Pages

Minggu, 28 Oktober 2018

Bendera dan Tatanan Khayalan


Belakangan ini sedang santer berita mengenai pembakaran bendera tauhid pada acara Hari Santri Nasional di Garut, 22 Oktober kemarin. Kejadian itu lantas terekam dalam video yang kemudian disinyalir bahwa yang membakar adalah Banser, ormas milik NU sehingga kemudian muncul petisi untuk membubarkan ormas yang dianggap tidak ramah terhadap umat Islam.
Hasil gambar untuk bendera
Republika.co.id
Namun pihak NU juga Banser menyanggah bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah untuk menyelamatkan NKRI sebab bendera yang dibakar bukanlah bendera tauhid melainkan bendera salah satu organisasi yang terlarang, HTI. Banser yang berpandangan nasionalis-religius berpegang pada prinsip bahwa apa pun yang akan mengancam kesatuan Republik Indonesia harus segera ditindak.
Akan tetapi hal demikian disanggah balik oleh HTI yang menyatakan bahwa itu bukan bendera HTI melainkan bendera tauhid atau ar-rayah, bendera atau panji yang digunakan semenjak zaman Nabi Muhammad SAW. Polemik pembakaran ini terus berlanjut meskipun para tersangka telah ditangkap, dan kemudian disusul dengan aksi bela tauhid pada Jumat, 26 Oktober kemarin.
Kejadian “tidak mengenakkan” terhadap bendera di dunia ini bukan sekali ini terjadi. Tetapi semenjak puluhan, ratusan, bahkan ribuan tahun yang silam. Mengapa saya sebut tidak mengenakkan? Karena bendera yang seharusnya menjadi instrumen untuk dihormati malah diperlakukan dengan tidak wajar. Pembakaran hanyalah salah satu contoh. Selain itu, ada perobekan, penginjakan, atau malah membuat bendera itu terbalik seperti yang dilakukan pihak Malaysia terhadap bendera Indonesia pada SEA Games 2017.
Dari gambaran-gambaran di atas akan timbul pertanyaan mengapa bendera menjadi begitu penting dan sakral padahal ia hanyalah sebuah kain berbentuk persegi panjang yang kemudian dibubuhi warna-warna beserta simbol-simbol? Untuk urusan warna dan simbol coba saja serahkan pada anak-anak TK tentu mereka akan semangat memberi warna yang bermacam-macam mulai dari mejikuhibiniu hingga warna yang acak-acakan dan tak beraturan. Dan untuk simbol mereka tentu akan dengan senang hati menggambar benda-benda yang mereka suka seperti mobil-mobilan, orang-orangan, benda-benda langit, perahu, atau burung.
Tentu saja bendera yang sebenarnya hanya sebuah kain menjadi sakral dan harus dihormati, serta dijunjung bahkan disimpan dalam sebuah tempat khusus oleh karena adanya tatanan khayalan dalam diri manusia itu sendiri. Tatanan khayalan, istilah yang saya ambil dari buku Sapiens karangan Yuval Noah Harari ini, adalah sebuah jejaring berupa imajinasi yang diciptakan oleh manusia untuk mencapai sebuah tujuan. Perlu diingat bahwa manusia itu berbeda dari makhluk-makhluk ciptaan Tuhan lainnya yang secara biologis tidak mempunyai struktur gen dan DNA yang komplit. Dua hal inilah yang memungkinkan semut dan lebah bisa bekerja sama karena mempunyai gen dan DNA yang sama, dan seekor lebah pun bisa menjadi seekor lebah ratu jika diberikan makanan yang sudah sesuai dengan gen dan DNA.
Manusia yang tidak punya struktur-struktur yang sekomplit itu tentu membutuhkan hal lain untuk bisa melaksanakan pekerjaan demi mencapai tujuan. Tapi bagaimana caranya? Jika semut, lebah, kawanan domba dan serigala bisa bekerja sama hanya karena mereka tahu bahwa itu kawanannya bukan yang lain, manusia yang tidak mengenal satu sama lain itu bisa melakukannya oleh karena terikat pada jejaring imajinasi atau tatanan khayalan. Tatanan ciptaan manusia ini melingkupi ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Dengan tatanan ini manusia akan mempercayai segala sesuatu yang sebenarnya tidak ada atau mustahil.
Mitos adalah salah satunya. Cerita-cerita mengenai ketidakrasionalan atau di luar akal ini merupakan hal-hal yang harus dipatuhi oleh manusia jika ingin tujuan tercapai. Mitos, baik di zaman Yunani Kuno maupun zaman posmodern, akan selalu mengikat manusia untuk selalu mematuhinya langsung atau pun tidak. Apabila tidak dipatuhi tentu saja akan dijatuhi hukuman, dan karena itu harus dipercayai. Bila di zaman Yunani Kuno selalu ada ungkapan jangan terbang mendekati matahari, dan pada zaman postmodern ini adalah persamaan hak dan kewajiban beserta emansipasi.
Inilah yang terjadi pada bendera, kain persegi panjang yang sebenarnya tidak lebih sebagai hiasan. Ada cerita atau mitos di dalamnya yang merupakan hasil tatanan khayali yang dibentuk oleh manusia. Seperti mengutip Roland Barthes dalam Mitologi tentang makna menjadi bentuk, mitos dari imajinasi manusia yang sudah berbentuk tatanan itu mewujud menjadi hal-hal yang bisa dijustifikasi baik secara hukum, agama, sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Ketika dia mewujud semua orang, siapa pun itu, meski mereka tidak mengenal satu sama lain, namun terikat oleh semacam perjanjian berupa solidaritas akan berupaya membela bahkan menghujat. Dan tentu saja juga akan ada imbalan bagi yang melakukannya, dihormati sebagai patriotik atau dilaknat sebagai pecundang.
Itulah mengapa kita sekarang tidak perlu heran jika ada orang-orang yang bereaksi begitu besar kala bendera yang telah menjadi sebuah identitas hasil dari sebuah tatanan khayalan manusia diperlakukan tidak semestinya atau malah kita juga menjadi paranoid kala ada bendera yang dianggap membahayakan sehingga harus ditindak.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran