Pages

Kamis, 27 September 2012

Kekecewaan yang Berbuah Sakit


Mendengar kata “pasar malam” dalam pikiran kita akan langsung terasosiasi dengan sebuah tempat yang cukup ramai dengan banyak orang dan atraksi permainan, serta berlangsung di malam hari. Dan di tempat itulah suasana senang begitu mendominasi. Karena ramainya suasana demikian kerap dianalogikan dengan pasar. Di tempat itu orang beramai-ramai datang dan juga beramai-ramai pulang. Tetapi, bagaimana dengan kelahiran dan kematian? Apakah seperti orang yang datang dan pergi dari pasar malam?

Hal yang demikian retoris itu coba digambarkan oleh Pramoedya Ananta Toer, sastrawan ternama Indonesia, dalam salah satu karyanya yang berjudul Bukan Pasarmalam. Tentulah dari judulnya saja yang filosofis membuat yang melihatnya akan penasaran dan heran mengapa judulnya demikian. Dalam novel yang diterbitkan pada 1951, Pram ---biasa ia dipanggil--- menceritakan tentang seorang mantan pejuang dalam masa-masa revolusi yang harus kembali ke kampung asalnya, Blora dikarenakan ayahnya sakit keras. Bersama istrinya, ia kembali kampung yang telah menjadi tempat ia dibesarkan dan juga ia tinggalkan selama beberapa tahun karena berkutat dengan perang pada masa-masa revolusi. Dalam perjalanannya menuju Blora, setiap kali melewati suatu tempat, ia akan ingat masa-masa revolusi dahulu yang penuh keringat dan darah memperjuangkan Indonesia yang baru seumur jagung merdeka.

Sesampainya di Blora, usai bertemu dan berkumpul bersama adik-adiknya, ia menjenguk ayahnya yang sakit di rumah sakit lalu terkejut melihat ayahnya yang sudah tak berdaya terbaring di atas ranjang, dan sedang berupaya menunggu maut datang. Berhari-hari selanjutnya, “aku”, si tokoh utama berurusan dengan sang ayah yang sakit. Ia juga berurusan dengan adik-adiknya. Istrinya serta tetangganya. Semuanya adalah keluh kesah dan cerita mengenai sang ayah. Namun ia coba bersabar apalagi ketika sang istri menyuruhnya pulang karena kelamaan di Blora akan membuat keuangan mereka menjadi tipis. Sampai akhirnya, sang ayah yang ditemui dan ditungguinya itu pun meninggal.
***
Jika melihat pada ceritanya yang naratif dengan gaya penceritaan “aku”, Bukan Pasarmalam sejujurnya menceritakan tentang seorang manusia yang sedang berupaya menunggu ajalnya datang. Namun melalui sebuah penderitaan yang dinamakan sakit. Tokoh “ayah” dalam cerita itu digambarkan tidak berdaya, padahal ini berkebalikan dengan masa mudanya yang dikenal gagah dan mau berjuang untuk republik.

“O---seakan-akan mereka tidak tahu bahwa ayah sedang memperjuangkan republik” (hal.61).

Pada masa-masa itu tokoh “ayah” dikenal gigih berjuang untuk republik, namun melalui garis pendidikan dengan menjadi guru. Karena baginya, guru adalah lembaga bangsa dari sebuah negara. Sebab melalui gurulah cita-cita sebuah bangsa akan tercapai apalagi bagi suatu bangsa yang baru seumur jagung dan hendak menemukan jati dirinya. Cara pandangan yang demikian sejalan dengan cara pandang humanisme dan behavorisme.

Namun apa yang sudah diperjuangkan tokoh “ayah” nyatanya menjadi sia-sia ketika setelah masa revolusi ia dikecewakan oleh keadaan yang bersifat politis. Teman-teman seperjuangannya yang ia bela habis-habisan malah melupakan apa arti dari perjuangan itu sendiri. Beberapa di antara mereka malah sibuk memperebutkan gedung dan kursi, dan melupakan penderitaan rakyat.

“...Dan bukan tanggung-tanggung lagi ayah tuan membela kepentingan mereka itu. Tapi, kala kemerdekaan telah tercapai, mereka itu sama-sama berebutan gedung dan kursi,” (hal.102)

Kekecewaan yang demikian membuat tokoh “ayah” jatuh sakit lalu perlahan-lahan menderita sakit serta membagi cerita pedihnya itu kepada tokoh “aku” yang merupakan anak tertua sampai kemudian meninggal.
Di dalam novel ini, seperti pengantar dari penerbitnya, Lentera Dipantara, Pram berusaha menampilkan aura mistik dan religius tentang seseorang yang berusaha menunggu ajalnya datang melalui sakit. Memang dalam novel ini, hampir semua tokoh sebelum tokoh “ayah” meninggal karena sakit. Itu ada penceritaan dari tokoh “adik keempat” kepada “aku” mengenai ibu, kakek dan nenek mereka yang meninggal. Namun hal yang demikian bersifat alami dan secara religius kematian itu pasti akan menghinggapi manusia. Entah itu kapan. Manusia itu sendiri tidak tahu. Caranya melalui apa. Manusianya juga tidak tahu. Sebab itu hanya Tuhan yang tahu.

Dalam penggambaran akan siklus hidup manusia itu, Pram memakai penggambaran simbolis. Ia umpamakan hidup manusia itu seperti sebuah gundukan. Gundukan itu, melalui “aku”, ditemui kala “aku” berada di Stasiun Gambir bersama dengan istrinya naik kereta ke Blora,

“Bukankah hidup manusia itu dicangkul, diendapkan, dan diseret juga seperti gundukan tanah merah itu?” (hal.12)

Pada kenyataannya, memang demikian. Pencangkulan menggambarkan bahwa manusia itu lahir. Pengendapan menggambarkan bahwa manusia itu ada. Dan penyeretan menggambarkan bahwa manusia itu mati.

Siklus hidup manusia yang demikian itu tentu saja tidak bisa dialami secara serempak, dan harus sendiri-sendiri. Maka, tak salah jika maksud dari judul Bukan Pasarmalam itu adalah bahwa kelahiran dan kematian tidak bisa seperti datang dan pergi ke dan dari pasar malam beramai-ramai.

Dalam novel yang bersetting awal 50-an ini, nampak Pram juga menekankan arti pentingnya sebuah surat. Surat, selain telegram, pada masa-masa tersebut begitu penting dalam menyampaikan berita, terutama berita sakit. Apalagi di masa-masa yang semua orang belum mempunyai telepon sama sekali. Surat dalam karya sastra biasanya ada bagi penulis untuk mengembangkan alur cerita atau menggambarkan pribadi sang tokoh. Ini berdasarkan pendapat dari Maman Mahayana mengenai pentingnya surat sebagai salah satu alat komunikasi dalam karya sastra.

Pada novel yang telah diterjemahkan dan diterbitkan ke beberapa bahasa ini, bagaimana sebuah surat dari tokoh “ayah” pada “aku” mengenai keadaannya pada awal-awal cerita. Di awal-awal cerita itu surat sang “ayah” tidak menggambarkan bahwa ia sakit. Tetapi surat dari sang “paman”-lah yang menggambarkan bahwa sang “ayah” sakit”. Dari sebuah korespondensi demikianlah cerita bermula. Dari sebuah surat juga “aku” menyadari kesalahannya karena telah menulis sebuah surat yang menyebabkan ayahnya sakit. Surat itu sendiri berisikan kekesalan “aku” pada “ayah” karena telah menelatarkan adik perempuannya sehingga menjadi sakit.

Pada intinya, dalam novel ini, Pram meminta secara eksplisit bahwa manusia mau bagaimanapun, sekuat apa pun, pasti menghadapi kematian. Dan dalam menuju dan setelah kematiannya itu, manusia akan melakukannya sendiri. Ketika si manusia yang meninggal itu ditinggal ia pun akan merasa dengan cemas menunggu. Itulah yang tergambar dalam sisi psikologis “aku” ketika membayangkan makam-makam keluarga yang berisikan kakek, nenek, ibu, dan adik yang terkecil serta sang ayah. Ia membayangkan bahwa pada suatu hari akan di tempat tersebut. Terbaring kaku.

“Dan dalam berjalan pulang terbayang dalam kepalaku kuburan ibu, adik, nenek, ayah, dan kakek. Dan barangkali juga kelak di sampingnya mayatku sendiri dikuburkan orang” (hal.100).

Sejujurnya, tema yang digarap Pram dalam novel ini bersifat umum, dan ada dalam kehidupan sehari-hari. Namun, Pram bisa menggambarkannya melalui pergulatan permasalahan itu dengan melirik sisi psikologis setiap tokohnya. Tokoh “aku” yang menjadi sentral penceritaan digambakan Pram begitu kuat harus merasa menanggung penderitaan yang diderita ayahnya. Beban psikologis itu nampak kala ia melihat ayahnya terbaring atau saat memikirkan kesalahannya yang dulu pada ayahnya. Beban psikologis yang sama juga dirasakan sang “ayah”. Apalagi setelah tahu dirinya dikecewakan keadaan. Yang menarik, dari novel ini terlihat latar belakang Pram di masa mudanya sebagai tentara dan guru, dan kemudian terbawa dalam cerita. Sehingga kita pun bisa menebak bahwa “aku” dan “ayah” itu adalah Pram sendiri.



0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran