Pages

Kamis, 17 Juni 2010

Pintaran Juga Pohon

Matahari terbit. Matahari terbenam. Ah, bagiku itu sudah biasa. Terbit matahari. Terbenam matahari. Ah, bagiku itu sudah biasa juga. Yang tidak biasa adalah matahari terbenam. Matahari terbit. Nah, ini pun juga tidak biasa. Terbenam matahari. Terbit matahari. Ketika ini terjadi pun akhir dari dunia sudah mendekat dan jawaban yang didapat adalah kehancuran. Tetapi, yang kulihat ini hari ini matahari masih saja normal. Terbit dari timur terbenamnya di barat dan bukan sebaliknya. Malah tadi sebelum terbit ia malah menyunggingkan senyum manis padaku. Seperti anak perawan saja. Kalau begitu aku sebagai anak jejakanya. Sudah jelas orang akan mengatakan aku adalah bulan. Ah, siapa bilang? Bulan saja aku tidak kenal. Aku cuma kenal matahari walaupun bisa dibilang sok kenal sok dekat.

Apakah matahari memang setiap hari selalu tersenyum padaku ketika mengeluarkan sinarnya? Mana aku tahu. Aku saja terkadang melihat wajahnya. Wajah yang penuh dengan kekuning-kuningan cerah. Kekuning-kuningan ini kalau ditangkap orang lewat sebuah gambar lukisan atau foto akan terlihat indah. Memang betul dia indah. Tetapi, tak selamanya juga indah. Coba saja telusuri keindahannya sampai mendapatkan kebenarannya. Walhasil, bukanlah indah yang didapat tetapi dengan apa yang disebut hancur. Hancurnya pun tak tanggung-tanggung. Langsung begitu saja alias tanpa kompromi.

Ah, sudahlah jangan terlalu membahas dia. Tak baik. Begitu kata orang tua dulu. Nanti yang ada malah kita kena dosa atau malah dia yang gede rasa karena suka dibahas-bahas. Ya, seperti gosip saja. Selalu dibahas berulang-ulang hanya untuk sesuatu yang ecek-ecek alias tidak penting. Biarlah matahari tetap seperti itu. Seperti adanya dia. Jangan diubah-ubah seperti perangkat mainan rakitan yang bisa dengan gampang dilepas lalu dipasang kembali.

Udara memang cukup segar untuk dinikmati. Cukup halus juga untuk dicumbui. Tetapi tak cukup untuk bisa dimaknai sebab dia dingin. Apa kau tak tahu dia bisa seenaknya saja lewat menghampiri diriku lalu mengubah dirinya seenak perutnya. Bisa saja dia bersahabat tetapi nantinya malah sebaliknya. Bukan hanya aku yang mengalami hal seperti ini tetapi yang lainnya juga. Cuma aku belum tentu tahu apa suara mereka sepertiku. Bisa saja suara mereka berlainan.

“Sepertinya kau senang sekali yah kalau dia lewat?” tanya Sunpi, tetangga sebelahku tiba-tiba.

“Dia siapa?” tanyaku heran.

“Siapa lagi kalau bukan si angin,” kata Sunpi yakin.

“Angin?” tanyaku heran kembali, “Apa maksudmu angin? Aku saja tidak mengerti,”

“Kau ini pakai berpura-pura segala. Ini yang barusan lewat,”

Aku tertawa lalu berkata,

“Kau bilang dia angin,” kataku, “Angin apa? Dia itu udara tau,”

“Udara nenek moyangmu!” kata Sunpi tak terima, “Jelas-jelas itu angin,”

“Apa alasannya kau bilang dia angin?” tanyaku kembali.

“Karena dia menghembus lalu berlalu,” kata Sunpi yakin.

“Apa karena menghembus dia disebutnya angin?” ejekku.

“Kalau kau sendiri kenapa sebut dia udara?” tantang Sunpi.

Lalu kujawab dengan yakin,

“Karena dia menggawangi kita semua sejak dari pagi,”

Kali ini malah Sunpi yang tertawa,

“Menggawangi? Kau pikir sepakbola memangnya? Ada-ada saja kau,”

Kemudian datanglah sebuah suara dari sebelah ketika kami sedang berdebat,

“Aduh apa ini?” tanya Aramce, tetangga di sebelahku juga, “Pagi begini sudah ribut?” kayak ibu-ibu saja,”

“Hei, kau Aramce,” kata Sunpi lalu menunjukku,”Kau tahulah teman kau ini,”

“Kenapa memang Swidele,” kata Aramce menyebut namaku.

“Masa dia bilang yang barusan tadi lewat di depan kita-kita ini disebutnya udara. Padahal itu angin,”
kata Sunpi.

“Lho, memang apa yang tadi barusan lewat?” tanya Aramce heran.

“Ah, kau bodoh juga, kawan,” kata Sunpi sedikit jengkel, “Ya angin tau! Apa kau tidak merasakan?”

“Merasakan apa?” tanya Aramce heran, “Wong tadi aku tidur,”

“Pantas! Kau ini kerjanya tidur melulu. Ah, rugi aku ngomong sama kau…eh, sama kalian berdua,”

“Yang ada aku juga rugi,” kataku.

“Aku juga lho,” kata Aramce ikut-ikutan.

“Kau seperti bebek saja, Aramce,” kata Sunpi.

“Sudah-sudah,” kataku menengahi, “Lebih baik kita perhatikan saja ke di bawah kita daripada ribut-ribut terus. Siapa tau ada yang seru,”

“Maksudmu wanita?” tanya Sunpi, “Sudah pasti itu seru tanpa dibilang,”

“Dasar Sunpi kalau sudah hal begitu nyambung,” sindir Aramce.

“Wajarlah,” kata Sunpi, “Namanya juga hidup,”

“Apa kalian berdua sudah bisa disudahi?” tanyaku.

Mereka berdua lalu diam dan ikut bersamaku melihat keadaan di bawah. Di bawah sana terdapat selintas jalan beraspal abu-abu yang lurus tetapi kemudian berkelok-kelok seperti alur sungai dan kemudian menanjak lalu menurun curam. Di atasnya melintas satu-dua mobil dengan jarak yang berjauhan. Yang satu sepertinya mobil sedan abu-abu yang tampak elegan dan bersih karena sering dicuci dan dibelakangnya yang berjauhan mobil pick-up bak terbuka warna hitam yang belakangnya diberi terpal dan di sisi kiri dan kanan terdapat banyak orang yang menumpang. Mereka berjalan kencang di lintasan lurus tetapi begitu menghadapi tanjakan dipelankan dan ketika menghadapi turunan dilepas begitu saja remnya. Untung tidak ada yang ke jurang.

“Apa ini?” tanya Sunpi, “Ini semua sudah jadi hal biasa buat kita kalau mereka sering lalu-lalang di sekitar kita,”

Aku diam saja. Tak kuhiraukan ucapannya. Perhatianku tetap tertuju pada yang di bawah. Sampai akhirnya aku menemukan sesuatu yang mencolok. Ini bukan biasanya.

“Coba sekarang lihat ke bawah ke serong kanan,” kataku pada Sunpi dan Aramce.

Mereka langsung mengikuti kataku. Lalu terkejutlah mereka. Aku juga demikian.

Di bawah sana terlihat sekitar 4 orang berjalan perlahan menyusuri lintasan. Empat orang yang komposisinya tak seimbang. Yang satu gendut, yang satu setengah gendut, dan yang duanya lagi kurus. Mereka berjalan sambil berbicara lalu teriak-teriakkan. Sepertinya agak menyesali sesuatu. Ketika merasa haus dan lapar karena kecapekan salah satu di antara mereka membuka tas lalu memakan roti dan meminum seteguk air dari botol Aqua besar. Roti itu dimakannya perlahan begitupula Aqua. Jika Aqua jatuh tamatlah riwayatnya. Yang lain juga demikian. Lalu mereka ngos-ngosan dan berhenti sambil menyalahi satu sama lain. Ketika mereka seperti itu beberapa mobil lewat dan tampaknya orang-orang di dalamnya tertawa-tawa geli melihat tingkah konyol mereka.

Kami pun juga demikian,

“Bodoh sekali mereka,” kata Sunpi setelah itu, “Sudah jalan ke atas jauh tetap jalan juga. Tidak mikir apa kan sudah ada mobil,”

“Iya, bodoh sekali,” kata Aramce membeo.

“Aduh, kenapa mereka harus seperti ini?” tanyaku heran kemudian, “Memangnya jalur ini gampang untuk dilewati? Sudah tahu berkelok-kelok. Apa mereka tidak tahu?”

“Ah, mana mungkin,” kata Sunpi, “Mereka pasti sudah tahu. Lagipula penjaga di gerbang sana sudah pasti juga memberitahu,”

“Iya, memberitahu,” kata Aramce tetap membeo, “Weleh-weleh nanti Si Putih bakal tertawa-tawa melihat ini,”

Aramce lalu tertawa. Sunpi mengikuti. Akhirnya aku.

“Memang terkadang tidak selamanya manusia itu pintar,” kataku, “Buktinya ada yang bodoh sekali rela berjalan untuk menemui Si Putih. Pintaran juga pohon,”

Mereka berdua hanya mengiyakan sambil tetap tertawa-tawa sementara yang di bawah tetap saja berjalan sambil berkata yang tidak jelas dan saling menyalahkan. Entah sampai kapan.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran