Pages

Sabtu, 01 September 2018

Amerika Serikat dan Olimpiade

Membicarakan Olimpiade tentu tidak akan terlepas dari Amerika Serikat. Mengapa? Karena sepanjang sejarah penyelenggaraan Olimpiade sejak 1896, Negeri Paman Sam selalu menjadi yang terdepan. Dalam sejarahnya juga, Amerika selalu tampil di Olimpiade, dan hanya sekali absen pada Olimpiade 1980 di Moskow akibat permasalahan politik. Ini seperti halnya Brasil yang selalu tampil dan terdepan di Piala Dunia.
Kompas.com


Total sudah 2.552 medali telah diraih para atlet Amerika di Olimpiade. Jumlah itu meliputi 1.022 emas, 795 perak, dan 705 perunggu. Raihan ini berjarak begitu jauh dari peringkat kedua, Uni Soviet, dengan 1.010 medali. Mayoritas medali kontingen Amerika berasal dari atletik, renang, basket, tinju, dan tenis. Bahkan dari beberapa cabang itu atlet-atler Paman Sam juga mencatatkan rekor seperti Michael Johnson di atletik dan Michael Phelps di renang. Selain mencatatkan rekor atlet-atler Amerika bak selebritis seperti Venus Williams dan tim basket AS pada Olimpiade 1992, yang merupakan tim basket pertama yang terdiri dari para pemain NBA.
Tak hanya di prestasi, dominasi AS juga terlihat dari jumlah terbanyak sebagai tuan rumah. Ada tiga kota di Amerika sejauh ini yang sudah menggelar Olimpiade, yaitu St. Louis pada 1904, Los Angeles pada 1932, 1984, dan yang akan datang 2028, dan Atlanta pada 1996.

tribunnews.com

Pertanyaannya, mengapa Amerika begitu dominan di Olimpiade sehingga dalam setiap penyelenggaraan Olimpiade negara-negara lain begitu kesulitan menghancurkan dominasi negara adidaya ini? Dan, seperti halnya Asian Games yang dikuasai Cina, sudah banyak yang memprediksi tiap kali Olimpiade digelar sudah pasti Amerika yang bakal ke podium tertinggi.

Tentu hal ini dikarenakan pendidikan olahraga yang begitu bagus dan kuat di sana. Pendidikan olahraga di Amerika dirancang seimbang dengan pendidikan formal yang lebih mengutamakan nilai-nilai akademis. Apalagi di dalam setiap sekolah dan universitas di Amerika selalu diadakan kompetisi-kompetisi antarsekolah yang berkesinambungan dan berkelanjutan. Kompetisi-kompetisi sekolah itu pun juga mendapatkan hak siar dari beberapa stasiun televisi terkemuka seperti ABC, CNBC, dan ESPN. Maka, tak mengherankan jika banyak atlet andalan Amerika lahir dari kompetisi-kompetisi sekolah ini.
Sindonews


Pendidikan olahraga yang mumpuni juga didukung oleh pandangan masyarakat Amerika yang menyatakan bahwa olahraga merupakan suatu kebanggaan nasional. Apalagi pemerintah juga lebih menekankan pentingnya partisipasi daripada prestasi sehingga olahraga mendapatkan tempat nomor satu di masyarakat Amerika. Mereka sadar bahwa olahraga juga bisa menjadi alat untuk menguasai dunia selain untuk kesehatan jasmani.

Bahkan untuk mewujudkan kebanggaan itu, Amerika pernah merasakan situasi sulit ketika menggelar Olimpiade 1932 di tempat sendiri, tepatnya di Los Angeles. Kala itu krisis dunia atau malaise sebagai dampak terjadinya Perang Dunia Pertama menjangkiti AS dan beberapa negara Eropa. Hasilnya, tidak banyak negara yang berpartisipasi di ajang tersebut. Di Amerika sendiri tidak kota atau negara bagian yang antusias menyelenggarakan Olimpiade hingga akhirnya Los Angeles yang terpilih.

Dalam Olimpiade itu, untuk kali pertama tidak dibuka oleh kepala negara. Presiden AS kala itu, Herbert Hoover tidak bisa menghadiri acara pembukaan karena suatu alasan. Meski begitu, atlet-atlet Amerika tetap unjuk gigi, dan bisa menjadi juara umum. Bahkan hasil itu juga memberikan keuntungan untuk Komite Olimpiade Amerika sebesar US$ 1 juta.

Faktor lainnya adalah multirasialnya Amerika. Faktor inilah yang membuat atlet-atlet Amerika lebih berwarna dari negara-negara lainnya. Dan dengan bangganya Amerika selalu mempropagandakan persamaan dan menghilangkan perbedaan seturut sebagai sebuah negara yang menjuluki diri sebagai tanah kebebasan.

Meski begitu, ada ironi yang terpapar dibalik dominasi dan kedigdayaan Amerika di Olimpiade. Hal ini tentu menyangkut rasialisme. Amerika adalah negara yang multirasial dan multikultur. Karena itu, warga negara Amerika tidak hanya orang kulit putih, tetapi orang kulit hitam dan berwarna. Dan boleh dibilang, orang-orang kulit hitam dan berwarna inilah yang sebenarnya banyak menyumbangkan prestasi untuk supremasi AS di Olimpiade.

Akan tetapi rupanya masih ada beberapa pihak yang memegang supremasi putih sehingga orang-orang minoritas kerap mengalami diskriminasi.

Salah satunya adalah mantan petinju legendaris Muhammad Ali. Sebelum menjadi petinju profesional, Ali yang bernama asli Cassius Clay ini adalah juara Olimpiade cabang tinju di Roma, Italia, 1960. Ketika ia sedang menapaki karier profesionalnya, Pemerintah AS mewajibkan Ali untuk berperang di Vietnam. Tentu saja Ali menolak, dengan alasan bahwa ia tak punya masalah dengan orang-orang Vietnam, dan semua orang punya hak untuk hidup damai. Pandangannya ini jelas tidak disukai pemerintah AS yang kemudian mencabut medali emas yang ia raih dan melarang Ali bertanding selama tiga tahun. Tentu saja apa yang dialami Ali ini mendapat dukungan dari seluruh masyarakat AS dalam upayanya memerangi rasialisme.

Selain Ali, dua atlet atletik AS peraih medali emas dan perak di Olimpiade 1968, Tommie Smith dan Jhon Carlos, mengepalkan tangan saat berlari mendekati garis finis, dan di podium sebagai tanda perlawanan terhadap diskriminasi di AS. Kepalan tangan itu populer dengan nama The Black Power Salute.
wikipedia


Selain di dalam negeri, rasialisme dan diskriminasi juga menyerang atlet kulit hitam AS. Inilah yang terjadi pada Jesse Owen, peraih emas atletik di Olimpiade Berlin 1936. Dirinya ditolak dikalungkan medali dan disalami oleh penguasa Jerman kala itu, Adolf Hitler, yang memegang supremasi Arya. Hitler bahkan tak segan-segan menyerang Amerika sebagai negara yang tidak murni karena ada kulit hitamnya.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran