Pages

Jumat, 11 Februari 2022

Aliansi AS-Inggris: Musuh Menjadi Teman

AS-Inggris adalah kedua negara yang kerap kali muncul sebagai sebuah aliansi dalam setiap permasalahan internasional terutama yang berkaitan dengan keamanan. Aliansi ini termasuk aliansi yang cukup kuat dan sulit dibendung karena keduanya mempunyai pengaruh yang cukup besar terutama di PBB. Keduanya sama-sama menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB, dan karena itu mempunyai hak veto dalam setiap permasalahan internasional termasuk konflik Israel-Palestina yang sekarang sedang berlangsung.

The Civil War

Selain masalah konflik Israel-Palestina, aliansi kedua negara yang dipisahkan oleh Samudra Atlantik itu sebelumnya sudah begitu terlihat dalam konflik-konflik yang dianggap mengancam kedaulatan kedua negara seperti di Afghanistan, Irak, Libya, dan Suriah dalam rangkaian perang melawan terorisme sejak Serangan 11 September 2001 di New York. Keduanya juga merupakan para pendiri NATO yang didirikan setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua untuk mengantisipasi kekuatan komunis yang dilancarkan Uni Soviet.

Bahkan pada masa Perang Dingin selain pembentukan NATO, AS-Inggris sering bahu-membahu bekerja sama untuk turun dalam setiap konflik yang dianggap memengaruhi kepentingan kedua negara terutama untuk memerangi komunis seperti Perang Korea, Konfrontasi Indonesia-Malaysia, Pemberantasan Komunis di Semenanjung Malaya, Perang Sipil Yunani, dan konflik-konflik di Timur Tengah sebelum perang melawan terorisme seperti di Lebanon dan Irak dalam Perang Teluk pada awal 90-an.

Namun ternyata, Inggris tidak pernah ikut serta langsung dalam Perang Vietnam meski mendukung tindakan melawan komunisme secara lisan di Vietnam sebab hal itu ditolak langsung oleh PM Inggris, Harold Wilson, untuk menghindari kemarahan kaum kiri Inggris yang berada di Partai Buruh.

Aliansi AS-Inggris ini tidak hanya pada kerja sama militer namun pada ekonomi kedua negara. AS menganggap Inggris adalah partner ekonomi terpenting dan terbesar pada hubungan Trans-Atlantik kedua negara. Inggris pun demikian. Kesamaan budaya dan bahasa merupakan faktor-faktor terpenting kedua negara untuk selalu bekerja sama dalam hubungan spesial ini. Bahkan, Inggris menganggap hubungan dengan AS lebih bermakna daripada hubungan dengan negara-negara di daratan Eropa seperti Prancis, Jerman, dan Italia. Karena itulah, Inggris enggan masuk Uni Eropa, dan baru masuk pada 1973 meskipun kemudian pada 2020 Inggris menyatakan keluar dari komunitas regional tersebut karena masalah kedaulatan ekonomi. Keluarnya Inggris dari Uni Eropa semakin mengukuhkan aliansi kedua negara tersebut dalam ekonomi dan perdagangan.

Aliansi yang kelihatan begitu mesra, akrab, meskipun pernah ada celah karena ada ketidaksetujuan dari para pemimpinnya terhadap suatu hal konflik di Mesir pada 1956, Perang Vietnam, Perang Malvinas, dan Invasi AS ke Grenada, ternyata jika dirunut dari sejarah, keduanya merupakan musuh.

Hal ini bermula dari kemerdekaan AS dari Inggris pada 1776 yang dilanjutkan dengan perang kemerdekaan melawan Inggris oleh AS hingga Negeri Ratu Elizabeth itu mau mengakui kemerdekaan Negeri Paman Sam pada 1783 melalui Perjanjian Paris. Kedua negara kemudian terlibat perang lagi pada 1812 dikarenakan AS yang dianggap Inggris hendak meluaskan wilayah melalui ekspansi militer, dan menyinggung Kanada, salah satu jajahan Inggris di Amerika, dengan hasil yang imbang.

Ketika terjadi revolusi kemerdekaan di Amerika Selatan pada pertengahan abad ke-19, AS segera mengeluarkan Doktrin Monroe, yang berupaya mencegah berkuasanya kembali kekuatan kolonialis dan imprealis termasuk Inggris di negara-negara Amerika Selatan yang merdeka. AS dan Inggris kembali bergulat saat terjadinya Perang Saudara di AS pada 1861-1865. Diketahui Inggris membantu pihak Konfederasi atau Selatan dalam perang tersebut untuk melawan pihak Republik atau Utara.

Sampai akhir abad ke-19 kedua negara masih saja terlibat konflik bersenjata di perbatasan AS-Kanada dan di Cina pada 1859 saat Cina masih dalam kekuasaan Dinasti Manchu. Apalagi di akhir abad ini, AS tengah berupaya menjadi kolonialis baru dengan menguasai Filipina, Guam, Kuba, Puerto Riko, Hawaii, dan pulau-pulau kecil di Pasifik. Inggris sendiri saat itu masih menguasai beberapa wilayah jajahan di Afrika dan Asia, dan masih dianggap salah satu kekuatan kolonial terkuat selain Prancis namun perlahan mulai melemah setelah PD I dan PD II.

Namun keduanya kemudian berteman pada awal abad ke-20 saat AS memutuskan terjun ke Perang Dunia Pertama pada 1917 akibat kapal dagangnya diserang U-Boat Jerman di Samudra Atlantik. Sebelumnya AS memberikan bantuan militer pada negara-negara Eropa yang berperang di pihak Sekutu. Pada PD I, Inggris menyediakan tempat bagi pasukan AS yang hendak bertempur di Eropa, dan hal itu berlanjut lagi ketika PD II berkobar di Eropa. 

Meski awalnya netral, AS membantu Inggris dengan menyediakan para pilotnya bertarung di Pertempuran Britania melawan Jerman, dan ketika AS memutuskan terjun langsung ke pertempuran pada 1941 akibat serangan Jepang terhadap Pearl Harbor, AS langsung memberikan bantuan peralatan tempur kepada Inggris dalam program Lend-Lease. Bantuan ini tidak hanya diberikan kepada Inggris, tetapi juga kepada sekutu yang lain, Uni Soviet. Karena itu, tidak mengherankan jika kendaraan-kendaraan militer AS berseliweran bebas di kedua negara tersebut.

Kerja sama kedua negara di PD II terutama di front barat teater Eropa pada akhirnya berbuah cukup manis. Perang dimenangkan oleh keduanya, dan bersama-sama dengan Prancis, AS-Inggris mendapat jatah menduduki Jerman Barat sedangkan Soviet Jerman Timur. Pendudukan dan pembagian atas Jerman setelahnya memicu ketegangan urat syarat negara-negara yang bersekutu, AS dan Uni Soviet, dalam Perang Dingin hingga awal 90-an.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran