Pages

Senin, 30 September 2013

Angkor Wat: Yang Tersisa dari Kejayaan Khmer



Langit masih terlalu gelap untuk dilihat dan dipandang. Gelapnya langit juga berpengaruh pada keadaan di bawahnya. Padahal, ini sudah jam 5 pagi. Suasana seperti malam masih terasa. Begitulah yang saya rasakan ketika saya keluar hotel. Angin berhembus pelan. Rasa dingin menyelimuti. Tapi, itu bukanlah halangan ketika saya, adik saya, dan teman saya meniatkan pergi ke Angkor Wat pada pagi yang masih gelap itu. Mendengar kata 'Angkor Wat' semua akan langsung menyahut Kamboja, negara tempat candi itu berada. Saya memang sedang berada di Kamboja, tepatnya di Siem Reap, kota yang dianggap tepat menuju Angkor Wat, warisan budaya Kamboja yang sudah begitu mendunia dan menjadi warisan dunia versi UNESCO sejak 1992.



Begitu saya, adik saya, dan teman saya masuk ke taksi yang kami pesan, keadaan yang sangat gelap itu masih terasa sampai kami di Angkor Wat. Dengan membayar 20 dolar Amerika per orang untuk satu hari kunjungan, kami dipotret satu per satu untuk dimasukkan ke dalam tiket masuk. Perlu diketahui, Angkor Wat adalah candi yang teramat besar dan luas sehingga satu hari berkeliling pun tidak akan cukup. Karena itu, tiket masuknya juga bervariasi. Ada yang dua hari, ada yang satu minggu. Bervariasi tiket, bervariasi juga harganya. Yang dua hari mencapai 40 dolar AS, sedangkan yang satu minggu bisa mencapai 60 dolar AS. Cara berkelilingnya pun tidak melulu jalan kaki. Bisa juga dengan sepeda, taksi, tuk-tuk---sejenis bajaj, atau helikopter. Itulah yang saya baca ketika hendak mengunjungi salah satu warisan dunia ini. Kebetulan kami memilih taksi untuk berkeliling. Taksi ini yang juga sehari sebelumnya mengantar kami dari bandara Siem Reap. Sopirnya, Bora, seorang Khmer, dengan raut wajah sedikit sipit, bagi saya seorang yang ramah dan bersahabat. Kemampuan berbahasa Inggrisnya yang lancar dan mudah dipahami membuat kami bisa dengan mudahnya berkomunikasi.  Boralah yang menawarkan diri berkeliling Angkor Wat seharian dengan harga 40 dolar AS. Cukup mahal memang bagi seukuran kami yang datang dengan uang pas-pasan. Alhasil, kami pun patungan. Tak apalah mahal yang penting kami dapat transportasi buat mengantar. Lagipula, di Siem Reap, ketika membaca buku panduan ke Kamboja, bahwa hotel-hotel di sana terhubung satu sama lain dengan moda transportasinya. Dan itu benar.

Usai membayar tiket masuk dan mendapat kartu sebagai validasi, kami langsung menuju ke Angkor Wat. Bora memberhentikan kami lalu menunjuk ke tempat orang-orang yang sedang berjalan dengan senter. Kami segera ikuti petunjuk dari dia dan mengikuti orang-orang bersenter itu berjalan. Usai dicek kembali oleh barisan petugas yang menyambut turis, masuklah kami ke candi Hindu terbesar di Asia Tenggara itu. Meski gelap, tetapi siluet menara candi terlihat. Rasa tak percaya membuncah sekaligus bercampur rasa bangga. Angkor Wat yang saya biasa lihat di televisi dan hanya tahu dari Tomb Raider tiba-tiba saja saya jejakkan.

Kompleks Candi Terbesar di Asia Tenggara dan Identitas Nasional
Angkor Wat adalah sebuah candi, tetapi juga kompleks bangunan keagamaan yang pada awalnya Hindu lalu berganti menjadi Buddha. Candi Angkor Wat yang merupakan bagian dari kompleks Taman Arkeologi Angkor merupakan candi yang dibangun oleh raja Suryawarman II pada awal abad ke-12 Masehi. Angkor Wat, yang dalam bahasa Khmer berarti kota besar, juga merupakan identitas nasional Kamboja. Hal itu yang diperlihatkan di dalam bendera negara tersebut.

Ketika menjejak kaki di Angkor Wat, saya jadi teringat bahwa hampir semua struktur bangunan di Angkor Wat terpengaruh oleh Jawa. Apa pasal? Salah satu raja dari Kemaharajaan Khmer, kemaharajaan yang membangun Angkor dan seisinya, Jayawarman II, dalam sejarah pernah tinggal beberapa lama di Jawa. Ketika itu Jawa sedang diperintah oleh Dinasti Syailendra, dinasti yang mahsyur dengan pembangunan Borobudur, candi Buddha terbesar di Asia Tenggara. Keberadaan sang raja di Jawa juga tidak terlepas dari kebijakan politik Jawa yang menjadikan Khmer sebagai bagian dari Jawa. Hal yang demikian membuat sang raja ketika kembali ke Kamboja, membangun beberapa candi dengan terpengaruh ala Jawa. Kemiripan struktur dan relief antara beberapa candi di Taman Arkeologi Angkor dan Borobudur itu pun pernah diteliti dalam sebuah seminar.



Ketika saya melihat candi itu dari kejauhan, sekedar melihat matahari terbit, yang nyatanya tidak muncul karena mendung, saya melihat beberapa menara menjulang dari candi itu. Di depan candi terbentang sebuah danau teratai. Persis seperti yang saya lihat di televisi. Kemudian ketika masuk ke candi dengan menaiki tangga kayu buatan untuk melapisi tangga asli yang curam, candi itu terlihat sedang direstorasi pada bagian depannya. Tampak di situ ada beberapa biksu berdoa. Layaknya candi-candi, sudah pasti ada relief. Begitu juga di Angkor Wat yang terpampang relief yang berkisah mengenai Mahabhrata dan Ramayana. Tentu dengan ala Kamboja. Angkor Wat memang candi yang besar dan luas. Berbeda dengan Borobudur, candi ini bersifat tertutup dengan adanya lorong panjang beratap yang membentuk sebuah rumah panjang. Bisa dipastikan, di Angkor Wat, kita pun bisa mengelakkan diri dari cuaca panas atau hujan lalu duduk-duduk di pelatarannya.

Yang membuat kami terheran-heran kenapa tangga di candi itu begitu suram. Berbeda dengan Borobudur atau candi-candi lainnya di Indonesia. Apalagi menara-menara candi itu seperti Prambanan. Apa karena ini candi Hindu jadi seperti itu strukturnya.

 
Angkor Wat hanyalah sekian dari candi-candi yang tersebar di Taman Arkeologi Angkor. Seperti namanya, dia merupakan tempat pemujaan sekaligus pusat kekuasaan raja sebab dibangun di ibu kota kemaharajaan Khmer, Yasodharapura. Keberadaan Angkor Wat dan situs-situs lainnya di Kamboja diketahui dimulai ketika pada akhir abad ke-19, beberapa arkeolog Prancis melakukan penggalian mengenai situs-situs bersejarah yang berada di dekat Siem Reap. Tak lama kemudian setelah berhasil direstorasi, Angkor Wat dibuka untuk umum dengan beberapa turis Prancis sebagai pengunjungnya. Keberadaan situs arkeologi itu tak pelak mempengaruhi Siem Reap, sebuah kota kecil yang awalnya hanyalah permukiman kumuh. Dibangunlah akomodasi dan jalan-jalan untuk mempermudah akses ke Angkor Wat. Akibatnya, Siem Reap pun menjadi kota yang berkembang cepat menjadi kota pariwisata dan gerbang ke Angkor Wat. Jarak dari kota itu kompleks candi hanya sekira 5,5 kilometer.

Puncak Kejayaan Khmer
Angkor Wat sendiri merupakan sebuah puncak prestasi peradaban yang dilakukan Kemaharajaan Khmer. Dalam sejarah Kamboja, Kemaharajaan Khmer merupakan kemaharajaan paling berpengaruh di negeri dan juga di Indocina. Indocina pada masa-masa kemaharajaan ini dikuasai dan disatukan. Kekuasaan Kemaharajaan Khmer membentang dari dari Myanmar hingga Thailand. Kemaharajaan ini berbatasan dengan Kerajaan Sriwijaya di utara Semenanjung Melayu, Champa dan dinasti Tang di timur, Haripunjaya dan Mon di barat. Dalam sejarahnya, kemaharajaan ini memang mempunyai hubungan politik dan perdagangan dengan Jawa dan kemudian Sriwijaya. Beberapa raja yang terkenal selain Jayawarman II dan Suryawarman II adalah Indrawarman I yang memulai ekspansi Angkor, Yasowarman I yang membangun Yasodharapura. Hampir semua candi di kawasan Angkor dibangun oleh raja yang sedang berkuasa. Candi Angkor Thom atau Bayon dibangun oleh Jayawarman VII. Sedangkan Baphuon dibangun oleh Jayawarman VIII. Begitulah info yang kami dapatkan dari Bora kala kami bertaksi dari satu candi ke candi lainnya. Perlu diketahui jarak tiap candi bisa 2-5 kilometer sehingga transportasi beroda merupakan alternatif yang tepat untuk berkeliling.

Hujan turun cukup deras pada hari kami mengelilingi kawasan Angkor. Maklum, bulan September. Bulan yang tepat untuk turunnya hujan sampai Oktober. Wajar jika di bulan ini bisa dibilang bulan low-season atau bulan minim turis. Dipastikan berkeliling Angkor akan menghadapi tanah becek akibat hujan. Itulah juga yang kami alami ketika berjalan ke Angkor Thom kemudian berjalan menembus hutan sampai Teras Gajah-Gajah. Cukup melelahkan. Namun juga mengasyikkan. Ketika berkeliling sampai ke Teras Gajah-Gajah inilah, seperti halnya di Indonesia, ada anak kecil yang merengek-rengek meminta turis membeli barang dagangannya. Saya jadi teringat panduan di Lonely Planet dan beberapa situs internet, lebih baik jangan membeli barang-barang yang diperjualbelikan. Ada baiknya memberi anak kecil itu buku atau alat tulis sebab itu berguna untuk pendidikan mereka daripada uang yang ujung-ujungnya bisa membuat mereka terus mengemis. Dan memang ada beberapa turis yang memberikan buku dan alat tulis. Saya sendiri dan lainnya sih menolak halus.

Sehabis dari Teras-Teras Gajah, perjalanan dilanjutkan ke dua candi yang saya tidak tahu namanya. Meskipun Bora sudah memberi tahu tetap saja susah diingat sebab asing di telinga. Barulah setelah itu ke Ta Keo yang sedang direstorasi lalu berlanjut ke Ta Promh, tempat lokasi syuting Tomb Raider, dan terakhir Banteay Kdei.

Perjalanan mengelilingi kompleks Angkor berakhir pada pukul setengah 4 sore setelah kami mengawalinya pada jam 5 pagi. Sekali lagi, cukup melelahkan perjalanan ini tetapi setidaknya kami puas. Bisa berkunjung ke salah satu situs warisan dunia yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Mungkin seperti mimpi. Menyaksikan sisa-sisa kejayaan Kemaharajaan Khmer yang tetap membisu meski zaman berganti sampai Khmer pun hanya dikenal sebagai Kamboja, sebuah negara kecil di Teluk Thailand, yang kemudian mengalami penjajahan Prancis, Jepang, perang sipil, masa Khmer Merah, invasi Vietnam, sampai akhirnya menjadi seperti sekarang ini, negara yang sepertinya harus menanggung kemiskinan dan trauma akibat perang sipil. Pariwisata hanyalah menjadi alat penghibur semata.

Dari kejauhan, hujan yang tetap turun itu terlihat tidak segan-segan menumbuk sisa-sisa batu-batu kejayaan Kemahajaraan Khmer itu. Kemaharajaan itu akhirnya runtuh pada 1463 setelah konflik internal, wabah penyakit, serangan Kerajaan Ayutthaya dari Thailand, dan kerusakan lingkungan di Angkor.





0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran