjata yang menunjukkan batang hidung secara massal di depan orang banyak. Tidak ada yang namanya tindakan represif dan berlebihan dari penegak hukum ketika orang-orang mengungkapkan perasaan mereka kepada para wakil rakyat. Yang ada adalah bentuk pengayoman dan kasih sayang. Rakyat jadi tuan para penguasa karena mereka tuan sebenarnya.
Negeri itu bernama Angkasapura. Sebuah negeri yang berada di atas awan yang berada di bawah negeri sebelumnya, Bumipura, yang tenggelam karena banjir besar seperti banjir Nuh. Negeri di atas awan ini berbentuk kapal besar yang lebar yang membentuk geografis yang sangat natural. Ada tanah yang subur ditumbuhi padang rumput, hutan, sawah-sawah, dan kebun-kebun. Kemudian ada gunung yang sangat tinggi serta sungai besar yang mengalir jernih untuk memberikan penghidupan bagi rakyat di sekitarnya, bangunan-bangunan berupa perumahan, desa-desa, kota-kota dengan gedung pencakar langit yang sangat tinggi, jaringan jalanan dan transportasi yang sangat bagus, yang sangat dinikmati para warga dari semua golongan.
Angkasapura, bagai sebuah Shangrila, yang dibangun dengan teknologi artifisial yang hasilnya sama persis dengan kenyataan. Membuat negeri ini juga disanjung negeri-negeri lainnya untuk belajar tentang semua hal.
Tetapi...
Tetapi...
Tetapi...
Ada satu hal yang masih mengganjal jika melihat negeri ini secara keseluruhan. Masyarakatnya memang benar adil dan makmur, supremasi sipil di atas segala-galanya. Semua terlayani oleh teknologi canggih yang ada di Angkasapura.
Namun, ada satu tempat yang tidak semua orang boleh tahu. Tempat ini sangat terlarang bahkan saking terlarangnya tidak boleh ada yang masuk. Jika ketahuan masuk, siap-siap robot penjaga tidak kenal perasaan akan langsung membabat tanpa ampun. Karena itu, tempat ini sangat tidak bisa dilihat oleh siapa pun. Bahkan oleh mata telanjang sekalipun. Di peta digital ia juga dihilangkan, dan sekali lagi hanya yang paham tempat ini yang tahu berdasarkan cerita turun-temurun.
Tempat itu sebenarnya sebuah gedung dengan fasilitas ruang bawah yang bisa sampai puluhan meter sesuai dengan panjang Angkasapura ke bawah. Di situlah ada sebuah ruang khusus dengan suhu udara sangat dingin dari AC yang di dalamnya ada sebuah sekam yang diberi kaca tebal serta sebuah api yang selalu menyala setiap saat yang tertutup oleh sekam tersebut. Api itu bukanlah api biasa. Ia juga bukan api untuk menyalakan kompor untuk keperluan memasak, untuk keperluan mengelas, untuk menghangatkan badan saat di alam terbuka, merokok, kremasi, pemujaan hingga untuk keperluan menghancurkan semua dokumen yang menganggu.
Ia adalah api yang sangat menakutkan, yang jika ia hadir dalam setiap kehidupan orang-orang ia akan menjadi malapetaka besar yang dapat menyebabkan kehancuran Angkasapura. Ia adalah banaspati, sang api teror yang jika diperhatikan tampak berbentuk wajah manusia yang selalu menyunggingkan horor dan ketakutan tiada ampun bagi yang menatapnya. Karena itulah, ia dikurung dalam sebuah kaca dan sekam untuk mengantisipasi panasnya.
Banaspati adalah sesosok perwujudan monster raksasa yang datang meneror Angkasapura. Oleh Ratu Adil, sang pendiri Angkasapura, ia dikalahkan dan dikurung hingga baranya kini mengecil. Meski demikian, setelah dikurung baranya malah perlahan tambah membesar ke semula hampir melampaui batas muatan kaca tersebut serta suhu yang diatur untuk bisa mengurungnya. Jika suhu yang diatur itu telah melampaui batas, Banaspati akan dengan mudahnya keluar dari kaca itu dengan membakar sekamnya. Ia akan kembali menebarkan teror dan ketakutan.
Hal inilah yang disadari betul oleh Pak Joko, sang direktur pengendali fasilitas rahasia yang mengurung Banaspati. Tampak setiap hari ia selalu khawatir apalagi jika Sang Martil, sang pemimpin Angkasapura terus meneleponnya melalui panggilan video,
"Saya tidak mau api keluar dari kaca!" Begitulah kata Sang Martil saat menghubungi Pak Joko yang cuma bisa berkata "Iya, Pak" atau "Saya akan usahakan". Ini karena ia tampak bingung menjelaskan kepada Sang Martil perihal si Banaspati yang tingkatan besaran apinya di luar nalar hingga mendekati zona merah.
"Saya tidak mau tahu!" kata Sang Martil dengan nada mengebos, "Ini kan tugas Anda sebagai orang pintar yang mampu mengendalikan api, dan saya lebih percaya Anda daripada dukun-dukun desa yang selalu ribet dalam melaksanakan ritual. Apa itu dupa? Kemenyan? Oh, ayolah kita sudah hidup di zaman mesin ada di mana-mana!"
Wajar jika Sang Martil berkata demikian karena dalam beberapa hari belakangan ia selalu dimimpikan sosok besar berapi seperti kaiju yang menebarkan teror tanpa henti. Monster raksasa api dalam mimpi itu datang lalu membakar setiap gedung yang ia lewati termasuk juga istana tempat tinggalnya. Dalam keadaan seperti itu, Sang Martil selalu terbangun dalam keadaan keringat. Mimpi itu membuatnya takut dan sangat takut karena dapat membuka rahasia yang selama ini tersimpan rapat.
"Kalau api ini sampai lepas, bukan hanya saya yang kena tapi juga rahasiamu. Atau saya lebih baik bungkam kamu saja kalau kamu tidak mengendalikannya?" Ucapan disertai ancaman intimidasi itu selalu muncul dalam kehidupan harian Pak Joko. Ia sejujurnya sudah kenyang akan ancaman itu yang merupakan konsekuensi dari tugasnya yang berat, yang membuat ia rela menjadikan gedung itu sebagai atap rumahnya dan jauh dari keluarga.
***
Riki berlari kencang kemudian perlahan merayap-rayap di atas tanah untuk menghindari lampu sorot dari para robot yang berjaga di mercusuar. Setelah itu merapat pada sebuah tembok lalu melewati mercusuar dengan cepat ala ninja. Jantungnya cukup berdetak kencang saat melakukan banyak transisi gerakan tersebut. Setelah melewati mercusuar di hadapannya kini terdapat sebuah tanah lapang kosong yang bagi kebanyakan orang itu memang cuma tanah lapang kosong. Tetapi tidak bagi Riki. Di balik itu ada sesuatu.
Ia segera berkomunikasi via mikrofon di dekat mulutnya dengan seseorang yang sedari tadi memandunya, Bambang, yang berada di sebuah mobil operasi, dengan jarak 5 kilometer dari tempat Riki berada.
"Sekarang, bro!" Ujarnya singkat. Bambang yang mendengar itu via transmisi di dalam mobil yang ia jadikan sebagai ruang kendali, yang di dalamnya ada TV layar datar untuk memantau Riki via kamera yang terpasang di tubuh, laptop, dan gawai lainnya segera berkata,
"Oke, bro!" Lalu tangannya menari di atas tuts laptop, memunculkan sebuah enkripsi di layarnya yang kemudian memencet enter.
Perlahan dari pencetan itu muncullah sebuah bangunan di balik sebuah lapangan besar. Sebuah bangunan besar yang di dalamnya menyimpan benda yang Riki ingin membebaskannya, Banaspati. Dengan semangat yang cukup besar dan membara, Riki percaya bahwa yang selama ini dikatakan oleh Sang Martil dan para pendahulunya di Angkasapura, terutama Ratu Adil, tidaklah benar.
Banaspati adalah sosok yang sebenarnya baik dan ksatria. Ia sebenarnya adalah sosok pelindung Angkasapura. Namun bagaimana bisa ceritanya ia jadi jahat?
Ketika Angkasapura dibangun untuk menggantikan Bumipura yang tenggelam karena banjir, Ratu Adil, sang pendiri Angkasapura, meminta bantuan Banaspati untuk menghidupkan seluruh mesin pembakaran yang ada di Angkasapura supaya negeri ini tetap bisa terbang dan melanjutkan kehidupan. Energi pembakaran untuk mesin utama ini sangat penting dan vital. Apalagi Ratu Adil tahu api dari Banaspati sangatlah abadi sehingga ia ingin Banaspati tetap di Angkasapura.
Akan tetapi, Banaspati menolak karena ia harus segera kembali ke Bumipura yang walaupun sudah tenggelam ia akan coba tinggal di atasnya sekadar menerangi laut bekas Bumipura yang gelap gulita, dan kebetulan juga di atas Bumipura yang tenggelam dibangunlah sebuah negeri bernama Samudrapura yang negerinya dilindungi oleh sebuah kaca supertebal anti air laut yang tekanannya tinggi. Nah, di Samudrapura itu tinggallah Roro Kuning sebagai penguasanya, dan Banaspati menjalani hubungan asmara dengan wanita cantik yang selalu bersinar ini.
Tindakan ini sebenarnya tidak disukai oleh Ratu Adil yang secara kebetulan menyukai juga Roro Kuning.
Karena itulah, Ratu Adil dan Banaspati berselisih sehingga mereka pun bertarung di Angkasapura selama 7 hari 7 malam. Keduanya pun melancarkan amuk membuat Angkasapura kacau balau. Lalu Ratu Adil meminta bantuan Pak Joko untuk bisa mengalahkan Banaspati dengan menyedotnya memakai penyedot listrik untuk menarik unsur apinya sehingga terperangkap dalam kaca tebal anti api. Sejak itulah, dibuatlah narasi jika Banaspati adalah pengacau dalam buku-buku sejarah Angkasapura. Semua budi baik Banaspati dihapus, dan dibuat narasi bahwa Angkasapura adalah negeri yang makmur. Kenyataannya sebaliknya.
Riki tahu betul soal kebohongan itu dari cerita ibunya yang menjadi korban kebohongan rezim Ratu Adil dan para penerusnya termasuk Sang Martil. Tidak ada yang namanya kebebasan. Semuanya semu. Supremasi sipil selalu terancam. Senjata ada di mana-mana. Memamerkan moncongnya ke setiap hidung yang lewat sehingga selalu ada was-was. Karena itu, Riki ingin membebaskan Banaspati supaya kebenaran yang sebenarnya terungkap meskipun itu tidak mudah karena mereka yang ingin membebaskan Banaspati pasti akan selalu dihapus atau dihilangkan oleh rezim.
"Ingat, Nak, manusia itu hidup untuk memerdekakan dirinya sendiri, dan bukan diperbudak orang lain. Jadilah selalu manusia yang berguna untuk orang lain. Jangan pernah manfaatkan kelebihanmu untuk mencelakakan atau memperbudak orang! Itulah hakikat manusia sejati yang selalu merdeka!"
Begitulah ucapan yang selalu ia ingat dari ibunya yang diam-diam dalam keheningan selalu memuja Banaspati, dan berharap makhluk itu segera dibebaskan.
***
Riki kini berhasil memasuki sebuah lorong panjang berangin dan dingin yang mengarah pada ruangan Banaspati berada. Ia berjalan pelan berdasarkan peta layar virtual yang muncul dari jam di tangannya. Kata Bambang yang berada di ruang kendali, tidak ada robot yang lalu lalang di sekitar situ. Dan, berdasarkan kata Bambang itu ia juga bergerak.
***
Pak Joko sedang berdiri memandangi Banaspati yang semakin semakin membesar apinya. Meski tertutup sekam tampak bara itu begitu menyala. Mengalahkan dinginnya ruangan penyimpanannya.
"Saya sebenarnya sudah muak bekerja untuk kebohongan ini," katanya pada Banaspati, "Saya rasa ingin keluar dari sini! Percuma harta melimpah jika saya bekerja tidak berdasarkan hati nurani,"
Banaspati yang mendengar keluhan dan curahan itu segera menanggapi dengan suaranya yang bergetar,
"Kalau begitu kau lepaskan aku. Kau bisa bebas, aku juga. Aku akan buat perhitungan dengan Si Martil, dan semua kebohongan ini harus diakhiri"
"Tetapi..." tampak ada rasa bingung dan bimbang di wajah Pak Joko, "Saya bingung habis ini mau kemana?"
"Kau tak perlu bingung, "kata Banaspasti mencoba menghapus kebimbangan yang ada pada Pak Joko, "Kau bisa ikut denganku ke Samudrapura. Di sana lebih menjanjikan di sini. Roro Kuning sudah mengatakan itu berulang kali padaku via teleportasi. Dia sudah tahu kondisi Angkasapura yang bobrok,"
"Tetapi..." Pak Joko masih merasa bimbang. Pikirannya ribet. Hal ini yang tidak disukai Banaspati.
"Kalau mau revolusi, jangan ada kata "tetapi"!" katanya marah, "Kalau ada "tetapi" lebih baik jangan revolusi!"
Pak Joko pun terdiam. Banaspati pun berbicara lagi.
"Sebentar lagi akan ada anak yang membebaskanku. Ibunya adalah seorang pemujaku. Kau jangan halangi, dan bantulah dia supaya kau juga bebas dan keluar dari sini!"
Pak Joko ngeh ketika ada orang yang akan membebaskan Si Banaspati. Senyum pun mengembang di mukanya. Ia lalu mempersiapkan sesuatu supaya segalanya berjalan lancar. Kini ia pun yakin akan jalan yang ditempuh.
Beberapa menit kemudian masuklah Riki melalui sebuah sensor yang jauh-jauh hari ia ambil dari robot yang ia dan Bambang berhasil amankan. Pak Joko yang mengetahui hal itu sesuai instruksi Banaspati tidak menghalangi tetapi menyambut Riki. Banaspati lalu gembira dengan kedatangan Riki.
Mereka lalu bekerja sama untuk bisa membebaskan Banaspati. Pak Joko segera mengutak-atik tombol di tutsnya yang berisi program destruksi kaca yang mengurung Banaspati sementara Riki mengeksekusi dengan melepas kabel penghubung ke kaca. Tak lama kemudian kaca itu pun terbuka. Banaspati yang berupa api itu keluar kemudian mengecil seukuran manusia dewasa. Ia lalu menoleh kepada Riki dan Pak Joko lalu mendekati kemudian berkata,
"Terima kasih sudah membebaskan saya!" Katanya senang. Api tampak berkobar di seluruh tubuhnya hingga terang dan membuat Riki dan Pak Joko silau sehingga harus memakai kacamata khusus.
"Sekarang pergilah kalian ke Samudrapura," katanya melanjutkan, "Bilang pada Roro Kuning bahwa saya sudah bebas, dan kini saya akan membereskan Sang Martil,"
Ia lalu mengubah dirinya jadi besar kemudian melelehkan tembok dengan api di tubuhnya. Ia pun terbang menembus malam yang gelap dan kelam serta hanya bersinarkan lampu-lampu neon pada gedung-gedung bertingkat.
"Sekarang bara api itu sudah keluar dari sekam," kata Pak Joko setelah itu, "Kebenaran akhirnya akan terungkap,"
Pak Joko dan Riki segera keluar dari gedung lewat jalan rahasia. Mereka berdua segera menuju ke mobil yang jaraknya 5 kilometer dari gedung. Di saat itulah, dari kejauhan, saat mereka berjalan, sebuah gedung tinggi putih yang berwarna neon di malam hari, dan merupakan tempat tinggal Sang Martil terbakar hebat hingga menerangi langit.
"Revolusi sudah dimulai, Pak!" kata Riki terpukau dan senang. Begitu juga Pak Joko,
"Janji juga sudah ditepati, Nak!"
Di langit malam yang kelam terdengar suara-suara ketakutan dan kematian yang melayang-layang bersamaan dengan api yang membakar hebat dan asap yang membumbung tinggi. Suara itu kemudian lenyap ditelan cakrawala. Meteor yang kebetulan lewat jadi saksi bisu.
0 komentar:
Posting Komentar