Pages

Jumat, 31 Agustus 2012

Kebanggaan yang Memakan Korban


Setiap manusia memiliki kebanggaan. Dan itu merupakan hal yang pasti dan alami. Kebanggaan itu sendiri bisa berupa kebanggaan akan diri sendiri, kebanggaan akan orang lain, atau kebanggaan akan sesuatu yang bisa terwujud dalam benda mati. Dalam KBBI sendiri, kebanggaan itu berarti kebesaran hati, perasaan bangga, kepuasan diri. Setiap manusia boleh memiliki rasa bangga atas apa yang dipunyainya, namun hal tersebut janganlah sampai melebihi batas. Hendaknya kebanggaan yang dipunyai memiliki sesuatu yang positif bagi yang memilikinya, atau setidaknya mempengaruhi bagi mereka yang berhubungan dengannya. Namun bagaimana jika kebanggaan itu sendiri bersifat negatif demi pemuasan ambisi pribadi atas nama tradisi?

Itulah yang terlihat pada Piramid (terjemahan dari La Pyramide), salah satu karya termasyhur dari Ismaїl Kadaré, sastrawan asal Albania yang berulangkali memenangkan penghargaan sastra internasional, seperti Prix Mondial Cino del Duca (1992), Man Booker International Prize (2005), dan Primios Principe de Asturias (2009). Buku yang diterbitkan oleh si penulis dalam pengasingannya di Prancis pada 1992 ini (di Indonesia pada 2011) berkisah mengenai pembangunan piramida di Mesir Kuno. Setting tempatnya sendiri berkisar pada masa 2600 SM, atau tepatnya pada masa berkuasanya Firaun Cheops (Khufu).

Sebagaimana lazimnya, pembangunan piramida di masa Mesir Kuno adalah sebuah tradisi, terutama bagi setiap Firaun yang memerintah, yang diharuskan mempunyai piramidanya sendiri. Pembangunan piramida di masa Mesir Kuno bukan hanya ditujukan sebagai pemujaan dan ibadah kepada Ra, dewa tertinggi dalam mitologi Mesir Kuno, tetapi juga sebagai tempat pemakaman, serta kebanggaan. Karena tradisi, hal demikian tidak bisa tidak ditolak, terutama yang ditunjukkan oleh Cheops, yang pada awal novel ini menyeletuk hendak menghentikan tradisi pembangunan piramid untuk dirinya. Celetukan itu jelas membuat beberapa pendeta, pejabat kerajaan, terutama Pendeta Tinggi Hemiunu berurai air mata, seakan-akan tak percaya kalau seorang Firaun berupaya menghentikan tradisi yang sudah sedemikian berjalan.

Maka, tak ada jalan lain selain membujuk Cheops dengan mengatakan bahwa membangun piramid adalah sebuah keharusan dan sebuah tradisi yang tidak boleh diputus. Ini pun ada hubungannya dengan pilar penyangga kekuasaan. Begitulah yang diucapkan Hemiunu kepada Cheops pada sebuah pertemuan dengan nada mengancam,

“Piramid adalah pilar penyangga kekuasaan. Jika ia terguncang, segalanya rubuh berantakan” (hal.15)

“Jadi jangan berpikir, Firaunku, untuk mengubah tradisi...Paduka bakal jatuh dan menyungkurkan kami bersamamu” (hal.15)

Firaun Cheops yang dibujuk seperti itu akhirnya secara sadar berubah pikiran. Apalagi, oleh beberapa bawahannya dikatakan bahwa pembangunan piramid itu juga untuk mengimbangi pembangunan kanal yang dilakukan bangsa Sumeria, seteru Mesir Kuno di masa itu. Sekaligus sebagai sebuah kebanggaan nasional bahwa Mesir mempunyai sesuatu yang layak dibanggakan.

Lalu pembangunan Piramid dilakukan dan memakan banyak korban jiwa selama berbelas hingga berpuluh tahun. Piramid pun selesai tetapi tiga tahun kemudian, sang Firaun meninggal dan kemudian dimakamkan di piramid yang dibangunnya tersebut.
***
Dengan paparan bab yang bersifat kronikal dalam buku setebal 216 halaman ini (plus duan esai dari Magnus Linklater dan David Bellos), Kadaré memaparkannya secara struktural. Dimulai dari masa rencana pembangunan piramid, masa pembangunan, dan pasca pembangunan. Ketiga masa itu jika ditafsirkan seperti membangun piramid itu sendiri yang memakan banyak korban jiwa, terutama para anak lelaki yang harus direlakan oleh ibunya untuk mati demi menuruti keinginan sang raja. Dalam hal ini Kadaré menuliskannya secara satir,

“Ibu sayang, izinkanku mengakhiri hidup dengan membangun makam” (hal.60)

Yang kemudian pada beberapa halaman terpisah ditanggapi dengan kalimat seperti ini,
“Kukorbankan anak laki-lakiku pada piramid dengan gembira” (hal.98)

Secara psikologis, ini sebenarnya merupakan sebuah sikap yang sebenarnya sangat menolak, apalagi pengerahan para pekerja itu dilakukan dengan cara paksa, dan di tempat kerja dicambuk habis-habisan. Namun, karena ini adalah perintah sang Firaun, maka itu pun tidak bisa ditolak, yang kemudian membuat si ibu dan anak menghibur diri.

Memang, pembangunan piramida itu dilakukan secara paksa. Hal yang demikian membuat rakyat Mesir Kuno gempar seperti mengalami sebuah serangan penyakit menular atau perang. Kadaré menggambarkannya kegemparan itu dengan ungkapan berikut,

“....rasa cemas yang dirasakan manakala kemalangan yang sangat ditakutkan, yang diharapkan takkan pernah terjadi oleh masyarakat, akhirnya benar-benar mewujud di atas cakrawala,” (hal.17)

Ini mengindikasikan bahwa sebenarnya pembangunan piramida tidak diinginkan oleh masyarakat Mesir Kuno karena sifatnya yang memaksa. Mereka bahkan menganggap itu sebuah kesialan yang tidak bisa dilewatkan dalam hidup mereka. Kekhawatiran itu sendiri bukan hanya dirasakan oleh masyarakat, tetapi juga para arsitek piramida, karena mereka yang bertanggungjawab langsung kepada Firaun.

Namun kecemasan yang sebenarnya dalam novel ini justru terletak pada diri sang Cheops. Sifatnya yang inkonsisten membuatnya kemudian tersadar bahwa pembangunan piramid itu pada akhirnya akan memangsa dirinya sendiri. Ini yang kemudian dipaparkan secara dalam oleh Kadaré dalam bab VI “Debu Raja-raja”. Meminjam istilah terkenal dari Sigmund Freud, psikoanalisis, terlihat sekali Kadaré berusaha mempermainkan emosi sang Cheops yang mulai membayangkan dirinya mati dibalsem, terbungkus kain mumi, dan terkubur dalam sarkofagus di sebuah tempat yang sepi, penuh debu, dan jauh dari kehidupan. Apalagi kalau bukan di piramid yang tengah dibangunnya itu. Dan di bab akhir, ia semakin menyadari bahwa piramid itu menginginkannya.

Jika menilik pada teori Freud, maka bisa dipastikan bahwa kejiwaan Cheops memasuki tahap sadar dari tiga tahap yang diajukan Freud dalam psikoanalisisnya, yaitu sadar (conscius), pra sadar (preconscious), dan tak sadar (unconscious).

Mengapa Kadaré begitu nampak memusatkan perhatiannya pada Cheops? Hal ini dikarenakan Cheops sendiri yang merupakan penggerak massa untuk membangun piramid kebanggaannya dengan berdarah-darah. Tentulah menjadi hak bagi Kadaré untuk memeriksakan kejiwaan tokoh sentralnya ini ketika menghadapi serangkaian kejadian yang berhubungan dengan pembangunan piramida. Mulai dari ketegangan menghadapi para arsitek yang menyiapkan maket pembangunan, ketegangan menghadapi para pendeta dan penyihir, lalu ketegangan menghadapi rakyat yang anti kepada dirinya hingga dirinya sendiri. Dan secara psikologis, dapat disimpulkan bahwa Cheops perlahan-lahan mulai terkucil seperti yang ia bayangkan ketika meninggal nanti.

Apa yang dipaparkan Kadaré mengenai Cheops sendiri sebenarnya seperti sebuah ironi. Kebanyakan orang mengenal Cheops sebagai salah satu Firaun yang berhasil membangun salah satu piramid terbesar dunia, Piramida Giza. Piramida itu kemudian menjadi salah satu tujuh keajaiban dunia kuno versi Herodotus. Tetapi, ia digambarkan sebagai diktator yang terlihat lemah dan tak berdaya dan mudah berubah sikap.

Mengenai kediktatoran itu sendiri, sesungguhnya tidak bisa kita lepaskan dari kehidupan nyata Kadaré yang secara langsung bersinggungan dengan Enver Hoxha, diktator komunis Albania yang membuat negeri itu menjadi komunis pasca Perang Dunia ke-2 dan kemudian berakhir pasca runtuhnya Uni Soviet. Kehidupan yang diktatoris di Albania membuat Kadaré menyingkirkan diri ke Prancis dan berkarya di sana. Dan Piramid bisa dibilang sejenis dengan karya-karyanya, yang di antaranya sudah diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti Istana Mimpi (Serambi, 2012) dan Elegi untuk Kosovo (Jalasutra, 2004)

Hadirnya Piramid karya Ismail Kadaré ini seperti kata penerbit yang memegang lisensi karyanya, Marjin Kiri, untuk mengisi kekosongan bacaan sastra, terutama sastra dunia yang berkualitas di Indonesia di tengah gempuran bacaan teenlit atau metropop. Apalagi karya ini bukanlah karya sembarangan mengingat isinya yang menyentuh sisi humanis yang tengah tercerabut oleh kesewenangan politis. Jika di Indonesia karya ini pantaslah disandingkan dengan karya-karya dari Pramoedya Ananta Toer yang juga berbicara mengenai perlawananan dan kesewenangan. Apalagi dalam penuturannya, keduanya kerap menampilkan sisi psikologis para karakternya. Sedangkan di tingkat dunia, karya-karya Kadaré kerap disejajarkan dengan Frans Kafka, Vaclav Havel, dan George Orwell.

Dari segi kemasan, terutama dalam penerjemahan, sang penerjemah, Dwi Pranoto nampaknya berhasil menghidupkan roh tulisan Kadaré melalui diksi yang tepat sehingga menjadikan terjemahan itu nampak seperti aslinya. Bahkan ia sendiri menciptakan kosakata seperti termulia, sedua. Meskipun di sana-sini ia juga menyisipkan kosakata bahasa harian, seperti bego dan bloon. Namun itu nampaknya tidak mengganggu keasyikan pembaca dalam menelusuri halaman demi halaman dan malah seperti air yang mengalir. Tujuannya jelas, agar pembaca bisa langsung mengerti dan memahami apa maksud yang akan disampaikan si penulis.
Akhirul kalam, keberadaan Piramid seperti sebuah oasis yang langka di padang pasir dan menjadi relevan dengan keadaan di Tanah Air yang masih dipenuhi oleh kesewenangan dan ketidakdilan.


1 komentar:

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran