Pages

Jumat, 17 Agustus 2012

Pak Dirman

Hujan turun begitu deras
malam sudah meradang
begitu licin tanah yang hendak dijejak
tumpahannya mengalir menganak sungai

Namun di tandu itu keteguhan dirinya tetap ada
Tatapan terus ke depan
komando sembari ia berikan
kepada mereka yang setia mengikuti
melakukan perlawanan
meski haruslah diri sadar
jikalau fisik terbelenggu sakit

Namun sakit ini bukanlah yang lebih sakit
Yogyakarta pada pagi yang cerah
luluh-lantak
terhujam bom
tergempur burung-burung besi triwarna
kepanikan pun tercipta
ketika mereka yang berloreng-loreng menyeruak memasuki kota

Gerilya menjadi pilihan terakhir
dan para founding fathers harus rela
terbuang ke suatu tempat

Lelah bukanlah sebuah kamus hidup yang harus dibentangkan
bila urusannya adalah harga diri dan kemerdekaan
kota, desa, hutan, lembah, sungai, dan juga cuaca
haruslah diakrabi
Lalu bertempur
juga bertiarap

Tak pernah terpikir bagi mereka
akan kematian
baginya ini adalah jihad
Mereka si mata biru harus diperangi
juga dibunuh

Ia, Pak Dirman, wibawa dan pesonanya
selalu memukau
tandu itu adalah saksi perjuangan
dalam himpitan sakit
melawan sang agresor

Namun sakit tetaplah sakit
ia tak kuasa melawan
hingga malaikat maut datang
tetapi senyum lega sudah tersirat
karena si agresor sudahlah hengkang

Masihlah ia ada hingga saat ini
terkenang dalam bentuk jalan, universitas, dan juga patung dirinya
Namun adakah senyuman masih tersungging
di depannya para penerusnya malah seenak perut juga jidat
mempermainkan republik yang ia pertahankan hingga berkeringat darah


0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran