Pages

Selasa, 06 Mei 2014

Kecewa

Aku telah menunggumu begitu lama. Selama waktu yang kurasakan berjalan meski tidak setanding dengan datangnya komuter dari arah Angkasapuri yang terasa begitu cepat. Juga tidak setanding dengan cepatnya pintu komuter yang terbuka ke depan. Memuntahkan manusia di dalamnya lalu menelan lagi manusia yang berada di luar. Dalam tiap muntahan itu aku berharap kamu muncul lalu menyapaku. Tapi, ternyata tidak. Yang kudapat hanyalah teguran seorang Tamil yang merasa aku mengganggu dirinya karena berdiri di depan pintu kereta atau seorang petugas komuter yang menegurku dengan melayu medok. 
skycrappercity.com


Baiklah, aku memang salah. Semua karena hanya ingin menunggumu. Kamu datang padaku lalu kita berbicara seperti saat-saat dulu kita bertemu di Batu Caves. Di suasana yang terik membakar kulit itu, pertemuan itu menurutku bukanlah seperti sebuah skenario dalam kisah-kisah layar perak. Tetapi, pertemuan itu, ya aku mengatakannya pertemuan, meski kamu bilang sebaliknya. Kamu meminta tolong kepadaku untuk memotret dirimu dengan teman-temanmu di belakang patung Lord Murugan yang megah dan nampak terus-menerus berkilau dihajar terik matahari yang tidak bertoleransi.

Kupotret dirimu yang nampak begitu sopan berpakaian tanpa sekalipun memperlihatkan kulitmu. Kamu memang tidak berjilbab tetapi aku merasa senang dengan penampilanmu. Senyum yang merekah meski harus menentang panas ketika ku hendak memotretmu telah kurekam otomatis dalam memoriku. Dan senyum itu terus menempel pada hasil foto yang kemudian kuperlihatkan padamu dan juga teman-temanmu.

Kamu bilang hasilnya bagus walau aku tidak yakin dengan ucapanmu yang bagiku sekadar menghibur. Mungkin dirimu tak ingin menolak hasilku. Kamu merasa tak enak jadi kamu iyakan saja hasil itu. Baiklah, aku terima. Aku sendiri tak masalah.

Setelah memotret kamu berlalu dengan teman-temanmu. Meninggalkan jejak harum dan kesan yang membuatku bertanya-tanya. Membayangkanmu dan mencari-cari dirimu. Dan kamu pun hilang ditelan panas dan angin. Dari Batu Caves aku berusaha mencari tentang dirimu. Membayangkan kamu seutuhnya. Wajah, senyum, dan perilaku sopan. Aku berusaha mereka-reka asal dirimu. Tentu kamu dari Indonesia juga. Sama seperti diriku. Hanya saja aku merasa kamu dari Pulau Sumatera. Aku mengatakan begitu karena aku merasa aksen Sumatera-mu begitu kental. Awalnya aku mengira kamu dari Malaysia. Tetapi, setelah kupikir-kupikir tidak.

Bayanganmu yang terus menari-nari membuatku tidak bisa tenang. Aku yang seharusnya menikmati perjalanan pulang dari Batu Caves ke KL Sentral seperti gelisah. Heh, pertanda apakah ini? Apakah aku suka padamu? Jatuh cinta padamu? Pada pandangan pertama? Tidak, tidak, aku tidak suka padamu, tidak jatuh cinta padamu. Apalagi pada pandangan pertama. Cukup! Aku sering seperti itu dan semua hanyalah sesaat. Tetapi kamu....

Komuter melaju cepat. Bergerak seirama dengan lintasan rel. Datang dan berhenti di tiap stasiun. Dan begitu sepi. Sesepi mereka yang malas menyahut iklan-iklan propaganda Najib, sang perdana menteri keturunan Bugis. Propaganda yang bagiku tidak penting. Propaganda yang hanya bersifat sepihak dan searah. Cuaca terik yang terlihat dari jendela aku harap membakar saja propaganda itu. Menganggu bagiku.

Pada teman yang aku tinggal di kontrakannya di Kuala Lumpur aku bercerita. Ia mengatakan aku telah suka dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Tetapi aku menolak anggapan itu. Temanku hanya tertawa lalu berkata kalau aku menolak, berarti aku mengakui rasa yang ada dalam diriku. Ah, sudahlah aku tak mau membicarakan itu lagi.


Beberapa hari kemudian, aku coba ke KL Sentral. Menunggu dirimu di depan gate tiket. Di antara lautan keramaian manusia-manusia yang sibuk lalu-lalang mencari tunggangan bepergian atau yang sibuk mencari makan di beberapa restoran. Beberapa polisi berpakaian hitam berdiri menunggu, mengawasi sembari mencari momen-momen mencurigakan yang harus ditindak.

Dan itu aku. Seorang polisi menghampiriku dan bertanya dengan nada melayu medok kepadaku mengapa aku berdiri di depan gate tiket. Aku bilang dengan jawaban hati-hati. Hati-hati bukan karena takut menyinggung tetapi hati-hati memilih kata yang tidak dimengerti. Padahal, kami sama-sama serumpun tetapi secara kebangsaan kami berbeda. Aku menjawab dengan mengatakan aku hendak menunggu seseorang. Ia bertanya apa orang itu punya hubungan kekeluargaan denganku. Aku bilang tidak. Aku berkata ia orang yang spesial bagiku. Si polisi hanya mengangguk mengerti namun menyuruhku menunggu agak jauh dari gate. Kalau bisa di depan sebuah gerai hape. Aku bertanya kenapa harus di depan gerai hape. Ia menjawab dengan tertawa mungkin aku akan membutuhkan hape baru atau isi pulsa jika ternyata habis pulsa atau rusak hapeku. Ya, logis juga jawabannya meski sepertinya terlalu dipaksa. Aku merasa hapeku tidak apa-apa. Apalagi pulsaku. Masih banyak. Dan aku masih pakai nomor Indonesia, bukan Malaysia. Tetapi, aku turuti saja keinginannya. Jadilah aku menunggu di depan gerai hape.

Dan dari gerai hapelah aku menunggu lalu menyaksikan lautan manusia keluar gate. Lantas aku berharap ada dirimu. Aku coba mengingat-ngingat saat aku bertemu denganmu. Ingatan yang tidak sepenuhnya terekat tetapi terpecah-pecah seperti puzzle. Tetapi, tetap aku coba mengingat dirimu. Banyak kepala yang kuperhatikan. Dan aku seperti intel di kejauhan. Namun, mana dirimu? Aku sama sekali tidak melihat. Banyak kepala membuat konsentrasiku pecah. Aku tak bisa mengingat. Dan kamu pun hilang. Aku kecewa. Sungguh kecewa. Aku pulang dengan tangan hampa. Berjalan keluar KL Sentral. Berjalan di pinggiran jalan yang sepi. Membiarkan kepala dan tubuh dihujani terik matahari.

Lalu aku menyadari kini diriku telah berada di Indonesia. Aku pulang ke Tanah Air yang sepertinya akrab bagiku meski menyebalkan. Rumput tetangga lebih segar dan menjanjikan. Sayang, aku merasa tidak nyaman. Berdiri di peron Stasiun Gondangdia, bayanganmu terus-menerus berkibar dan melambai kepadaku. Kamu seperti mengajakku kembali ke Malaysia. Seperti mengajakku harus berpantun Melayu: Abang nak pulang demi cik adik. Ah, cik adik. Cik abang. Kata-kata itu, itu aku dapatkan dari film-film P.Ramlee yang sungguh terkenal di seantero Malaysia. Baiklah, hatiku berkata, abang nak pulang demi cik adik, yang sepertinya tidak mau sakit, abang nak pulang meski dengan rakit, lalu bertemulah kita sikit-sikit. Tetapi kamu bukan orang Malaysia. Kamu Indonesia. Seharusnya aku bisa menemuimu di sini. Tetapi....kamu tidak ada malah.

Baiklah, baiklah demi kamu aku kembali lagi ke Malaysia. Datang lagi ke KL Sentral dan kali ini mencoba ke Batu Caves. Harapan supaya bisa bertemu kamu lagi. Tetapi, dalam hatiku terasa emoh. Aku tak sekalipun ingin menaiki komuter yang melintas. Aku tak mau lagi ke Batu Caves. Aku hanya ingin kamu datang di depanku dari dalam komuter. Dan...aku ternyata berhasil melihat dirimu kembali. Masih berpakaian sopan, berambut panjang, dan bersenyum berseri kepada teman-temanmu. Aku merasa senang. Bisa bertemu dirimu lagi. Ternyata aku masih ingat. Tetapi kenapa aku malah menjadi kaku untuk sekadar menyapamu. Aku mematung. Aku mengeras. Kamu lewat begitu saja di depanku tanpa menyadari orang yang kemarin memotretmu. Kecewa.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran