Pages

Senin, 10 September 2012

Galau


Galau. Ya galau. Itu yang kini sedang kurasakan. Lima huruf saja. Tak lebih. Seperti cinta, nafsu, dan benci. Jika digabungkan maka bisa menjadi sebuah kalimat: Aku galau karena cinta. Aku benci tetapi nafsu padanya. Atau dibalik: Aku benci tapi aku cinta padanya. Atau: aku nafsu karena aku galau padanya. Ah, apalah itu yang jelas aku memang sedang galau. Terduduk bingung. Menerawang ke langit-langit. Begitu banyak bayangan tersaji. Indah tetapi juga mencemaskan.

Well, aku galau karena suatu hal. Ini galau yang tidak biasa. Tak biasanya karena ini terus menggaguku. Ya, seperti hantu saja. Suka menganggu. Atau teroris. Suka meneror. Aku sejujurnya tidak masalah selama galauku ini positif. Misalkan galau mencari inspirasi, terutama inspirasi untuk berkarya. Berkarya dalam bentuk apa saja. Misal menulis, menggambar, memotret, atau bermusik. Lagipula bagi mereka yang suka berseni atau katakanlah seniman, galau itu anugerah.

Tapi, sepertinya galauku ini kebalikannya. Benar-benar menggangguku. Meresahkanku. Sampai-sampai aku tidak bisa tertidur. Aku benar-benar ingin lepas dari galau ini. Kau mungkin akan menebak kalau aku galau karena wanita. Alah! Salah besar. Benar-benar salah besar. Memang sudah menjadi pandangan atau pendapat umum lelaki galau karena wanita atau wanita galau karena laki-laki. Biasanya sih karena cinta. Ya ya. Itu sudah menjadi sesuatu yang umum sampai-sampai tak harus diumumkan kan?

Atau galau karena pekerjaan? Ah, tidak juga. Soal pekerjaan aku lancar-lancar saja. Malah aku sudah dalam puncak tertinggi dalam karierku. Orang-orang sekitarku memberikanku semacam apresiasi atas pencapaianku. Aku malah diberi cuti seminggu lebih untuk liburan ke sebuah pulau surga di Pasifik. Ya tentunya bersama wanita sahabatku yang tetap aku hormati sebagai sahabat. Tidak lebih.

Lalu? Alamak! Susah juga ya aku galau karena apa. Susah menggambarkannya. Karena cuma terancang di otak. Sudah terkonsep. Tetapi susah dilepas. Istilahnya seperti api yang hendak dinyalakan di kompor gas, tetapi tidak jadi.

Hm...daripada bicara tentang galau ada baiknya aku menonton televisi saja. Biar galauku hilang. Mungkin tidak benar-benar hilang. Remote kuambil lalu salah satu tombolnya kupijit. Blets! Layar televisi yang hitam di depanku sekejap berubah menjadi berwarna. Di layar televisi tersaji sebuah tayangan dari sebuah saluran olahraga. Sepak bola rupanya. Olahraga nomor satu di dunia.

Tapi, yang tersaji itu bukan pertandingan, melainkan sebuah berita. Beritanya tentang seorang pesepak bola terkenal sejagad. Si pesepak bola itu berwajah rupawan bak pangeran ganteng di negeri dongeng. Juga dia punya kemampuan dalam mengolah si kulit bundar sehingga kaum hawa yang melihatnya bakal semakin terpukau-pukau atau terkelepar-kelepar seperti ikan yang baru dipancing dari air. Ya, nama si pesepak bola itu adalah Bernardo. Ia bermain di sebuah klub bernama Mirandas. Klubnya itu klub terkenal lho. Prestasinya sudah seabrek sampai lemari penuh karena sesak oleh trofi. Sudah begitu banyak pemain terkenal pernah mangkal di situ. Dan Bernardo adalah salah satunya.

Berita mengenai Bernardo yang kali ini kulihat di televisi bukan mengenai kehebatan atau ambisinya meraih trofi lagi bersama Mirandas demi menjungkalkan Valerna, seteru abadi mereka. Tapi ini mengenai kerisauan hatinya. Ya, si Bernardo sedang risau dan risaunya itu ia tunjukkan secara terang-terangan di depan televisi.
Waktu itu, ketika pertandingan melawan Burcas, Bernardo mencetak gol. Tiga malah sehingga ia dapat gelar hattrick di pertandingan tersebut. Gol-gol yang mampu memantapkan posisi Mirandas di puncak klasemen La Sombrero. Tentu saja itu membuat para pendukung Mirandas dan itu sudah seharusnya. Tetapi, tidak bagi Bernardo. Usai mencetak gol, ia malah berekspresi biasa-biasa saja. Bahkan sedih. Tiada raut gembira sebagaimana yang ditunjukkan sehabis mencetak gol.

Akibatnya, banyak yang bertanya-tanya ketika sejumlah kuli foto berhasil mengabadikan ekspresinya. Foto-fotonya tertampil di halaman utama berita olahraga. Beritanya banyak diekspos media televisi dan radio. Dari nasional hingga internasional. Semua pun berspekulasi. Ada yang bilang ia kecewa dengan Mirandas mengenai kebijakan klub, khususnya soal gaji. Ada yang bilang ia tidak betah di Mirandas dan tidak ada gairah membela klub itu. Lalu ada yang bilang ia marah karena teman karibnya yang dulu pernah sama-sama bersaing untuk memperebutkan gelar pemain terbaik dunia diabaikan klub. Dan ada yang bilang ia tengah kesal dengan orang di klub seteru yang berhasil meraih gelar pemain terbaik dunia. Semua spekulasi itu menyebar bagaikan virus di dalam komputer. Mencengkram pikiran tiap orang lalu mempengaruhinya secara pelan-pelan.

Karena sifatnya spekulasi, jujur aku kurang atau malah tidak percaya sama sekali. Itu kan bisa-bisanya mereka yang berspekulasi, terutama para kuli tinta yang doyan, mungkin bukan doyan lagi, tetapi harus mengejar berita agar tiras naik setiap hari. Juga para penggosip dunia hiburan, mengingat Bernardo juga sering eksis di dunia gemerlap tersebut. Juga para komentator sepak bola yang terkadang sok tahu.
Kalau aku ditanyakan oleh salah satu temanku, yang juga kuli tinta mengenai ini, aku menjawab,

“Waduh, mana ku tahu. Kalau aku tahu malah sok tahu jadinya,”

Begitulah kalau teman-temanku selalu bertanya padaku akan selalu kujawab demikian. Meski mereka bilang,

“Kan kau sering menonton bola pasti tahu kan?”

Apakah itu harus jadi sandaran buat aku tahu? Sama sekali tidak dan bagiku tidak ada hubungannya sama sekali.

“Masih juga galau, nak?” tanya ibuku tiba-tiba menyapa diriku. Ia datang dari arah belakang, tepatnya dari arah dapur. Kedua tangannya tampak membawa sepiring pasta.

“Makan dulu ini biar hilang galaunya,” ujarnya lagi sambil menaruh sepiring pasta itu di depanku. Pasta yang kelihatan lezat dan menggoda, terutama bagi mereka yang sedang diterjang kelaparan. Tetapi, sepertinya kebalikan buatku.

“Aku nggak lapar, ma,” kataku menolak.

“Nggak lapar karena galau?” tanya ibuku lalu duduk di sampingku dan menatap diriku, “Kamu ini sudah begitu saja galaunya luar biasa. Kenapa nggak cerita aja sih sama mereka biar mereka tahu persoalannya?”

“Apakah penting mereka harus tahu?” tanyaku sambil melihat tayangan olahraga di depanku.

“Penting, Nak,” kata ibuku, “Lihat saja keadaan kamu kaya gini. Kamu diam-diam. Nggak mau bicara. Akhirnya mereka penasaran dan buat berita miring,”

“Ya biar saja,” kataku acuh, “Salah mereka kenapa harus buat berita demikian. Aku lebih baik diam. Kalau aku ceritakan mereka juga tidak akan mengerti,”

“Aduh, kamu ini coba deh berpikir dewasa,” kata ibuku, “Kamu itu bukan anak kecil lagi yang mama suruh bilang apa yang kamu alami sebenarnya. Sadar deh, kamu itu udah jadi pesohor publik. Kalau ada apa-apa ceritakan. Jangan buat mereka, terutama penggemar kamu kecewa,”

Aku hanya terdiam. Tak menjawab. Berpikir apakah ucapan ibuku itu ada benarnya atau tidak. Masalahnya, aku memang merasa lebih baik diam. Aku tak mau mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kalau mereka tahu bisa kacau.

“Apa mama sendiri yang harus beritahu, Bernardo?” tanya ibuku yang membuatku terkejut.

“Maksud mama?” tanyaku. Aku lalu terdiam. Hening.

Ibuku hanya tersenyum sambil memainkan pasta.

1 komentar:

  1. SLOT MANIA BERUPA RP 11 MILYAR!

    Promo Akan Berakhir Di 31 Mei.

    Segera Mainkan Dan Dapatkan Hadiah Anda!

    Hanya Di Zeusbola

    Deposit Murah!
    CS Online 24 Jam

    INFO SELANJUTNYA SEGERA HUBUNGI KAMI DI :
    WHATSAPP :+62 822-7710-4607


    BalasHapus

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran