Pages

Minggu, 17 Juni 2012

Sang Kekasih Sejati


“Tolong, jangan mendekat padaku!” teriak seorang lelaki tua di pinggiran jalan kepada seseorang yang hendak memberinya sedekah. Ya, lelaki tua itu memang pengemis. Pengemis yang butuh dikasihani. Bajunya compang-camping tidak karuan. Muka yang keriput dan dekil serta badannya yang agak kurus kerempeng menunjukkan bahwa ia sudah lepas dari yang namanya perawatan dan jarang makan. Akan tetapi, ia selalu berteriak seperti jikalau ada yang mendekati.
Pak Tua itu memang selalu menjadi pemandangan sehari-hariku. Aku sendiri hanyalah seorang pedagang kios kecil yang menjual makanan dan minuman ringan plus rokok. Dari sinilah aku menggantungkan hidup. Berdagang di pinggiran jalan yang tidak terlalu lebar dan sempit dan tepatnya di depan sebuah rumah milik seseorang yang mengizinkan aku berdagang dan ia tidak meminta imbalan apa-apa dariku. Rasanya enak dan aman saja berdagang tanpa dimintai apa-apa. Padahal, dulu sering ada preman yang minta uang keamanan. Ia mengaku orang di sekitar tempatku berdagang padahal bukan. Sampai akhirnya, itu preman dipukul ramai-ramai sama warga karena meresahkan dan tewas. Aduh, nasibnya sungguh-sungguh kasihan. Sudah berbuat jahat, matinya malah bukan dalam keadaan dia mau tobat. Tapi, toh aku tak berani mengatakan ia akan diapakan di alam sana. Itu kan urusan Tuhan.
Mengenai si Pak Tua, dia itu muncul sekitar kurang lebih 3 tahun yang lalu. Ketika aku hendak membuka kios, di seberang jalan yang sekarang menjadi tempat mangkalnya, aku melihat dia tertidur. Aku perhatikan ada nampak wajah mengigil ketakutan. Aku merasa kasihan saja. Aku ingin memberinya makan dari yang aku jual di kiosku. Lagipula yang kuberi ke dia kan juga termasuk dapat pahala walaupun aku tak memikirkan itu.
Aku segera ambil makanan dan bangunkan dia dengan pelan,
“Pak, pak,” kataku membangunkannya. Ia masih dalam keadaan terlelap kulihat saat aku menyentuhnya. Tapi, aku lihat kemudian di wajahnya, matanya perlahan bergerak dan terbuka. Seperti orang bingung ia melihat ke sekeliling dan mendapati diriku. Sontak ia berkata dengan raut dan tatapan keheranan,
“Siapa kamu?” tanyanya, “Jangan dekati aku. Pergi!”
“Saya orang, Pak,” kataku, “Masa iya setan,”
“Iya, kamu memang setan,” ujarnya, “Pergi!”
“Aduh, bapak ini kenapa?” tanyaku heran, “Saya melihat bapak tidur dan ini saya bawakan makanan ala kadarnya,”
Ia lalu menatap apa yang aku bawa dan telah di dekatnya. Dua buah roti dan segelas minuman ringan dari gelas plastik. Ia tatap itu dengan heran dan tajam lalu menatapku lagi dengan tatapan yang sama,
“Dasar setan!” katanya, “Pergi kamu!”
Aku malah tambah heran dan aneh,
“Bapak ini kenapa sih? Sudah gila ya?”
“Pergi kamu!”
“Iya, saya pergi! Lagipula saya masih banyak urusan. Ditolongin kok malah aneh-aneh aja!”
Aku segera kembali ke kiosku. Melihat ia dari kejauhan. Kulihat ia sedang menatap makanan dan minuman pemberianku. Lalu ia pegang dan nampak ia berbicara yang aku tidak mendengarnya. Tetapi, kemudian malah melepas makanan dan minuman itu dan memojokkan diri seperti orang ketakutan. Dalam hati aku bertanya keheranan, ini orang gila kali ya? Kenapa zaman sekarang banyak orang gila?
Ya itulah, perjumpaan dan perkenalan pertamaku dengan si Pak Tua. Hampir tiap hari aku melihat seperti itu. Kelakuannya malah kian aneh. Ia selalu mengataiku setan tiap kali aku memberinya makan dan minuman. Sampai-sampai aku emosi. Ia juga berkata demikian pada orang yang lewat dan mendekatinya lalu mengusir mereka. Sampai-sampai yang hendak memberinya uang sedekah malah melempar saja uang itu ke mukanya karena diteriaki seperti orang ketakutan.
Aku merasa heran kenapa si Pak Tua seperti itu. Apa ia ada masalah di keluarganya sehingga lari atau mungkin ada hal lain yang membuatnya ketakutan. Aku benar-benar tidak tahu. Sampai ada seseorang yang memberi tahu diriku perihal perilaku si Pak Tua. Orang itu tampak sangat alim dan mengaku-ngaku sebagai saudara si Pak Tua. Lantas aku bertanya, kalau kau saudaranya kenapa tidak bawa saja. Orang itu hanya menjawab, Ah, buat apa? Dia saja selalu menolak untuk diajak pulang. Saya aja capek membujuknya. Yah, jawaban yang bisa diterima meskipun masih bertanya-tanya dalam hati. Orang itu bercerita kepadaku mengapa si Pak Tua seperti itu dan ketika ia bercerita si Pak Tua dari kejauhan teriak-teriak, Setan! Enyah kau!  Tapi, kami tak pedulikan.
Si Pak Tua, menurut orang alim ini, dulunya adalah seorang yang ahli ibadah. Ia selalu tidak pernah alpa dalam mengerjakan ibadah dan berbuat amal baik. Segala sesuatu yang dilarang Tuhan, selalu ia patuhi. Bahkan dalam berbagai acara ia selalu diundang untuk menyampaikan ceramah keagamaan. Ceramahnya tergolong enak didengar dan halus, serta tidak menghakimi.
“Dia itu adalah semacam kyai di kampung kami,” kata si orang alim, “Meski nyatanya ia belum pernah pergi haji atau menyantren demi mendapatkan ilmu keagamaan yang luas,”
“Lalu ia bisa alim demikian karena apa?” tanyaku.
“Ia punya guru,” jawab si orang alim.
“Guru?” tanyaku lagi.
“Ya, guru,” kata si orang alim menegaskan, “Guru itu yang mengajarinya bertindak alim dan baik, serta menjadi panutan hidup di masyarakat. Intinya, seperti yang dilakukan nabi,”
“Oo...,” kataku demikian.
“Gurunya itu, kalau dilihat dari perawakannya, memang seperti ulama besar. Jikalau berjalan selalu ada satu-dua pengikutnya di kiri dan kanan. Tiap ada orang yang bertemu dengannya selalu memberikan salam dan meminta doa untuk mendapatkan keberkahan. Ia sendiri amat mengagumi gurunya itu,”
“Lalu apa hubungannya dengan perilakunya? Bukankah harusnya ia tidak seperti itu?” tanyaku heran kembali.
“Ceritanya agak aneh,” kata si orang alim, “Tapi, takutnya sampeyan tidak mengerti jika saya ceritakan,”
“Ceritakan saja, Pak,” kataku, “Ya sembari mengisi kejenuhan menjaga kios,”
“Baiklah,” Mulailah si orang alim bercerita.
***
“Sang Kekasih Sejati,” demikian si Ahmad memanggil gurunya yang nama aslinya tidak diketahui. Panggilan itu atas permintaan gurunya sendiri yang menyuruh kepada Ahmad, salah satu muridnya. Ahmad awalnya heran mengapa harus memanggilnya demikian. Sebuah panggilan yang rasa-rasanya itu adalah panggilan yang sombong karena baginya tiada seorang ulama pun yang meminta dipanggil demikian kecuali ada yang memanggilnya.
“Lho, memangnya kamu Tuhan?” tanya si gurunya, “Tuhan saja tidak masalah. Kok malah kamu yang bermasalah?”
“Maafkan saya, Sang Kekasih Sejati, “ kata Ahmad, “Saya hanya heran saja,”
“Untuk apa kamu heran dan tidak ada yang perlu diherankan,”
Semenjak itu, si Ahmad selalu memanggilnya demikian walau di hati terasa mengganjal. Tetapi, ia tidak mau pedulikan itu. Toh, yang terpenting ia mendapatkan ilmu agama yang melimpah dari gurunya itu, seorang ulama yang nampak seperti sufi, yang gemar menyanyikan pujian-pujian dan zikir-zikir untuk Sang Pencipta. Ahmad hanyalah seorang biasa yang secara tidak sengaja bisa berguru kepada seseorang yang dianggap punya ilmu tinggi yang bisa bercengkrama dengan Tuhan langsung. Ia mengenal gurunya itu dari seorang temannya yang mengajaknya ke sebuah pertemuan jauh dari kampungnya. Di pertemuan itu ia diperkenalkan. Ditanya mengenai dirinya satu per satu oleh sang guru yang kemudian menyuruhnya menginap untuk diajak berdendang dan kemudian dibaiat. Ia dikenalkan oleh sang guru cara mengenal Sang Pencipta dan sang guru menyuruhnya untuk berdakwah. Sejak saat itu, Ahmad jadi giat berdakwah di kampungnya dan menjadi orang alim.
Ketika dalam kesendirian, ia selalu berdendang dan berzikir kepada Sang Pencipta. Mensyukuri atas nikmat dan anugerahNya, terutama nikmat bernafas dalam setiap waktu. Ketika berdendang, burung-burung selalu mengikutinya bernyanyi dan langit tampak ceria. Ia sendiri pun mempunyai dua murid, Ridwan dan Azmir. Dua muridnya ini selalu mendengarkan apa yang diucapnya dan meniru apa yang dilakukannya. Sampai kemudian ia mengirim dua muridnya untuk belajar langsung kepada sang guru karena merasa tidak ada lagi yang bisa diajarkan.
Setiap hari ia berdendang, beribadah, dan berzikir. Ia lupakan segala urusan duniawi demi mendapatkan cintaNya. Ia juga mengagumi gurunya yang ia anggap sebagai kekasihNya. Itu berlangsung cukup lama sampai ia hendak berbau tanah.
Suatu hari, gurunya memanggilnya. Ia tampak senang ketika akan menemui gurunya. Mereka bertemu di sebuah tempat sepi. Di dalam sebuah hutan.
“Ada apa Sang Kekasih Sejati memanggil saya?” tanyanya begitu ia sampai di depan gurunya. Sang guru tampak duduk bersila dengan tenang sambil bertasbih.
“Ada yang ingin kusampaikan pada dirimu, muridku,” katanya.
“Apa itu, Sang Kekasih Sejati?”
Sang guru menatap tajam dan serius ke arah Ahmad. Ahmad hanya menatap biasa saja ketika ditatap demikian. Namun, ia melihat ada sesuatu yang amat serius dari gurunya.
“Sekarang ceritakan apa yang kau dapat dariku selama berguru kepadaku?” tanya sang guru,
“Saya banyak mendapat ilmu dari Sang Kekasih Sejati,” jawabnya polos.
“Ilmu apa?” tanya sang guru lagi.
“Ilmu untuk bersyukur kepadaNya, ilmu untuk giat beribadah. Yang jelas ilmu yang diajarkan Sang Kekasih Sejati kepada saya sangat bermanfaat karena mengajarkan kebaikan,”
“Jadi, aku mengajarimu untuk menjadi baik saja bagi dirimu?”
“Maksud Sang Kekasih Sejati?”
“Kau tidak memintaku untuk mengajarimu ilmu yang tidak bermanfaat dan menimbulkan kejahatan?”
“ Lho, bukankah setiap ilmu yang diajarkan itu harus bermanfaat untuk nanti di dunia dan akhirat,”
“Jadi, ilmu yang mengandung kejahatan tidak ada manfaatnya maksudmu,”
“Maaf, Sang Kekasih Sejati, saya kurang mengerti. Yang saya tahu setiap ilmu itu diajarkan agar orang itu menjadi baik,”
Sang guru tertawa,
“Dasar manusia bodoh!”
Ahmad pun keheranan.
“Sejak kapan kau beranggapan seperti itu? Sempit sekali pikiranmu,”
“Kan Sang Kekasih Sejati sendiri yang bilang dan saya hanya mengikuti,”
“Lalu kau mengikutiku tanpa dipikir-pikir lagi? Benar-benar manusia bodoh!”
“Maksud Sang Kekasih Sejati apa?” Ahmad merasa mulai emosi karena semakin tidak mengerti apa yang sang guru bicarakan.
“Inilah yang aku tidak suka dari manusia, terutama dirimu,” kata sang guru kemudian, “Sejak awal aku sudah tidak suka kalau Ia menciptakan makhluk seperti ini untuk menjadi penghuni surga. Makhluk yang sungguh bodoh dan mudah ditipu dan ternyata memang benar,”
“Maaf, saya kurang mengerti dengan apa yang Sang Kekasih Sejati bicarakan?”
“Karena bodohnya kau mau memanggil diriku Sang Kekasih Sejati,” Ia lalu tertawa-tawa, “Sama saja kau seperti moyangmu, Adam dan Hawa. Mudah dikibuli,”
“Sekali lagi saya tidak mengerti apa yang Sang Kekasih Sejati bicarakan? Kalau Anda guru saya, jangan buat saya bingung,”
“Apa? Guru? Sejak kapan aku menjadi gurumu? Aku ini bukan gurumu. Paham!”
“Lalu apa?”
“Itu yang hendak kutunjukkan,”
Tiba-tiba angin berembus kuat di dalam hutan. Langit menjadi gelap dan tanah bergetar. Sang guru yang berada di depan Ahmad perlahan-perlahan memunculkan api di tubuhnya dan kemudian berwarna kemerahan. Muka sang guru perlahan berubah menjadi sesuatu yang menyeramkan dan berpandangan picik dengan senyum jahat. Tanduk muncul di kedua jidatnya. Kuku-kuku panjang muncul di jari tangan dan kaki. Dan kemudian muncullah buntut panjang dengan ujung tajam. Api menyelimuti dirinya. Ahmad yang melihatnya terkejut.
“Dasar manusia bodoh!” suara sang guru yang berubah wujud di depannya menggelegar, “Mudah saja bagi kalian semua, makhluk rendah untuk kutipu dan itu tidak akan pernah berubah sampai kapan pun. Kau lihat, aku adalah iblis, makhluk yang mengusir dua moyangmu yang bodoh itu. Aku tidak rela mereka menjadi penghuni surga. Apa-apaan itu? Dan Dia benar-benar tidak mau mendengar keluhanku ketika mereka ada. Aku lebih mulia dari mereka. Sebab aku iblis, Sang Kekasih Sejati, yang selalu memujaNya. Karena mereka, aku menjadi seperti ini!”
Ahmad tiba-tiba merasa seperti diperlihatkan tontonan menyeramkan. Ia sendiri tidak bisa berkata-kata. Keringat mengucur deras dari tubuhnya. Tangan dan kakinya bergemetar karena melihat sosok merah yang membara dengan sayap lebar dan buntut panjang hendak mengarah kepadanya. Sosok itu perlahan-lahan membesar.
Ahmad merasa ingin kabur saja. Tenggorokannya seperti merasa ditusuk. Ia seperti tidak percaya bahwa selama ini orang yang mengajarinya adalah iblis, si makhluk terkutuk yang menyesatkan manusia supaya menemaninya di neraka.
“Dasar manusia bodoh!” ujar iblis dengan suara menggelegar, “Sebentar lagi kau akan menemaniku bersama dengan mereka yang telah kutipu,” Ia lalu tertawa-tawa dan saat itu juga Ahmad secara spontan bangkit dan berlari. Ia berlari kencang tanpa peduli ke arah mana ia berkehendak. Tawa iblis menggelegar menggema di belakangnya. Menghantuinya.
***
Ya itulah cerita yang kudapatkan dari si orang alim itu. Jadi, ia tertipu iblis yang rupanya menyamar menjadi gurunya. Aku sendiri memang kurang mengerti dengan cerita seperti itu. Yang aku tahu iblis itu jahat. Sudah itu saja. Kalau soal dia itu adalah ahli ibadah, aku tidak mengerti. Sewaktu si orang alim bercerita, si Pak Tua terus berteriak dan kemudian bangkit lalu mengarah pada kiosku,
“Pergi kau, setan!”
Saat aku hendak menoleh ke si orang alim, ia ternyata sudah tidak ada. Padahal, aku merasa ia masih di sampingku, bahkan ketika si Pak Tua berteriak mengusir. Aku sendiri malah heran kemana perginya orang yang tadi di sampingku.
“Aku bilang kau jangan didatangi dia lagi,” kata si Pak Tua, “Dia itu setan, iblis!”
“Bapak ini ngomong apa?” tanyaku heran, “Jangan berburuk sangka terhadap orang,”
“Dia itu iblis, setan!” katanya, lalu berbalik ke tempatnya.
Dalam hati aku berujar, dasar Pak Tua aneh.
Dan begitulah. Si Pak Tua terus berteriak aneh dan mengusir bila ada yang mendekatinya. Ya rasa-rasanya kurang masuk akal juga penyebabnya. Ditipu dan bertemu iblis. Apalagi iblisnya menyapa sebagai gurunya sendiri. Tapi, yang jelas itu bukan urusanku. Yang penting, aku bekerja mencari nafkah, meski dari kios kecil ini. Toh, Ia juga senang melihatnya.
“Masih seperti itu aja itu orang?” tanya seseorang yang kemudian muncul di sampingku. Aku menoleh dan terkejut. Orang yang di sampingku ternyata yang pernah datang ke kiosku dan bercerita perihal si Pak Tua. Ha? Dari mana ia datang? Sekejap pun  tak kudengar jejaknya.
Dan Pak Tua di seberang kembali berteriak ketika si orang alim ada di kiosku,
“Heh, enyah kau setan!”
Jujur, aku malah tidak mengerti.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran