Pages

Selasa, 26 Juni 2012

GGGGOOOOAAAALLLL

GGG...
GGOOO
GGGOOOAA
GGGOOOAAALLLLL!
Anda bersorak
berjingkrak
melompat
bersuka cita
www.komikoo.com
berpelukan
Tapi dia meratap
memegang kepala di belakang
OOOOO....
Tak percaya
dan menutup muka

Kantuk Dalam Siang

Mata masih memberat dan teringat lirik dari lagu Sheila On 7,
"Berjuta ton pemberat di mata indahku"
Seperti masih terbangun dari dunia awang-awang,
Merasa masih bukanlah dari dunia kenyataan


Selimut waktu yang tadi membungkusnya,
perlahan tapi pasti menenggelamkannya dalam impian terpendam
terbang di mayapada fana,
tergiur dan termabuk keindahan alam bawah sadar


Sesuatu yang memang menjadi campur aduk, 
seperti halnya memakan dan meminum es campur,
warna-warni itu terpadu,
namun tak mendukung
Lambat melaun  haruslah sekali lagi mengakui bahwa itu hanyalah pekerjaan rutin di pulau kapuk,
dan itulah yang tersaji ketika kantuk masih tersesap di siang murung

Sabtu, 23 Juni 2012

Weekend

Weekend
Selalu terdengar di telingaku tiap kali Jumat berakhir
Ketika weekend menjelang terasa hati senang
melepaskan diri dari jeratan kesibukan
mencoba meluangkan waktu meski hanya bersifat fana

Weekend
Sudah menjadi kata yang sakral bagi mereka
yang hendak menikmati
seperti anggur yang memabukkan
lalu terbayanglah semua keindahan
mengawang-awang, melayang meninggalkan detak-detik kepenatan

Sayang, bagiku weekend hanyalah seperti lintasan waktu yang berlari cepat
Datang kemudian pergi lagi
pergi kemudian datang lagi
Seperti angan-angan yang terhempas

Jumat, 22 Juni 2012

Kalong-Kalong


Kelelawar itu mengatupkan sayapnya erat-erat sehingga membungkus tubuhnya. Hanya kepalanya yang terlihat. Matanya tampak menatap tajam pada sesuatu yang sebenarnya cukup jauh dari tempat ia berada, di akar sebuah pohon. Kedua kakinya tampak mencengkram erat akar pohon yang tampak kokoh itu. Sekelebat kemudian ia melepaskan diri dari akar pohon itu dan mengembangkan sayapnya yang lebar lalu terbang. Hendak menyusur benda yang sedari tadi menjadi perhatiannya dan menjadi mangsanya.
Aku yang melihatnya biasa saja dalam sebuah acara televisi semacam Discovery Channel, tetapi tidak dengan Irna. Ia malah menjerit ketakutan seperti melihat hantu.
“Matiin!” teriaknya padaku, “Gue bilang matiin!”
“Mang kenapa sih?” tanyaku heran, “Gue nggak mau!”
“Yee..matiin!” kata Irna kembali berteriak, “mana remotenya?”
Aku ambil remote itu secepat mungkin,
“Salah lo sendiri,” kataku sambil memegang remote erat-erat, “Kan gue tadi udah bilang kalo nggak mau liat jangan nonton. Udah tau ini edisi tentang kalong,”
“Eh...jangan nyebut-nyebut ya,” katanya malah marah padaku, “Mau kalong kek, kelelawar kek atau batman sekalipun!”
“Suka-suka gue dong!” kataku acuh.
Tiba-tiba saja Irna yang terlihat kesal dan geram itu maju ke arah televisi dan mematikan si kubus visual tersebut. Aku jelas terkejut.
“Oke deh, tontonannya usai sudah,” ujarnya setelah itu dengan raut muka puas.
“Lo apa-apaan sih?” tanyaku heran sekaligus geram.
Ia tidak menjawab pertanyaanku tetapi malah ngeloyor pergi ke kamarnya di tingkat atas. Ketika ia hendak ke sana, aku berseru,
“Liat aja ada kalong lho ntar di sana. Siap-siapa aja lo dihisap darahnya!”
“Bodoh,” jawabnya enteng.

lovebats.soup.io

Jujur, aku masih tak habis pikir kenapa Irna, sepupuku itu, rada ketakutan bila melihat tayangan kelelawar atau kalong, tapi aku lebih suka menyebutnya kalong, di televisi. Apalagi jika si kalong sedang terbang di kegelapan malam. Memang sepintas terlihat seram. Dengan wajah yang didesain menyeramkan. Gigi bertaring. Tangan yang menyatu dengan sayap, dan kaki yang pendek. Ya karena sukanya terbang di malam hari apalagi bentuknya seperti itu banyak yang mengaitkannya dengan berbagai mitos. Salah satunya mitos tentang drakula, si makhluk penghisap darah, atau saudaranya, si vampir. Ah, tapi itu kan akal-akalan saja. Soalnya, ketika cara berpikir manusia masih dalam tahap meraba-raba dan melihat sesuatu yang berada di luar kebiasaan, mereka akan mengaitkannya dengan sesuatu hal yang menyeramkan dan bersifat magis. Salah satunya ya, kelelawar yang dikaitkan dengan makhluk-makhluk jadi-jadian penghisap darah. Meski, dalam kenyataannya ada juga kalong penghisap darah.
Tetapi, untuk kasus Irna agak beda. Ia takut melihat kalong karena kalong itu adalah perwujudan dari seorang lelaki yang pernah menjumpainya kemudian pernah bersemayam di dalam kehidupannya. Katanya, lelaki itu amat sangat ganteng, rupawan, dan ya mirip dengan Cristiano Ronaldo, si pesepakbola tersohor yang digandrungi banyak kaum hawa. Aku yang mendengarnya merasa agak aneh saja ketika ia menceritakannya pada suatu malam.
***
Irna tampak sendiri berjalan di sebuah gang sepi. Waktu itu sudah malam hari. Bahkan larut dan pekat. Orang kebanyakan sudah menjadi kepompong dan sedang meraih kenikmatan di pulau kapuknya masing-masing. Suasananya agak seram karena Irna melewati daerah yang cukup sepi dan angker. Tetapi, ia tidak peduli. Mau ada setan kek atau nggak sama saja, begitu gumamnya. Ia terpaksa harus berjalan kaki malam larut itu usai asyik berpesta di sebuah klub malam dan tiada kendaraan sama sekali. Ya, Irna memang suka sekali dugem. Kebanyakan ia melakukannya sendirian dan jarang bersama-sama.
Memang di tempat itu sepi dan angker karena banyak penunggu halusnya, namun bukan itu rupanya yang ditemui Irna. Dua orang berbadan ceking menghadangnya lalu menyodorkan pisau tajam sambil bergestur dengan tangan meminta uang. Irna tahu siapa yang di depannya itu. Mereka hendak merampoknya. Apalagi, dirinya juga memakai pakaian yang mengundang nafsu. Mampus deh gue, gumamnya panik.
“Siapa suruh jalan di sini sendirian!” kata si perampok yang satunya. Wajahnya tirus. Ia nampak nafsu melihat Irna. Matanya membesar.
“Enak nih bos kayanya,” ujar si perampok yang satunya lagi. Wajahnya rada bulat.
“Eh, lo kira gue makanan!” ujar Irna membalas, “Pergi nggak lo berdua atau gue teriak!”
“Teriak aja!” kata si tirus, “Nggak ada yang dengerin kok,” Ia lalu terkekeh-kekeh.
Mereka berdua mendekat dan Irna terpojok ke sebuah tembok dekat dengan pohon pisang. Mulutnya komat-kamit, aduh gue masih mau jadi perawan, gumamnya lagi.
“Ya beraninya sama cewek doang!” ujar suara tiba-tiba di belakang. Nampaknya suara lelaki. Irna dan dua perampok itu jelas terkejut. Kedua-duanya menoleh. Dilihatnya, sesosok lelaki tegap dan rupawan seperti bintang film. Irna, yang mungkin masih dalam pengaruh minuman, terpesona melihatnya.
“Wah, kaya di film aja nih,” kata si tirus, “Ada jagoannya,”
“Ah, udah bos,” kata si bulat, “Hajar aja!”
Mereka berdua segera berlari ke arah si lelaki itu sambil menyodorkan pisau. Tetapi, si lelaki tampak tenang dan malah bisa membuat kedua perampok itu jatuh dan terkapar hingga pingsan.
Irna yang melihatnya tambah terpesona. Wah, kaya superhero, ujarnya dalam hati. Ia mendekati Irna dan kemudian bilang,
“Nggak apa-apa kan, mbak?” tanyanya.
“Nggak apa-apa kok,” kata Irna. Tetapi, seperti ada yang membisikinya, Irna langsung bertanya curiga,
“Jangan bilang ya mereka itu teman-teman lo?”
“Teman apa?” tanya si lelaki heran, “Saya aja nggak kenal,”
Irna bergumam,
“Gue kira teman-teman lo,” katanya, “Tapi, kalo emang teman-teman lo harusnya gue udah kenal lo,”
Ia lalu menyodorkan tangan,
“Irna,”
Si lelaki itu membalas dengan menyodorkan tangan,
“Rifki,”
“Ganteng seperti orangnya,”
“Mbak bisa aja. Mari kita tinggalkan tempat ini,”
Mereka berdua meninggalkan tempat itu dengan dua perampok yang masih nampak pingsan dengan nikmat setelah dibogem.
Usai pertemuan dengan Rifki, Irna nampak begitu senang dan ceria. Lelaki itu memang ganteng dan Irna menyukainya. Ia ingin sekali bertemu dengan lelaki itu lagi. Sayang, ia lupa meminta nomor Rifki. Saking senangnya, ia ceritakan itu kepada Andrea, sahabatnya. Andrea hanya berkata,
“Hati-hati lo, Na. Bisa jadi itu cowok jadi-jadian soalnya lo ketemu dan kenalan sama dia di malam hari,”
“Nah, mulai deh lo ngomongnya ngaco,” ujar Irna.
Hampir setiap hari, ia membayangkan wajah Rifki yang rupawan itu. Irna ingin bertemu dengannya tetapi sayang tiada kontak yang ia punya darinya. Ah, coba gue waktu itu minta, gumamnya. Sampai ketika ia merasa tak akan bisa lagi bertemu dan pasrah dan pada suatu malam di dekat klub malam tempat ia bisa berdugem, ia bertemu dengan Rifki. Betapa senangnya ia. Ia ajak Rifki berdugem dengan diiringi hentakan suara musik dari sang disc jockey. Namun, tampak Rifki kurang menyukai dan mulai menarik diri. Irna mengejarnya.
“Maaf, lo nggak suka ya dengan beginian?” tanya Irna yang raut di wajahnya mengandung kekhawatiran.
“Iya,” kata Rifki, “Buang-buang tenaga aja,”
“Apa lo dari keluarga alim?” tanya Irna.
“Bukan,” kata Rifki, “Ya gue nggak suka aja sama dugem, diskotik,”
“Oh, maaf deh,”
“Kok maaf?”
“Ya, maaf, udah ngajakin lo ke sana,”
“Gue yang harusnya minta maaf karena tadi pergi begitu aja,”
Mereka berdua kemudian memutuskan meninggalkan diskotik dan menuju ke sebuah tempat sepi yang berada di tepi danau tak jauh dari diskotik,
“Lo suka sama yang sepi-sepi ya?” tanya Irna lagi.
“Nggak hanya sepi tapi tenang,” jawab Rifki pelan.
Saat mereka berdua itu Irna mulai menanyakan nomor kontak Rifki dan Rifki memberinya. Hanya saja, Rifki bilang dirinya hanya bisa ditemui pada malam hari bukan siang hari. Ketika ditanya mengapa, Rifki hanya bungkam dan bilang seadanya,
“Ya nanti lo nggak akan mengerti,”
Irna mengiyakan saja dalam hati walau ia bertanya-tanya.
Semenjak itu, mereka berdua selalu bertemu di malam hari. Bahkan pada malam yang larut. Awalnya, Irna tampak menikmati saja tetapi lama-kelamaan ia bertanya-tanya mengapa harus malam hari dan bukan siang hari. Saat bertanya itu lagi jika mereka bertemu, Rifki selalu menjawab dengan jawaban yang sama. Ketika ia sms dan telepon pada siang harinya, selalu tiada jawaban. Irna jadi bertanya-tanya keheranan. Ia ingin sekali bertandang ke tempat Rifki. Namun, ia juga tidak tahu di mana tempatnya. Kalau ditanya soal tempat, Rifky hanya menjawab,
“Tempat gue jauh,”
Namun tidak diketahui jauhnya seperti apa.
Irna yang statusnya belum berpacaran dengan Rifky juga mencoba mengajak ciuman. Sayang, Rifki menolak dengan alasan,
“Gue lagi sariawan,”
Tetapi, jikalau tidak sariawan,
“Mulut gue bau karena nggak gosok gigi,”
Lalu jika tidak gosok gigi,
“Bibir gue kering jadi jelek buat diemut,”
Dan begitulah alasan yang membuat Irna tambah heran dan heran. Sampai-sampai ia berpikir dan beranggapan, kali tuh cowok bukan buat gue kali. Secara gue kaya begini. Pada akhirnya, Irna kembali pasrah dan tidak banyak meminta jika bertemu pada malam hari.
Dan pada suatu siang, Irna tidak sengaja melewati daerah kos-kosan. Ketika melewati salah satu kamar kos-kosan, ia tampak melihat ada sebuah sinar. Lalu ia beranggapan, paling tuh sinar orang lagi nonton bokep. Tapi, sinar itu membuatnya penasaran. Kuning dan agak rapih. Irna mendekatinya. Lalu diintipnya perlahan apa yang terjadi di kamar itu. Ada seorang lelaki dan juga sayap besar. Apa? Sayap? Lelaki yang dilihatnya bersayap dan ia melihat wajah lelaki itu: Rifki?
Ia segera masuk dan melihat Rifky dalam sebuah sosok yang lain. Rifki yang sedang telanjang dada tampak terkejut. Sayap di kedua punggungnya merekah.
“Rifky,” kata Irna terkejut.
“Halo, Irna,” kata Rifki.
“Si..siapa lo sebenarnya?”
“Gue malaikat, Irna,” kata Rifki, “Mungkin lo nggak akan percaya dengarnya,”
“Jadi kenapa lo selalu menolak bertemu di siang hari karena ini,”
“Betul. Harap lo maklum. Makanya, gue nggak bisa jelasin ke lo karena nanti lo nggak akan mengerti,”
“Gue ngerti kok! Tapi, jangan kaya gitu dong caranya. Kenapa lo ngebohongin gue?”
Rifky terdiam dan kemudian berkata,
“Gue ini malaikat, Irna,” katanya, “Malaikat jatuh yang diusir karena mempunyai nafsu dengan malaikat perempuan,”
“Malaikat kan nggak punya nafsu?” tanya Irna heran.
“Tapi, gue punya,” kata Rifki, “Dan gue dikutuk untuk tidak boleh kembali dan harus ke bumi mencari wanita manusia. Tapi, sayang, gue hanya bisa berada di malam hari karena unsur malaikat gue masih ada dan gue belum sepenuhnya menjadi manusia,”
“Dan lo kemudian ketemu kan dengan wanita manusia itu?”
“Ya, dan itu lo. Gue berharap lo mau jadi pasangan hidup gue,”
“Gue sih mau aja. Sayang, lo udah ngebohongin gue,”
“Tolong, Irna. Itu biar lo nggak kaget. Tolong mengerti,”
“Lalu bagaimana kalo gue nggak mau?”
“Gue akan berubah menjadi kalong,”
Irna tertawa-tawa,
“Lo memang kalong karena suka muncul di malam hari,”
“Ini serius, Irna,”
Rifki menatap tajam Irna,
“Gue akan berubah menjadi kalong,”
“Ah, peduli amat! Kenapa juga harus gue bukan yang lain,”
Tampak raut wajah Rifki berubah sedih dan pada saat itu berkata,
“Baiklah, kalo itu mau lo,”
Asap tiba-tiba muncul dan menyelimuti seluruh tubuh Rifky. Dalam sekejap tubuh yang terselimuti asap itu mengecil dan kemudian muncullah sesosok mamalia hitam dari dalam asap itu. Sebuah kelelawar besar yang tengah mengepakkan sayapnya dan kemudian melaju dengan kecepatan tinggi melewati Irna melesat keluar.
Irna yang melihatnya terkejut dan tidak percaya. Seperti ada yang menamparnya, ia pun pingsan  dan kemudian mendapati sudah berada di kamarnya. Tampak Andrea berada di sampingnya,
“Eh, sudah sadar,” kata Andrea, “Selamat datang kembali ke dunia nyata,”
“Ia, gue kok bisa di sini?” tanya Irna.
“Ya iyalah,” kata Andrea, “Na, lo tuh pingsan dari kemarin siang. Ada yang dapatin lo di sebuah kosan terus langsung lo dibawa ke sini begitu dilihat KTP lo sama orang-orang. Lo kenapa sih?”
Irna yang ditanyai seperti itu langsung terdiam dan tiba-tiba teringat suatu kejadian,
“Ceritanya panjang, Ia,” katanya, “Susah gue ceritain dan jelasin,”
“Ya udah sekarang lo istirahat aja dulu,” kata Andrea yang kemudian meninggalkannya. Setelah Andrea pergi dari kamarnya, tiba-tiba bulu kuduk Irna merinding dan ia segera menutupi tubuhnya dengan selimut.
***
Begitulah cerita yang kudapat dari dirinya. Cukup aneh bukan? Masa takut kalong hanya karena perwujudan dari seorang pria tampan. Udah gitu malaikat lagi. Kalo drakula atau vampir ya wajar. Zaman sekarang kok orang malah aneh-aneh ya ketakutannya. Aku teruskan saja menonton televisi dan ada yang mengebel pintu. Siapa sih malam-malam begini? Tanyaku. Aku tanpa pikir panjang segera menuju ke pintu dan membukanya. Kulihat ada sesosok lelaki rupawan.
“Irnanya ada, mas?”
“Oh, ada sebentar ya?”
Ketika aku hendak berbalik untuk memanggil Irna kulihat ia sudah di depanku dan wajahnya berubah ketakutan,
“Na, lo kenapa?”
Ia lari ketakutan menuju kamarnya. Ketika aku hendak berbalik lagi ke arah pintu, lelaki itu sudah menghilang. Nah lho, cepat sekali. Saat itu aku langsung seperti dihinggapi rasa takut. Bulu romaku berdiri. Jangan-jangan, gumamku. Aku langsung berlari menuju kamar tempat Irna berada. Dan pintu pun masih terbuka


Minggu, 17 Juni 2012

Sang Kekasih Sejati


“Tolong, jangan mendekat padaku!” teriak seorang lelaki tua di pinggiran jalan kepada seseorang yang hendak memberinya sedekah. Ya, lelaki tua itu memang pengemis. Pengemis yang butuh dikasihani. Bajunya compang-camping tidak karuan. Muka yang keriput dan dekil serta badannya yang agak kurus kerempeng menunjukkan bahwa ia sudah lepas dari yang namanya perawatan dan jarang makan. Akan tetapi, ia selalu berteriak seperti jikalau ada yang mendekati.
Pak Tua itu memang selalu menjadi pemandangan sehari-hariku. Aku sendiri hanyalah seorang pedagang kios kecil yang menjual makanan dan minuman ringan plus rokok. Dari sinilah aku menggantungkan hidup. Berdagang di pinggiran jalan yang tidak terlalu lebar dan sempit dan tepatnya di depan sebuah rumah milik seseorang yang mengizinkan aku berdagang dan ia tidak meminta imbalan apa-apa dariku. Rasanya enak dan aman saja berdagang tanpa dimintai apa-apa. Padahal, dulu sering ada preman yang minta uang keamanan. Ia mengaku orang di sekitar tempatku berdagang padahal bukan. Sampai akhirnya, itu preman dipukul ramai-ramai sama warga karena meresahkan dan tewas. Aduh, nasibnya sungguh-sungguh kasihan. Sudah berbuat jahat, matinya malah bukan dalam keadaan dia mau tobat. Tapi, toh aku tak berani mengatakan ia akan diapakan di alam sana. Itu kan urusan Tuhan.
Mengenai si Pak Tua, dia itu muncul sekitar kurang lebih 3 tahun yang lalu. Ketika aku hendak membuka kios, di seberang jalan yang sekarang menjadi tempat mangkalnya, aku melihat dia tertidur. Aku perhatikan ada nampak wajah mengigil ketakutan. Aku merasa kasihan saja. Aku ingin memberinya makan dari yang aku jual di kiosku. Lagipula yang kuberi ke dia kan juga termasuk dapat pahala walaupun aku tak memikirkan itu.
Aku segera ambil makanan dan bangunkan dia dengan pelan,
“Pak, pak,” kataku membangunkannya. Ia masih dalam keadaan terlelap kulihat saat aku menyentuhnya. Tapi, aku lihat kemudian di wajahnya, matanya perlahan bergerak dan terbuka. Seperti orang bingung ia melihat ke sekeliling dan mendapati diriku. Sontak ia berkata dengan raut dan tatapan keheranan,
“Siapa kamu?” tanyanya, “Jangan dekati aku. Pergi!”
“Saya orang, Pak,” kataku, “Masa iya setan,”
“Iya, kamu memang setan,” ujarnya, “Pergi!”
“Aduh, bapak ini kenapa?” tanyaku heran, “Saya melihat bapak tidur dan ini saya bawakan makanan ala kadarnya,”
Ia lalu menatap apa yang aku bawa dan telah di dekatnya. Dua buah roti dan segelas minuman ringan dari gelas plastik. Ia tatap itu dengan heran dan tajam lalu menatapku lagi dengan tatapan yang sama,
“Dasar setan!” katanya, “Pergi kamu!”
Aku malah tambah heran dan aneh,
“Bapak ini kenapa sih? Sudah gila ya?”
“Pergi kamu!”
“Iya, saya pergi! Lagipula saya masih banyak urusan. Ditolongin kok malah aneh-aneh aja!”
Aku segera kembali ke kiosku. Melihat ia dari kejauhan. Kulihat ia sedang menatap makanan dan minuman pemberianku. Lalu ia pegang dan nampak ia berbicara yang aku tidak mendengarnya. Tetapi, kemudian malah melepas makanan dan minuman itu dan memojokkan diri seperti orang ketakutan. Dalam hati aku bertanya keheranan, ini orang gila kali ya? Kenapa zaman sekarang banyak orang gila?
Ya itulah, perjumpaan dan perkenalan pertamaku dengan si Pak Tua. Hampir tiap hari aku melihat seperti itu. Kelakuannya malah kian aneh. Ia selalu mengataiku setan tiap kali aku memberinya makan dan minuman. Sampai-sampai aku emosi. Ia juga berkata demikian pada orang yang lewat dan mendekatinya lalu mengusir mereka. Sampai-sampai yang hendak memberinya uang sedekah malah melempar saja uang itu ke mukanya karena diteriaki seperti orang ketakutan.
Aku merasa heran kenapa si Pak Tua seperti itu. Apa ia ada masalah di keluarganya sehingga lari atau mungkin ada hal lain yang membuatnya ketakutan. Aku benar-benar tidak tahu. Sampai ada seseorang yang memberi tahu diriku perihal perilaku si Pak Tua. Orang itu tampak sangat alim dan mengaku-ngaku sebagai saudara si Pak Tua. Lantas aku bertanya, kalau kau saudaranya kenapa tidak bawa saja. Orang itu hanya menjawab, Ah, buat apa? Dia saja selalu menolak untuk diajak pulang. Saya aja capek membujuknya. Yah, jawaban yang bisa diterima meskipun masih bertanya-tanya dalam hati. Orang itu bercerita kepadaku mengapa si Pak Tua seperti itu dan ketika ia bercerita si Pak Tua dari kejauhan teriak-teriak, Setan! Enyah kau!  Tapi, kami tak pedulikan.
Si Pak Tua, menurut orang alim ini, dulunya adalah seorang yang ahli ibadah. Ia selalu tidak pernah alpa dalam mengerjakan ibadah dan berbuat amal baik. Segala sesuatu yang dilarang Tuhan, selalu ia patuhi. Bahkan dalam berbagai acara ia selalu diundang untuk menyampaikan ceramah keagamaan. Ceramahnya tergolong enak didengar dan halus, serta tidak menghakimi.
“Dia itu adalah semacam kyai di kampung kami,” kata si orang alim, “Meski nyatanya ia belum pernah pergi haji atau menyantren demi mendapatkan ilmu keagamaan yang luas,”
“Lalu ia bisa alim demikian karena apa?” tanyaku.
“Ia punya guru,” jawab si orang alim.
“Guru?” tanyaku lagi.
“Ya, guru,” kata si orang alim menegaskan, “Guru itu yang mengajarinya bertindak alim dan baik, serta menjadi panutan hidup di masyarakat. Intinya, seperti yang dilakukan nabi,”
“Oo...,” kataku demikian.
“Gurunya itu, kalau dilihat dari perawakannya, memang seperti ulama besar. Jikalau berjalan selalu ada satu-dua pengikutnya di kiri dan kanan. Tiap ada orang yang bertemu dengannya selalu memberikan salam dan meminta doa untuk mendapatkan keberkahan. Ia sendiri amat mengagumi gurunya itu,”
“Lalu apa hubungannya dengan perilakunya? Bukankah harusnya ia tidak seperti itu?” tanyaku heran kembali.
“Ceritanya agak aneh,” kata si orang alim, “Tapi, takutnya sampeyan tidak mengerti jika saya ceritakan,”
“Ceritakan saja, Pak,” kataku, “Ya sembari mengisi kejenuhan menjaga kios,”
“Baiklah,” Mulailah si orang alim bercerita.
***
“Sang Kekasih Sejati,” demikian si Ahmad memanggil gurunya yang nama aslinya tidak diketahui. Panggilan itu atas permintaan gurunya sendiri yang menyuruh kepada Ahmad, salah satu muridnya. Ahmad awalnya heran mengapa harus memanggilnya demikian. Sebuah panggilan yang rasa-rasanya itu adalah panggilan yang sombong karena baginya tiada seorang ulama pun yang meminta dipanggil demikian kecuali ada yang memanggilnya.
“Lho, memangnya kamu Tuhan?” tanya si gurunya, “Tuhan saja tidak masalah. Kok malah kamu yang bermasalah?”
“Maafkan saya, Sang Kekasih Sejati, “ kata Ahmad, “Saya hanya heran saja,”
“Untuk apa kamu heran dan tidak ada yang perlu diherankan,”
Semenjak itu, si Ahmad selalu memanggilnya demikian walau di hati terasa mengganjal. Tetapi, ia tidak mau pedulikan itu. Toh, yang terpenting ia mendapatkan ilmu agama yang melimpah dari gurunya itu, seorang ulama yang nampak seperti sufi, yang gemar menyanyikan pujian-pujian dan zikir-zikir untuk Sang Pencipta. Ahmad hanyalah seorang biasa yang secara tidak sengaja bisa berguru kepada seseorang yang dianggap punya ilmu tinggi yang bisa bercengkrama dengan Tuhan langsung. Ia mengenal gurunya itu dari seorang temannya yang mengajaknya ke sebuah pertemuan jauh dari kampungnya. Di pertemuan itu ia diperkenalkan. Ditanya mengenai dirinya satu per satu oleh sang guru yang kemudian menyuruhnya menginap untuk diajak berdendang dan kemudian dibaiat. Ia dikenalkan oleh sang guru cara mengenal Sang Pencipta dan sang guru menyuruhnya untuk berdakwah. Sejak saat itu, Ahmad jadi giat berdakwah di kampungnya dan menjadi orang alim.
Ketika dalam kesendirian, ia selalu berdendang dan berzikir kepada Sang Pencipta. Mensyukuri atas nikmat dan anugerahNya, terutama nikmat bernafas dalam setiap waktu. Ketika berdendang, burung-burung selalu mengikutinya bernyanyi dan langit tampak ceria. Ia sendiri pun mempunyai dua murid, Ridwan dan Azmir. Dua muridnya ini selalu mendengarkan apa yang diucapnya dan meniru apa yang dilakukannya. Sampai kemudian ia mengirim dua muridnya untuk belajar langsung kepada sang guru karena merasa tidak ada lagi yang bisa diajarkan.
Setiap hari ia berdendang, beribadah, dan berzikir. Ia lupakan segala urusan duniawi demi mendapatkan cintaNya. Ia juga mengagumi gurunya yang ia anggap sebagai kekasihNya. Itu berlangsung cukup lama sampai ia hendak berbau tanah.
Suatu hari, gurunya memanggilnya. Ia tampak senang ketika akan menemui gurunya. Mereka bertemu di sebuah tempat sepi. Di dalam sebuah hutan.
“Ada apa Sang Kekasih Sejati memanggil saya?” tanyanya begitu ia sampai di depan gurunya. Sang guru tampak duduk bersila dengan tenang sambil bertasbih.
“Ada yang ingin kusampaikan pada dirimu, muridku,” katanya.
“Apa itu, Sang Kekasih Sejati?”
Sang guru menatap tajam dan serius ke arah Ahmad. Ahmad hanya menatap biasa saja ketika ditatap demikian. Namun, ia melihat ada sesuatu yang amat serius dari gurunya.
“Sekarang ceritakan apa yang kau dapat dariku selama berguru kepadaku?” tanya sang guru,
“Saya banyak mendapat ilmu dari Sang Kekasih Sejati,” jawabnya polos.
“Ilmu apa?” tanya sang guru lagi.
“Ilmu untuk bersyukur kepadaNya, ilmu untuk giat beribadah. Yang jelas ilmu yang diajarkan Sang Kekasih Sejati kepada saya sangat bermanfaat karena mengajarkan kebaikan,”
“Jadi, aku mengajarimu untuk menjadi baik saja bagi dirimu?”
“Maksud Sang Kekasih Sejati?”
“Kau tidak memintaku untuk mengajarimu ilmu yang tidak bermanfaat dan menimbulkan kejahatan?”
“ Lho, bukankah setiap ilmu yang diajarkan itu harus bermanfaat untuk nanti di dunia dan akhirat,”
“Jadi, ilmu yang mengandung kejahatan tidak ada manfaatnya maksudmu,”
“Maaf, Sang Kekasih Sejati, saya kurang mengerti. Yang saya tahu setiap ilmu itu diajarkan agar orang itu menjadi baik,”
Sang guru tertawa,
“Dasar manusia bodoh!”
Ahmad pun keheranan.
“Sejak kapan kau beranggapan seperti itu? Sempit sekali pikiranmu,”
“Kan Sang Kekasih Sejati sendiri yang bilang dan saya hanya mengikuti,”
“Lalu kau mengikutiku tanpa dipikir-pikir lagi? Benar-benar manusia bodoh!”
“Maksud Sang Kekasih Sejati apa?” Ahmad merasa mulai emosi karena semakin tidak mengerti apa yang sang guru bicarakan.
“Inilah yang aku tidak suka dari manusia, terutama dirimu,” kata sang guru kemudian, “Sejak awal aku sudah tidak suka kalau Ia menciptakan makhluk seperti ini untuk menjadi penghuni surga. Makhluk yang sungguh bodoh dan mudah ditipu dan ternyata memang benar,”
“Maaf, saya kurang mengerti dengan apa yang Sang Kekasih Sejati bicarakan?”
“Karena bodohnya kau mau memanggil diriku Sang Kekasih Sejati,” Ia lalu tertawa-tawa, “Sama saja kau seperti moyangmu, Adam dan Hawa. Mudah dikibuli,”
“Sekali lagi saya tidak mengerti apa yang Sang Kekasih Sejati bicarakan? Kalau Anda guru saya, jangan buat saya bingung,”
“Apa? Guru? Sejak kapan aku menjadi gurumu? Aku ini bukan gurumu. Paham!”
“Lalu apa?”
“Itu yang hendak kutunjukkan,”
Tiba-tiba angin berembus kuat di dalam hutan. Langit menjadi gelap dan tanah bergetar. Sang guru yang berada di depan Ahmad perlahan-perlahan memunculkan api di tubuhnya dan kemudian berwarna kemerahan. Muka sang guru perlahan berubah menjadi sesuatu yang menyeramkan dan berpandangan picik dengan senyum jahat. Tanduk muncul di kedua jidatnya. Kuku-kuku panjang muncul di jari tangan dan kaki. Dan kemudian muncullah buntut panjang dengan ujung tajam. Api menyelimuti dirinya. Ahmad yang melihatnya terkejut.
“Dasar manusia bodoh!” suara sang guru yang berubah wujud di depannya menggelegar, “Mudah saja bagi kalian semua, makhluk rendah untuk kutipu dan itu tidak akan pernah berubah sampai kapan pun. Kau lihat, aku adalah iblis, makhluk yang mengusir dua moyangmu yang bodoh itu. Aku tidak rela mereka menjadi penghuni surga. Apa-apaan itu? Dan Dia benar-benar tidak mau mendengar keluhanku ketika mereka ada. Aku lebih mulia dari mereka. Sebab aku iblis, Sang Kekasih Sejati, yang selalu memujaNya. Karena mereka, aku menjadi seperti ini!”
Ahmad tiba-tiba merasa seperti diperlihatkan tontonan menyeramkan. Ia sendiri tidak bisa berkata-kata. Keringat mengucur deras dari tubuhnya. Tangan dan kakinya bergemetar karena melihat sosok merah yang membara dengan sayap lebar dan buntut panjang hendak mengarah kepadanya. Sosok itu perlahan-lahan membesar.
Ahmad merasa ingin kabur saja. Tenggorokannya seperti merasa ditusuk. Ia seperti tidak percaya bahwa selama ini orang yang mengajarinya adalah iblis, si makhluk terkutuk yang menyesatkan manusia supaya menemaninya di neraka.
“Dasar manusia bodoh!” ujar iblis dengan suara menggelegar, “Sebentar lagi kau akan menemaniku bersama dengan mereka yang telah kutipu,” Ia lalu tertawa-tawa dan saat itu juga Ahmad secara spontan bangkit dan berlari. Ia berlari kencang tanpa peduli ke arah mana ia berkehendak. Tawa iblis menggelegar menggema di belakangnya. Menghantuinya.
***
Ya itulah cerita yang kudapatkan dari si orang alim itu. Jadi, ia tertipu iblis yang rupanya menyamar menjadi gurunya. Aku sendiri memang kurang mengerti dengan cerita seperti itu. Yang aku tahu iblis itu jahat. Sudah itu saja. Kalau soal dia itu adalah ahli ibadah, aku tidak mengerti. Sewaktu si orang alim bercerita, si Pak Tua terus berteriak dan kemudian bangkit lalu mengarah pada kiosku,
“Pergi kau, setan!”
Saat aku hendak menoleh ke si orang alim, ia ternyata sudah tidak ada. Padahal, aku merasa ia masih di sampingku, bahkan ketika si Pak Tua berteriak mengusir. Aku sendiri malah heran kemana perginya orang yang tadi di sampingku.
“Aku bilang kau jangan didatangi dia lagi,” kata si Pak Tua, “Dia itu setan, iblis!”
“Bapak ini ngomong apa?” tanyaku heran, “Jangan berburuk sangka terhadap orang,”
“Dia itu iblis, setan!” katanya, lalu berbalik ke tempatnya.
Dalam hati aku berujar, dasar Pak Tua aneh.
Dan begitulah. Si Pak Tua terus berteriak aneh dan mengusir bila ada yang mendekatinya. Ya rasa-rasanya kurang masuk akal juga penyebabnya. Ditipu dan bertemu iblis. Apalagi iblisnya menyapa sebagai gurunya sendiri. Tapi, yang jelas itu bukan urusanku. Yang penting, aku bekerja mencari nafkah, meski dari kios kecil ini. Toh, Ia juga senang melihatnya.
“Masih seperti itu aja itu orang?” tanya seseorang yang kemudian muncul di sampingku. Aku menoleh dan terkejut. Orang yang di sampingku ternyata yang pernah datang ke kiosku dan bercerita perihal si Pak Tua. Ha? Dari mana ia datang? Sekejap pun  tak kudengar jejaknya.
Dan Pak Tua di seberang kembali berteriak ketika si orang alim ada di kiosku,
“Heh, enyah kau setan!”
Jujur, aku malah tidak mengerti.

Sabtu, 16 Juni 2012

Waiueossss...................

Wass....................
        Wiss....................
               Wuss.....................
                       Wess.........................
                               Woss.............................
















































































































































































 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran