Pages

Rabu, 01 Oktober 2025

Lepasnya Bara dalam Sekam


Alkisah, ada sebuah negeri yang sangat maju. Kehidupan rakyatnya sangat makmur dan sejahtera. Tidak ada ketimpangan sama sekali. Semua mendapatkan hak yang sama dan setara terutama di mata hukum. Pemimpinnya pun arif bijaksana dan sangat peduli akan rakyatnya terutama rakyat yang tidak mampu untuk mempunyai akses ke dua hal penting, kesehatan dan pendidikan. Sang pemimpin juga dikenal tegas dan berwibawa serta tidak pandang bulu dalam menegakkan supremasi hukum berasaskan pada kekuatan sipil. Tidak ada yang namanya kekuatan bersenjata yang menunjukkan batang hidung secara massal di depan orang banyak. Tidak ada yang namanya tindakan represif dan berlebihan dari penegak hukum ketika orang-orang mengungkapkan perasaan mereka kepada para wakil rakyat. Yang ada adalah bentuk pengayoman dan kasih sayang. Rakyat jadi tuan para penguasa karena mereka tuan sebenarnya. 

Negeri itu bernama Angkasapura. Sebuah negeri yang berada di atas awan yang berada di bawah negeri sebelumnya, Bumipura, yang tenggelam karena banjir besar seperti banjir Nuh. Negeri di atas awan ini berbentuk kapal besar yang lebar yang membentuk geografis yang sangat natural. Ada tanah yang subur ditumbuhi padang rumput, hutan, sawah-sawah, dan kebun-kebun. Kemudian ada gunung yang sangat tinggi serta sungai besar yang mengalir jernih untuk memberikan penghidupan bagi rakyat di sekitarnya, bangunan-bangunan berupa perumahan, desa-desa, kota-kota dengan gedung pencakar langit yang sangat tinggi, jaringan jalanan dan transportasi yang sangat bagus, yang sangat dinikmati para warga dari semua golongan.

Angkasapura, bagai sebuah Shangrila, yang dibangun dengan teknologi artifisial yang hasilnya sama persis dengan kenyataan. Membuat negeri ini juga disanjung negeri-negeri lainnya untuk belajar tentang semua hal. 

Tetapi...

Tetapi...

Tetapi...

Ada satu hal yang masih mengganjal jika melihat negeri ini secara keseluruhan. Masyarakatnya memang benar adil dan makmur, supremasi sipil di atas segala-galanya. Semua terlayani oleh teknologi canggih yang ada di Angkasapura.

Namun, ada satu tempat yang tidak semua orang boleh tahu. Tempat ini sangat terlarang bahkan saking terlarangnya tidak boleh ada yang masuk. Jika ketahuan masuk, siap-siap robot penjaga tidak kenal perasaan akan langsung membabat tanpa ampun. Karena itu, tempat ini sangat tidak bisa dilihat oleh siapa pun. Bahkan oleh mata telanjang sekalipun. Di peta digital ia juga dihilangkan, dan sekali lagi hanya yang paham tempat ini yang tahu berdasarkan cerita turun-temurun.

Tempat itu sebenarnya sebuah gedung dengan fasilitas ruang bawah yang bisa sampai puluhan meter sesuai dengan panjang Angkasapura ke bawah. Di situlah ada sebuah ruang khusus dengan suhu udara sangat dingin dari AC yang di dalamnya ada sebuah sekam yang diberi kaca tebal serta sebuah api yang selalu menyala setiap saat yang tertutup oleh sekam tersebut. Api itu bukanlah api biasa. Ia juga bukan api untuk menyalakan kompor untuk keperluan memasak, untuk keperluan mengelas, untuk menghangatkan badan saat di alam terbuka, merokok, kremasi, pemujaan hingga untuk keperluan menghancurkan semua dokumen yang menganggu.

Ia adalah api yang sangat menakutkan, yang jika ia hadir dalam setiap kehidupan orang-orang ia akan menjadi malapetaka besar yang dapat menyebabkan kehancuran Angkasapura. Ia adalah banaspati, sang api teror yang jika diperhatikan tampak berbentuk wajah manusia yang selalu menyunggingkan horor dan ketakutan tiada ampun bagi yang menatapnya. Karena itulah, ia dikurung dalam sebuah kaca dan sekam untuk mengantisipasi panasnya.

Banaspati adalah sesosok perwujudan monster raksasa yang datang meneror Angkasapura. Oleh Ratu Adil, sang pendiri Angkasapura, ia dikalahkan dan dikurung hingga baranya kini mengecil. Meski demikian, setelah dikurung baranya malah perlahan tambah membesar ke semula hampir melampaui batas muatan kaca tersebut serta suhu yang diatur untuk bisa mengurungnya. Jika suhu yang diatur itu telah melampaui batas, Banaspati akan dengan mudahnya keluar dari kaca itu dengan membakar sekamnya. Ia akan kembali menebarkan teror dan ketakutan.

Hal inilah yang disadari betul oleh Pak Joko, sang direktur pengendali fasilitas rahasia yang mengurung Banaspati. Tampak setiap hari ia selalu khawatir apalagi jika Sang Martil, sang pemimpin Angkasapura terus meneleponnya melalui panggilan video,

"Saya tidak mau api keluar dari kaca!" Begitulah kata Sang Martil saat menghubungi Pak Joko yang cuma bisa berkata "Iya, Pak" atau "Saya akan usahakan". Ini karena ia tampak bingung menjelaskan kepada Sang Martil perihal si Banaspati yang tingkatan besaran apinya di luar nalar hingga mendekati zona merah.

"Saya tidak mau tahu!" kata Sang Martil dengan nada mengebos, "Ini kan tugas Anda sebagai orang pintar yang mampu mengendalikan api, dan saya lebih percaya Anda daripada dukun-dukun desa yang selalu ribet dalam melaksanakan ritual. Apa itu dupa? Kemenyan? Oh, ayolah kita sudah hidup di zaman mesin ada di mana-mana!"

Wajar jika Sang Martil berkata demikian karena dalam beberapa hari belakangan ia selalu dimimpikan sosok besar berapi seperti kaiju yang menebarkan teror tanpa henti. Monster raksasa api dalam mimpi itu datang lalu membakar setiap gedung yang ia lewati termasuk juga istana tempat tinggalnya. Dalam keadaan seperti itu, Sang Martil selalu terbangun dalam keadaan keringat. Mimpi itu membuatnya takut dan sangat takut karena dapat membuka rahasia yang selama ini tersimpan rapat.

"Kalau api ini sampai lepas, bukan hanya saya yang kena tapi juga rahasiamu. Atau saya lebih baik bungkam kamu saja kalau kamu tidak mengendalikannya?" Ucapan disertai ancaman intimidasi itu selalu muncul dalam kehidupan harian Pak Joko. Ia sejujurnya sudah kenyang akan ancaman itu yang merupakan konsekuensi dari tugasnya yang berat, yang membuat ia rela menjadikan gedung itu sebagai atap rumahnya dan jauh dari keluarga.

***

Riki berlari kencang kemudian perlahan merayap-rayap di atas tanah untuk menghindari lampu sorot dari para robot yang berjaga di mercusuar. Setelah itu merapat pada sebuah tembok lalu melewati mercusuar dengan cepat ala ninja. Jantungnya cukup berdetak kencang saat melakukan banyak transisi gerakan tersebut. Setelah melewati mercusuar di hadapannya kini terdapat sebuah tanah lapang kosong yang bagi kebanyakan orang itu memang cuma tanah lapang kosong. Tetapi tidak bagi Riki. Di balik itu ada sesuatu.

Ia segera berkomunikasi via mikrofon di dekat mulutnya dengan seseorang yang sedari tadi memandunya, Bambang, yang berada di sebuah mobil operasi, dengan jarak 5 kilometer dari tempat Riki berada.

"Sekarang, bro!" Ujarnya singkat. Bambang yang mendengar itu via transmisi di dalam mobil yang ia jadikan sebagai ruang kendali, yang di dalamnya ada TV layar datar untuk memantau Riki via kamera yang terpasang di tubuh, laptop, dan gawai lainnya segera berkata,

"Oke, bro!" Lalu tangannya menari di atas tuts laptop, memunculkan sebuah enkripsi di layarnya yang kemudian memencet enter.

Perlahan dari pencetan itu muncullah sebuah bangunan di balik sebuah lapangan besar. Sebuah bangunan besar yang di dalamnya menyimpan benda yang Riki ingin membebaskannya, Banaspati. Dengan semangat yang cukup besar dan membara, Riki percaya bahwa yang selama ini dikatakan oleh Sang Martil dan para pendahulunya di Angkasapura, terutama Ratu Adil, tidaklah benar.

Banaspati adalah sosok yang sebenarnya baik dan ksatria. Ia sebenarnya adalah sosok pelindung Angkasapura. Namun bagaimana bisa ceritanya ia jadi jahat?

Ketika Angkasapura dibangun untuk menggantikan Bumipura yang tenggelam karena banjir, Ratu Adil, sang pendiri Angkasapura, meminta bantuan Banaspati untuk menghidupkan seluruh mesin pembakaran yang ada di Angkasapura supaya negeri ini tetap bisa terbang dan melanjutkan kehidupan. Energi pembakaran untuk mesin utama ini sangat penting dan vital. Apalagi Ratu Adil tahu api dari Banaspati sangatlah abadi sehingga ia ingin Banaspati tetap di Angkasapura.

Akan tetapi, Banaspati menolak karena ia harus segera kembali ke Bumipura yang walaupun sudah tenggelam ia akan coba tinggal di atasnya sekadar menerangi laut bekas Bumipura yang gelap gulita, dan kebetulan juga di atas Bumipura yang tenggelam dibangunlah sebuah negeri bernama Samudrapura yang negerinya dilindungi oleh sebuah kaca supertebal anti air laut yang tekanannya tinggi. Nah, di Samudrapura itu tinggallah Roro Kuning sebagai penguasanya, dan Banaspati menjalani hubungan asmara dengan wanita cantik yang selalu bersinar ini.

Tindakan ini sebenarnya tidak disukai oleh Ratu Adil yang secara kebetulan menyukai juga Roro Kuning.

Karena itulah, Ratu Adil dan Banaspati berselisih sehingga mereka pun bertarung di Angkasapura selama 7 hari 7 malam. Keduanya pun melancarkan amuk membuat Angkasapura kacau balau. Lalu Ratu Adil meminta bantuan Pak Joko untuk bisa mengalahkan Banaspati dengan menyedotnya memakai penyedot listrik untuk menarik unsur apinya sehingga terperangkap dalam kaca tebal anti api. Sejak itulah, dibuatlah narasi jika Banaspati adalah pengacau dalam buku-buku sejarah Angkasapura. Semua budi baik Banaspati dihapus, dan dibuat narasi bahwa Angkasapura adalah negeri yang makmur. Kenyataannya sebaliknya.

Riki tahu betul soal kebohongan itu dari cerita ibunya yang menjadi korban kebohongan rezim Ratu Adil dan para penerusnya termasuk Sang Martil. Tidak ada yang namanya kebebasan. Semuanya semu. Supremasi sipil selalu terancam. Senjata ada di mana-mana. Memamerkan moncongnya ke setiap hidung yang lewat sehingga selalu ada was-was. Karena itu, Riki ingin membebaskan Banaspati supaya kebenaran yang sebenarnya terungkap meskipun itu tidak mudah karena mereka yang ingin membebaskan Banaspati pasti akan selalu dihapus atau dihilangkan oleh rezim.

"Ingat, Nak, manusia itu hidup untuk memerdekakan dirinya sendiri, dan bukan diperbudak orang lain. Jadilah selalu manusia yang berguna untuk orang lain. Jangan pernah manfaatkan kelebihanmu untuk mencelakakan atau memperbudak orang! Itulah hakikat manusia sejati yang selalu merdeka!"

Begitulah ucapan yang selalu ia ingat dari ibunya yang diam-diam dalam keheningan selalu memuja Banaspati, dan berharap makhluk itu segera dibebaskan.

***

Riki kini berhasil memasuki sebuah lorong panjang berangin dan dingin yang mengarah pada ruangan Banaspati berada. Ia berjalan pelan berdasarkan peta layar virtual yang muncul dari jam di tangannya. Kata Bambang yang berada di ruang kendali, tidak ada robot yang lalu lalang di sekitar situ. Dan, berdasarkan kata Bambang itu ia juga bergerak.

***

Pak Joko sedang berdiri memandangi Banaspati yang semakin semakin membesar apinya. Meski tertutup sekam tampak bara itu begitu menyala. Mengalahkan dinginnya ruangan penyimpanannya. 

"Saya sebenarnya sudah muak bekerja untuk kebohongan ini," katanya pada Banaspati, "Saya rasa ingin keluar dari sini! Percuma harta melimpah jika saya bekerja tidak berdasarkan hati nurani,"

Banaspati yang mendengar keluhan dan curahan itu segera menanggapi dengan suaranya yang bergetar,

"Kalau begitu kau lepaskan aku. Kau bisa bebas, aku juga. Aku akan buat perhitungan dengan Si Martil, dan semua kebohongan ini harus diakhiri"

"Tetapi..." tampak ada rasa bingung dan bimbang di wajah Pak Joko, "Saya bingung habis ini mau kemana?"

"Kau tak perlu bingung, "kata Banaspasti mencoba menghapus kebimbangan yang ada pada Pak Joko, "Kau bisa ikut denganku ke Samudrapura. Di sana lebih menjanjikan di sini. Roro Kuning sudah mengatakan itu berulang kali padaku via teleportasi. Dia sudah tahu kondisi Angkasapura yang bobrok,"

"Tetapi..." Pak Joko masih merasa bimbang. Pikirannya ribet. Hal ini yang tidak disukai Banaspati.

"Kalau mau revolusi, jangan ada kata "tetapi"!" katanya marah, "Kalau ada "tetapi" lebih baik jangan revolusi!"

Pak Joko pun terdiam. Banaspati pun berbicara lagi.

"Sebentar lagi akan ada anak yang membebaskanku. Ibunya adalah seorang pemujaku. Kau jangan halangi, dan bantulah dia supaya kau juga bebas dan keluar dari sini!"

Pak Joko ngeh ketika ada orang yang akan membebaskan Si Banaspati. Senyum pun mengembang di mukanya. Ia lalu mempersiapkan sesuatu supaya segalanya berjalan lancar. Kini ia pun yakin akan jalan yang ditempuh.

Beberapa menit kemudian masuklah Riki melalui sebuah sensor yang jauh-jauh hari ia ambil dari robot yang ia dan Bambang berhasil amankan. Pak Joko yang mengetahui hal itu sesuai instruksi Banaspati tidak menghalangi tetapi menyambut Riki. Banaspati lalu gembira dengan kedatangan Riki.

Mereka lalu bekerja sama untuk bisa membebaskan Banaspati. Pak Joko segera mengutak-atik tombol di tutsnya yang berisi program destruksi kaca yang mengurung Banaspati sementara Riki mengeksekusi dengan melepas kabel penghubung ke kaca. Tak lama kemudian kaca itu pun terbuka. Banaspati yang berupa api itu keluar kemudian mengecil seukuran manusia dewasa. Ia lalu menoleh kepada Riki dan Pak Joko lalu mendekati kemudian berkata,

"Terima kasih sudah membebaskan saya!" Katanya senang. Api tampak berkobar di seluruh tubuhnya hingga terang dan membuat Riki dan Pak Joko silau sehingga harus memakai kacamata khusus.

"Sekarang pergilah kalian ke Samudrapura," katanya melanjutkan, "Bilang pada Roro Kuning bahwa saya sudah bebas, dan kini saya akan membereskan Sang Martil,"

Ia lalu mengubah dirinya jadi besar kemudian melelehkan tembok dengan api di tubuhnya. Ia pun terbang menembus malam yang gelap dan kelam serta hanya bersinarkan lampu-lampu neon pada gedung-gedung bertingkat.

"Sekarang bara api itu sudah keluar dari sekam," kata Pak Joko setelah itu, "Kebenaran akhirnya akan terungkap,"

Pak Joko dan Riki segera keluar dari gedung lewat jalan rahasia. Mereka berdua segera menuju ke mobil yang jaraknya 5 kilometer dari gedung. Di saat itulah, dari kejauhan, saat mereka berjalan, sebuah gedung tinggi putih yang berwarna neon di malam hari, dan merupakan tempat tinggal Sang Martil terbakar hebat hingga menerangi langit.

"Revolusi sudah dimulai, Pak!" kata Riki terpukau dan senang. Begitu juga Pak Joko,

"Janji juga sudah ditepati, Nak!"

Di langit malam yang kelam terdengar suara-suara ketakutan dan kematian yang melayang-layang bersamaan dengan api yang membakar hebat dan asap yang membumbung tinggi. Suara itu kemudian lenyap ditelan cakrawala. Meteor yang kebetulan lewat jadi saksi bisu.

Hilangnya Ayam-ayam Kami


"Mau ke mana lagi, Pak?" ujar Bu Reni kepada suaminya, Pak Parto, di suatu pagi yang sedikit cerah, sedikit mendung alias gamang. Bingung antara turun hujan dan tidak. Bu Reni bertanya seperti itu kepada suaminya yang sudah berpakaian sangat rapi dengan tampilan berupa kaos hitam kemudian memakai rompi hijau tua kecoklatan. Kemudian pada bagian bawah ia memakai celana kargo juga dengan warna sama, dan gesper coklat keemasan sebagai penanda. Pak Parto yang berkumis tebal baplang itu dengan rambut selalu cepak pada bagian kiri dan kanan kepala sembari menenteng sebuah tongkat hitam yang jika dipencet pada bagian tombol di bawah akan bisa mengeluarkan sebuah jaring. Semua berkelindan dengan sepatu bot hitam yang jadi alasnya. Tampak ia begitu tegap dan gagah.

Bu Reni yang melihatnya mencium bau kecurigaan pada suaminya tersebut. Kecurigaan yang sering kali muncul saat suaminya berpenampilan jantan tersebut.

"Kamu mau berburu lagi, Pak?" tanyanya untuk mengonfirmasi rasa kecurigaan tersebut

Dengan tegas, Pak Parto yang ditanyai sesuatu yang menurutnya menganggu itu menjawab,

"Ya, Bu! Aku mau berburu ayam lagi!" Ia arahkan pandangannya ke halaman rumahnya yang luas yang dipenuhi banyak pohon jati yang ranting dan daunnya menurun sehingga membentuk segitiga meleyot.

Jawaban yang meluncur dari suaminya itu jelas membenarkan kecurigaan tersebut. Bu Reni pun langsung berkata

"Memangnya ayam-ayam yang ada nggak udah bikin kamu puas?" tanyanya. Ia lalu memohon pada suaminya itu, "Tolong, Pak, jangan kasihan. Jangan berburu mereka lagi. Jangan kamu turuti nafsu kamu karena kamu cuma keindahan yang dimiliki mereka. Apa kamu nggak kasihan sama istrimu ini yang rela tidak kamu sentuh lagi gara-gara ayam-ayam itu?"

Permintaan Bu Reni yang memelas itu sangat menganggu gairah Pak Parto yang tengah memuncak dan tinggi-tingginya. Ia anggap itu sebagai batu kerikil yang harus dibuang,

"Kamu jangan banyak omong, Bu!" Kini Pak Parto dalam keadaan marah. Seketika tubuhnya berubah menjadi seekor elang raksasa yang menatap tajam istrinya. Bu Reni yang melihat itu langsung terkejut, bergidik lalu bersujud memohon ampun. Barulah setelah itu Pak Parto berubah lagi jadi manusia, dan berkata mengancam,

"Awas sekali lagi kamu kayak tadi,"" Ia arahkan tongkat ke Bu Reni yang ketakutan, "Aku takkan segan-segan masukkan kamu dalam karung biar kamu aku buang ke sungai, dan dimakan buaya! Paham?"

"I...iya, Pak," kata Bu Reni yang masih ketakutan dalam sujudnya, dan tidak mau melihat wajah suaminya yang marah besar dan berubah jadi elang. Selepas itu, Pak Parto pergi dengan tegapnya meninggalkan sang istri yang setelahnya bangkit dari sujudnya kemudian duduk untuk menetralkan rasa takutnya. Dibasuhnya keringat yang tadi keluar saat kemarahan suaminya itu. Ia kemudian mencoba menarik napas lalu mengeluarkannya perlahan. Kini rasa lega muncul pada dirinya. Ia menggelengkan-gelengkan kepalanya atas tindakan suaminya itu kemudian muncul sebuah sumpah serapah darinya,

"Semoga burungmu tidak bisa berdiri lagi,"

Setelah itu ia bangkit berdiri kemudian berjalan ke bagian belakang rumah yang besar bak istana namun sering mencekam setiap harinya.

***

Kenalkan, ini adalah Pak Parto. Seorang lelaki dengan umur lebih dari setengah abad yang tinggal di sebuah kampung bernama Muara Jaya. Dinamakan demikian karena kampung ini dekat dengan sebuah muara sungai besar yang dihuni banyak buaya yang selalu lapar tanpa kenal henti, membuat orang-orang yang melintas sungai harus selalu membaca mantra-mantra turun-temurun dari para tetua.

Pak Parto adalah seorang pensiunan baju hijau yang datang ke Muara Jaya, yang sebenarnya untuk beristirahat. Namun, hal itu ia urungkan setelah tahu di desa ini para penduduknya memelihara ayam-ayam yang luar biasa cantik bulu dan suaranya. Tak hanya di rumah penduduk, di hutan pun ada ayam-ayam seperti itu. Akan tetapi, ayam-ayam yang ada pada rumah penduduk ini selalu dikonsumsi, dan setelah dikonsumsi bulu-bulu mereka yang bagus akan ditanam di hutan kemudian berubah menjadi ayam lagi.

Tidak halnya bagi Pak Parto. Ia menganggap ayam-ayam itu harus dijadikan pajangan yang bisa dilihat setiap detik, menit, dan jam serta juga bisa dipermainkan sesuka hati. Pak Parto merasakan naik berahinya melihat ayam-ayam cantik ini. Maka, mulailah ia mengambil paksa ayam-ayam milik penduduk. Dengan ajian elang pada dirinya, ia ubah wujud jadi elang raksasa menakutkan jika para penduduk enggan memberi. Para penduduk yang ayamnya diambil tentu hanya pasrah. Padahal ayam-ayam itu sangat penting untuk kehidupan sehari-hari mereka terutama untuk tumbuh-kembang keturunan. Akibatnya, para penduduk kini cuma bisa makan bayam dan kangkung liar yang sebenarnya tidak cukup untuk kebutuhan tubuh sehari-hari.

Kepala Desa Muara Jaya juga tidak bisa berbuat apa-apa karena kekuatan dan keperkasaan yang dimiliki Pak Parto. Bahkan ia sangat ketakutan sekali ketika Pak Parto datang ke kantor desa, dan selalu berwujud elang. Ia mengancam Kepala Desa untuk jangan-jangan menghalangi dia dalam mencari ayam atau nasibnya bisa seperti warga desa yang ia buang ke sungai penuh buaya biar mereka terus berpesta.

Ketika ayam-ayam cantik ini habis di rumah penduduk, ia akan mencari ayam-ayam itu di hutan yang ternyata banyak dan melimpah. Lalu apa yang Pak Parto lakukan terhadap ayam-ayam ini? Apakah sekadar untuk hiasan belaka demi sebuah hasrat? Kenyataannya, Pak Parto menyetubuhi ayam-ayam itu. Setiap malam ia akan selalu ke ruangan yang merupakan kandang ayam. Ayam-ayam yang ada di kandang jelas ketakutan karena kalau Pak Parto datang berarti pertanda siap-siap diajak ke kamar. Setelah dipilih dan diambil, ayam cantik itu dibawa ke kamar lalu di dalam kamar diubahlah menjadi seorang wanita yang sama cantik saat seperti ayam. Pak Parto menjadi dikuasai oleh nafsunya. Tongkat emas pada dirinya menegang kencang tanda berahi itu bagaikan air sungai yang tidak bisa dibendung-bendung.

Wanita dari ayam itu jelas ketakutan namun pasrah tubuhnya dirajah sesuka hati. Ia sendiri tidak bisa melawan karena jika melawan Pak Parto akan langsung mengubah dirinya menjadi elang raksasa yang siap mengoyak-ngoyak si wanita. Bu Reni yang melihat itu hanya bisa menangis pasrah. Ia dalam hati cemburu Pak Parto lebih suka bermain dengan ayam-ayamnya yang masih terlihat menawan dan memukau daripada ia yang sudah dalam keadaan keriput dan berlemak pada beberapa bagian tubuhnya. Namun di sisi lain ia juga kasihan dengan ayam-ayam itu. Ia berharap suatu saat ada keajaiban datang untuk menyadarkan suaminya itu.

Kini Pak Parto dengan gagahnya seperti biasa masuk ke hutan untuk memburu ayam-ayam cantik. Dipegang dengan erat tongkat hitam itu sembari ia bersiul-siul melihat keadaan di sekeliling. Sebuah keadaan yang sepi dan sunyi. Hanya hijau-hijau daun yang menemani. Seberkas sinar matahari tampak masuk menembus hutan membentuk sebuah tongkat yang menyerong panjang.

Ia berjalan pelan pada lantai hutan yang tampak selalu basah dan gembur. Menerebos sulur-sulur penghalang di depan. Ia terus bersiul-siul dengan harapan ada ayam cantik muncul di depan. Tak lama kemudian, ia melihat seekor ayam yang sedang menapak di bawah pohon mahoni besar. Ayam itu sangat terlihat cantik. Tubuhnya gemuk berisi berwarna hijau toska. Pada dadanya terdapat corak warna merah marun. Begitu juga pada jambul dan jenggernya yang jika terkena siraman sinar matahari berubah warna jadi oranye memukau. Pada sayap pun ia melihat ada corak kuning dan putih yang memanjang sampai ekor.

Pak Parto yang melihat ini segera terbit nafsunya. Tubuhnya mengencang menegang. Ia harus mendapatkan ayam itu sebagai koleksi terbarunya untuk nanti malam ditumbuk-tumbuk di bilik peraduan. Ia kemudian keluar dari semak persembunyiannya lalu mengacungkan tongkat hitam sembari memencet tombol hingga keluar jaring besar yang menyasar ke si ayam. Namun, ayam cantik yang sudah tahu hal itu, dengan cepat menghindar sehingga tidak kena. 

Pak Parto terkejut sebab baru kali ini ada ayam bisa menghindari jaring besar dari tongkatnya. Ia tarik lagi jaring itu kemudian ia lempar untuk menjala si ayam yang sudah ada di posisi lain. Tetapi, tetap saja si ayam bisa menghindar, dan bahkan meloncat. Pak Parto pun heran dibuatnya. Ia sekali lagi melempar jaringnya, dan si ayam tetap bisa menghindar. Ia pun kesal sembari berujar,

"Kurang ajar, kau, ayam cecunguk!"

Ayam itu tampak meledeknya kemudian berlari kencang. Pak Parto yang tidak ingin kalah apalagi buruannya kabur segera mengejar ayam itu ke bagian hutan paling dalam. Langkahnya pun seperti setan saat seperti itu, dan tanpa disadari ia menyadari bahwa dirinya kini ada di sebuah bagian hutan yang lain. Yang tampak bagai surga. Ada sungai jernih mengalir yang bermuara ke sebuah danau. Di situ juga ada alunan musik yang mengalun-alun membentuk nada-nada yang indah. Pohon yang berwarna-warni bagai sebuah mozaik, dan tak lupa awan yang tak selalu putih tetapi bisa kuning, merah, bahkan hijau layaknya pelangi. Tentu saja pemandangan ini akan memukau mereka yang ada di dalamnya. Begitu juga Pak Parto.

Di surga itu tampak banyak sekali ayam yang tampilannya sama seperti yang tadi ia cari. Hasrat buasnya seketika muncul lagi. Ia mulai mendekati ayam-ayam itu, mengejar hingga dapat. Sayang, tidak bisa. Mereka cukup lincah dan bisa mengelabui Pak Parto. Pak Parto pun gusar. Ia rasanya ingin menghancurkan surga ini. Sampai kemudian ada satu ayam di depannya yang lalu ia kejar meski merasa lelah juga. Ketika mengejar ayam tersebut mendadak menghilang, dan di hadapannya kini seorang wanita dengan badan tinggi, berambut panjang lurus, memakai baju hijau dengan corak hijau muda pada bagian dada. Warna celananya pun sama, dengan sandal gunung sebagai alas. Di tangannya ada sebuah pedang tajam.

"Siapa kamu?" tanya Pak Parto dalam keterkejutannya, "Jangan halangi jalan saya atau kamu akan merasakan akibatnya!"

Si wanita baju hijau ini tampak santai menanggapi Pak Parto yang mengancam dirinya dengan sebuah tongkat hitam yang diarahkan ke mukanya.

"Saya bukan siapa-siapa, Pak!" kata si wanita itu kemudian melihat ke sekitarnya. Ada ayam-ayam cantik yang tiba-tiba bermunculan, juga ayam yang tadi dikejar Pak Parto muncul dari belakang si wanita, "Saya cuma pembela ayam-ayam di sini, ayam-ayam yang telah bapak rampas haknya hanya untuk kesenangan bapak saja!"

Perlahan ayam-ayam cantik yang tadi bermunculan mengubah wujudnya menjadi para wanita pendekar. Mereka sama dengan si wanita baju hijau. Ada pedang pada tangan-tangan mereka yang siap menebas kezaliman.

"Saya minta bapak lepaskan ayam-ayam yang sudah bapak tawan," kata si wanita baju hijau, "Bapak jangan seenak perut ambil mereka. Karena kelakuan bapak, semua jadi sengsara!"

Pak Parto yang merasa dirinya diancam tentu tidak bisa terima karena selama ini dia yang mengancam orang-orang dengan wujud elangnya. Ia lantas menantang balik si wanita baju hijau itu,

"Kamu jangan ngomong sembarangan sama saya!" Ia mulai emosi. Bola matanya membara, dan kedua tangannya perlahan-lahan mengepal kencang sembari memegang tongkat, "Kamu belum tahu siapa ya?"

"Saya tidak peduli siapa bapak!" kata si wanita baju hijau kini mulai bersiap memegang pedang kencang dan pasang kuda-kuda. Ia merasakan sebentar lagi akan ada pertarungan dengan orang yang sangat sombong ini di depannya.

Pak Parto yang sangat emosi itu langsung mengubah tubuhnya jadi seekor elang raksasa warna coklat dengan warna putih pada kepala dan dada. Seekor elang yang matanya sangat tajam, paruhnya runcing, kedua sayapnya besar dan lebar, dan kakinya yang bercakar dengan cengkraman yang superkuat.

Ia mulai menyerang si wanita baju hijau yang dengan cepat mengubah dirinya menjadi seekor ayam cantik warna hijau dan petarung. Begitu juga dengan para wanita yang lain. Mereka ubah dirinya jadi ayam. Mereka segera menyerang elang besar wujud dari Pak Parto itu bersama-sama. Terjadilah pertarungan antara seekor elang besar dan ayam-ayam cantik petarung.

Pak Parto yang berwujud elang itu tentu saja pada awalnya mampu menangkis serangan ayam-ayam tersebut dengan sayap dan tongkatnya. Namun, ayam-ayam ini bukanlah ayam-ayam yang biasa ia setubuhi setiap malam dengan mudahnya disertai perasaan takut dan pasrah. Ini adalah ayam-ayam petarung yang benar-benar gigih menyerang. Mereka membuat si elang besar itu kewalahan. Kaki dan sayapnya yang merupakan perlambang kesombongan dan kegagahan itu mereka ikat dengan tali lalu mereka kaitkan pada batang pohon sehingga si elang tidak bisa bergerak sama sekali. Paruhnya yang runcing mereka mereka tebas dengan pedang. Si elang itu kaget ketika mulut yang biasa ia gunakan itu kini telah terpisah, dan jatuh ke tanah. Dan, belum habis rasa kagetnya seekor ayam tiba-tiba muncul di depannya. Ayam itu meloncat sembari memegang pedang dengan mata tajam yang kemudian dengan cepat ia tebas pada kepala elang itu. Mata elang itu membelalak. Seketika itu juga kepala terlepas dan menggelinding. Darah mengucur deras. Tanah pun menelannya dengan suka cita. Tubuh tanpa kepala itu perlahan menunduk dan berbaring ke tanah. Lepas sudah rasa keangkuhan dan kezaliman itu.

***

Bu Reni terbangun dari tidurnya. Kemudian dilihatnya jam di dinding. Jarum jam menunjuk ke arah jam 2. Rupanya sudah tengah malam, dan pada jam segini ia sadari suaminya belum juga pulang dari berburu. Ia terbangun karena ada suara ketukan kencang. Pasti itu suaminya, demikian gumamnya. Jujur ada perasaan malas ketika seperti itu karena itu tandanya ia berhasil membawa pulang ayam buruan yang siap dihabisi di ranjang. Soal itu, ia sudah siap mengalah, dan nanti akan tidur di ruangan lain. Namun yang jadi pertanyaan adalah mengapa jam segini Pak Parto baru pulang. Demikian ia membatin lagi.

Suara ketukan pintu itu terasa kencang. Membuat ia segera berlari untuk membuka pintu. Namun ketika pintu dibuka suara ketukan malah menghilang. Dan, saat itu pula ia tidak melihat siapa pun. Cuma ada barisan pohon jati di halaman dan embusan angin malam serta cahaya lampu dari rumah. Ia merasa heran, dan mengira itu Pak Parto. Namun kemudian perhatiannya tiba-tiba tertuju pada sebuah kotak besar dan tertutup di halaman rumahnya. Ia dekati kotak itu. Dalam dirinya timbul penasaran mengenai isi dalam kotak ini dan pengirimnya. Ia sempat urungkan untuk membuka. Namun karena penasaran ia putuskan membuka. Ada rasa campur aduk saat membukanya secara perlahan.

Lalu terkejutlah ia saat membuka penutup kotak. Mulutnya menganga karena melihat apa yang ia tidak bisa percayai. Dalam kotak itu ada kepala Pak Parto yang matanya membelalak, dan pada mulutnya sebuah tongkat keperkasaan yang dulu pernah merobek keperawanannya serta sebagai senjata untuk menjajah para ayam menjadi sumpalan.

Bu Reni sendiri tidak habis pikir siapa yang berbuat keji pada suaminya ini. Ia perlahan menangis tetapi kemudian ia merasakan kegembiraan karena doanya terkabul. Ia lalu sujud syukur sebab beban hidupnya kini hilang. Setelah itu terdengarlah suara ayam-ayam dari belakang yang kemudian ke halaman depan lalu terbang berubah menjadi bidadari dengan cahaya hijau terang menembus cakrawala yang masih gelap.

Bu Reni yang melihat itu merasa gembira karena ayam-ayam itu akhirnya bisa lepas dari cengkraman suaminya. Bahkan salah satu ayam sempat tersenyum padanya seolah-olah ingin berucap terima kasih.

***

Setelah kejadian itu, penduduk Desa Muara Jaya kembali ceria karena ayam-ayam mereka yang hilang kembali. Kehidupan seperti sedia kala. Ayam yang ada untuk dikonsumsi, bukan dipajang atau diadu. Jika sudah dikonsumsi, kuburkan bulu-bulu cantiknya di hutan agar mereka bisa muncul lagi. 

Tak jauh dari situ, seorang wanita muda dengan rasa percaya diri segera mengemasi barang-barangnya. Ia perhatikan rumah yang dulu pernah ia tempati. Rumah yang selalu mencekam karena tingkah Pak Parto. Bu Reni yang setelah kejadian mendapati dirinya menjadi wanita muda segera tinggalkan rumah itu yang perlahan terbakar dan akan menjadi abu. Asap yang membumbung tinggi perlahan menghilang ditiup angin. Hilang sudah semua memori kelam itu. Bu Reni kini siap mencari pelabuhan baru.



Senin, 29 September 2025

Jangan Tergila-gila pada Nafsumu!


Mobil pikap warna putih itu melewati kerumunan orang-orang yang tengah lalu lalang pada sebuah pasar yang cukup ramai di pagi hari. Sinar matahari menerpa lukisan hidup tersebut. Memberikan warna kuning dan oranye yang menerpa orang-orang tersebut lalu memunculkan sebuah bayangan yang terpantul. Di pasar tentu saja banyak ragam aktivitas. Tak hanya jual-beli tetapi gosip-gosip murahan dari bapak-bapak, baik dari para penjual atau para petugas keamanan pasar. Terkadang dalam gosip-gosip itu juga ada ibu-ibu yang nimbrung, kebanyakan yang berbelanja.

Gosip-gosip murahan ini melintas bersama dengan bau amis dari ikan yang dijual, bau segar dari sayur-mayur dan buah-buahan yang selalu terpajang rapi dan mengilap, serta bau daging-daging ayam dan sapi yang sangat mencolok di hidung. Dan, begitulah yang setiap hari terjadi di pasar apalagi sebuah pasar besar yang takkan pernah mati. Mobil pikap yang melintasi pasar beraneka macam kebutuhan perut itu kemudian melintas ke bagian pasar yang lain. Sebenarnya bukan cuma pikap putih tapi ada juga kendaraan lain berupa motor bebek dan motor angkat barang yang menjejak roda di atas aspal pasar yang tidak pernah kering dan berbecek.

Pikap putih itu melintas di bagian pasar yang menjual sapu lidi, sapu lantai, pengki, panci, kompor, dan barang-barang rumah tangga lainnya yang hanya berfungsi bukan untuk selera kampung tengah. Saat melintas itu ada seseorang bermotor kumbang warna merah dan hijau muda menghentikan mobil yang melintas pelan. Ia memang kenal dengan sopir dan orang yang berada di tempat menaruh barang di belakang.

"Ron, apaan tuh di belakang yang ketutup terpal," katanya heran karena melihat sesuatu yang ditutup kain terpal warna biru. Barang yang tertutup itu tampak dalam keadaan berdiri, "Gede banget kaya orang?"

"Ah, kau tidak tahu saja itu apa?" kata si sopir dengan tatapan malas serta mulut yang juga malas menjawab. Ia lalu mengeluarkan kepalanya dari jendela, dan memanggil temannya yang ada di tempat menaruh barang di pikap,

"Hai, kau, Jon" katanya dengan suara sedikit besar untuk mengalahkan suara ramai di pasar, "Kau jelaskan saja ke Si Curut ini barang yang kita bawa!"

Orang yang dipanggil Jon itu segera memanggil Si Curut, si pengendara motor kumbang, "Hai, kau kemari saja ke sini!"

Si Curut segera turun dari motor kumbangnya kemudian segera naik ke belakang pikap. Kini dilihatnya dari dekat barang besar yang diterpal itu. Memang benar barang itu setinggi orang dewasa namun lebarnya seperti lebar sebuah lemari 3 pintu. Ia lalu melihat ada batu-batu ukuran sedang mengganjal bagian bawah terpal.

"Memang apa ini?" tanya Si Curut yang tambah penasaran, " Boleh saya lihat?"

Menanggapi penasaran Si Curut, Jon berkata santai,

"Ya, paling habis itu kamu biasa lagi,"

Jon kemudian mengambil batu yang mengganjal terpal setelah itu ditariklah terpal hingga menurun. Dari situ perlahan terlihatlah sebuah benda berupa patung yang tampak terbuat dari batu kali. Pahatannya begitu detail dan sangat presisi. Patung-patung adalah patung 3 orang dewasa namun dalam gestur yang ketakutan. Hal itu terlihat dari mulut ketiga patung yang berteriak dengan mata membelalak, dan salah satu patung malah tangannya ke depan seperti orang yang hendak menghalangi sesuatu. Semua tampak sempurna dan terlihat nyata seolah-olah itu bukan patung dari batu kali dari orang yang dikutuk jadi patung.

Ketika itu tersingkap, Si Curut langsung berubah pandangannya, dan benar kata Jon, ia merasakan hal yang biasa,

"Ah, ini mah kerjaan Nenek Marniah," katanya setelah itu, "Saya kira hal lain yang bagus,"

"Nah, kan saya bilang juga apa?" kata Jon mengonfirmasi anggapannya tadi yang memang benar.

"Heran, masih aja yang berani godain Nenek Marniah?" tanya Si Curut heran, "Apa orang-orang ini nggak tahu kalau dia marah orang bisa jadi batu?"

"Kayaknya mereka bukan orang sini," kata Si Jon menanggapi, "Makanya sembarangan aja. Kalau orang sini kan udah pada tau," Ia lalu melihat orang-orang yang pada berlalu lalang di antara mereka. Tampak mereka biasa-biasa saja, tidak heboh soal patung yang diperlihatkan di atas pikap.

"Ini mau dibawa ke mana, Jon?" tanya Si Curut

"Ya, dibuanglah" kata Jon, "Orang benda nggak guna gini ngapain dipajang?"

Saat mereka bicara, Ron, si sopir menoleh dan berteriak,

"Udah belum ngobrolnya?" tanyanya dengan tatapan keheranan, "Ngobrol kok kaya ibu-ibu,"

Mendengar itu, Si Curut dan Jon segera mengakhiri pembicaraan mereka. Si Curut lalu turun sedangkan Jon segera menutupi tiga patung dengan terpal dan memasang batu untuk mengganjal.

Mobil pikap putih itu melaju kembali menuju ke tempat pembuangan patung sementara Si Curut bermotor ke arah berlawanan. Suasana kembali seperti sedia kala dan seperti tidak ada apa-apa. Namun akan timbul pertanyaan soal 3 patung dan Nenek Marniah. Mengapa dan siapa dia? Tentu, kamu penasaran kan?

Baiklah, kita coba ceritakan dulu supaya ketahuan titik temunya. Jadi, di sebuah tempat bernama Rawa Bulak, ada seseorang yang sudah cukup tua bernama Marniah. Usianya sekitar 65 tahun, dan memang tergolong lansia. Nenek Marniah ini tinggal di sebuah pondok dari bambu yang di dalamnya juga ada pohon bambu serta pagar-pagarnya juga dari bambu. Rumah bambunya berbentuk panggung. Hal ini sangat berbeda dari rumah kanan dan kirinya yang berbentuk kotak dan menempel di tanah. Jarak antara rumah bambu Nenek Marniah itu adalah 3 meter sehingga ada jalan atau celah di antara rumahnya dan rumah-rumah sekitar. Ia sendiri tinggal bersama dengan seorang cucu bernama Piah. Cucunya ini adalah seorang wanita muda yang kulitnya bening susu dan selalu tampak bersinar, yang tentu saja menarik minat orang-orang di Rawa Bulak. Tetapi, Piah ternyata belum mau dengan alasan ingin konsentrasi ke Nenek Marniah dahulu.

Nenek Marniah sendiri orang yang sangat baik, ramah, serta tidak segan membantu orang-orang sekitarnya kala dibutuhkan. Akan tetapi, ia tidak segan-segan akan menjadi sesuatu yang menakutkan jika orang-orang itu berani macam-macam atau mengganggunya atau juga mengganggu cucunya. Mereka yang kena marah Nenek Marniah kebanyakan akan dikutuk jadi patung yang nilai seninya sangat indah, dan mengalahkan patung-patung marmer putih dan krem di rumah orang-orang berada.

Nah, karena itu, banyak orang akhirnya segan dan hormat kepada Nenek Marniah. Tak sekalipun yang mencoba mengusik bahkan untuk perkara yang kecil. Anak-anak kecil pun tahu diri. Mereka tidak berani mendekat apalagi sekadar memanjat pagar bambu rumah Nenek Marniah. Jika mereka bermain layangan, dan layangan itu putus lalu mendarat di halaman rumah Nenek Marniah atau atap rumahnya, ya mereka ikhlas saja daripada nanti jadi patung yang malah ujung-ujungnya ditimbun di halaman rumah masing-masing. Kalau ada anak yang jadi patung, para orang tua anak ini cuma bisa pasrah alias terima saja daripada urusannya panjang.

Sebenarnya, Nenek Marniah itu tidak seperti itu mengutuk mereka yang menganggunya atau menganggap cucunya jadi patung batu kali. Ia tidak marah seperti halnya si ibu Malin Kundang atau Medusa, tetapi ada sesuatu yang buat mereka jadi patung, dan ini tidak boleh dilihat sama sekali. Lalu apa sesuatu itu? 

Saya tidak akan ungkapkan dulu tapi kita akan ceritakan kejadian yang menimpa 3 pemuda yang dikutuk jadi patung. Semua berawal dari 3 pemuda ini yang tampaknya bukan dari kampung sebelah. Mereka adalah Irwan, Fandi, dan Rudi. Ketiganya adalah pemuda maniak seks alias gemar berhubungan badan berulang kali tanpa masa bodoh dengan raja singa yang akan timbul suatu hari. 

Namun, ketiganya ternyata lebih suka berhubungan badan dengan nenek-nenek, bukan dengan wanita muda yang kencang dan berisi kulitnya. Ada sesuatu yang membuat mereka terpesona menumbuk batang pada orang-orang yang sudah turun mesin, kulit berkeriput serta bau tanah. Mereka merasa nenek nenek itu adalah objek yang bisa dengan mudah dijadikan pelampiasan hasrat mereka yang membabi buta. Apalagi kebanyakan nenek-nenek tidak bisa melawan dan cepat pasrah sehingga enak rasanya bisa mengeluarkan cairan hina hasil dari imajinasi yang terlalu liar. 

Irwan, ia sering berhubungan badan dengan lansia karena ia tiba-tiba merasa nafsu melihat neneknya sendiri yang hanya memakai handuk setelah mandi. Hal yang kemudian keluarganya terguncang. Ia kemudian dihukum keluarganya lalu diserahkan ke polisi, dan dipenjara. Selepas dari penjara, ia yang tahu tidak akan diterima keluarganya kini berkelana dari satu tempat ke tempat lain, mencari para lansia untuk memuaskan hasrat seksualnya.

Kemudian Fandi, yang menyukai berhubungan dengan lansia karena tidak sengaja juga melihat tetangganya yang sudah lansia hanya memakai daster tanpa lengan sehingga terlihat lengannya dari atas hingga bawah. Membuat Fandi berhasrat, dan dengan nekat bersetubuh dengan tetangganya itu. Namun, tetangganya itu malah ketagihan karena ada anak muda yang akhirnya menjebol kesuciannya. Usut punya usut ternyata si nenek itu belum pernah kawin. Apalagi si nenek itu tinggal sendiri, dan setiap malam mereka berdua selalu berpesta.

Terakhir, Rudi. Ia sering dan suka berhubungan dengan nenek-nenek karena mengalami trauma dan kekecewaan terhadap wanita yang masih muda-muda yang kolagen di kulitnya masih kenyal. Para wanita muda itu baginya cukup juga menakutkan sehingga Rudi enggan berhubungan badan dengan mereka lagi. Lagipula dengan nenek-nenek ia bisa dengan puas karena tidak ada perlawanan sama sekali.

Suatu hari 3 pemuda ini datang ke Rawa Bulak. Jalan-jalan sekaligus mencari mangsa berupa nenek-nenek yang akan mereka mainkan bareng-bareng. Mereka sama sekali tidak tahu Si Nenek Marniah itu karena di pikiran mereka cuma seks, seks, dan seks. Setelah jalan-jalan ke sana kemari di Rawa Bulak, mereka lantas memutuskan beristirahat di sebuah warung makan. Di warung makan itu yang melayani seorang perempuan muda cantik tampaknya gadis yang dari mata orang normal, seharusnya membius pandangan apalagi bagi hidung belang yang ternyata sudah punya banyak buntut.

Namun, mereka sebaliknya. Menganggap perempuan muda ini biasa-biasa saja karena mereka lebih tertarik ke nenek-nenek.

"Apa di sini udah nggak ada nenek-nenek lagi ya?" keluh Irwan yang ditanggapi oleh Rudi yang juga sama mengeluhnya, 

"Iya, nih, banyakan yang muda semua,"

"Kalau nggak ada kita pulang aja, yuk!" ujar Fandi yang tampak lelah, "Bikin capek aja,"

Saat seperti itu melintaslah Nenek Marniah dengan memakai kebaya hijau toska serta kain jarik pada bagian bawah dengan corak batik parang. Pada rambutnya ia tutup dengan selendang warna kuning. Ketiganya lantas bagai digebuk oleh martil, malah terpesona saat Nenek Marniah melintas. Mereka tampak melihat ada sesuatu yang bersinar dari tubuh lansia tersebut. Meski lansia, Nenek Marniah masih berjalan tegak dan cepat. Bagi orang yang melihatnya itu bukan nenek-nenek tetapi wanita muda yang menyamar. Namun bagi 3 orang ini, Nenek Marniah itu tetaplah nenek yang segera menimbulkan hasrat liar bagai serigala yang akhirnya menemukan kelinci yang dinanti-nanti.

Mereka tampak salah tingkah dengan Nenek Marniah itu sampai-sampai Fandi malah menuangkan air di atas kepala Irwan yang kemudian terkejut. Nah, karena hal itu juga, Rudi segera bertanya ke si penjual warung,

"Itu siapa tadi yang lewat?" tanya Rudi disertai dengan hasrat yang tiba-tiba bergolak kencang dan membuncah. Ia tampak tidak sabar menunggu jawaban,

"Oh, itu Nenek Marniah," kata si penjual warung makan yang tampaknya menyadari sesuatu yang tidak beres dengan Rudi apalagi ketika Rudi bertanya,

"Dia tinggal di mana?"

Si penjual warung makan yang merasakan ketidakberesan itu menjawab,

"Itu di rumah bambu nggak jauh dari warung ini, lurus aja," ketika si wanita muda ini menjawab, Fandi dan Irwan segera menoleh. Si penjual warung makan melihat ada juga sesuatu yang tidak beres pada Irwan dan Fandi. Ia lantas menilai ketiga orang ini tampak ingin berbuat macam-macam ke Nenek Marniah. Ia lalu berkata dengan memperingatkan,

"Mas-mas ini jangan berbuat nggak baik ya ke Nenek Marniah. Nanti kalau dia marah, mas-mas jadi patung,"

Mendengar itu ketiganya tertawa-tawa kencang,

"Memangnya dia tukang sihir?"

"Mak Lampir kali!"

Mereka kembali tertawa.

"Ya, udah saya cuma bilangin ya. Nanti jangan nyesal kalau udah kejadian. Cari yang muda-muda, Mas. Bukan nenek-nenek!" kaya si wanita penjual warung makan kesal dengan tingkah laku ketiga pemuda itu.

Selepas itu, mereka bertiga lantas mengikuti Nenek Marniah dari warung. Ketika sedang mengikuti itu, tiba-tiba di jalan mereka bertemu dengan Piah yang dari kejauhan sudah mengawasi tingkah para pemuda yang dipenuhi nafsu ini. Sama seperti si wanita muda di warung nasi, Piah yang terlihat sangat cantik bagi yang matanya normal, juga dianggap biasa saja.

"Kalian semua mau ke rumah Nenek Marniah ya?" tanya Piah dengan selidik. Ia tidak suka dengan tampang ketiganya.

Mereka bertiga kompak menjawab, "Ya!"

"Sebaiknya jangan ya," kata Piah mulai memperingatkan dengan tatapan tajam dan juga nada bicara yang tajam, "Nanti kalian menyesal. Kasian, dia juga mau istirahat!"

Angin berembus. Suasana yang tadinya terang perlahan akan gelap. Pertanda sore mau digantikan malam,

"Kalian pulang saja" kata Piah lagi, "Sebentar lagi malam. Sayang, kalau kalian cuma menuruti nafsu gila kalian. Pulanglah. Jangan sampai menyesal. Pagi bisa tidak kalian rasakan lagi.

Tapi apa peduli mereka apalagi jika nafsu sudah menguasai diri. Yang namanya logika dan akal sehat pun ampas. Ketiganya malah tertawa-tawa bahkan Fandi menantang,

"Katanya Nenek Marniah bisa ubah kita jadi patung ya? Kalau iya, buktikan!"

Melihat itu, Piah tidak habis pikir dengan ketiga pemuda ini yang matanya sudah gelap. Ia sedikit geleng-geleng kepala. 

"Oke, silakan, kalau itu yang kalian mau," kata Piah yang kemudian memilih mengalah saja. Toh, ia pun sudah memperingatkan. Ketiga pemuda itu melanjutkan perjalanan mereka menembus hari yang sudah gelap, lampu-lampu mulai dinyalakan, dan suara jangkrik dan tongeret bermunculan. Piah yang di belakang mereka setelah itu meloncat ke atas dan terbang.

Tak lama kemudian, sampailah mereka di rumah bambu itu. Mereka segera memanjat pagar lalu mendarat di halaman. Perlahan mereka coba masuk ke rumah. Saat mereka membuka pintu ternyata tidak dikunci sehingga mudah dibuka. Mereka bertiga lalu masuk. Dengan nafsu yang sangat menggebu-gebu mereka celingak-celinguk lalu berjalan pelan di dalam rumah yang ternyata besar juga, memeriksa setiap kamar yang ternyata tidak ada orang sama sekali. Hal ini membuat mereka bingung. Tapi mereka terus mencari sampai akhirnya menemukan sebuah kamar di belakang.

"Pasti dia di situ," kata Irwan. Mereka lalu membuka perlahan, dan ternyata di situ ada Nenek Marniah yang sedang tidur dengan dilapisi selimut. Bagai serigala lapar yang akhirnya mampu menemukan kelinci di pelupuk mata, dan dengan nafsu gila yang membayangi, segera diserbulah Si Nenek Marniah.

Dicengkeramnya kaki dan tangan Nenek Marniah lalu dicengkram juga bahu Nenek Marniah yang terbuka itu. Disingkaplah selimutnya. Ternyata Nenek Marniah memakai kemben. Mereka tambah bernafsu. Nenek Marniah yang dalam keadaan seperti itu tentu saja terkejut bukan main. Ia yang sedang berpetualang di alam mimpi seperti merasakan sebuah tarikan yang kuat pada dirinya. Ketika tersadar ia melihat ada 3 pemuda tak dikenal di hadapannya bahkan salah satunya sudah menggagahinya.

"Mau apa kalian?" Cuma itu yang bisa ia katakan dalam keterkejutannya. Namun itu tidak dijawab oleh ketiga pemuda itu yang semakin liar, dengan merobek kemben dan kain sehingga tidak ada sehelai benang pun yang menempel. Mereka semakin bernafsu gila, dan pesta sepertinya mulai digelar.

Nenek Marniah yang menyadari hal ini segera berkata supaya yang dilakukan ketiga pemuda yang sangat keterlaluan ini berhenti. Ia merasakan jantungnya berdetak sangat kencang dan tubuhnya gemetar. Ia yang terkejut bagaimanapun harus bisa mengendalikan situasi jangan sampai terbawa arus deras dari ketiga pemuda itu.

"Sebentar," katanya, "Kalian boleh main sama saya. Tapi tolong lepaskan dulu tangan kalian dari tubuh saya biar kita mainnya nikmat,"

Ketiga pemuda yang tampak bagai serigala lapar itu menuruti permintaan Nenek Marniah yang pelan dan lembut namun tegas. Nenek Marniah yang sudah tidak dalam keadaan berbusana itu kemudian berdiri dan meminta ketiga pemuda menjauh. Tampak terlihat kerutan-kerutan pada semua tubuhnya bahkan pada kewanitaan dan pesonanya.

"Sebelum kalian main sama saya. Ada yang mau saya perlihatkan!"

Ketiga pemuda yang masih terpesona oleh tubuh Nenek Marniah yang sebenarnya sudah tidak bisa dikatakan indah itu bingung dengan maksud Si Nenek. Tapi karena sudah dikuasai nafsu, mereka sudah tidak bisa berpikir sehat lagi.

Nenek Marniah yang dalam keadaan tanpa benang itu berdiri tegak. Matanya menatap tajam pada pemuda penuh nafsu itu dan seakan menantang mereka. Para pemuda yang tidak bisa menahan air liur mereka juga tonjolan pada diri mereka tampak ingin terus merajah tubuh itu. 

Sesuatu kemudian terjadi. Dari tubuh Nenek Marniah kemudian muncul sebuah sinar. Sinar yang perlahan membuat silau mata. Lalu terjadilah sesuatu yang buat mereka terhenyak. Sinar itu perlahan menghilangkan kerutan-kerutan pada tubuh Nenek Marniah juga pada bagian sensitifnya. Wajahnya terlihat muda begitu juga bahu, tangan, dan kakinya. Perutnya tidak lagi menurun malah menaik dan tegap berotot. Dadanya yang turun kini naik serta berisi. Kini ia tampak seperti apsara yang bersinar terang. Itulah wujud aslinya.

Para pemuda yang terhenyak itu jelas tidak bisa berkata-kata. Mereka terkejut bukan main dan berteriak karena ternyata di depan mereka bukanlah lagi nenek-nenek tapi seorang wanita muda. Sinar dari wanita muda yang memang apsara itu perlahan membuat tubuh ketiga pemuda kaku lalu mengeras, dan pada akhirnya menjadi patung manusia yang ketakutan. Selepas itu, sinar pada si Apsara memudar ia lalu memakaikan selimut pada dirinya.

Ia lalu berjalan mendekat ke arah patung, dan pandang ketiga patung dengan kasihan,

"Saya sebenarnya tidak mau kalian begini. Tapi kalian memaksa,"

Ia lalu memanggil Piah yang ternyata juga apsara. Piah yang melihat itu hanya menggelengkan kepala lalu berkata,

"Ketiga pemuda malang. Sungguh keras kepala,"

"Kamu buang mereka ke sungai pas pagi. Minta sama Ron dan Jon" kata si Apsara lalu menghela napas, "Kalau banyak yang muda kenapa harus suka sama yang tua dan berbau tanah? Heran,"

***

Jon bersama dengan Ron menggotong patung-patung yang sudah diturunkan dari pikap untuk ditenggelamkan ke dalam sebuah sungai besar. Tadi saat ia hendak menurunkan terdengar suara tangisan penyesalan yang tampaknya dari patung.

"Tolong, tolong, tolong, ampuni kami, ampuni kami, kami menyesal,"

"Ah, udah telat!" kata Jon tegas dan masa bodoh karena itu derita mereka tidak mau mendengarkan peringatan-peringatan yang sudah diberikan.

Ketiga patung perlahan mulai ditenggelamkan, dan air sungai tampak begitu senang menelan mereka satu per satu seiring dengan kicauan burung-burung pada pohon-pohon di pinggirnya. Matahari mulai bersinar sangat terang.

Minggu, 28 September 2025

Matahari dan Bulan Takkan Pernah Satu


Angin berembus kencang sedingin malam yang aku rasakan saat ini. Kertas-kertas beterbangan ke sana kemari tak beraturan. Ada yang ke jalan namun ada juga ke arah lampu-lampu jalanan yang temaram dan bernuansa neon. Kerlap-kerlip terlihat lampu-lampu yang lain bagai di sebuah diskotik. Bau petrikor menguak sangat kuatnya pada lapangan di depanku yang memang basah dan ada genangan karena sehabis hujan deras yang melanda. Di sudut lapangan yang diapit oleh gedung-gedung tinggi bagai kala di malam hari yang siap menginjak dan menelan bangunan-bangunan kecil di sekitarnya yang sudah tak berdaya oleh himpitan yang kian kencang, tikus-tikus muncul dari lubang, bergerak sangat cepat bagai ninja, meloncat dan melebur dalam kegelapan demi mencari makanan yang tersisa.

Kondisi ini aku sangat yakin tak akan pernah dirasakan oleh mereka di gedung-gedung tinggi yang selalu bermandikan cahaya bagai di surga yang turun ke bumi. Sayang, seribu sayang, surga itu memang hanya untuk mereka yang selalu diselimuti oleh bau-bau parfum mahal dan bau-bau emas dari yang sering dilekatkan pada tubuh sebagai bentuk sebuah status.

Tapi, baiklah, aku tak mau membahas hal itu. Biarlah sekarang mereka menikmati semua surga itu sebelum berubah jadi sebuah neraka. Aku yang berdiri di sebuah lapangan besar kosong sedari tadi terus mengamati dengan tajam ke sebuah pintu masuk lapangan. Menunggu ia datang. Angin malam yang kencang berembus cukup untuk menurunkan selendangku yang berwarna hijau muda ke leher dari tempatnya berawal, kepalaku. Aku jadikan ia sebagai penutup rambut hitam panjang yang merupakan mahkota alamiku.

Malam sehabis hujan tiada bulan juga bintang. Semua terasa pekat. Sesekali aku lihat ada kelelawar lewat, juga burung celepuk yang kemudian hinggap di pohon cempaka yang ada di lapangan. Ia bersuara puk puk puk seperti menandakan akan datangnya makhluk halus berambut panjang berjubah putih yang sering duduk di pohon pisang lalu mengeluarkan suara mengikik. Sudah sering aku mendengar suara burung celepuk ini yang sama seramnya dengan suara burung kedasih yang sebenarnya adalah sebuah peringatan akan datangnya bahaya dan malapetaka sehingga jika mendengar ini di malam hari harus segera ke rumah supaya tidak terkena bahaya tersebut.

Namun tidak bagiku sebab bunyi celepuk ini tidak biasanya. Ini pertanda dia akan datang. Dari jauh aku seperti mencium sebuah aroma khas tulip dan plum. Kedua aroma ini sungguh akrab di hidungku. Aromanya begitu wangi berseliweran di antara petrikor dan bau bunga cempaka kuning. Namun pada kedua bau yang wangi ini aku seperti merasakan ada bau anyir dan sebuah dendam. Aku rasakan bau ini begitu menguat dan sangat kencang mendekat. Ada sebuah langkah kaki yang terasa dan menginjak genangan dengan pelan. Aku perhatikan ada sebuah siluet hitam di depan yang diiringi oleh sebuah kabut malam sehabis hujan. Ya, itu dia. Aku yang sedari tadi berdiri kini merasakan guncangan dalam hatiku. Jantungku berdetak sangat kencang dari biasanya seperti orang yang menabuh drum berulang kali. Nadiku bergetar. Adrenalin naik seperti mengendarai roller coaster. Keringat perlahan mengucur di tubuhku, mengalir ke kulitku, dan aku rasakan membasahi kebaya encim warna merah yang kupakai. 

Tapi, aku harus tenang. Aku harus kendalikan diriku ini. Aku tetap posisikan dengan tegak berdiriku serta sedikit melebarkan kakiku yang dibalut oleh sebuah celana panjang kuning. Mataku tetap menatap tajam seperti mata burung hantu di malam hari. Perlahan sosok itu keluar dari siluetnya, dan berjalan lurus ke arah aku lalu berhenti sekitar 5 meter. Ya, ternyata memang dia.

Aku pandangi sesosok wanita muda dengan rambut pirang dan bermata biru. Ia berbadan tinggi, lebih tinggi dariku hampir seperti menara. Ia memakai klederdracht warna biru tua dengan gradasi merah dan putih serta sebuah celana panjang ketat di bawah dengan kets sebagai alas. Beda denganku yang hanya memakai sandal gunung. Matanya yang biru tampak menyala di gelap malam yang temaram disertai dengan sebuah senyuman kepuasan karena sepertinya berhasil menemuiku.

"Halo, Marhani," ujarnya membuka sebuah percakapan denganku yang aku merasa itu seperti sebuah tembok yang dibongkar karena tidak pernah mendengar namaku dipanggil lagi oleh dia sebelumnya. Aku merasakan kekakuan luar biasa saat disebut namaku. Perlahan ingatan masa silam muncul kembali dalam memori. Aku merasakan semacam keterkejutan juga dalam tubuhku. Darah dalam tubuhku serasa berhenti. Seperti ada sebuah jam yang tiba-tiba berbunyi perlahan. Oh, tidak aku harus tenang. Aku tidak boleh chaos cuma karena ini saja. Aku harus bisa kendalikan diriku. Kuatur napas perlahan, kuhela, kubuang, dan mulailah aku menjawab dengan tegas,

"Ya, Janneke," sebuah nama muncul dari dalam mulutku yang sempat kaku, dan untuk kali pertama aku menyebut nama itu lagi bahkan di depan orangnya, orang yang pernah ada di masa laluku.

Tentu kamu ingin tahu kenapa aku bisa kenal dia, Janneke, dan dia kenal aku juga? Baiklah, aku ingin menceritakannya dahulu supaya kamu tahu.

***

Dahulu sebelum aku tinggal di sebuah tempat bernama Balewarge, sebuah kota dengan sejuta pencakar langit yang terkadang ramah, terkadang tidak terhadap warganya meskipun warganya sudah patuh pada setiap peraturan dan rela menjalankan sampai kantong untuk kehidupan sehari-hari menipis, aku pernah tinggal di sebuah tempat di yang sangat jauh dari Balewarge. Tempat itu bernama Lagelanden. Tempat yang selalu ada salju, cuaca selalu ungu, dan banyak kanal yang dingin. Aku menghabiskan sebagian besar waktuku di sana, mengikuti orang tuaku yang mencoba mencari peruntungan supaya asap di dapur tetap mengebul karena tidak ada setitik cahaya terang di Balewarge.

Di sinilah aku berkenalan dengan Janneke, anak dari tetangga kami yang ramah. Dia seorang gadis periang seperti Cinderella dan Belle, selalu tiap hari bernyanyi dengan merdu. Suaranya seperti seorang penyanyi opera, dan kemerduan suaranya bagai sebuah oasis untuk mengobati rasa dingin yang sering aku alami sejak kali pertama tiba. Janneke juga orang yang bersahabat, dia tak malu-malu mengajakku bermain terutama di sebuah hutan pinus belakang kanal. Hutan pinus yang terlihat berwarna-warni dengan hijau yang tak sehijau di Balewarge. Hutan pinus yang juga bisa menjadi tempat menghangatkan hati meski dingin selalu menyelimuti. 

"Kamu tahu," kata Janneke padaku saat kami berjalan di dalam hutan pinus itu, "Dahulu di sini ada seekor serigala besar yang sering memakan orang dan memangsa binatang ternak,"

Aku yang mendengar itu mencoba membayangkan binatang yang seperti anjing tersebut dengan warna bulu kadang hitam, kadang abu-abu, dan kadang putih.

"Memang sebesar apa?" tanyaku penasaran.

"Sebesar orang dewasa!" kata Janneke tegas. Ia lalu berhenti. Aku mengikutinya. Ia kemudian menurunkan badannya mengambil sebuah daun kering di hutan itu.

"Rasanya aku ingin menjadi serigala," ujarnya kemudian. Aku yang mendengarnya agak heran, dan sedikit membelalakkan mata,

"Kenapa kamu mau jadi serigala?" tanyaku karena keheranannya.

Ia lalu menoleh kepadaku. Ia menatapku tajam dan tubuh tingginya membayangiku. Aku perlahan seperti melihat nenek grandong jahat yang hendak memangsa anak kecil. Aku merasa takut.

"Supaya aku bisa makan kamu yang kayak kelinci!" Ia mengangkat kedua tangan ke atas membentuk gestur menakut-nakuti. Aku langsung teriak dan lari. Ia mengejarku begitu kencang sembari tertawa-tawa puas. Aku kemudian sadar ini sebuah candaan. Aku pun berhenti. Lalu menatap dia balik. Aku segera bahasakan tubuhku supaya dia berhenti dengan tangan.

"Bagaimana kalau kelinci yang kecil ini jadi seekor harimau besar yang juga ganas, dan bisa memakan serigala?" kataku setelah itu. Aku segera buat gestur menakut-nakuti. Ia terkejut dan berlari. Kini balik aku yang mengejar dia. Tentu saja aku juga tertawa-tawa. Kami lalu berhenti karena capek berkejaran kemudian tiduran di lantai hutan. Sembari memandang langit yang tumben berwarna biru cerah, Janneke berkata kepadaku,

"Kalau matahari dan bulan, apakah kira-kira bisa menyatu, Hani?" tanyanya sembari menyebut nama panggilanku. Nama yang sebenarnya ia berikan, dan aku terima karena lebih mudah diucapkan daripada Marhani.

Aku berupaya menjawab logis menurut aturan ilmu alam,

"Aku rasa tidak, Janneke," kataku.

"Kenapa?" tanyanya heran.

"Kan matahari ada di siang hari, bulan di malam hari," jawabku pelan. Di saat itu aku merasakan ada angin berembus di dalam hutan. Suasana pun jadi sejuk. Bau pinus juga menguap ke mana-mana seiring angin berembus, "Kalau keduanya bersatu, nanti semesta akan hancur karena keluar dari sistemnya,"

"Kalau begitu, biar nanti aku yang buat keduanya bersatu, dan mereka harus bersatu supaya bisa mudah diatur," jawab Janneke dengan ambisius. Aku yang mendengar ini kurang suka karena sudah menyalahi aturan semesta. Aku langsung menanggapinya,

"Apollo tidak bisa begitu saja memaksa Ratih, kawan. Kasihan!"

"Siapa itu Ratih?" tanya Janneke kebingungan atas jawabanku. Apalagi aku menyebut nama yang asing baginya. Nama yang sering disebut orang-orang di Balewarge.

"Itu orang yang tinggal di bulan,"

Aku lihat Janneke masih bingung.

Hari demi hari aku selalu bermain dengan Janneke bahkan saat bersekolah. Aku saat bersekolah ini merasakan ketidaknyamanan karena teman-temanku yang tinggi seperti raksasa dengan tatapan yang meremehkan. Mereka begitu karena aku tampak bagai liliput. Tetapi, Janneke selalu melindungiku. Ya, ia adalah salah satu raksasa yang baik. Dari sini aku menyadari perbedaan aku dan mereka.

Perbedaan itu semakin terasa lagi saat aku dan dia memutuskan mandi bersama setelah berlari pagi. Ketika Janneke satu per satu membuka semua yang membalut dirinya, aku melihat sebuah batu pualam putih yang bersinar seperti Minerva. Lekukan tubuhnya sungguh luar biasa apalagi pahatan itu tampak sempurna. Aku merasakan diriku iri dan minder ingin seperti dia. Saat aku memandang diriku yang tidak putih dari atas sampai bawah, aku merasa tidak percaya diri. Apalagi saat aku memandang diriku sendiri di cermin sehabis mandi. Aku perhatikan keseluruhan tubuhku. Muka dan kulitku benar-benar sawo matang bahkan pada bagian sensitifku. Ah, aku memang berbeda dengan dia dan ingin seperti dia.

Semakin hari semakin terlihat semua perbedaanku dengannya. Apalagi saat kami berdua menginjak masa remaja dan dewasa. Di masa ini Janneke kulihat gemar memamerkan bagian-bagian tubuhnya dengan memakai baju setengah terbuka. Ia sering memamerkan punggungnya, bahunya hingga terlihat belahannya serta pusar. Bahkan ia sering memakai bawahan yang memerlihatkan pahanya yang memang mulus. Katanya, demi kebebasan dan kenyamanan berekspresi. 

Berbeda denganku yang disuruh memakai pakaian sopan dan tertutup. Awalnya aku merasa tidak nyaman karena aku beranggapan aku punya tubuh yang ingin aku perlihatkan juga seperti Janneke supaya orang-orang tahu. Tetapi ayah dan ibuku selalu bilang,

"Marhani, kita ini orang Timur, bukan Barat. Kita tahu sopan santun dan adab. Jangan kamu seperti mereka. Kita harus berbeda. Punya identitas. Tidak boleh barang pribadi kamu kamu perlihatkan ke orang lain. Jangan, Nak! Bahaya! Apa kamu mau buku kamu Ayah atau Ibu ambil? Nggak, kan? Jadi, berpenampilan sopanlah dan tahu adab,"

Pada akhirnya mereka benar. Bahwa aku harus berbeda. Aku bukan mereka. Mereka juga bukan aku. Aku harus punya pembeda dengan mereka. Harus. Aku sawo matang, dia putih. Karena itu juga aku sering menolak ajakan Janneke untuk berpesta bareng dengan lawan jenis serta meminum bir bahkan membawa pulang pria ke rumah. Aku merasakan itu semua tidak sesuai dengan diriku. Aku pikir wanita tetap harus bisa jaga kehormatannya saat bergaul supaya tidak mudah dipermainkan oleh para lelaki.

Akibat perbedaan pandangan itu pula, hubunganku dengan Janneke merenggang. Kami saling menjauh dan tidak pernah bertegur sapa lagi. Aku sebenarnya tidak mau begini. Cuma aku membawa prinsip jika di tanah orang aku harus pertahankannya supaya tidak mudah hanyut oleh arus di sekitar. Ini identitasku. Tiada apalah aku korbankan pertemanan ini, yang penting identitasku jangan sampai.

Akan tetapi, Janneke yang tidak bertegur sapa denganku tiba-tiba datang kepadaku dengan marah-marah. Aku jujur terkejut orang ini tiba-tiba ada di depanku namun dengan kondisi yang jelek,

"Kamu berani-beraninya mengalihkan perhatian Ruud dariku!" Ia begitu emosi. Aku yang dibegitukan mencoba tenang, dan jangan terpancing seperti harimau yang selalu bisa berjalan tenang dalam gelapnya hutan namun tetap waspada akan bahaya yang bisa mengancam.

"Kamu apakan dia? Kamu mantra-mantra ya! Dasar kurcaci coklat!"

Aku jujur tersinggung disebut seperti itu karena itu sama saja merendahkanku. Ingin aku membalas cuma aku diam saja. Aku tak mau ada keributan. Aku tahu soal Ruud itu. Pemuda rupawan yang tinggi, dan juga pirang seperti Janneke. Tapi aku tidak seperti yang ia bilang. Ruud memang menyukaiku, dan mencoba merayuku bahkan hendak memegang tanganku tapi selalu aku tolak karena tidak sopan, dan tidak sesuai adat dan identitasku sebagai orang Timur. Janneke yang tahu aku diam lagi-lagi cuma bisa mencak-mencak. Aku yang tidak tahan akhirnya cuma bilang,

"Sebaiknya kamu tanya ke Ruud langsung," Ia lalu terdiam dan berlalu dari hadapanku. Semenjak itu aku tak pernah bertatap muka lagi dengannya bahkan ketika aku akhirnya pulang ke Balewarge bersama orang tuaku yang memutuskan kembali karena merasa di Lagelanden sudah tidak memberikan kenyamanan dan penghidupan lagi.

Aku pun kembali ke asalku. Di sini aku bertemu keluarga besarku yang asli Balewarge. Aku diajarkan silat oleh kakekku, Engkong Ali, untuk jadi pegangan supaya tidak ada lelaki yang kurang ajar terutama para hidung belang. Apalagi kondisi di Balewarge yang semakin hari semakin membahayakan bagi para wanita. Aku kemudian juga mengambil kuliah tentang lingkungan dan selepas lulus aktif sebagai pegiat lingkungan untuk menyuarakan rusaknya ekologi di Balewarge terutama sungai yang semakin kotor. Tentu beda sungai di Balewarge dan Lagelanden. Perlahan semua tentang Janneke hilang.

Namun, semua terasa berubah ketika ada berita marak di televisi dan media sosial bahwa sering terjadi pembunuhan orang-orang di jalanan secara acak. Banyak yang melihat yang melakukan itu adalah sesosok makhluk seperti serigala. Aku langsung berpikir sembari bertanya, apa itu dia?

Ketika itu sering terjadi aku malah jadi yakin kalau itu dia, dan selalu terjadi di malam hari. Gara-gara ini sampai-sampai kakekku bilang, 

"Neng, udah saatnya lo turun ya. Kasih pelajaran tuh serigala. Keluarin harimau yang udah Engkong ajarin,"

"Iya, Kong," kataku.

Kemudian ada sebuah pesan tak dikenal yang muncul di WA telepon pintarku. Aku hanya heran nomorku bisa-bisanya dimasuki sebuah pesan yang berbunyi,

"Wanita harimau, keluar kau! Sudah lama aku mencarimu. Di lapangan kita buktikan!"

Aku yang membaca pesan ini semakin yakin kalau ini adalah Janneke, si wanita serigala yang meneror di malam hari.

***

"Hari ini aku ingin tuntaskan dendamku padamu, Hani" kata Janneke dengan mata tajam dan raut muka menunjukkkan rasa tidak sukanya padaku setelah perpisahan tidak menyenangkan lima tahun silam. Ia tampak bersiap-siap dengan posisi kuda-kuda tangan hendak meninju, dan posisi kaki kiri ke depan, dan kanan memanjang di belakang. Tampak ia juga sudah belajar bela diri sama sepertiku. Tapi tentu saja ia bela diri ala Barat. Aku merasa itu Savate. Sedangkan aku Pencak Silat.

"Silakan saja kamu tuntaskan dendamu," kataku tegas dan menantang balik. Suasana dingin mulai menjadi panas, "Tapi, jangan kamu bunuh orang-orang di sini yang tidak tahu apa-apa. Jangan buat kekacauan di tempatku karena aku tidak pernah berbuat yang sama di tempatmu!"

"Justru aku ke sini untuk datang mengacau, dan nanti biar aku satukan matahari dan bulan" ujarnya yang tampak memuncak emosinya seperti Freya yang gemar bertarung. Hal yang aku tidak suka karena Freya itu agresif. Aku harus melawan sifat ini yang jika dibiarkan malah mengancam identitas orang-orang di Balewarge.

Aku lihat Janneke yang tiba-tiba saja memuncak emosinya dengan berteriak mulai berubah pada fisiknya. Tangan dan kakinya serta badannya perlahan membesar dan berbulu lalu muncul kuku-kuku tajam di kaki dan tangannya itu. Baju yang ia pakai beserta celana panjang dan sepatu semuanya terkoyak dan hancur. Lalu kepalanya maju ke depan dengan perubahan pada mata yang membesar, kuping yang memanjang. Dari moncongnya muncul gigi-gigi tajam yang berliur. Ia lalu melolong panjang. Kini benar Janneke adalah manusia serigala.

Aku tentu saja tidak tinggal diam. Aku harus lawan monster besar warna hitam ini yang terlihat nafsu seperti kelaparan dan buas. Aku pasang kuda-kuda ala silat dengan mencondongkan badan ke depan kemudian posisi tangan kanan dan kiri juga. Kaki kanan juga ke depan, dan kiri panjang ke belakang.

Aku konsentrasi ke depan pada tubuh, pikiran, dan jiwaku. Aku rasakan ada gejolak dalam diriku. Sebuah energi yang luar biasa. Energi yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Energi ini menuntunku untuk melepas raga manusiaku. Benar-benar seperti gairah yang memuncak. Aku rasakan ada perubahan pada tangan dan kakiku. Mereka membesar, ada buku-bulu lebat pada mereka, bulu-bulu kuning dengan loreng-loreng hitam. Kemudian ada kuku-kuku yang memanjang tajam. Aku rasakan keterkejutan juga kesakitan saat ada perubahan gila padaku. Seperti disuntik vaksin berkali-kali. Perubahan juga terjadi pada badanku. Membesar sampai merobek pakaian yang aku kenakan. Bahkan sandal gunung pun hancur terkoyak. Kemudian pada kepala aku mulai merasa kepalaku membesar, maju sedikit ke depan lalu telinga berubah juga membesar. Hidungku pun berubah mendelep dan ada kumis-kumis melintang di dekat mulutku yang juga berubah searah dengan mulut. Aku setelah itu menggeram kencang menantang si manusia serigala. Kini aku adalah Marhani si wanita harimau. 

Aku pasang kuda-kuda siap menyerang dengan auman kencang. Ia juga kulihat sembari melolong lalu menatap ke arahku dengan tajam. Makhluk ini harus segera diberi pelajaran. Aku meloncat tinggi ke arahnya. Dia juga. Sebuah pertarungan besar baru saja akan dimulai. Malam dingin sehabis hujan dan petrikor itu jadi saksi.


Sabtu, 27 September 2025

Lepaskan Mereka Atau Kamu Aku Tenggelamkan!

"Lepasin dia, bro," kata Rio kepada Ardi saat keduanya ada di sebuah perahu motor kecil yang ada di atas laut yang dalamnya terlihat sangat jernih. Sinar matahari menerobos masuk ke dalam dengan mudahnya. Memancarkan sebuah dunia yang ada di bawahnya. Terumbu-terumbu karang yang eksotis serta ikan-ikan berenang dengan bebas dan tampaknya gembira, menyusuri dan masuk-keluar karang. Sebuah simfoni di lautan yang terlihat begitu indah dan memukau secara visual. Hati siapa yang tentu tidak ingin menelusuri dan merasakan langsung keelokannya.

Rio dan Ardi tengah berada di atas keindahan bawah air karena aktivitas yang dilakukan Ardi yang memang di situ bukan untuk mengagumi lukisan kenyataan dan natural, tetapi untuk mengambil salah satu penghuni dunia bak negeri dongeng tersebut. Apalagi kalau bukan ikan-ikan yang ada di situ. Mereka sangat berwarna-warni, juga indah, berpadu dengan karang-karang serta rumput laut dan alga yang menari-nari melambaikan tangan kepada yang melihat mereka. Lagi-lagi, hati siapa yang tidak terpukau.

Seekor ikan kupu-kupu warna kuning dengan corak biru di badan dan sirip ditangkap oleh Ardi. Tampak ada kepuasan pada wajahnya menangkap ikan yang bersinar bagai pertama tersebut. Yang kilaunya bisa mengalahkan terik matahari, dan seakan percuma menembus kulit manusia.

Namun tidak halnya dengan Rio. Ia tidak menyukai tindakan Ardi ini yang malah merusak lukisan alam itu.

"Kasihan, bro, tuh ikan," katanya sembari melihat ikan itu yang ada dalam genggaman Ardi dengan posisi ditidurkan, mata melotot, mata menganga, dan insangnya megap-megap. Pertanda ia kaget karena perubahan cepat dari dalam air ke daratan. Ardi yang tahu hal itu segera menaruh si ikan dalam sebuah kotak berisi air. Ikan itu kemudian normal lagi karena bertemu dengan habitatnya meski dalam sebuah kotak.

"Kasihan apanya?" tanya Ardi heran selepas itu. Ia pandangi Rio yang tampak terang karena terik matahari. Rio yang ditatap Ardi seperti itu berusaha tenang seperti tenangnya lautan yang menaungi mereka.

"Kasihan aja harus lo ambil dari rumahnya dia," kata Rio menanggapi keheranan Ardi, "Pasti teman-teman dan orang tuanya bertanya-tanya,"

Ardi yang mendengar itu malah tertawa geli, "Ya elah, Bro, gue kan ngambil juga gue kasih makan dia," Ia lalu menoleh ke bawah ke kotak air yang ada ikan kupu-kupunya yang kini berenang namun sepertinya bingung karena dunianya cuma sebuah kubus yang tidak transparan pula.

"Lo lihat dia," kata Ardi melanjutkan sembari menoleh ke arah ikan, "Dia itu indah banget kayak kupu-kupu di kebun raya yang terbang melintang, membuat penasaran semua orang lalu ditangkap, dan diabadikan dalam lemari kaca super transparan. Lagian kalau itu indah ya apa salahnya selalu harus diperhatikan?"

 "Gue ngerinya dia bakal gigit lo, bro," kata Rio kembali menanggapi jawaban Ardi yang agak pragmatis.

Mendengar jawaban itu, Ardi kembali tertawa-tawa, "Lo kenapa sih? Tumben banyak komentar? Biasanya nggak! Emangnya ini ikan hiu bisa gigit? Kebanyakan nonton film lo ya?"

Rio cuma diam. Ia tak mau menanggapi jawaban sahabatnya itu. Ia hanya melihat laut yang tenang dan sekarang tiada ombak meskipun angin kencang menerpa mukanya. Laut walau terlihat tenang di atas, bawahnya adalah sebuah misteri. Demikian ia membatin. Ikan-ikan yang ada di dalamnya memang indah dan memukau, akan tetapi mereka suatu saat akan melawan jika diperlakukan tidak pantas.

"Kalau ikannya berubah jadi cewek cantik sih gue nggak masalah, Bro," kata Ardi lagi di tengah heningnya Rio, "Nah kaya di legenda Danau Toba tuh. Bisa masakin makanan enak dan ya main ke ranjang," Ia lalu tertawa lagi.

"Hati-hati, bro," kata Rio mengingatkan akan perilaku Ardi yang mulai berkhayal dengan hasrat seksualnya, "Cantik-cantik nanti lo yang kapok!"

Ardi sekali lagi cuma tertawa-tawa besar menanggapi perkataan sahabatnya yang dianggap ngalor-ngidul. Tawanya cukup untuk mengalahkan embusan angin yang menerpa mereka berdua. Laut masih terlihat tenang, dan dari kejauhan ada nyiur-nyiur melambai.

***

Air laut datang dan pergi menerjang pantai. Pasir-pasir yang tadinya belum sempat kering harus basah lagi. Kondisi yang sebenarnya tidak menyenangkan tetapi mau bagaimana lagi karena siklus itu akan terus berulang. Sinar matahari menerangi sebagian pasir dan pantai itu. Di situ juga terdapat karang dan bukit yang ditumbuhi rumput-rumput. Bukit-bukit itu tampak cocok jadi pelindung dari sinar matahari tersebut.

Namun suasana di pantai itu sendiri belumlah begitu terik karena masih pagi hari. Ada kabut di sekitar pantai kemudian ada suara burung-burung camar yang saling berkaokan saat terbang dan mendarat. Suara-suara mereka mengalahkan kesunyian pagi pada pantai yang selalu jadi tempat sebuah pengharapan.

Ardi tiba-tiba mendapati dirinya pada sebuah pantai itu. Ia merasa dirinya agak heran kenapa bisa ada di sebuah pantai yang pasirnya cukup putih tersebut. Tiada orang di situ selain dirinya. Yang ia ingat adalah ia berada di sebuah ruangan yang berisikan akuarium besar untuk wadah ikan-ikan hias yang selama ini ia tangkap. Mulai dari ikan badut, ikan malaikat, ikan singa hingga ikan napoleon yang sebenarnya dilarang. Semuanya bagai sebuah orkestrasi yang memukau mata. Ardi tampak puas melihat para koleksi hidupnya berenang ke sana-kemari dalam sebuah ekosistem aquascape yang ia ciptakan. Ia masukkan pohon-pohon daratan, ia buat air terjun, jembatan, dan rumah-rumahan seolah-olah ikan-ikan itu membutuhkannya. Ia yang tersenyum puas melihat koleksinya tiba-tiba merasa kantuk menyerangnya. Ia pun tak kuat, dan jatuh tertidur...

Hanya itu yang ia ingat. Namun, ia tak menyangka jika terbangun di sebuah pantai yang benar-benar sunyi namun indah. Ia coba sadarkan dirinya dengan mengucek-ngucek mata atau menampar mukanya untuk menegaskan yang dialaminya hanya mimpi. Sayang, tetap saja semua seperti itu. Ia tetap di pantai. Ya sudah, mau bagaimana lagi, katanya. Ia kemudian bangun, dan ingin sekali menjelajahi pantai yang sepi ini yang mungkin nanti bisa bertemu orang untuk membantunya.

Saat ia bangun dan berdiri tiba-tiba dari ombak yang berdebur muncullah seseorang yang berjalan mendekat kepadanya. Ia adalah sesosok wanita berambut panjang, yang memakai kemben panjang sampai kaki warna biru laut. Sinar matahari menerpa kedua bahunya sehingga terpantul keindahan itu. Ardi yang melihatnya terkejut. Sangat terkejut. Ia merasa seperti ketiban durian runtuh di hadapannya ada seorang wanita yang ke arahnya sembari tersenyum. Wanita itu sangat cantik baginya berpadu dengan senyum yang menggoda serta warna kulit sawo matangnya yang terlihat putih karena terkena sinar matahari.

Ardi sekali lagi menampar mukanya hanya untuk memastikan yang dilihatnya ini bukan halusinasi. Dan, setelah ditampar, ternyata masih sama. Ini nyata.

"Kenapa mukanya ditampar?" tanya wanita itu kemudian yang tanpa disadari sudah di depannya. Ardi yang melihatnya malah gemetaran pada sekujur tubuh. Ia berupaya menjawab di tengah gemetaran itu,

"Eh, nggak saya kira ada nyamuk datang," ujarnya berdalih dengan senyum seperti orang ketakutan.

Melihat Ardi seperti itu, si wanita dari laut ini tampak bisa membaca yang dirasakan Ardi. Ia lalu berujar,

"Apa saya menakutkan? Kok kamu ketakutan?" 

"Eh, tidak," kata Ardi terbata-bata, "Kamu cantik. Cantik sekali!" 

"Benarkah?" Si wanita lalu mendorongkan kepala ke arah Ardi. Ia tatap Ardi dalam-dalam. Ia lihat raut ketakutan sekaligus kekaguman. Ardi dari dekat melihat sosok wanita dari laut ini yang benar-benar cantik seperti cantiknya lautan yang penuh dengan karang-karang dan rumput laut. Membuat ia jadi berkhayal lebih jauh akan wanita itu, bagai seorang bidadari yang muncul tanpa disangka-sangka.

Si wanita laut lalu menarik balik kepalanya. Ia kembali tersenyum,

"Main, yuk!" Kata si wanita laut setelah itu.

Mendengar kata itu, Ardi terheran-heran. Ia pun bertanya,

"M..maksudnya?"

Si wanita laut tetap tersenyum, dan dengan pelan ia menjawab,

"Ya, kita main ke laut. Aku mau ajak kamu berenang ketemu teman-teman aku di istana,"

Sekali lagi Ardi keheranan,

"Berenang? Istana? Apa kamu dewi?"

"Ya, boleh dibilang begitu," kata si wanita laut tetap tersenyum lalu mengubah nada bicara dan tatapannya, "Tentu kamu mau juga kan teman-temanku yang seperti aku ini. Mereka bisa bikin kamu melayang dan puas,"

"I..iya, aku mau!" Kata Ardi kini dengan semangat. Tampak hilang sudah gemetar di badannya. Si wanita yang melihat itu kemudian bernyanyi dengan merdu sekali. Ardi yang mendengarnya tampak terpesona luar-dalam. Oh, sudah cantik bisa bersenandung pula, gumamnya kagum.

Si wanita laut yang bernyanyi itu perlahan melepas kemben panjangnya. Kini terlihatlah sebuah keindahan yang bersinar, yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ardi merasa terguncang melihat lekuk dan pahatan indah yang seperti pada dewi Yunani dan Romawi. Sungguh sempurna meski ia punya wajah sawo matang. Tapi itu perpaduan yang aduhai dan sangat berkelas serta elegan. Ditambah ia terus bersenandung dengan tatapan yang buat Ardi tidak bisa menahan air liurnya. Dirinya terus bergolak. Ia sungguh tidak bisa menahan. Ia tak kuat luar dalam.

Ia lepas juga yang melekat pada dirinya. Kini ia sama dengan si wanita laut. Ia ingin mencicipi tubuh si wanita laut dengan keperkasaannya yang menegang. Si wanita laut yang masih bersenandung itu melihat laki-laki yang ada di hadapannya kini sudah seperti dia. Ia lalu melihat benda panjang yang menjadi simbol kekuatan Ardi berkata,

"Kamu boleh juga," ia kemudian bernyanyi lagi kemudian menjauhi Ardi. Ardi pun jadi penasaran dan terpancing. Wanita ini benar-benar memikat dirinya. Embusan angin yang mengibarkan rambut si wanita yang tampak halus semakin meliarkan dirinya. Dengan nyanyian, si wanita laut yang berupaya menjauhi Ardi terus mengajak dengan gestur pada tangannya. Ardi terpancing, dan mengejar. Ia kini bisa mendekati si wanita laut. Ardi yang kini dikuasai nafsu tanpa malu-malu langsung merajah tubuh si wanita laut bahkan bagian sensitifnya. Si wanita laut membiarkan saja sembari merasakan rangsangan. Mereka lalu berciuman dengan mesra. Disaksikan oleh ombak berdebur dan camar-camar beterbangan.

Ardi yang baru kali ini merasakan kenikmatan itu, dan bukan mimpi kini diajak si wanita laut untuk berenang. Mereka berdua berlari dan menerjang ombak. Mulailah mereka berdua menjelajah isi lautan, menyaksikan keindahan laut yang tiada tara, ikan-ikan yang berenang bebas ke sana kemari tanpa hambatan, rumput laut, anemon, ganggang, alga juga terumbu karang. Baru kali ini juga Ardi merasakan keindahan itu seperti ini apalagi bersama dengan seorang wanita cantik. Bahkan Ardi merasa tidak ketakutan ketika ada ikan hiu di depannya yang malah sepertinya hormat pada si wanita laut. Ia lalu bergumam, ternyata benar dia seorang dewi.

Setelah berenang itu mereka berdua muncul ke permukaan. Rambut mereka yang basah kini terlihat menempel terutama si wanita laut yang rambut basahnya menempel sampai ke bahunya yang tampak bersinar. Tampak ada raut gembira pada wajah Ardi. 

"Kamu kayaknya senang ya?" Kata si wanita laut menanggapi raut muka Ardi. Ia mulai memandang dengan perasaan tidak suka.

"Ya, senanglah!" ujar Ardi semangat, "Bisa melihat ikan-ikan lalu berenang bersama wanita cantik apalagi dalam keadaan tidak berpakaian seperti ini. Rasanya seperti terbang!"

"Begitu ya?" tanya si wanita laut kini dengan nada menyelidik, "Kamu senang terus kalau aku tidak senang bagaimana?"

Ardi yang mendengar pertanyaan itu hanya menjawab dengan santai,

"Ya, aku tidak peduli kan yang penting aku senang. Aku senang bisa main sama ikan. Apalagi kalau ikannya kamu yang begitu indah dan bersinar. Coba kamu jadi salah satu koleksiku bersama ikan-ikan yang ada di rumahku!"

Si wanita laut tampak tidak suka dengan jawaban Ardi yang egois. Semua diambil demi kepuasan diri dan nafsu tanpa peduli nasib yang diambil. 

"Baiklah, kalau kamu senang," kata si wanita laut yang bola matanya kini membesar tajam. Rasa tidak suka itu semakin muncul. Tapi Ardi tampak tidak peduli. Ia anggap paling itu main-main, "Kamu boleh ambil aku sebagai koleksimu tapi..."

"Apa?" tanya Ardi penasaran.

Tiba-tiba ditariknya kepala Ardi ke arah muka dan bibirnya hingga bersentuhan satu sama lain. Ardi merasakan keterkejutan. Ia lumat bibir wanita laut yang tipis dengan penuh kenikmatan di antara kering dan basahnya air. Ia merasakan jiwanya melayang. Namun, di saat seperti itu juga ia rasakan sebuah cengkraman kuat di lehernya. Ia lihat tatapan si wanita laut yang kini berubah menjadi sebuah kemarahan luar biasa. Ia merasa tidak bisa berkata-kata. Ia mencoba berontak. Si wanita laut malah membenamkan tubuhnya ke dalam air mendorong ke dalam. Ardi benar-benar dalam kuasanya. Tak bisa ia melawan,

"Lepaskan mereka atau kamu aku tenggelamkan!" Ujar si wanita laut yang masih berkata nyaring di dalam air. Ardi hanya bisa melotot kaget. Ia benar-benar tidak bisa melawan. Ia rasakan kaki dan tangannya kini dipegang oleh para wanita laut yang lain yang juga marah kepadanya. Perlahan mereka mendorong Ardi sampai ke lapisan laut paling dalam ketika matahari sudah tidak bisa menembusnya. Mereka lalu menghilang seiring dengan hilangnya keterkejutan Ardi.

***

"Loh, ikan-ikan piaraan lo pada kemana?" tanya Rio kepada Ardi saat ia sedang berada di rumahnya untuk sekadar berkunjung. Dilihatnya sudah tidak ada ikan-ikan lagi dalam akuarium besar itu. Benar-benar kosong melompong.

Ardi yang ditanya begitu hanya bisa menjawab sekadarnya ketika sahabatnya tahu bahwa semua koleksi peliharaannya sudah tidak bersamanya lagi.

"Udah pada gue lepasin ke laut," 

"Kenapa?" tanya Rio dengan heran karena ia merasa tidak biasanya sahabatnya berlaku hal seperti itu.

"Gue didatangin dewi laut di mimpi gue minta semua dilepasin," kata Ardi dengan perasaan yang tiba-tiba takut, "Dia cantik tapi kayak monster. Gue ngeri deh!"

Rio lantas menimpali,

"Kan gue bilang juga apa? Hati-hati cantik-cantik bisa jadi monster,"

"Iya, gue nggak mau deh miara lagi," ujar Ardi menyesali, "Kasihan. Biarin deh pada di rumahnya,"

"Nah, gitu dong," kata Rio yang tampak senang sahabatnya menyesali. Ia kemudian menunjukkan foto seorang wanita di hapenya.

"Mau nggak gue kenalin?" tanya Rio setelah itu, "Lagi cari pasangan nih!"

Ardi yang melihat foto itu tampak terkejut. Matanya melotot, mulut menganga lalu menjauh dari foto dengan rasa gemetar dan ketakutan,

"Nggak deh! Makasih!"

Kenapa memang?" Rio pun heran karena kelakuan sahabatnya itu.

"Dia itu yang muncul di mimpi gue!" Jawab Ardi dengan tegas walau ketakutan.

Jumat, 26 September 2025

Udah Mati, Tapi Kok Masih Berantem?



Juliana berlari sangat kencang seperti orang dikejar-kejar harimau ke dalam rumah. Tanpa memerhatikan kondisi di sekeliling ia langsung masuk ke kamarnya yang berada di dekat ruang tengah. Di situ ia langsung melompat ke ranjangnya kemudian menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang tinggi dan putih itu. Ia rasakan keringat keluar dari dari tubuhnya seiring dengan gemetarnya badan yang terasa bagai gempa bumi. Rambut pirangnya yang tadi kering pun basah seperti habis mandi. Ia menutup kedua matanya rapat-rapat seakan-akan tidak mau melihat sesuatu yang membuatnya berlari kencang.

Tak lama kemudian datanglah orang tua si Juliana yang sedari tadi melihat anaknya berlari kencang dari arah kebun belakang yang besar, rimbun, dan gelap walau di pagi dan siang hari. Sebuah kebun yang di situ ada pohon-pohon beringin yang cukup besar, pohon bambu, juga pohon pisang. 

Kedua orang tua Juliana ini merasa heran dengan tingkah anaknya yang demikian. Mereka merasa ada yang tidak beres. Keduanya kemudian masuk ke kamar, dan mendapati anak mereka sedang menutupi diri dengan selimut begitu kencang. Tercium sebuah aroma yang wangi dari selimut itu berpadu dengan aroma dari suasana siang yang mendekati sore, hangat-hangat panas. Apalagi di luar jendela terlihat sinar matahari mulai berkurang warna teriknya, dari kuning menyengat ke oranye yang pudar.

Melihat anak perempuannya seperti orang yang ketakutan, si Bapak yang badannya tinggi tegap, berkulit putih namun kecoklatan, berambut pirang, dan bermata biru layaknya bule, dengan firasat yang kuat berkata pada istrinya yang juga punya ciri fisik hampir sama namun matanya coklat.

"Jangan-jangan mereka berulah lagi?" ujarnya sembari melihat ke Julia dengan tajam seperti busur panah. "Nggak ada kapok-kapoknya orang-orang ini!"

"Kamu jangan ngawur!" ujar istrinya menanggapi omongan suaminya yang terkesan main tuduh karena belum ada bukti yang kuat, "Bisa jadi bukan mereka, mungkin yang lain!"

Si Ibu segera berkata pelan pada Juliana yang masih ketakutan,

"Kamu kenapa, Nak? Kok lari-lari kayak habis melihat setan?"

Dari dalam selimut, Juliana yang ketakutan itu menjawab,

"Aku memang dikejar setan, Bu!" kata Juliana dengan nada besar untuk menegaskan hal yang baru saja ia alami "Mereka juga menakut-nakuti aku!"

Ibunya yang mendengar jawaban itu heran meski sebenarnya ia tidak merasa terlalu heran dalam hati. Ia lalu melihat ke suaminya. Sang suami hanya melihat tajam padanya seolah-olah ia ingin berkata bahwa firasatnya itu memang benar. Si Ibu lalu menoleh ke Juliana lagi yang masih betah membungkus dirinya dengan selimut.

"Memang siapa, Nak?" tanya sang Ibu yang sebenarnya tahu dalam hatinya tapi ia ingin mengonfirmasi ke anaknya.

Mendengar pertanyaan itu, Juliana segera membuka selimutnya. Dilihatnya kini wajah bapak dan ibunya. Sang Bapak diam menatap tajam. Kumisnya yang warna kuning semakin menegaskan diamnya itu. Si ibu tersenyum. 

"Ah, Ibu jangan pura-pura nggak tahu!" ujar Juliana kesal setelah membuka selimutnya, "Siapa lagi kalau bukan para hantu penghuni kebun, kuntilanak, pocong, tuyul, dan genderuwo. Aku paling kesal dengan si genderuwo yang selalu terpesona sama kulit putihku sampai-sampai si kuntilanak meradang, dan mau mencekik aku! Emangnya Bapak sama Ibu nggak bisa ngusir mereka dari kebun kita. Bukan cuma di kebun kalau malam di teras belakang sering ada pocong meloncat-loncat nggak jelas, juga tuyul! Semuanya menyebalkan, dan nggak tahu kesopanan!"

"Lagian kamu ngapain main di kebun kalau di sana kamu diganggu mulu?" kini si ibu balik bertanya dengan nada dan tatapan tajam.

Juliana memperhatikan raut wajah ibunya, dan ia tampak ketakutan. Ia lihat wajah bapaknya yang tampak tidak berubah seperti wajah para petinggi di lukisan yang selalu tersenyum namun dipaksakan.

Juliana mulai mengubah nada bicaranya sembari tetap menatap ibunya,

"Kan aku ke sana ingin main, Bu, sekaligus menjelajah isi kebun kita. Ya buat apa punya kebun besar tapi tidak pernah dijelajahi?"

"Kalau kamu memang mau menjelajah, kamu harus berani, dan tunjukkan siapa kita mereka. Kita ini adalah raksasa. Masa takut sama tikus-tikus penganggu kayak gitu?" Kata sang ibu menegur sekaligus memotivasi Juliana. Ia kemudian melanjutkan bicaranya,

"Kita ini terdidik. Mereka tidak dan terbelakang. Kerjanya cuma bisa menakut-nakuti!"

Setelah itu, barulah sang Bapak berbicara dengan nada yang tegas.

"Kamu kalau ke kebun seharusnya bersama Johan. Biar ia yang akan menembak mereka! Bilang ke Bapak lain kali ke kebun biar Bapak suruh Johan!"

Setelah itu, si Bapak memanggil Johan. Beberapa menit kemudian datanglah seseorang berbadan tegap, mempunyai fisik yang sama dengan Juliana dan kedua orang tuanya serta memakai seragam militer dan ditemani seekor anjing herder galak yang selalu menggeram.

"Kau jaga Juliana kalau ke kebun!" Kata si bapak dengan tegas, "Kasih pelajaran setan-setan itu kalau perlu usir mereka!"

"Siap, Pak, laksanakan!" jawab Johan dengan singkat dan tegas.


Ranti menangis dengan suara yang nyaring. Nyaringnya itu hampir memekakkan telinga. Itu yang membuat Randu terganggu. Begitu juga Reda dan Anto.

"Kamu kenapa sih?" Kata Randu yang terganggu sekaligus heran, "Nangis tapi juga seperti orang tertawa?"

"Iya, nih" kata Reda yang ada di samping Randu. Anto walau terganggu tetap menghitung uang yang cukup banyak bahkan sampai bertumpuk-tumpuk. Cukup buat makan tahunan.

"Kamu yang kenapa?" Kini Ranti yang bertanya balik lalu menatap Randu dengan tajam. Dilihatnya Randu yang berbadan besar hitam dengan gig putih menonjol layaknya taring, "Tiap kali si noni itu datang selalu saja berahimu naik seperti gunung mau meletus. Kenapa sih kamu selalu nafsu dengan dia? Matamu kok nggak bisa dikontrol? Emangnya aku kurang apa? Apa aku kurang putih? Atau juga aku kurang seram? Lama-kelamaan kamu malah kaya mereka nanti. Tinggal di rumah besar gedongan yang sangat-sangat dingin, dan para penghuninya seperti kelelawar pengisap darah!"

Randu hanya diam mendengar ocehan Ranti yang merupakan kekasihnya. Ia tidak bisa berdalih apa-apa karena juga percuma, dan apa yang diungkapkan Ranti itu fakta. Ia lihat wajah kekasihnya itu juga rambut hitam panjangnya yang selalu basah. Dalam hati ia ingin bilang, kamu memang kurang putih dan kurang seram. Ya, kamu memang seram buat orang-orang kita tapi buat mereka malah tidak. Kamu memang kurang putih dibandingkan si Noni itu. Putihnya dia buat aku bergairah tanpa henti. Namun, itu ia urungkan daripada menambah masalah. 

"Di rumah itu ada si tentara sama anjingnya yang galak" kata Reda menimpali, "Aku cuma dekat ke halaman belakang aja langsung ditembaki, dan anjingnya itu yang larinya sangat kencang sampai bisa menggigit kain-kainku"

Reda lalu melihat ke kain-kain yang membalut sekujur tubuhnya. Ada beberapa yang bekas gigitan anjing.

Anto yang sedari tadi sibuk menghitung uang juga menimpali,

"Jangan lupakan juga si sosok tanpa kepala yang selalu membawa kepala di tangannya dan juga dengan anjing. Dia kadang muncul di sayap rumah itu sama si Johan,"

"Ah, dia itu kan terkadang aja di situ," kata Reda lalu berdiri dan meloncat-loncat. Ia kemudian ke arah luar kemudian menatap sebuah bangunan besar dan megah dari kebun tetapi sangat menyeramkan. Ia lalu berbalik arah sembari meloncat-loncat.

"Aku lihat tadi ada Johan menjaga halaman belakang. Anjingnya kali ini benar-benar galak! Ini pasti si Noni melapor ke orang-orangnya. Khawatir aja lama-kelamaan kebun kita ini bakal bisa jadi bangunan lagi seperti rumah besar yang dulu kita tinggal di situ terus terusir ke sini!" Kata Johan dengan nada khawatir akan tempat tinggal mereka di masa depan.

"Kalau begitu kita harus lawan!" Kata Randu kemudian dengan nada semangat perjuangan, "Jangan sampai kejadian kemarin terulang lagi!"

Ranti yang mendengar itu menghentikan teriakannya kemudian berpaling ke Randu dengan tatapan sinis,

"Yakin kamu mau melawan? Sama si Noni itu aja kamu aja nggak kuat nahan nafsu. Lawan dulu nafsumu. Jadi orang kok lebih percaya hal dari luar ya! Yang dekat dilupain!"

Randu kembali terdiam. Seketika nyalinya ciut mendengar ocehan kekasihnya. Kalau kekasihnya marah ia memang tidak bisa berbuat apa-apa apalagi kemarahannya lebih menakutkan daripada orang-orang besar di rumah putih tersebut. Ia menyerah lalu bersandar pada tembok. Reda dan Anto tertawa-tawa puas, dan Reda pun berkata,

"Ah, badan gede doang kalau wanita marah ciut!" 

***

Mereka berhadap-hadapan. Tepatnya di halaman belakang rumah putih besar yang megah namun menakutkan bagi para penghuni kebun. Atau kalau dari si penghuni rumah putih besar, orang-orang dari kebun adalah para berandalan yang kerap menganggu, dan kebun tempat tinggal mereka merupakan tempat angker dan mistis.

Di sebelah kanan ada si bapak dan ibu orang tua Juliana yang berpakaian putih-putih ala Eropa serta rok panjang lalu ada Juliana yang tampilannya seperti noni kemudian ada Johan yang menenteng senapan, dan anjing herdernya serta temannya si tanpa kepala, dan kepala ada di tangan juga dengan anjing doberman.

Kemudian di sisi kiri ada Ranti dengan rambut panjang dan tampang seramnya tertawa mengikik, lalu Randu yang berbadan besar hitam serta mata merah, Reda yang melompat-lompat di tempat, dan Anto yang badannya kecil seperti anak kecil dengan kepala botak.

"Kalian berandalan kebun, berhentilah menakuti Juliana!" Kata si Bapak dengan nada tegas dan tatapan tajam yang meremehkan mereka, "Atau saya suruh Johan menghabisi kalian!" Ia lalu melihat Johan yang tampak siap dengan mengokang senjatanya serta bersiap menembak ke keempat penghuni kebun itu.

"Siap, meneer," kata Johan memanggil si Bapak dengan meneer. Anjing herdernya yang selalu menggeram dengan tatapan tajam kemudian menyalak kencang. Ini diikuti oleh anjing satunya.

Tak mau kalah Ranti malah menantang si Meneer, juga dengan tatapan menakutkan,

"Harusnya kalian yang berhenti ganggu kami! Buat apa kalian datang ke kebun kami? Memangnya belum puas tanah kami kalian ambil?" Ia lalu menatap tajam si noni dan berkata,

"Jangan kau datang ke kebun cuma untuk menganggu kekasihku!"

Mendengar itu Juliana tidak terima, ia langsung membalas,

"Kekasihmu yang matanya tidak bisa istirahat melihat orang kulit putih ke sana!" Ia lalu memandang remeh mereka, lalu berkata juga dengan meremehkan, "Sayang, kalian tidak akan bisa jadi kami meski kalian berusaha ikuti kami. Kami lebih tinggi daripada kalian!"

"Siapa juga yang mau ikut para pengisap darah?" tanya Reda menimpali Juliana. Ketika mereka seperti itu muncullah suara celetukan di antara mereka. Seseorang dengan wajah sawo matang, rambut hitam, hidung mancung, dan badan tinggi. Mereka tampak heran orang ini bisa melihat mereka, dan malah tidak ketakutan sama sekali. Ia bicara dengan santainya.

"Kalian para hantu masih aja berantem," kata orang itu kemudian menunjuk di samping kanannya, "Hantu-hantu Belanda! Oy, masih aja di sini! Indonesia udah merdeka, Bos! Pulang sana ke Belanda!" Hantu-hantu Belanda, Meneer, Mevrouw, Juliana si Noni Belanda, Johan si hantu tentara, dan si Pastor Jeruk Purut tampak tersinggung. Ia lalu ke kirinya yang di situ ada kuntilanak, genderuwo, pocong, dan tuyul, 

"Ini lagi hantu lokal. Ngapain sih masih lawan aja para Londo ini. Lawan sana hantu para koruptor. Takut-takutin!"

Para hantu itu kemudian mengarah tajam ke orang yang sebenarnya merupakan Indo, dan serempak berkata, 

"Jangan ikut campur, manusia!"

Si Indo yang ditatap yang tadinya biasa saja perlahan ciut dan takut lalu ambil langkah seribu.

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran