Pages

Jumat, 06 Juli 2012

Ego


Kemarin Ego bertandang ke rumahku. Menanyakan kembali apakah aku mau atau tidak. Dan sudah sepersekian kali aku ditanya bahkan diberikan ombak-ombak tanya seperti itu. Aku bilang tidak. Aku tidak mau karena aku tidak suka. Lagipula aku belum mengenal siapa Ego itu. Aku hanya mengenalnya sebentar.
rampak-naong.blogspot.com

Itu terjadi ketika aku sedang berjalan dalam ruang gelap gulita. Tanpa sekalipun aku membawa penerangan. Telepon genggamku yang dilengkapi senter itu saja tak bisa kuandalkan. Baterainya sedang tertidur. Jelas saja dalam keadaan demikian aku malah harus pelan-pelan dan meraba-raba. Kalau sudah begini aku jadi ingat ucapan mantan dosenku sewaktu kuliah dulu. Dia mengatakan, “Cinta itu buta karena bisa diraba-raba,”. Jelas aku geli dan tertawa tetapi itu ada benarnya juga. Hanya masalahnya, siapa yang aku raba-raba dalam gelap seperti ini. Baiklah kalau itu cinta. Tetapi, kalau dusta.
Dalam keadaan seperti kakek tua-renta yang harus berjalan dituntun, tiba-tiba saja ada yang memegang tanganku. Tentu saja dan jelas aku terkejut. Sebuah sinar lalu tersorot pada sebuah wajah. Kembali aku terkejut dan berteriak. Tetapi, buru-buru ia menghentikannya,
“Tenang, saya manusia kok bukan setan,” ujarnya pelan disertai senyum menunjukkan gigi.
Sekilas aku melihat wajahnya mirip denganku. Apa mungkin karena pengaruh gelap?
Ia lalu menuntun diriku keluar dari gelap itu menuju ke sebuah jalan terang,
“Oke, sampai di sini dulu saya anterin kamu,” ujarnya kemudian dengan dirinya yang masih berada di wilayah yang gelap.
“Makasih,” jawabku kemudian segera bertanya, “Siapa namanya?”
“Ego!” jawabnya dan seketika itu juga ia menghilang dalam gelap. Aku lalu merasa orang ini agak misterius tetapi aku tak mau memikirkan terlalu lama. Toh, aku harus bergegas pulang.
Semenjak itu, ketika aku tersesat dalam gelap, Ego selalu muncul untuk menolongku. Aku pun jadi heran juga. Ia menolongku ini entah karena memang ingin atau karena ada maksud. Lagipula tiap kali menolong selalu ia berada di ruang yang gelap ketika jalan terang sudah di depan mata lalu menghilang.
Maka, ketika kamar tidurku kugelapkan, dalam lowong waktu itu aku tak sengaja berpikir tentang Ego. Wajah, suara, dan gerak-geriknya terlihat mirip denganku. Tetapi, aku hanya melihatnya sekilas. Hm...apakah ia kembaranku? Tetapi, sejak kapan aku punya saudara kembar. Aku hanya anak tunggal. Apa mungkin ia diriku dari dunia paralel? Dunia yang orang-orangnya sama dengan diri kita namun nasibnya beda. Ah, tak mungkin. Mana ada seperti itu. Itu hanya di film-film. Ketika berpikir itu lambat-laun aku terlarut dalam mimpi.
Di dalam mimpi aku melihat sesosok lelaki yang sama denganku. Ia datang kepadaku sambil memperkenalkan dirinya, “Ego,”. Pakaiannya, kulihat sama dengan diriku. Saat itu aku berada di tempat tidur dan aku bertanya-tanya, apakah aku sedang bermimpi atau tidak sama sekali.
“Jangan kaget, kawan,” katanya, “Kenapa harus melihatku dengan tatapan curiga seperti itu?”
“Aku tidak curiga,” jawabku membela diri, “Aku hanya terkejut,”
Ia lalu melihatku lalu mendekatiku,
“Kita ini saudara, kawan,” ujarnya kemudian duduk di depanku.
“Saudara apa?” tanyaku heran.
“Saudara dalam diri,” jawabnya.
“Maksudnya?” aku malah tambah heran namun seketika itu juga ia malah menghilang dan aku tiba-tiba terbangun. Sadar aku, tadi itu mimpi. Mimpi yang aneh dan benar-benar aneh. Jam kulihat menunjukkan pukul 7 pagi. Alamak! Cepat sekali! Padahal, aku baru tidur sebentar. Tetapi, tiada waktu. Aku harus bergegas untuk mencari nafkah meski baru untuk diriku sendiri.
Saat hendak menyalakan mobil, tiba-tiba ada yang mendekatiku lagi. Ia lelaki berkumis tipis tetapi aku melihatnya ia seperti diriku dan berpakaian juga seperti diriku. Kemeja pendek dengan celana bahan. Ia lalu memperkenalkan dirinya, “Ego!”
Aku terdiam.
“Apa ada yang aneh?” tanyanya.
“Iya,” jawabku.
“Kau jangan anggap aku ini aneh,” ujarnya lalu menaiki mobilku. Saat itu aku tersadar,
“Heh, mau apa kau di dalam mobilku?” tanyaku merasa seperti terganggu.
“Kau mau kerja kan?” tanyanya.
“Iya,” jawabku ketus.
“Ya aku juga,” jawabnya santai melihat diriku yang memang terganggu kehadiran dirinya.
“Lalu?” tanyaku yang sepertinya dia akan bisa menjawab.
“Aku menumpang,” jawabnya.
“Baiklah,” kataku yang sadar buat apa harus berdebat dengan orang seperti ini. Lagipula, aku hendak telat.
“Sebut saja alamat kantormu dimana nanti,” kataku sambil mengendarai mobil.
“Oke,” jawabnya santai. Ia lalu menyebut alamat kantornya yang katanya berada di Kuningan dekat dengan SMA 3. Namun, saat ke sana lalu mempersilakan ia turun, aku terkejut dia tidak ada. Hah? Kemanakah ini orang? Bukankah tadi baru saja ia menuntunku untuk memberi tahu jalannya? Aku tengok ke belakang. Ia juga tidak ada. Sampai akhirnya, satpam di kantor itu menanyaiku,
“Maaf, mas mau cari siapa?” tanyanya.
“Eh, nggak, Pak,” jawabku, “Tadi saya sama teman saya tapi tiba-tiba aja menghilang,”
“Boleh tahu siapa nama teman mas?”
“Ego,”
Si satpam lalu diam dan berpikir kemudian berkata,
“Wah, nggak ada mas yang namanya Ego. Mas, salah alamat kali,”
“Iya ya,” kataku seperti orang bodoh,” Saya salah alamat. Makasih,”
Aku lalu menyetir mobilku kembali. Jujur, orang seperti apakah itu. Tiba-tiba muncul kemudian menghilang. Benar-benar seperti iblis,
“Harusnya kau jangan terkejut dengan diriku,” tiba-tiba saja ada suara di sampingku. Aku merasa mengenal suara itu. Namun saat menoleh malah tidak ada. Ah, sepertinya hanya perasaanku saja.
Karena kejadian itu, aku jadi telat ke kantor. Tapi, tidak telat rapat karena toh rapatnya juga molor dan aku masih mempersiapkan segala sesuatunya untuk presentasi nanti. Ya, untunglah itu lancar. Sampai aku kemudian pulang dan merasakan bahwa aku akan tidur nyenyak.
Namun, rupa-rupanya aku tertipu. Bukan nyenyak yang kudapat tetapi gangguan. Aku bertemu kembali dengan orang yang mirip denganku. Kali ini ia berpakaian berbeda denganku. Ia berpakaian seperti tukang bangunan dan memegang gergaji dan yang digergaji adalah tempat tidurku. Aku terkejut lalu berteriak,
“Hei, mau diapakan!” tanyaku.
“Oh, kau,” tanyanya menoleh padaku, “Mari kita kenalan dulu,”
“Tanpa harus mengenal aku sudah tahu siapa namamu. Kau Ego bukan?” tanyaku
“Betul,” ia lalu menggergaji lagi.
“Tolong jangan rusak tempat tidurku,” kataku setengah memohon setengah mengancam.
“Siapalah hendak merusak? Aku hanya membetulkan,”
“Apa pun itu jangan dan pergilah!”
“Baik, aku pergi,”
Ia tiba-tiba menghilang seperti dihempas angin. Ketika itu aku tersadar lagi dari tidurku dan tiba-tiba mendapati ada yang oleng. Saat kusadari ternyata, tempat tidurku rusak. Aneh? Kenapa bisa begini. Padahal, kemarin baik-baik saja. Lagipula aku tak pernah macam-macam dengan tempat tidurku. Sekejap, aku teringat mimpi tadi dan apa ada hubungannya? Aku benar-benar tidak tahu.
Jujur, aku tiada waktu lagi karena jam kembali menunjukkan pukul 7 pagi. Aku harus bergegas kembali. Lalu berharap semua berjalan lancar karena toh juga besok akhir pekan. Aku mau menyantai.
Saat esoknya, tiba-tiba ada yang mengunjungiku dan saat kulihat ternyata dia-dia lagi. Jujur, aku muak kenapa harus dia-dia lagi. Tetapi, mau bagaimana lagi. Aku persilakan masuk.
“Tolong jangan perkenalkan nama sebab aku sudah tahun siapa namamu,”
“Baiklah,”
“Oke, ke sini mau apa?”
Ia lalu diam lalu menatap diriku lalu berkata singkat,
“Mengajakmu,”
Aku yang mendengar lalu bertanya,
“Apa?”
“Mengajakmu,” ulangnya lagi.
“Mau mengajak apa?” tanyaku, “MLM atau bisnis investasi?”
“Mengajakmu masuk ke dalam diri yang sama,”
Aku yang diberi jawaban seperti itu jelas heran dan bertanya-tanya,
“Maksudnya apa?” tanyaku kemudian mengancam, “Jangan lo buat gue kebingungan atau nanti gue usir lo dari sini!”
“Eh, santai, kawan,” ujarnya menenangkanku, “Jangan pakai urat. Kita ini kan saudara dalam diri, kawan,”
“Saudara dalam diri apa? Sekali lagi jangan bingungin gue!”
“Kita ini satu, kawan. Saya ini bagian dari diri kamu dan kamu juga bagian dari diri saya. Kita nggak boleh berpisah,”
Aku tertawa,
“Macam orang berpacaran saja kau,”
“Apa yang saya katakan benar, kawan. Kita itu satu. Apa kau tak menyadari bahwa saya selalu ada dalam diri kamu dan menyertai kamu ketika kamu ada dimana pun. Begitu juga kamu,”
“Maaf, gue nggak pernah kok namanya menyertai. Yang gue tau menyertai bos gue,”
“Jadi, kamu merasa tak memiliki ego sama sekali,”
“Ego?” tanyaku heran, “Maksudmu memiliki dirimu? Hahaha...saya masih normal!”
“Kamu manusia atau bukan sih tidak merasa memiliki ego?”
Aku terdiam.
“Baiklah, sampai di sini dulu,” ujarnya menatap tajam padaku, “Nanti saya ke sini lagi. Ingat kita tidak bisa terpisah,”
Tiba-tiba saja ia menghilang seperti angin mendesir dan aku, jujur, merasa aneh. Siapalah tadi yang kujumpa? Manusia atau setankah? Berkata-kata yang menurutku aku tidak mengerti dan sama sekali tidak mengerti. Ah, tapi sudahlah buat apa aku pikirkan.
Namun, esoknya, lusanya, dan seterusnya ia datang kembali. Mengajakku untuk ikut. Jujur aku tidak mau. Aku tidak mengerti. Aku tidak paham. Tetapi, Ego selalu berkata bahwa ia ada di dalam diriku. Dan aku ada dalam dirinya. Sayang, aku tidak merasakannya.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran