Pages

Selasa, 28 Agustus 2012

Repetisi


Selalu saja itu terjadi. Berulang-ulang kali meski masa sudah lewat dan terbenam. Sebuah pengulangan yang manusia pun, sadar atau tidak akan selalu mengalaminya. Sebuah pengulangan yang memang telah Tuhan ciptakan supaya manusia itu bisa mempelajarinya walau dalam kenyatannya tidak, dan bahkan tidak sama sekali. Sebuah pengulangan yang selalu didengung-dengungkan oleh mereka yang memanfaatkan pengulangan sebagai suatu hal yang menonjol ketika memunculkan dirinya di dalam masyarakat. Sebuah pengulangan yang akan terus beranak-pinak.

Awalnya, aku tidak menyukai hal ini. Bagiku pengulangan atau repetisi adalah sebuah hal yang memboroskan hal. Memboroskan tempat dan juga rasa. Sesuatu yang bagiku buang-buang waktu karena toh apa yang telah diulang adalah semua yang sudah berlalu. Berlalu karena telah terjadi pada masa yang telah lama. Pada masa yang mungkin aku sendiri tidak ada atau ada. Masa yang seharusnya dilupakan karena di depan akan muncul sebuah masa lagi.

Aku berusaha menghindari setiap repetisi itu. Ketika menulis sebuah kalimat, aku hilangkan yang berbau repetisi. Ketika menggambar, aku berusaha untuk tidak menggambar seperti orang kebanyakan, menggambar orang atau pemandangan, dan ketika memotret, aku berusaha untuk tidak memotret yang seperti kebanyakan orang lakukan. Aku berusaha menciptakan sesuatu yang berbeda. Sesuatu tanpa repetisi. Sesuatu yang menurutku akan istimewa.

Tetapi, setiap kali kucoba melakukan hal itu, selalu aku tak bisa. Terbentur pada kenyataan bahwa repetisi itu perlu. Dan menjadi penegas, tanpa repetisi kehidupan tidak akan ada.

“Matahari ada di siang hari. Bulan ada di malam hari. Bukannya itu sebuah repetisi, kawan?” tanya Aldi, temanku, “Dan bumi berputar berulang-ulang bukannya itu sebuah repetisi. Jadi, kehidupan mana ada kalau tanpa repetisi?”

“Bukannya itu takdir?” tanyaku seakan-akan aku menolak anggapan dari kenyataan bahwa itu adalah sesuatu yang harus diulang-ulang.

“Itu memang takdir,” katanya lagi, “Tetapi, takdir itu selalu datang berulang-ulang dan itu adalah repetisi. Bagaimana kau sendiri bisa menghindari repetisi kalau nyatanya ia ada di sekitar kita?”

Aku lalu berpikir. Sepertinya ada benarnya juga apa yang dikatakan Aldi. Tentang matahari yang bersinar di siang hari dan bulan di malam hari dan keduanya berpindah tempat dan waktu dan terus dilakukan berulang-ulang. Namun aku merasa belum puas dengan jawaban Aldi. Apa harus demikian sebuah repetisi sehingga ia menjadi penting?

Aku tanyakan lagi pada temanku yang lain. Namanya Andini. Mungkin ia bisa membantuku setidaknya mengenai repetisi yang ingin selalu aku hindari.

“Maaf, Galih,” kata Andini menatapku dengan serius, “Kamu tidak akan bisa menghindari repetisi sebab repetisi itu seperti sebuah takdir kuasa dari Sang Pencipta. IA sengaja ciptakan repetisi karena IA tahu pasti manusia ciptaannya akan selalu melakukan hal yang berulang-ulang sampai dunia ini kiamat,”

“Sebegitukah sampai kamu mengatakan bahwa repetisi adalah sesuatu yang menurutku absolut?” tanyaku mencoba menyanggah apa yang ia utarakan.

“Aku tidak mengatakannya absolut, Galih,” kata Andini mencoba membela dirinya, “Yang bilang itu kan kamu. Aku hanya mengatakan bahwa repetisi itu aku ibaratkan sebagai takdir dan padahal dalam takdir saja ada takdir yang pasti dan tidak pasti,”

“Itu berarti repetisi itu tidak absolut kan?” tanyaku lagi seperti meminta kepastian.

“Ini bukan masalah absolut atau tidak absolut, Galih,” kata Andini berusaha mencari kata penengah, “Tetapi, bagaimana dirimu sendiri memahami apa itu repetisi,”

Baiklah, itu yang kudapatkan dari Andini, yang mengatakan bahwa repetisi itu seperti takdir. Sesuatu yang datang dari Tuhan dan sudah menjadi sesuatu yang azali. Sesuatu yang harus manusia menjalankannya. Hanya saja aku masih belum puas dengan jawaban itu karena Andini tidak memberikan secara pasti jawaban yang gamblang bagaimana aku menghindari repetisi.

Kembali kutanyakan hal itu pada temanku yang kuanggap lebih pintar dan semoga saja ia bisa memberikan jawaban. Jawaban yang benar-benar kubutuhkan dari sebuah tanya yang terus menggelayuti diriku: bagaimana caranya aku menghindari repetisi? Aku seperti menganggap repetisi itu adalah gangguan, hantu, atau juga ganjalan ketika aku melakukan sesuatu.

Sebut saja nama temanku itu Iskandar Zulkarnaen. Namanya mengingatkanku pada sosok raja dari Makedonia yang telah menguasai dunia dari Yunani hingga Persia ketika ia masih berumur 30 tahun. Keberhasilan yang kemudian diangkat dalam sejarah kehidupan manusia. Sebuah catatan atas prestasi yang agung.

“Bagaimana pun caranya, kau tetap tidak akan bisa,” kata Iskandar kepadakun saat aku menemuinya di sebuah perpustakaan pribadinya, yang berada di dalam rumahnya. Perpustakaan yang berisikan banyak buku. Sejarah, filsafat, agama, dan sastra mendominasi. Aku agak kagum dengan dirinya. Tetapi, ia selalu ingin biasa-biasa saja dan tanpa harus ada sanjungan karena baginya sanjungan, terutama yang berlebihan, bisa melemahkan dan melenakan orang itu sendiri hingga jatuh ke titik yang terendah.

“Repetisi adalah sebuah garis takdir yang Tuhan telah ciptakan dan garis takdir itu mau tidak mau harus dijalankan. Kalau kau berusaha menghindarinya itu sama saja kau mengingkari nikmatNya sehingga dirimu lupa karena tidak mempelajari adanya repetisi,”

Aku terdiam mendengar ucapannya yang seperti setengah berkhutbah ala para penceramah di tempat-tempat ibadah. Aku ingin menyanggah tetapi aku bingung dan tidak tahu menyanggah dengan cara seperti apa.
“Logikanya adalah seperti seseorang yang menolak sesuatu yang ia tidak suka. Akan tetapi sesuatu yang tidak ia suka itu akan muncul kembali, dan karena mendesak, mau tidak mau ia harus menerimanya,”

“Itu berarti repetisi memaksa?” tanyaku yang akhirnya keluar sanggahan sebuah tanya yang menurutku pantas untuk ditanyakan.

“Bukan memaksa,” kata Iskandar kemudian tertawa kecil, “Coba deh kau benahi pikiranmu sekarang dan coba interpretasikan baik-baik setiap ungkapan yang datang. Aku selalu memperhatikan kalau kau selalu cepat menanggapi tetapi dengan misinterpretasi. Aku rasa itu kelemahanmu,”

Aku terdiam dan mulai menyadari kelemahanku. Apa yang dikatakannya memang benar. Bahwa selama ini aku selalu seperti ini. Salah interpretasi dari setiap apa yang kusanggah.

“Sekali lagi bukan maksudku memaksa,” kata Iskandar kembali, “Hanya itu adalah sesuatu yang pasti kau akan temui. Contohnya, kematian. Setiap manusia di dunia ini pasti akan menemui kematian kan? Dan kematian itu ada setelah adanya kehidupan. Jadi, ada yang hidup dan ada yang mati. Selalu berulang dan berulang tanpa kita sadari bahwa itu adalah repetisi,”

“Jadi intinya aku benar-benar tidak bisa menghindari repetisi?” tanyaku pada sebuah kesimpulan akan jawaban yang ingin aku dapatkan.

“Tidak bisa, Galih,” kata Iskandar, “Kau pasti akan selalu melakukan sesuatu yang bersifat repetisi. Pernah mendengar ungkapan “Sejarah selalu berulang”?”

Aku jawab singkat,

“Iya,”

“Tahu kan makna dari ungkapan itu?” tanya Iskandar lagi sambil berusaha memancing diriku.

“Tahu,” jawabku.

“Coba renungkan,” ujarnya.

Aku lalu merenung mengenai ungkapan itu. Ungkapan yang berasal dari bahasa Perancis “L’histoire se repete”. Ungkapan yang ingin mengungkapkan bahwa segala sesuatunya pasti berulang entah dari zaman apa pun berasal. Ungkapan yang mengungkapkan bahwa manusia seharusnya belajar dengan apa yang terjadi di masa lalu dan sekarang untuk masa ke depannya. Tapi, dalam perjalanannya selalu manusia melupakannya.

“Itu intinya, Galih,” kata Iskandar, “Bahwa segala sesuatu, baik atau buruk, pasti akan berulang dan berulang dan sekali lagi manusia harus terus diingatkan untuk belajar dan ungkapan untuk belajar selalu bergaung dari masa yang sudah silam,”

“Dan namamu Iskandar Zulkarnaen itu berarti juga sebuah pengulangan?” tanyaku kembali padanya akan nama yang sepertinya orang-orang menyukainya.

“Betul,” katanya tersenyum, “Karena nama Iskandar Zulkarnaen bukanlah nama sembarangan. Orangtuaku pun telah memilihnya dengan penuh pertimbangan dengan harapan agar aku bisa menjadi Iskandar Zulkarnaen,”

“Menaklukkan dunia?”

“Iya, tetapi dengan buku, sebab buku itu adalah jendela dunia dan itu adalah pernyataan yang selalu diulang-ulang,”

“Iya, aku mengerti,”

“Kalau kau mengerti baguslah. Berarti kau sudah paham seharusnya bahwa dalam kehidupan selalu ada yang namanya repetisi dan itu tidak bisa dihindari,”

Begitulah. Pembicaraan dengan Iskandar Zulkarnaen akhirnya membuatku paham bahwa hidupku, hidupnya, dan hidup semua orang akan penuh dengan repetisi. Repetisi yang kadang terlihat dan terlihat. Disadari dan tidak disadari. Dirasa dan tidak dirasa. Disukai dan tidak disukai. Disanjung dan juga dicacimaki. Sebab, repetisi, bagaimanapun seperti sebuah jalur lurus yang bersamaan dengan takdir. Seperti teman yang selalu setia menemani.

Dan repetisi itu membuat diriku menjadi menyukainya. Apalagi dalam menuliskan sebuah kalimat. Ada rasa keindahan yang terpancar di dalamnya jikalau itu bisa terangkai dengan apik dan padu seperti sebuah rel kereta api yang memanjang lurus sehingga menjadi sesuatu yang nikmat bagi para pereguk kata ketika melihatnya. Kutegaskan, bahwa aku menyukai repetisi dan repetisi itu indah.

1 komentar:

  1. PENGEN DAPAT JUTAAN?
    YUK LANSUNG AJA KE ZEUSOLA!

    Hanya Dengan Deposit Pulsa, Gopay & OVO Sudah Bisa Bermain Dan Meraih Keuntungan Yang Besar Jutaan Rupiah Hingga Sepeda Motor !

    Tunggu Apalagi Segera Daftar Dan Bermain Di Zeusbola!
    Jangan Lewatkan Jackpot Anda!

    INFO SELANJUTNYA SEGERA HUBUNGI KAMI DI :
    WHATSAPP :+62 822-7710-4607


    BalasHapus

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran