Pages

Sabtu, 26 Februari 2022

Kala Prancis dan Jerman Invasi Rusia, Hasilnya?

Perang antara Rusia dan Ukraina pun terjadi. Pada 24 Februari 2022, Presiden Rusia, Vladimir Putin, mendeklarasikan operasi militer skala penuh di Ukraina Timur dengan dalih melindungi warga Ukraina pro Rusia yang berada di Donbass alih-alih berupaya mendisplinkan Ukraina yang mulai mengarah pada AS dan Sekutunya usai Victor Yanukovich, Presiden Ukraina yang sebelumnya dan pro Kremlin digulingkan melalui revolusi pada 2014, yang dibalas oleh Rusia dengan mencaplok Semenanjung Krimea.

Canva

Serangan tersebut tentu saja membuat dunia internasional bereaksi terutama AS dan sekutunya yang tergabung dalam NATO dan negara-negara Eropa yang tergabung dalam Uni Eropa. Mereka mengecam dan mengancam memberikan sanksi dan embargo ekonomi. Invasi juga berpengaruh pada bidang olahraga seperti dipindahkannya final Liga Champions musim 2021-2022 dari Saint-Petersburg, Rusia, ke Saint-Dennis di Prancis serta pembatalan GP F1 di Sirkuit Sochi, Rusia.

Banyak warganet yang tidak hanya mengecam tindakan Rusia ini, tetapi mempertanyakan tindakan AS dan Sekutunya yang diam saja. Ini tidak seperti janji-janji di awal yang menyatakan negara-negara Barat akan langsung membantu Ukraina jika diserang Rusia. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya AS dan Sekutunya takut menghadapi Rusia yang bukan lawan sembarangan karena jika ikut campur akan berimplikasi pada berkobarnya perang di Eropa juga merembet ke bagian dunia lain seperti Asia-Pasifik sehingga memunculkan Perang Dunia Ketiga.

Jika itu terjadi, perang kali ini bukan perang main-main karena setiap negara yang bertikai akan mengeluarkan kemampuan senjata nuklirnya. Baik Rusia, AS dan sekutu-sekutu Eropanya diketahui mempunyai hulu ledak nuklir, dan perang nuklir yang lebih merusak dan menakutkan daripada Perang Dunia Kedua dimulai. Hingga tulisan ini dibuat, AS dan Sekutunya yang tergabung dalam NATO masih berjaga-jaga di perbatasan negara anggota masing-masing, dan sejauh ini hanya mengirimkan bantuan persenjataan. Ketika ibu kota Ukraina, Kyiv, sudah hampir dalam genggaman Rusia, NATO menyatakan akan siap mengirim unit responsnya ke Ukraina. Namun sejauh ini juga, NATO masih berhati-hati akan tindakan mereka apalagi Rusia tidak akan segan-segan melancarkan balasan.

Kehati-hatian negara Barat dalam konflik Ukraina selain menyadari bahwa lawan yang dihadapi adalah lawan yang cukup berat, ketergantungan negara-negara Eropa akan sumber daya alam Rusia berupa gas, juga memang peristiwa traumatis yang pernah menimpa dua negara besar NATO dan Eropa, Prancis dan Jerman.

Kedua negara besar di Eropa Barat ini diketahui memang mempunyai ketergantungan gas alam dari Rusia. Prancis mempunyai ketergantungan seperempat dari kebutuhan nasional mereka, dan Jerman setengahnya. Untuk kasus Jerman tidak perlu heran karena negara tetangga Belanda memang memasang pipa gas langsung dari Rusia ke kawasan Lembah Ruhr. Tak hanya itu, Jerman juga memasang gas langsung dari Negeri Beruang Merah via laut Baltik, yang karena invasi Rusia ke Ukraina, negara pusat otomotif Eropa itu langsung memutus kontrak dengan Rusia. Karena itu juga, tak mengherankan jika Gazprom, perusahaan gas terbesar asal Rusia, punya cabang khusus di Jerman.

Volodymyr Zelenskyy, Presiden Ukraina, beberapa minggu sebelum invasi Rusia menyatakan bahwa ada negara NATO yang tampak setengah hati mendukung Ukraina dari ancaman Rusia daripada negara-negara NATO lain termasuk di kawasan Baltik. Kemungkinan besar hal itu mengarah pada Jerman.

Lalu mengapa Prancis dan Jerman punya pengalaman traumatis berhadapan dengan Rusia? Jawaban untuk hal tersebut bisa kita lihat pada perilaku kedua negara di awal abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Demi Mengganyang Inggris

Prancis pada awal abad ke-19 adalah sebuah imperium terbesar di Eropa yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte, seorang perwira keturunan Italia yang lahir di Korsika. Ketika itu wilayah imperium hampir mencapai Eropa Timur berbatasan dengan Kekhalifahan Ustmaniyah di Selatan dan Kekaisaran Rusia di Timur.

Dalam usahanya untuk menguasai Eropa, Prancis terjegal oleh Inggris di seberang Selat Channel. Negeri Albion ini memang saingan utama Prancis bahkan berani menentang kekuaksaan Napoleon yang bagaikan gurita karena sudah mencengkram seluruh Eropa. Inggris pun sebenarnya bisa berbangga hati ketika Prancis yang kuat di darat malah loyo di lautan. Hal itu terbukti pada Pertempuran Trafalgar yang dimenangkan Inggris.

Akibat kekalahan itulah, Prancis memutuskan mengembargo Inggris. Ketika hampir seluruh Eropa patuh pada putusan Napoleon karena kekuatan Le Grande Armeé, hanya Rusia yang tidak mau mematuhi, yang berakibat Napoleon memutuskan menggelar ekspedisi ke negara tersebut pada Juni 1812.

Prancis begitu percaya diri untuk bisa menghantam Rusia yang baru muncul di abad ke-18 sebagai sebuah negara baru yang tengah merintis sebagai kekuatan di Eropa melalui politik air hangat. Namun hal itu tak berlaku bagi Prancis yang memang merupakan kekuatan besar di Eropa kala itu sehingga sebanyak 612.000 pasukan digelar dan dibawa ke Rusia menyeberangi Sungai Neman di Belarusia.

Jumlah besar itu tentunya mempunyai komposisi dari Prancis dan negara-negara yang diduduki Prancis. Ketika tentara besar Napoleon itu akhirnya berhasil menjejakkan kaki di Rusia, mereka langsung disambut perlawanan oleh Rusia di Smolensk yang dimenangkan oleh Prancis. Kemenangan itu semakin menabalkan Prancis untuk bisa menaklukkan Rusia dalam waktu cepat. 

Setelah pertempuran di Smolenks yang berakhir dengan taktik bumi hangus dari Rusia, Grande Armeé melanjutkan perjalanan ke pusat pemerintahan Rusia di Moskow. Di sinilah Prancis kembali menghadapi pertempuran di Borodino yang kembali dimenangkan Prancis. Tetapi lagi-lagi kemenangan yang sulit dicapai ditandai dengan mundurnya tentara Rusia. Hal ini kemudian membuat Napoleon memerintahkan pasukannya segera menuju Moskow.

Sayang, ketika Prancis berhasil sampai di Moskow, kota yang dijuluki Roma ketiga itu dalam keadaan terbakar dan kosong ditinggalkan penghuninya. Kondisi ini sendiri sebenarnya merupakan taktik yang dirancang oleh Kaisar Rusia, Alexander I bersama para jenderalnya terutama Mikhail Kutuzov.

Di sinilah sebenarnya bencana itu terjadi. Napoleon yang memasuki Moskow dan memutuskan tinggal di kota itu untuk menerima negosiasi dan penyerahan dari Rusia, mulai merasakan berbagai masalah yang ada seperti kurangnya pasokan logistik apalagi kala itu musim dingin mulai mengancam. Dan, benar saja musim dingin yang menyerang Rusia akhirnya hinggap di Grande Armeé. Dalam kondisi yang demikian pasukan Prancis yang awalnya begitu yakin akan kemenangan besar yang didapat di Rusia mulai mengendur mentalnya. Tak hanya kurangnya logistik untuk pasukan dan kuda-kuda kavaleri dan artileri, pasukan Prancis banyak yang menderita hipotermia akibat musim dingin ekstrem di Rusia, yang tentu lebih gila daripada di negara-negara Eropa Barat.

Kondisi yang demikian membuat Napoleon memutuskan meninggalkan Moskow kembali ke Prancis ke arah barat daya,  dan di saat inilah Rusia mulai melancarkan serangan-serangan balik via pertempuran terbuka dan serangan gerilya yang dilancarkan pasukan berkuda Kazaki (Cossack) dari Ukraina, yang menuntut kemerdekaan dari Polandia. Serangan-serangan balik yang dilancarkan Rusia ini pun sukses memukul mundur Prancis dari invasi yang berlangsung selama 5 bulan tersebut.

Kekalahan Prancis di Rusia seketika meruntuhkan citra Napoleon di Eropa. Akibat kekalahan itu, Prusia dan Austria memutuskan aliansi dan melawan balik Prancis bersama dengan Inggris dan Rusia dan negara-negara Eropa lain pada Perang Koalisi Keenam  di Leipzig 1813-1814 dan Koalisi Ketujuh di Waterloo pada 1815 yang mengakhiri Kekaisairan Prancis di Eropa selama-lamanya.

Terulang lagi

Kondisi yang pernah dialami Prancis di awal abad ke-19 rupanya tidak cukup menjadi pelajaran negara Eropa lainnya, Jerman, di pertengahan abad ke-20. Atas ambisi paham lebensraumnya yang berbalut dengan Naziisme, Jerman di bawah pimpinan Adolf Hitler memutuskan menyerang Rusia yang kala itu menjadi bagian Uni Soviet semenjak Revolusi Bolshevik. Keinginan menyerang Rusia ini memang merupakan obsesi Hitler yang cukup lama saat ia berada di tahanan karena tragedi Munich 1921, dan menulis Mein Kampf pada masa penahanannya tersebut.

Dalam Mein Kampf ia menyebut jika Rusia merupakan bangsa ras rendah atau untermensch karena sudah bercampur dengan Mongol dalam sejarahnya akibat invasi. Selain di Rusia dan wilayah Uni Soviet lainnya banyak sekali orang Yahudi yang harus dimusnahkan, yang ia tuding sebagai biang kerok kekalahan Jerman di Perang Dunia Pertama. Serangan ke Rusia yang disebut sebagai Operasi Barbarossa itu sebenarnya adalah untuk menguasai sumber daya alam seperti gas alam dan minyak bumi yang tentu saja sangat dibutuhkan oleh Jerman untuk menghidupi rakyatnya.

Serangan ke Rusia ini merupakan serangan Jerman secara sepihak membatalkan pakta non-agresi dengan Uni Soviet pada 1939, dan kegagalan Jerman menyerang dan menduduki Inggris via Operasi Singa Laut pada 1940. Awalnya, rencana Hitler ini ditentang para jenderalnya termasuk ahli tank, Heinz Guderian, karena menganggap operasi tidak menguntungkan sama sekali tetapi karena keras kepalanya sang diktator operasi itu akhirnya dilaksanakan dengan penuh kepercayaan diri Der Fuhrer.

Pada awalnya, Jerman memang bisa memenangkan pertempuran melawan tentara Soviet yang hanya mengandalkan serangan konvensional, yaitu menyerang dalam jumlah besar yang tentu saja menjadi santapan mudah senapan-senapan dan artileri Jerman. Beberapa kota di Uni Soviet hancur dan dikuasai seperti Kyiv dan Stalingrad yang tentu saja memudahkan jalan ke Moskow.

Dalam kondisi demikian Jerman tampak percaya diri akan bisa menaklukkan Uni Soviet dalam waktu cepat. Namun di saat itu pula pihak Soviet mulai memelajari keunggulan Jerman dan kelemahannya. Mereka memelajari taktik perang Jerman yang praktis dan dinamis serta membuat senjata berupa tank, roket, dan pesawat tempur yang bisa mengungguli Jerman. Selain itu, Soviet, terutama Rusia, memanfaatkan kondisi alam berupa hutan-hutan yang sangat luas dan misterius untuk menggiring Jerman ke dalamnya supaya bisa dihajar serta memanfaatkan kondisi musim dingin ekstrem yang membuat Jerman akhirnya menyerah dan malah diserang balik hingga ke Berlin pada 1945. Bantuan AS melalui lend leasing tentunya juga berpengaruh.

Pertempuran Jerman di wilayah Rusia itu menjadi pertempuran paling berdarah dalam Perang Dunia Kedua terutama di Stalingrad yang kini menjadi Volgograd di Rusia. Karena di sinilah kota ini hancur lebur dan paling banyak menimbulkan korban jiwa dari kedua belah pihak. Karena itu, dalam sejarah Rusia, Stalingrad adalah simbol keberanian patrotik negara tersebut dalam melawan agresi Jerman. Kekalahan Jerman di Rusia pada Perang Dunia Kedua menjadi sebuah akhir dari Nazi Jerman yang begitu perkasa, dan membuat Adolf Hitler memutuskan bunuh diri.

Kesimpulan 

Jika memang mengacu pada peristiwa historis traumatis Prancis dan Jerman di masa silam, ada kemungkinan NATO akan tetap hati-hati menyikapi Rusia yang beraksi tanpa halangan di Ukraina. Hal ini juga yang mungkin membuat AS hati-hati untuk menyerang Rusia langsung sebab negara terbesar di Eropa dan dunia ini terkesan misterius. Sama misteriusnya dengan Vladimir Putin. Rusia bisa saja meluncurkan senjata-senjata aslinya yang tersembunyi di dalam hutan dan padang salju Siberia yang bahkan tidak bisa dideteksi melalui citra satelit dan radar. Hal ini bisa jadi sesuai anggapan bahwa senjata-senjata Rusia yang diekspor kemungkinan besar bukanlah yang asli melainkan kualitas palsu yang mendekati asli.


0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran