Pages

Minggu, 17 Februari 2013

Masa Kanak-Kanak (Tak) Selalu Indah


Masa kanak-kanak itu masa yang indah, katanya. Ungkapan yang begitu populer dan terdengar dalam kehidupan sehari-hari memang menjadi legitimasi bahwa masa kanak-kanak adalah masa yang dipenuhi dengan kebahagiaan, canda tawa, dan juga tanpa beban. Sebuah masa yang dipenuhi juga dengan kepolosan-kepolosan dan rengekan-rengekan. Akan tetapi, bagaimana jika masa-masa itu, yang katanya indah, malah sebaliknya? Menjadi sesuatu yang sesungguhnya pahit jika diingat?

Itulah yang terungkap dalam Pengharapan karya seorang penulis asal Belanda, Jona Oberski. Novel yang diterjemahkan dari judul aslinya Kinderjaren ini sejujurnya merupakan cerita atau pengalaman sang penulis ketika menghadapi masa kanak-kanak yang harus dilalui di dalam kamp konsentrasi. Di dalam novel, sang penulis menamai dirinya dengan “aku”, seorang anak berumur 8 tahun yang tinggal di Amsterdam, Ibu Kota Belanda. “Aku” adalah anak dari pasangan Yahudi yang “aku” sebutkan dengan nama “ayahku” dan “ibuku”.

Dibagi dalam 5 bab dengan 21 tema, cerita dimulai dari pemberitahuan “ibuku” kepada “aku” bahwa mereka akan meninggalkan mereka menuju ke sebuah kamp yang dibilang merupakan jalan menuju ke Palestina. Padahal, kamp itu sendiri merupakan kamp penyiksaan buatan Nazi Jerman. Sebuah kebohongan yang diskenariokan agar komunitas Yahudi di Belanda mau dimobilisasi supaya dimusnahkan. Dan, parahnya, yang memobilisasi itu adalah orang Yahudi itu sendiri sebab ketakutan disiksa dengan pasukan SS, pasukan elite Nazi. Hal demikian tergambar dalam pengantar buku ini oleh Lilie Suratminto, staf pengajar di Program Studi Belanda FIB-UI.

Mengambil latar di Perang Dunia ke-2, memang menjadi masa-masa yang kurang menyenangkan, bahkan tragis bagi hampir seluruh rakyat di Eropa, terutama komunitas Yahudi. Perang yang dimulai pada 1939 hingga 1945 tentu masih menyisakan trauma mendalam bagi mereka yang mengalaminya, terutama anak-anak yang menyaksikan langsung kepedihan akibat perang, dan kemudian itu terbawa meski perang itu telah usai. Di Pengharapan pun terlihat bagaimana “aku” yang masih polos itu harus mengalami tindakan pasukan Jerman yang mengusir mereka dari tempat tinggalnya pada suatu malam, ketika “aku” sedang terlelap. Tindakan pasukan Jerman itu jelas mengagetkan dirinya, dan membuat  “aku” menangis, dan membuat “ibuku” memarahi si serdadu yang “aku” panggil itu “laki-laki hijau”. Hal itu yang terlihat pada tema berjudul Muiderpoort. Si pasukan Jerman datang mengusir “aku” beserta kedua orangtuanya untuk segera dimobilisasi ke sebuah kamp di Westerbork, sebuah kamp transit yang terletak di timur Belanda, dan pernah menjadi kamp persinggahan dari Anne Frank. Bahkan, kamp Anne Frank itu letaknya berdekatan dengan kamp si “aku”.

Di kamp itulah, “aku” mulai mengalami kesulitan dan penderitaan. “Aku” dan “ibuku” harus berpisah dengan “ayahku” yang ditaruh di bagian lain di kamp. Mengalami dinginnya cuaca dan makanan ala kadarnya, sehingga “aku” bersama penghuni kamp lain merasakan kelaparan. Lalu menghadapi para serdadu Jerman yang mereka sebut Mof, sebuah umpatan orang Belanda terhadap Jerman, yang selalu menenteng bedil, membunyikan senapan ketika ada kerumunan, dan menatap “aku” dan anak-anak penghuni kamp dengan tatapan kejam dan tidak suka. Bahkan, suatu hari pernah “aku” meledek Mof dengan gestur hidung dinaikkan dan lidah dijulur. Salah seorang temannya memperingatkan bahwa tindakan yang ia lakukan terlalu berani (hal.50).

Di kamp ini jugalah, “aku” harus merasakan kepedihan karena ditinggal “ayahku” akibat sakit. “Aku” awalnya tidak sedih, namun saat melihat jenazah ayahnya dimasukkan ke dalam rumah knekel (knekelhuis) dengan keadaan telanjang, tanpa selimut, “aku” mengadu ke ibunya, yang justu mengelak, lalu menangis.
Lalu dari Westerbork, “aku” dan “ibuku” dipindahkan ke Bergen-Belsen, sebuah kamp konsentrasi lain yang berada di Negara Bagian Lower Saxony, Jerman. Namun karena peperangan di Perang Dunia ke-2 yang semakin mendekati babak akhir, para tawanan itu  yang dimasukkan ke dalam kereta itu tidak menentu nasibnya, sebab jalur-jalur kereta yang berubah-ubah, dan kemudian berhenti di Troebitz. Di sinilah para tawanan itu dibebaskan tentara-tentara Rusia. Namun di Troebitz pula, “aku” harus mengalami kepedihan lagi sebab ditinggalkan oleh satu-satunya orang yang sangat dekat dengan “aku”, “ibuku”. Kepergian “ibuku” itu membuat “aku” menjadi histeris, lalu meracau-racau kepada Trude, tetangganya, yang ia anggap berbohong karena mengatakan “semua jalan ke sana sudah tertutup”, sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa “ibuku” sudah meninggal, tetapi karena “aku” masih polos, jadi ia mengerti secara harfiah saja. Jadilah “aku” yatim-piatu.

Pengharapan yang pertama kali terbit pada 1978 di Belanda, dan sudah diterjemahkan ke beberapa bahasa termasuk Indonesia pada 2012 oleh Pionir Books, merupakan sebuah karya yang diciptakan Oberski setelah mengikuti workshop kesusasteraan, yang kemudian mendapatkan ide tentang pengalamannya di kamp konsentrasi. Sebuah karya yang secara detail menggambarkan bagaimana pahitnya mempunyai masa kanak-kanak yang harus dilalui di dalam sebuah kamp yang penuh tekanan dan tidak bebas. Tentu saja hal demikian akan menjadi sebuah trauma masa kecil. Secara psikologis, trauma demikian akan terus membekas, dan mengubah cara pandang hidup seseorang sampai ia meninggal.

Pengharapan merupakan karya Oberski paling terkenal dibandingkan dua karya lainnya, Ongenode Gast (1995) dan De Eigenaar van Niemandsland (1997). Maka, wajar jika Roberto Faenza pernah memfilmkannya dengan judul Look to The Sky. Mengenai terjemahan, kualitas terjemahan buku ini cukup bagus, mudah dimengerti, serta mendekati kosakata sehari-hari di Indonesia, seperti adanya kata “ngapain” ketika “aku” sedang berusaha menyeberangi kapal dengan dipandu kapten kapal tersebut. (Hal. 25). Selain itu, Laurens Sipahelut, sang penerjemah juga memasukkan beberapa kata lain yang jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti “menggelenyar” (hal.25) dan “menyompoh” (hal.26). Hal ini membuat terjemahannya, selain berkualitas, juga memilik variasi kata.

Sepintas juga, kita bisa menyamakan karya ini dengan karya-karya seputar kamp konsentrasi pada masa PD II seperti karya Anne Frank, Het Achterhuis (The Diary of a Young Girl), meskipun di dalamnya tidaklah setragis dan mencekam yang dialami Anne Frank. Tetapi, setidaknya, Pengharapan memberikan semacam gambaran bahwa di daerah konflik pun akan melahirkan sebuah karya yang berkualitas, dan dipenuhi dengan cerita mengharukan. Akhirul kalam, masa kanak-kanak itu tak selalu indah.



0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran