Pages

Rabu, 05 Februari 2014

Buaya


Udin lari tergopoh-gopoh. Seperti dikejar setan, tanpa henti ia menggerakkan kedua kakinya dengan cepat. Tak peduli apa yang diinjak, bahkan kotoran sekalipun. Nafas terengah-engah pun muncul ketika ia sudah berhenti di tempat yang akan ditujunya, warung kopi Bu Bariyah. Warung kopi itu merupakan warung kopi favorit warga tempat Udin tinggal. Hampir setiap malam warung itu selalu ramai, terutama oleh para lelaki yang sudah menjadi bapak-bapak. Kebetulan di warung sedang ada Pak RT. Biasanya, Pak RT jarang berkumpul dengan warganya di warung kopi. Kebanyakan hanya berkumpul di rumahnya. Tentunya sambil minum kopi juga. Plus gorengan.
Malam memang belum larut. Jarum jam di warung menunjuk ke angka 9. Udara terasa sejuk meski terkadang terasa panas. Kedatangan Udin yang demikian tentu saja mengagetkan mereka yang sedang kongkow di warung. Berbicara tentang masalah ini-itu yang dicampur-campur seperti koktail.
“Bujug! Kenapa lo, Din?” tanya Imran, salah satu yang berada di warung. Imran merupakan tetangga samping rumah Udin. Ia nampak heran dengan kedatangan Udin yang benar-benar mengejutkan, “Ketemu setan lo?”
Keringat bermunculan deras di muka Udin. Dalam keadaan seperti itu, jelas Udin belum bisa menjawab pertanyaan Imran. Karena itu, muncul pertanyaan lain,
“Ada yang kemalingan ya, Din?” tanya Bang Ogi, salah satu orang yang dianggap senior di tempat Udin tinggal.
Udin mengelap keringatnya. Lalu mengatur nafas dan perlahan melihat mereka semua, terutama Pak RT.
“Ayo, Din, duduk dulu,” ajak Pak RT kepadanya, “Minum air putih dulu biar kamu tenang,”
“Makasih, Pak RT,” jawab Udin kemudian duduk di tempat yang masih kosong. Tepatnya di sebelah Ridwan. Ia lalu meminum air putih yang disediakan Ningsih, anak perempuan Bu Bariyah. Setelah meminum dan terlihat tenang, Pak RT pelan menanyakannnya,
“Nah, Udin,” ujar Pak RT pelan memulai pertanyaan, “Malam begini kamu kenapa berlari-lari kencang sekali sampai-sampai semua yang ada di warung heran? Coba kamu ceritakan,”
“Iya, Din,” ujar Rizal menyahut, “Kita tuh heran lho,”
Udin yang mulai tenang perlahan bercerita. Ia pandangi dulu orang-orang di warung sebelumnya,
“Putih,” kata Udin.
Perkataan Udin yang demikian jelas menimbulkan pertanyaan para warga yang berada di warung,
“Putih apa, Din?” tanya Imran penasaran, “Kuntilanak?”
“Pocong?”
“Ah, putih susu kali,”
Melihat tanya yang seperti itu membuat Udin segera berkata,
“Bukan, saudara-saudara,” katanya, “Tunggu saya selesai dulu bilangnya. Kan saya belum selesai eh langsung dipotong,”
“Lagi elonya ngomong kaya orang sepatah-dua kata,” kata Imran, “Ya, dianggapnya selesai,”
Mendengar itu, Pak RT berusaha menengahi,
“Semuanya, mari kita coba dengarkan Udin bercerita,”
Mereka menuruti perkataan Pak RT.
Udin kemudian bercerita lagi,
“Semuanya tadi saya melihat putih, buaya putih di kali,”
Sontak semua terkejut mendengar pernyataan Udin.
“Ah, ngaco lo!” komentar Edi, “Mana ada buaya hidup di kali yang kotor banyak tai gitu?”
“Iya nih,” kata Irwan menyahut, “Kali Ciliwung mah mana ada buayanya. Mabok nih orang,”
Ia lalu tertawa disambut yang lain sehingga warung kopi marak dengan tertawaan sampai-sampai penunggu pohon besar di seberang warung risih karena tertawaan manusia itu mengalahkan tertawaan dirinya.
Udin merasa seperti tak dihargai karena apa yang ia ceritakan seperti dianggap lelucon,
“Yang saya ceritakan ini benar, bapak-bapak. Saya tadi melihat ada buaya putih di kali. Beneran saya lihat. Saya nggak bohong. Demi Allah,”
Tetap saja semua mengganggap apa yang dikatakan Udin itu bohong dan hanya lelucon dari seorang bujang yang sehari-harinya cuma memancing dan sesekali mengayuh rakit di sungai yang biasa disebut sebagai kali. Tentu saja sungainya Sungai Ciliwung. Sungai yang berwarna coklat keruh. Sampah mengalir di atasnya berombongan. Di atas aliran sampah menyembul ikan sapu-sapu yang nampaknya menikmati sekali keruhnya Ciliwung.
“Lo kebanyakan nonton film horor kali,” ujar Imran yang tahu kebiasaan Udin, menonton film horor, terutama film horornya Suzanna.
“Atau waktu ngegetek, minum bir oplosan jadi mabuk,” sahut Ridwan, “Mabuk lagi, mabuk lagi,”
Nyanyian Ridwan langsung disambut tawa. Udin pun merasa malas dan kemudian beranjak tanpa berkata-kata,
“Yah, ngambek,” ujar Irwan, “Payah dah,”
“Biarin aja,” kata Bang Ogi, “Datang-datang bawa berita ada-ada aja. Kan lebih baik kita cerita soal tv datang ke kampung kita. Bukan begitu, Pak RT?”
“Betul,” ujar Pak RT.
Dari kejauhan, Udin tampak kesal dengan orang-orang di warung yang mengganggap ceritanya hanyalah cerita bohong. Ia sendiri betul-betul melihat buaya itu. Ketika ia sedang sendirian mengayuh rakit sekalian menangkap sapu-sapu yang ia ingin jual. Kepalanya, badannya, ekornya. Jelas ia melihat. Buaya itu besar dan berwarna putih. Hendak mendekat kepadanya tetapi kemudian berbelok dan menghilang. Udin yang awalnya tidak sadar segera menepikan rakitnya dan berlari kencang ke warung. Hendak mengabarkan kepada warga. Tapi, hasilnya, ya seperti itu tadi.
***
Sebuah ketukan di pintu terdengar kencang. Ketukan itu membangunkan Udin yang sedang terlelap. Matahari sudah memunculkan wajahnya namun bagi Udin ini adalah waktu yang masih enak untuk tidur setelah ia mabuk-mabukan sendirian sampai Subuh. Berceracau tidak jelas kepada orang-orang yang mengganggap ceritanya lelucon dan bohong.
“Din, din,” ujar sebuah suara di balik pintu, “Bangun, Din!”
Udin yang masih dalam keadaan mengantuk berat hanya berserapah dalam hati. Ia perlahan bangun dengan keadaan serbamalas kemudian menuju pintu. Dilihatnya dalam keadaan samar ada 2 orang berdiri di depan pintu. Sepertinya Imran dan Ridwan.
“Molor aja lo kerjaan!” kata Imran, “Nggak malu lo sama matahari!”
“Bawel lo!” sahut Udin kesal, “Nggak tau orang lagi tidur apa?”
“Lo mabuk ya, Din?” tanya Ridwan yang nampak mencium aroma bir oplosan dari mulut Udin.
Udin diam saja.
“Ampun dah nih orang,” kata Imran, “Ayo dah kita seret!”
Segera kedua orang itu menyeret Udin. Udin jelas saja terkejut dan bertanya-tanya,
“Eh, lo berdua mau apain gue?”
“Kita mau bawa lo ke Pak RT,” kata Imran.
“Mau ngapain emang?” tanya Udin penasaran yang seketika mabuknya hilang.
“Nanti lo tau sendiri,” kata Ridwan, “Yang pasti ada hubungannya dengan tadi malam,”
“Mang tadi malam gue ngapain?”
“Nih lo lupa atau pura-pura lupa?” tanya Imran.
“Apaan sih, gue nggak tau,”
“Mabok aja sih lo kerjaan,”
***
Cuaca cukup terik. Membuat mereka yang berhadapan dengannya ingin segera mengambil air dan meminum. Begitu juga dengan orang ini. Sebut saja Henk. Itulah namanya. Wajah putihnya nampak tidak kuat berhadapan dengan sengitnya matahari tropis. Begitu juga tubuhnya. Ia selalu kehausan tiap beberapa menit. Dan haus ini sudah kesekian kalinya sejak ia menjejakkan kaki di Pelabuhan Tanjung Priok dari sebuah kapal yang membawanya dari Rotterdam. Henk tentu saja terkejut. Rotterdam yang biasa ia hadapi dingin kini berganti dengan Batavia yang panas.
Di tengah kehausan itu ia melihat sungai yang mengalir tenang di Batavia. Henk tidak tahu namanya. Lantas ia bertanya kepada orang-orang yang melintas di dekat sungai tersebut. Mereka menyebutnya Ciliwung. Henk dengan cepat mengingatnya, aliran sungai yang ia susuri semenjak dari Kota Lama dengan trem.
Sungai Ciliwung yang masih terlihat jernih itu nampak menggiurkan bagi Henk yang kehausan. Ia ingin nyemplung di sungai itu untuk meminum airnya. Apalagi ia melihat ada penduduk lokal sedang meminum air Ciliwung langsung di samping ada yang mandi dan mencuci. Pemandangan yang jarang ia temukan di Belanda. Namun, dari kejauhan, tepatnya di bawah bambu yang rindang, mata Henk menangkap dua makhluk besar sedang beristirahat. Makhluk itu makhluk melata. Kedua-duanya sedang membuka mulut lebar-lebar. Henk tahu itu buaya, predator melata cukup ganas di sungai. Meski ia jarang melihat buaya, ia mengetahuinya dengan membaca biologi ketika masih sekolah.
Henk lalu berpikir, apa para penduduk lokal itu tidak ketakutan mereka beraktivitas di sungai tetapi dari kejauhan bahaya mengintai. Ia segera mengurungkan niatnya turun ke sungai dan mencari kedai minuman di pinggir jalan. Ia berpikir lebih baik tak perlu mencari maut jika masih ada kesempatan hidup.
***
“Kemarin kamu bilang lihat buaya di kali, benar?” tanya Pak RT kepada Udin begitu ia sampai dengan kedua temannya. Di samping Pak RT nampak seorang tua, berjanggut putih, berpeci, dan hanya memakai kaos putih. Lelaki tua itu nampak tersenyum melihat Udin yang masih setengah sadar
“Betul, pak,” kata Udin yang kini matanya tampak seperti melotot ketika melihat lelaki tua itu. Ia merasa seperti digerakkan oleh lelaki tua itu.
“Nah, kamu sekarang bicara dengan Daeng,” ujar Pak RT sembari menyebut nama lelaki yang dipanggil Daeng tersebut.
Udin menatap Daeng dengan melotot. Daeng hanya tersenyum sambil mengelus-elus sebuah tasbih di tangannya. Pelan ia memulai pembicaraan dengan Udin,
“Jadi, kemarin kamu melihat buaya di kali?”
“Iya, Pak,” jawab Udin, “Buaya putih,”
Daeng kemudian menggangguk-angguk. Tasbih itu terus dielus-elus dan kemudian dibaca-bacai.
“Syukurlah kalau kamu melihatnya,” kata Daeng, “Ia hanya ingin memperingatkan kalian untuk segera bersiap-siap menghadapi bencana,”
Daeng lalu menoleh ke Pak RT,
“Anda sebagai pemimpin warga di sini seharusnya tidak menganggap ini lelucon,” Daeng memperingatkan.
“Maaf, Daeng, sebelumnya, saya hanya ingin mengatakan bahwa saya tidak percaya ada buaya di kali. Apalagi itu Kali Ciliwung. Daeng kan tahu kali Ciliwung seperti apa?”
“Itu bukan alasan untuk buaya yang dilihat warga Anda ini berada. Buaya ini tahan terhadap segala macam sungai. Mulai dari yang bersih hingga kotor. Tenang hingga deras,”
“Lalu apa yang sebenarnya ingin Anda katakan?” tanya Pak RT yang ingin ke inti.
“Saya cuma ingin mengatakan bahwa kedatangan buaya itu bermaksud memberi tahu bahwa sebentar lagi tempat Anda ini akan terkena bencana, yaitu banjir,”
Mendengar itu, Pak RT malah tertawa-tawa,
“Ini sudah zaman modern, Daeng,” kata Pak RT, “Mengapa harus percaya begituan segala,”
“Terserah Anda,” kata Daeng kemudian mengelus janggutnya, “Yang penting anak saya sudah datang untuk memberi tahu,”
“Siapa anak Daeng?”
“Buaya putih yang warga Anda lihat,”
***
Siang terik memang sukses membuat Henk meminum sebuah limun di sebuah kedai di pinggir jalan. Satu tegukan limun cukup membuat tenggorokannya lega. Kini ia ingin beristirahat sejenak sebelum melanjutkan kembali perjalanan di Batavia yang baru dikenalnya setengah hari. Namun belum sempat beristirahat terjadi kehebohan. Beberapa warga berbondong-bondong berlarian menuju ke sebuah tempat. Tampaknya sebuah rumah dan di belakang rumah mengalir Sungai Ciliwung, sungai yang baru ia kenal semenjak di Batavia.
Penasaran, Henk pun kemudian bertanya kepada salah seorang yang sepertinya berkulit sama dengannya dan juga berbahasa sama,
“Wat is er aan de hand?” tanya Henk
“Er is een krokodil in Mevrouw Julia huis,”
“Krokodil?”
“Ya, dan sekarang sedang akan ditangani oleh seorang Bugis,”
Henk buru-buru mengikuti orang yang mengabarkan peristiwa itu ke sebuah rumah besar putih. Ia mengikuti orang itu sampai halaman belakang dan dari halaman belakang tepat di bawah terdapat sebuah halaman kosong yang berbatasan langsung dengan sungai. Di halaman kosong itu nampak sebuah buaya besar dan seorang kulit sawo matang sedang memegang pisau.
Ramai nian orang berbicara tentang apa yang terjadi di bawah. Henk tidak mengerti mengapa sampai ada buaya di sebuah halaman kosong sebuah rumah besar yang cukup tinggi dari sungai. Henk kemudian mendengarkan pembicaraan orang-orang itu hingga ia pun tahu. Jadi, si pemilik rumah bernama Nyonya Julia ingin membuka kebun di halaman belakang rumahnya yang kosong dan berbatasan dengan sungai. Namun keinginan itu harus berbenturan dengan kenyataan bahwa halaman belakang rumahnya kerap menjadi peristirahatan para buaya. Nyonya Julia pun sadar makhluk berbahaya ini harus disingkirkan jika keinginannya terpenuhi. Lalu ia panggil seorang Bugis melalui temannya yang punya banyak kenalan pribumi. Jamak diketahui, orang Bugis adalah pembunuh buaya paling andal.
Henk lalu melihat si Bugis bertarung dengan buaya. Si Bugis ini nampak sudah berpengalaman. Buaya itu diajaknya ke sungai lalu mereka bertarung di dalamnya. Satu sayatan, dua sayatan, tiga sayatan, si Bugis berhasil membunuh si buaya besar yang kemudian ia lempar ke tanah di pinggir sungai. Orang-orang yang menyaksikan lalu bertepuk tangan. Si Bugis lalu membersihkan diri. Nyonya Julia, si pemilik rumah lalu turun dan memberikan beberapa gulden. Si Bugis nampak berterima kasih kemudian beranjak menaiki tangga dan melewati orang-orang termasuk Henk. Nyonya Julia lalu menyuruh para jongosnya untuk membuang bangkai buaya ke sungai supaya jadi santapan ikan. Henk sungguh takjub melihat pertarungan tadi.
***
Air menggenang setinggi 100 cm. Rumah-rumah terendam oleh air yang tinggi itu. Ya, rupanya banjir datang melanda Rawa Hijau, sebuah tempat yang berdekatan dengan Sungai Ciliwung. Para warga tak menyangka tempat mereka yang sebelumnya tidak pernah dijamah banjir tiba-tiba menjadi terdampak banjir. Mereka yang tidak tahu apa-apa tentang banjir harus merelakan dan menerima dengan terpaksa dan ikhlas harta bendanya terendam. Sungguh mereka terkejut. Terutama Pak RT yang tidak habis pikir mengapa bisa datang banjir ke tempatnya.
Dari sebuah tingkat, Udin nampak memperhatikan air yang menggenang semua rumah warga, tanpa terkecuali rumahnya. Akan tetapi, Udin bisa bernapas lega karena ia sempat mengangkat semua barangnya ke lantai atas. Sebuah suara gaib setelah bertemu Daeng yang menyuruhnya mengangkat barang-barang. Daeng yang lekat dengan buaya putih yang dilihatnya seperti bersuara di telinganya,
“Kamu adalah orang yang mau mendengarkan nasihat orangtua ketika bahaya akan datang,”
Teringatlah Udin di tempatnya dahulu, dari cerita para orangtua, kehadiran buaya, terutama buaya putih merupakan pertanda datangnya banjir. Sebuah peringatan dari sebuah makhluk yang sesungguhnya tak pernah terlihat lagi di Sungai Ciliwung sehingga dianggap remeh oleh para warga. Mengingat itu, Udin merasa berterima kasih dan tersenyum sambil menunggu banjir surut.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran