Pages

Jumat, 22 Juni 2012

Kalong-Kalong


Kelelawar itu mengatupkan sayapnya erat-erat sehingga membungkus tubuhnya. Hanya kepalanya yang terlihat. Matanya tampak menatap tajam pada sesuatu yang sebenarnya cukup jauh dari tempat ia berada, di akar sebuah pohon. Kedua kakinya tampak mencengkram erat akar pohon yang tampak kokoh itu. Sekelebat kemudian ia melepaskan diri dari akar pohon itu dan mengembangkan sayapnya yang lebar lalu terbang. Hendak menyusur benda yang sedari tadi menjadi perhatiannya dan menjadi mangsanya.
Aku yang melihatnya biasa saja dalam sebuah acara televisi semacam Discovery Channel, tetapi tidak dengan Irna. Ia malah menjerit ketakutan seperti melihat hantu.
“Matiin!” teriaknya padaku, “Gue bilang matiin!”
“Mang kenapa sih?” tanyaku heran, “Gue nggak mau!”
“Yee..matiin!” kata Irna kembali berteriak, “mana remotenya?”
Aku ambil remote itu secepat mungkin,
“Salah lo sendiri,” kataku sambil memegang remote erat-erat, “Kan gue tadi udah bilang kalo nggak mau liat jangan nonton. Udah tau ini edisi tentang kalong,”
“Eh...jangan nyebut-nyebut ya,” katanya malah marah padaku, “Mau kalong kek, kelelawar kek atau batman sekalipun!”
“Suka-suka gue dong!” kataku acuh.
Tiba-tiba saja Irna yang terlihat kesal dan geram itu maju ke arah televisi dan mematikan si kubus visual tersebut. Aku jelas terkejut.
“Oke deh, tontonannya usai sudah,” ujarnya setelah itu dengan raut muka puas.
“Lo apa-apaan sih?” tanyaku heran sekaligus geram.
Ia tidak menjawab pertanyaanku tetapi malah ngeloyor pergi ke kamarnya di tingkat atas. Ketika ia hendak ke sana, aku berseru,
“Liat aja ada kalong lho ntar di sana. Siap-siapa aja lo dihisap darahnya!”
“Bodoh,” jawabnya enteng.

lovebats.soup.io

Jujur, aku masih tak habis pikir kenapa Irna, sepupuku itu, rada ketakutan bila melihat tayangan kelelawar atau kalong, tapi aku lebih suka menyebutnya kalong, di televisi. Apalagi jika si kalong sedang terbang di kegelapan malam. Memang sepintas terlihat seram. Dengan wajah yang didesain menyeramkan. Gigi bertaring. Tangan yang menyatu dengan sayap, dan kaki yang pendek. Ya karena sukanya terbang di malam hari apalagi bentuknya seperti itu banyak yang mengaitkannya dengan berbagai mitos. Salah satunya mitos tentang drakula, si makhluk penghisap darah, atau saudaranya, si vampir. Ah, tapi itu kan akal-akalan saja. Soalnya, ketika cara berpikir manusia masih dalam tahap meraba-raba dan melihat sesuatu yang berada di luar kebiasaan, mereka akan mengaitkannya dengan sesuatu hal yang menyeramkan dan bersifat magis. Salah satunya ya, kelelawar yang dikaitkan dengan makhluk-makhluk jadi-jadian penghisap darah. Meski, dalam kenyataannya ada juga kalong penghisap darah.
Tetapi, untuk kasus Irna agak beda. Ia takut melihat kalong karena kalong itu adalah perwujudan dari seorang lelaki yang pernah menjumpainya kemudian pernah bersemayam di dalam kehidupannya. Katanya, lelaki itu amat sangat ganteng, rupawan, dan ya mirip dengan Cristiano Ronaldo, si pesepakbola tersohor yang digandrungi banyak kaum hawa. Aku yang mendengarnya merasa agak aneh saja ketika ia menceritakannya pada suatu malam.
***
Irna tampak sendiri berjalan di sebuah gang sepi. Waktu itu sudah malam hari. Bahkan larut dan pekat. Orang kebanyakan sudah menjadi kepompong dan sedang meraih kenikmatan di pulau kapuknya masing-masing. Suasananya agak seram karena Irna melewati daerah yang cukup sepi dan angker. Tetapi, ia tidak peduli. Mau ada setan kek atau nggak sama saja, begitu gumamnya. Ia terpaksa harus berjalan kaki malam larut itu usai asyik berpesta di sebuah klub malam dan tiada kendaraan sama sekali. Ya, Irna memang suka sekali dugem. Kebanyakan ia melakukannya sendirian dan jarang bersama-sama.
Memang di tempat itu sepi dan angker karena banyak penunggu halusnya, namun bukan itu rupanya yang ditemui Irna. Dua orang berbadan ceking menghadangnya lalu menyodorkan pisau tajam sambil bergestur dengan tangan meminta uang. Irna tahu siapa yang di depannya itu. Mereka hendak merampoknya. Apalagi, dirinya juga memakai pakaian yang mengundang nafsu. Mampus deh gue, gumamnya panik.
“Siapa suruh jalan di sini sendirian!” kata si perampok yang satunya. Wajahnya tirus. Ia nampak nafsu melihat Irna. Matanya membesar.
“Enak nih bos kayanya,” ujar si perampok yang satunya lagi. Wajahnya rada bulat.
“Eh, lo kira gue makanan!” ujar Irna membalas, “Pergi nggak lo berdua atau gue teriak!”
“Teriak aja!” kata si tirus, “Nggak ada yang dengerin kok,” Ia lalu terkekeh-kekeh.
Mereka berdua mendekat dan Irna terpojok ke sebuah tembok dekat dengan pohon pisang. Mulutnya komat-kamit, aduh gue masih mau jadi perawan, gumamnya lagi.
“Ya beraninya sama cewek doang!” ujar suara tiba-tiba di belakang. Nampaknya suara lelaki. Irna dan dua perampok itu jelas terkejut. Kedua-duanya menoleh. Dilihatnya, sesosok lelaki tegap dan rupawan seperti bintang film. Irna, yang mungkin masih dalam pengaruh minuman, terpesona melihatnya.
“Wah, kaya di film aja nih,” kata si tirus, “Ada jagoannya,”
“Ah, udah bos,” kata si bulat, “Hajar aja!”
Mereka berdua segera berlari ke arah si lelaki itu sambil menyodorkan pisau. Tetapi, si lelaki tampak tenang dan malah bisa membuat kedua perampok itu jatuh dan terkapar hingga pingsan.
Irna yang melihatnya tambah terpesona. Wah, kaya superhero, ujarnya dalam hati. Ia mendekati Irna dan kemudian bilang,
“Nggak apa-apa kan, mbak?” tanyanya.
“Nggak apa-apa kok,” kata Irna. Tetapi, seperti ada yang membisikinya, Irna langsung bertanya curiga,
“Jangan bilang ya mereka itu teman-teman lo?”
“Teman apa?” tanya si lelaki heran, “Saya aja nggak kenal,”
Irna bergumam,
“Gue kira teman-teman lo,” katanya, “Tapi, kalo emang teman-teman lo harusnya gue udah kenal lo,”
Ia lalu menyodorkan tangan,
“Irna,”
Si lelaki itu membalas dengan menyodorkan tangan,
“Rifki,”
“Ganteng seperti orangnya,”
“Mbak bisa aja. Mari kita tinggalkan tempat ini,”
Mereka berdua meninggalkan tempat itu dengan dua perampok yang masih nampak pingsan dengan nikmat setelah dibogem.
Usai pertemuan dengan Rifki, Irna nampak begitu senang dan ceria. Lelaki itu memang ganteng dan Irna menyukainya. Ia ingin sekali bertemu dengan lelaki itu lagi. Sayang, ia lupa meminta nomor Rifki. Saking senangnya, ia ceritakan itu kepada Andrea, sahabatnya. Andrea hanya berkata,
“Hati-hati lo, Na. Bisa jadi itu cowok jadi-jadian soalnya lo ketemu dan kenalan sama dia di malam hari,”
“Nah, mulai deh lo ngomongnya ngaco,” ujar Irna.
Hampir setiap hari, ia membayangkan wajah Rifki yang rupawan itu. Irna ingin bertemu dengannya tetapi sayang tiada kontak yang ia punya darinya. Ah, coba gue waktu itu minta, gumamnya. Sampai ketika ia merasa tak akan bisa lagi bertemu dan pasrah dan pada suatu malam di dekat klub malam tempat ia bisa berdugem, ia bertemu dengan Rifki. Betapa senangnya ia. Ia ajak Rifki berdugem dengan diiringi hentakan suara musik dari sang disc jockey. Namun, tampak Rifki kurang menyukai dan mulai menarik diri. Irna mengejarnya.
“Maaf, lo nggak suka ya dengan beginian?” tanya Irna yang raut di wajahnya mengandung kekhawatiran.
“Iya,” kata Rifki, “Buang-buang tenaga aja,”
“Apa lo dari keluarga alim?” tanya Irna.
“Bukan,” kata Rifki, “Ya gue nggak suka aja sama dugem, diskotik,”
“Oh, maaf deh,”
“Kok maaf?”
“Ya, maaf, udah ngajakin lo ke sana,”
“Gue yang harusnya minta maaf karena tadi pergi begitu aja,”
Mereka berdua kemudian memutuskan meninggalkan diskotik dan menuju ke sebuah tempat sepi yang berada di tepi danau tak jauh dari diskotik,
“Lo suka sama yang sepi-sepi ya?” tanya Irna lagi.
“Nggak hanya sepi tapi tenang,” jawab Rifki pelan.
Saat mereka berdua itu Irna mulai menanyakan nomor kontak Rifki dan Rifki memberinya. Hanya saja, Rifki bilang dirinya hanya bisa ditemui pada malam hari bukan siang hari. Ketika ditanya mengapa, Rifki hanya bungkam dan bilang seadanya,
“Ya nanti lo nggak akan mengerti,”
Irna mengiyakan saja dalam hati walau ia bertanya-tanya.
Semenjak itu, mereka berdua selalu bertemu di malam hari. Bahkan pada malam yang larut. Awalnya, Irna tampak menikmati saja tetapi lama-kelamaan ia bertanya-tanya mengapa harus malam hari dan bukan siang hari. Saat bertanya itu lagi jika mereka bertemu, Rifki selalu menjawab dengan jawaban yang sama. Ketika ia sms dan telepon pada siang harinya, selalu tiada jawaban. Irna jadi bertanya-tanya keheranan. Ia ingin sekali bertandang ke tempat Rifki. Namun, ia juga tidak tahu di mana tempatnya. Kalau ditanya soal tempat, Rifky hanya menjawab,
“Tempat gue jauh,”
Namun tidak diketahui jauhnya seperti apa.
Irna yang statusnya belum berpacaran dengan Rifky juga mencoba mengajak ciuman. Sayang, Rifki menolak dengan alasan,
“Gue lagi sariawan,”
Tetapi, jikalau tidak sariawan,
“Mulut gue bau karena nggak gosok gigi,”
Lalu jika tidak gosok gigi,
“Bibir gue kering jadi jelek buat diemut,”
Dan begitulah alasan yang membuat Irna tambah heran dan heran. Sampai-sampai ia berpikir dan beranggapan, kali tuh cowok bukan buat gue kali. Secara gue kaya begini. Pada akhirnya, Irna kembali pasrah dan tidak banyak meminta jika bertemu pada malam hari.
Dan pada suatu siang, Irna tidak sengaja melewati daerah kos-kosan. Ketika melewati salah satu kamar kos-kosan, ia tampak melihat ada sebuah sinar. Lalu ia beranggapan, paling tuh sinar orang lagi nonton bokep. Tapi, sinar itu membuatnya penasaran. Kuning dan agak rapih. Irna mendekatinya. Lalu diintipnya perlahan apa yang terjadi di kamar itu. Ada seorang lelaki dan juga sayap besar. Apa? Sayap? Lelaki yang dilihatnya bersayap dan ia melihat wajah lelaki itu: Rifki?
Ia segera masuk dan melihat Rifky dalam sebuah sosok yang lain. Rifki yang sedang telanjang dada tampak terkejut. Sayap di kedua punggungnya merekah.
“Rifky,” kata Irna terkejut.
“Halo, Irna,” kata Rifki.
“Si..siapa lo sebenarnya?”
“Gue malaikat, Irna,” kata Rifki, “Mungkin lo nggak akan percaya dengarnya,”
“Jadi kenapa lo selalu menolak bertemu di siang hari karena ini,”
“Betul. Harap lo maklum. Makanya, gue nggak bisa jelasin ke lo karena nanti lo nggak akan mengerti,”
“Gue ngerti kok! Tapi, jangan kaya gitu dong caranya. Kenapa lo ngebohongin gue?”
Rifky terdiam dan kemudian berkata,
“Gue ini malaikat, Irna,” katanya, “Malaikat jatuh yang diusir karena mempunyai nafsu dengan malaikat perempuan,”
“Malaikat kan nggak punya nafsu?” tanya Irna heran.
“Tapi, gue punya,” kata Rifki, “Dan gue dikutuk untuk tidak boleh kembali dan harus ke bumi mencari wanita manusia. Tapi, sayang, gue hanya bisa berada di malam hari karena unsur malaikat gue masih ada dan gue belum sepenuhnya menjadi manusia,”
“Dan lo kemudian ketemu kan dengan wanita manusia itu?”
“Ya, dan itu lo. Gue berharap lo mau jadi pasangan hidup gue,”
“Gue sih mau aja. Sayang, lo udah ngebohongin gue,”
“Tolong, Irna. Itu biar lo nggak kaget. Tolong mengerti,”
“Lalu bagaimana kalo gue nggak mau?”
“Gue akan berubah menjadi kalong,”
Irna tertawa-tawa,
“Lo memang kalong karena suka muncul di malam hari,”
“Ini serius, Irna,”
Rifki menatap tajam Irna,
“Gue akan berubah menjadi kalong,”
“Ah, peduli amat! Kenapa juga harus gue bukan yang lain,”
Tampak raut wajah Rifki berubah sedih dan pada saat itu berkata,
“Baiklah, kalo itu mau lo,”
Asap tiba-tiba muncul dan menyelimuti seluruh tubuh Rifky. Dalam sekejap tubuh yang terselimuti asap itu mengecil dan kemudian muncullah sesosok mamalia hitam dari dalam asap itu. Sebuah kelelawar besar yang tengah mengepakkan sayapnya dan kemudian melaju dengan kecepatan tinggi melewati Irna melesat keluar.
Irna yang melihatnya terkejut dan tidak percaya. Seperti ada yang menamparnya, ia pun pingsan  dan kemudian mendapati sudah berada di kamarnya. Tampak Andrea berada di sampingnya,
“Eh, sudah sadar,” kata Andrea, “Selamat datang kembali ke dunia nyata,”
“Ia, gue kok bisa di sini?” tanya Irna.
“Ya iyalah,” kata Andrea, “Na, lo tuh pingsan dari kemarin siang. Ada yang dapatin lo di sebuah kosan terus langsung lo dibawa ke sini begitu dilihat KTP lo sama orang-orang. Lo kenapa sih?”
Irna yang ditanyai seperti itu langsung terdiam dan tiba-tiba teringat suatu kejadian,
“Ceritanya panjang, Ia,” katanya, “Susah gue ceritain dan jelasin,”
“Ya udah sekarang lo istirahat aja dulu,” kata Andrea yang kemudian meninggalkannya. Setelah Andrea pergi dari kamarnya, tiba-tiba bulu kuduk Irna merinding dan ia segera menutupi tubuhnya dengan selimut.
***
Begitulah cerita yang kudapat dari dirinya. Cukup aneh bukan? Masa takut kalong hanya karena perwujudan dari seorang pria tampan. Udah gitu malaikat lagi. Kalo drakula atau vampir ya wajar. Zaman sekarang kok orang malah aneh-aneh ya ketakutannya. Aku teruskan saja menonton televisi dan ada yang mengebel pintu. Siapa sih malam-malam begini? Tanyaku. Aku tanpa pikir panjang segera menuju ke pintu dan membukanya. Kulihat ada sesosok lelaki rupawan.
“Irnanya ada, mas?”
“Oh, ada sebentar ya?”
Ketika aku hendak berbalik untuk memanggil Irna kulihat ia sudah di depanku dan wajahnya berubah ketakutan,
“Na, lo kenapa?”
Ia lari ketakutan menuju kamarnya. Ketika aku hendak berbalik lagi ke arah pintu, lelaki itu sudah menghilang. Nah lho, cepat sekali. Saat itu aku langsung seperti dihinggapi rasa takut. Bulu romaku berdiri. Jangan-jangan, gumamku. Aku langsung berlari menuju kamar tempat Irna berada. Dan pintu pun masih terbuka


0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran