Pages

Minggu, 07 April 2013

Sejuk-Kental Toleransi di Cangkuang


Hujan turun begitu deras. Seketika juga semuanya bubar mencoba mencari tempat berlindung meski terlihat 1-2 orang tidak beranjak. Mungkin menganggap hujan itu berkah. Ada baiknya harus dinikmati. Di depan mereka yang nampak menikmati hujan, bangunan itu tetap berdiri tegak. Pasrah menerima hujan dari Sang Pencipta.

Hujan itu bisa dibilang, bagi bangunan itu, mungkin sudah ribuan kali. Hujan itu bisa dibilang juga sudah menjadi teman akrab. Tetapi tidak bagi para pengunjung yang senantiasa datang untuk melihatnya. Bangunan itu, Candi Cangkuang, terlihat begitu tabah dan gagah ketika hujan datang menerpa dia dan sekitarnya. Air langit merambah setiap celah-celah bangunannya yang berbatu kemudian menetes ke tanah. Batu-batu nampak begitu mengilap terterpa hujan yang masih disertai sedikit sinar matahari. Batu-batu mengilap itu juga terlihat di makam seseorang yang dipercaya oleh warga sekitar candi dan juga si penjaga candi sebagai penyebar Islam di Cangkuang.

Cangkuang merupakan sebuah candi yang terletak di Kampung Pulo, Desa Cangkuang, Leles, Garut, Jawa Barat. Berada di atas sebuah bukit dan dikelilingi sebuah situ yang juga diberi nama sesuai tempat, membuat Cangkuang menjadi sebuah candi yang letaknya begitu unik. Dahulu, menurut Jiji, sang juru kunci, wilayah sekitar candi merupakan pulau. Situ yang berada di dekat candi mengelilingi sampai wilayah belakang candi yang di situ terdapat kompleks pemakaman umum. Namun seiring berjalannya waktu, situ bagian belakang itu banyak ditumbuhi tanaman air, dan akhirnya mendangkal. Maka, tak salah jika kampung di sekitar candi yang dipercaya sebagai tempat tinggal penduduknya disebut sebagai Kampung Pulo.

Berbicara mengenai Candi Cangkuang, tentu berbicara mengenai keunikannya. Bagaimana tidak ternyata di samping candi Hindu ini ada sebuah makam penyebar Islam.  Embah Dalem Arief Muhammad, nama penyebar Islam itu. Asalnya dari Mataram Islam. Datang ke Cangkuang karena malu pulang ke Mataram setelah gagal mengusir VOC di Batavia. Begitu kata Jiji lagi pada saya. Memang pada masa ketika sang penyebar Islam ke Batavia, Mataram Islam diperintah oleh Sultan Agung Hanyarakusuma yang kadung terkenal dan diangkat menjadi salah satu pahlawan nasional di republik ini. Pada masanya ia begitu berang ketika tahu ada VOC di Batavia. Kehadiran VOC sama saja menggangu kekuasaannya sebagai penguasa Pulau Jawa ketika itu, dan juga maskapai dagang multinasional asal Belanda ini pasti akan menguasai Jawa dalam waktu dekat. Maka, diseranglah VOC dalam dua kali penyerangan. Sayang, semua gagal. Apalagi ada perintah dari sultan bahwa kegagalan sama saja malu dan pantas mendapatkan hukuman mati. Akibat titah itu, banyak punggawa Mataram yang ogah kembali ke Mataram dan malah menetap di wilayah-wilayah yang aman. Nah, Cangkuang salah satunya.

Sejarahnya, ketika sang penyebar Islam datang, warga di Cangkuang masih menganut agama Hindu. Melihat itu, Embah Arief Muhammad berniat mengislamkan penduduk, namun dengan cara-cara yang halus. Maka, diikutilah kebiasaan-kebiasaan penduduk di situ dengan memasukkan ajaran-ajaran Islam hingga kemudian penduduk di Cangkuang memeluk Islam. Naskah-naskah nahwu-shorof yang berada di museum dekat candi bisa menjadi bukti penyebaran Islam itu selain makam. Naskah-naskah itu berasal dari abad ke-17. Awalnya berada di rumah-rumah penduduk yang merupakan rumah-rumah adat. Di rumah-rumah adat itu, karena sakralnya, naskah-naskah itu disimpan di atas genteng.

Toleransi memang begitu kental di Cangkuang. Saya sempat tanyakan lagi pada Jiji mengenai hal itu. Di Cangkuang memang semuanya Islam, namun tetap ada yang memegang adat lama yang berasal dari masa pra-Islam. Hal yang demikian ini masih terlihat ketika ada ritual pemandian benda pusaka saat tanggal 14 Maulud. Ritual ini sebelumnya diawali dengan zikir di makam Embah Arief Muhammad. Jiji menyatakan, amat sulit bagi penduduk setempat melepaskan hal-hal tersebut meskipun hal yang demikian dilarang dalam Islam. Ia mengibaratkannya seperti seorang anak yang berpisah dari orangtuanya lalu membawa kepribadian dalam keluarganya. Ketika di dalam keluarga lain, otomatis ia juga harus menyesuaikan dengan kepribadian keluarga tersebut supaya tujuannya tercapai.

Konon, menurut cerita, candi yang berada di lokasi itu jumlahnya tidak hanya satu, tetapi delapan. Kata Jiji lagi kepada saya bahwa yang tujuh itu entah kemana. Apa secara legenda dilenyapkan oleh sang Embah ke dalam tanah atau malah hilang karena pengaruh alam. Memang, ada legenda yang mengatakan ketika candi dibangun, tepatnya abad ke-8, oleh seorang pemuka Pajajaran, salah seorang abdinya menyatakan tidak setuju sebab candi-candi itu akan runtuh oleh agama baru. Ya, candi Cangkuang ini dibangun pada abad ke-8, dan oleh para arkeolog yang menemukannya disebut sebagai candi pengisi kekosongan sejarah antara Tarumanegara dan Pajajaran.

Yang pertama kali menemukan dan meneliti candi ialah Uka Tjandrasasmita dari UI. Penemuan itu berdasarkan laporan dari Vorderman dalam Notulent Bataviaasch Genootschap bertahun 1893. Laporan itu menyebutkan adanya arca Syiwa dan sebuah makam kuno. Ketika diketemukan, arca syiwa dan makam memang ada, namun ditemukan juga reruntuhan bangunan. Atas dasar tersebut muncul asumsi bahwa reruntuhan bangunan itu pastilah merupakan bangunan candi. Maka dilakukalah penelitian dan pemugaran pada 1960-an hingga 1970-an. Candi Cangkuang pun menjadi candi pertama yang ada di Jawa Barat. Namun mengenai bentuk bangunan, ketika dilakukan penelitian dan pemugaran hanya 40% yang berasal dari batuan asli candi sehingga dilakukanlah pemugaran dengan batuan-batuan lain dan adukan semen. Ini menyebabkan struktur bangunan di Cangkuang ini tidak sepenuhnya asli. Menanggapi hal itu, Jiji sembari menunjuk kepada makam yang berada di belakang museum mengatakan, “Ya batu-batu itu kebanyakan dipakai oleh penduduk untuk dijadikan nisan. Kan penduduk nggak tahu itu batu candi atau bukan.”

Meskipun ada unsur rekayasanya, tetaplah Candi Cangkuang menjadi bangunan yang enak dan elok dipandang. Bersanding dengan hijaunya pepohonan di sekitarnya. Membuat yang melihatnya merasakan kesejukan dan kedamaian hati. Suara-suara burung makin menambah kesyahduan itu. Angin yang berembus dari gunung-gunung sekitar candi seperti Haruman, Guntur, Kaledong, dan Mandalawangi membuat suasana menjadi ayem dan tenang. Penat pun seakan lepas. Meskipun, dalam keadaan itu, saya tidak melihat sama sekali pohon cangkuang (Pandanus furcatus) yang menjadi asal muasal penamaan tempat.



Hujan pun reda. Keadaan seperti sediakala. Angin tetaplah berembus. Di bawah bukit terlihatlah 1-2 rakit menepi di pinggiran situ sementara beberapa orang sedang menikmati memancing ikan. Di bawah bukit itu juga tampak anak-anak kecil bermain pedang-pedangan di pasar yang menjual oleh-oleh. Senyum polos begitu terpancar di wajah mereka. Begitu indah. Seindah toleransi di Candi Cangkuang.


0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran