Pages

Minggu, 28 September 2025

Matahari dan Bulan Takkan Pernah Satu


Angin berembus kencang sedingin malam yang aku rasakan saat ini. Kertas-kertas beterbangan ke sana kemari tak beraturan. Ada yang ke jalan namun ada juga ke arah lampu-lampu jalanan yang temaram dan bernuansa neon. Kerlap-kerlip terlihat lampu-lampu yang lain bagai di sebuah diskotik. Bau petrikor menguak sangat kuatnya pada lapangan di depanku yang memang basah dan ada genangan karena sehabis hujan deras yang melanda. Di sudut lapangan yang diapit oleh gedung-gedung tinggi bagai kala di malam hari yang siap menginjak dan menelan bangunan-bangunan kecil di sekitarnya yang sudah tak berdaya oleh himpitan yang kian kencang, tikus-tikus muncul dari lubang, bergerak sangat cepat bagai ninja, meloncat dan melebur dalam kegelapan demi mencari makanan yang tersisa.

Kondisi ini aku sangat yakin tak akan pernah dirasakan oleh mereka di gedung-gedung tinggi yang selalu bermandikan cahaya bagai di surga yang turun ke bumi. Sayang, seribu sayang, surga itu memang hanya untuk mereka yang selalu diselimuti oleh bau-bau parfum mahal dan bau-bau emas dari yang sering dilekatkan pada tubuh sebagai bentuk sebuah status.

Tapi, baiklah, aku tak mau membahas hal itu. Biarlah sekarang mereka menikmati semua surga itu sebelum berubah jadi sebuah neraka. Aku yang berdiri di sebuah lapangan besar kosong sedari tadi terus mengamati dengan tajam ke sebuah pintu masuk lapangan. Menunggu ia datang. Angin malam yang kencang berembus cukup untuk menurunkan selendangku yang berwarna hijau muda ke leher dari tempatnya berawal, kepalaku. Aku jadikan ia sebagai penutup rambut hitam panjang yang merupakan mahkota alamiku.

Malam sehabis hujan tiada bulan juga bintang. Semua terasa pekat. Sesekali aku lihat ada kelelawar lewat, juga burung celepuk yang kemudian hinggap di pohon cempaka yang ada di lapangan. Ia bersuara puk puk puk seperti menandakan akan datangnya makhluk halus berambut panjang berjubah putih yang sering duduk di pohon pisang lalu mengeluarkan suara mengikik. Sudah sering aku mendengar suara burung celepuk ini yang sama seramnya dengan suara burung kedasih yang sebenarnya adalah sebuah peringatan akan datangnya bahaya dan malapetaka sehingga jika mendengar ini di malam hari harus segera ke rumah supaya tidak terkena bahaya tersebut.

Namun tidak bagiku sebab bunyi celepuk ini tidak biasanya. Ini pertanda dia akan datang. Dari jauh aku seperti mencium sebuah aroma khas tulip dan plum. Kedua aroma ini sungguh akrab di hidungku. Aromanya begitu wangi berseliweran di antara petrikor dan bau bunga cempaka kuning. Namun pada kedua bau yang wangi ini aku seperti merasakan ada bau anyir dan sebuah dendam. Aku rasakan bau ini begitu menguat dan sangat kencang mendekat. Ada sebuah langkah kaki yang terasa dan menginjak genangan dengan pelan. Aku perhatikan ada sebuah siluet hitam di depan yang diiringi oleh sebuah kabut malam sehabis hujan. Ya, itu dia. Aku yang sedari tadi berdiri kini merasakan guncangan dalam hatiku. Jantungku berdetak sangat kencang dari biasanya seperti orang yang menabuh drum berulang kali. Nadiku bergetar. Adrenalin naik seperti mengendarai roller coaster. Keringat perlahan mengucur di tubuhku, mengalir ke kulitku, dan aku rasakan membasahi kebaya encim warna merah yang kupakai. 

Tapi, aku harus tenang. Aku harus kendalikan diriku ini. Aku tetap posisikan dengan tegak berdiriku serta sedikit melebarkan kakiku yang dibalut oleh sebuah celana panjang kuning. Mataku tetap menatap tajam seperti mata burung hantu di malam hari. Perlahan sosok itu keluar dari siluetnya, dan berjalan lurus ke arah aku lalu berhenti sekitar 5 meter. Ya, ternyata memang dia.

Aku pandangi sesosok wanita muda dengan rambut pirang dan bermata biru. Ia berbadan tinggi, lebih tinggi dariku hampir seperti menara. Ia memakai klederdracht warna biru tua dengan gradasi merah dan putih serta sebuah celana panjang ketat di bawah dengan kets sebagai alas. Beda denganku yang hanya memakai sandal gunung. Matanya yang biru tampak menyala di gelap malam yang temaram disertai dengan sebuah senyuman kepuasan karena sepertinya berhasil menemuiku.

"Halo, Marhani," ujarnya membuka sebuah percakapan denganku yang aku merasa itu seperti sebuah tembok yang dibongkar karena tidak pernah mendengar namaku dipanggil lagi oleh dia sebelumnya. Aku merasakan kekakuan luar biasa saat disebut namaku. Perlahan ingatan masa silam muncul kembali dalam memori. Aku merasakan semacam keterkejutan juga dalam tubuhku. Darah dalam tubuhku serasa berhenti. Seperti ada sebuah jam yang tiba-tiba berbunyi perlahan. Oh, tidak aku harus tenang. Aku tidak boleh chaos cuma karena ini saja. Aku harus bisa kendalikan diriku. Kuatur napas perlahan, kuhela, kubuang, dan mulailah aku menjawab dengan tegas,

"Ya, Janneke," sebuah nama muncul dari dalam mulutku yang sempat kaku, dan untuk kali pertama aku menyebut nama itu lagi bahkan di depan orangnya, orang yang pernah ada di masa laluku.

Tentu kamu ingin tahu kenapa aku bisa kenal dia, Janneke, dan dia kenal aku juga? Baiklah, aku ingin menceritakannya dahulu supaya kamu tahu.

***

Dahulu sebelum aku tinggal di sebuah tempat bernama Balewarge, sebuah kota dengan sejuta pencakar langit yang terkadang ramah, terkadang tidak terhadap warganya meskipun warganya sudah patuh pada setiap peraturan dan rela menjalankan sampai kantong untuk kehidupan sehari-hari menipis, aku pernah tinggal di sebuah tempat di yang sangat jauh dari Balewarge. Tempat itu bernama Lagelanden. Tempat yang selalu ada salju, cuaca selalu ungu, dan banyak kanal yang dingin. Aku menghabiskan sebagian besar waktuku di sana, mengikuti orang tuaku yang mencoba mencari peruntungan supaya asap di dapur tetap mengebul karena tidak ada setitik cahaya terang di Balewarge.

Di sinilah aku berkenalan dengan Janneke, anak dari tetangga kami yang ramah. Dia seorang gadis periang seperti Cinderella dan Belle, selalu tiap hari bernyanyi dengan merdu. Suaranya seperti seorang penyanyi opera, dan kemerduan suaranya bagai sebuah oasis untuk mengobati rasa dingin yang sering aku alami sejak kali pertama tiba. Janneke juga orang yang bersahabat, dia tak malu-malu mengajakku bermain terutama di sebuah hutan pinus belakang kanal. Hutan pinus yang terlihat berwarna-warni dengan hijau yang tak sehijau di Balewarge. Hutan pinus yang juga bisa menjadi tempat menghangatkan hati meski dingin selalu menyelimuti. 

"Kamu tahu," kata Janneke padaku saat kami berjalan di dalam hutan pinus itu, "Dahulu di sini ada seekor serigala besar yang sering memakan orang dan memangsa binatang ternak,"

Aku yang mendengar itu mencoba membayangkan binatang yang seperti anjing tersebut dengan warna bulu kadang hitam, kadang abu-abu, dan kadang putih.

"Memang sebesar apa?" tanyaku penasaran.

"Sebesar orang dewasa!" kata Janneke tegas. Ia lalu berhenti. Aku mengikutinya. Ia kemudian menurunkan badannya mengambil sebuah daun kering di hutan itu.

"Rasanya aku ingin menjadi serigala," ujarnya kemudian. Aku yang mendengarnya agak heran, dan sedikit membelalakkan mata,

"Kenapa kamu mau jadi serigala?" tanyaku karena keheranannya.

Ia lalu menoleh kepadaku. Ia menatapku tajam dan tubuh tingginya membayangiku. Aku perlahan seperti melihat nenek grandong jahat yang hendak memangsa anak kecil. Aku merasa takut.

"Supaya aku bisa makan kamu yang kayak kelinci!" Ia mengangkat kedua tangan ke atas membentuk gestur menakut-nakuti. Aku langsung teriak dan lari. Ia mengejarku begitu kencang sembari tertawa-tawa puas. Aku kemudian sadar ini sebuah candaan. Aku pun berhenti. Lalu menatap dia balik. Aku segera bahasakan tubuhku supaya dia berhenti dengan tangan.

"Bagaimana kalau kelinci yang kecil ini jadi seekor harimau besar yang juga ganas, dan bisa memakan serigala?" kataku setelah itu. Aku segera buat gestur menakut-nakuti. Ia terkejut dan berlari. Kini balik aku yang mengejar dia. Tentu saja aku juga tertawa-tawa. Kami lalu berhenti karena capek berkejaran kemudian tiduran di lantai hutan. Sembari memandang langit yang tumben berwarna biru cerah, Janneke berkata kepadaku,

"Kalau matahari dan bulan, apakah kira-kira bisa menyatu, Hani?" tanyanya sembari menyebut nama panggilanku. Nama yang sebenarnya ia berikan, dan aku terima karena lebih mudah diucapkan daripada Marhani.

Aku berupaya menjawab logis menurut aturan ilmu alam,

"Aku rasa tidak, Janneke," kataku.

"Kenapa?" tanyanya heran.

"Kan matahari ada di siang hari, bulan di malam hari," jawabku pelan. Di saat itu aku merasakan ada angin berembus di dalam hutan. Suasana pun jadi sejuk. Bau pinus juga menguap ke mana-mana seiring angin berembus, "Kalau keduanya bersatu, nanti semesta akan hancur karena keluar dari sistemnya,"

"Kalau begitu, biar nanti aku yang buat keduanya bersatu, dan mereka harus bersatu supaya bisa mudah diatur," jawab Janneke dengan ambisius. Aku yang mendengar ini kurang suka karena sudah menyalahi aturan semesta. Aku langsung menanggapinya,

"Apollo tidak bisa begitu saja memaksa Ratih, kawan. Kasihan!"

"Siapa itu Ratih?" tanya Janneke kebingungan atas jawabanku. Apalagi aku menyebut nama yang asing baginya. Nama yang sering disebut orang-orang di Balewarge.

"Itu orang yang tinggal di bulan,"

Aku lihat Janneke masih bingung.

Hari demi hari aku selalu bermain dengan Janneke bahkan saat bersekolah. Aku saat bersekolah ini merasakan ketidaknyamanan karena teman-temanku yang tinggi seperti raksasa dengan tatapan yang meremehkan. Mereka begitu karena aku tampak bagai liliput. Tetapi, Janneke selalu melindungiku. Ya, ia adalah salah satu raksasa yang baik. Dari sini aku menyadari perbedaan aku dan mereka.

Perbedaan itu semakin terasa lagi saat aku dan dia memutuskan mandi bersama setelah berlari pagi. Ketika Janneke satu per satu membuka semua yang membalut dirinya, aku melihat sebuah batu pualam putih yang bersinar seperti Minerva. Lekukan tubuhnya sungguh luar biasa apalagi pahatan itu tampak sempurna. Aku merasakan diriku iri dan minder ingin seperti dia. Saat aku memandang diriku yang tidak putih dari atas sampai bawah, aku merasa tidak percaya diri. Apalagi saat aku memandang diriku sendiri di cermin sehabis mandi. Aku perhatikan keseluruhan tubuhku. Muka dan kulitku benar-benar sawo matang bahkan pada bagian sensitifku. Ah, aku memang berbeda dengan dia dan ingin seperti dia.

Semakin hari semakin terlihat semua perbedaanku dengannya. Apalagi saat kami berdua menginjak masa remaja dan dewasa. Di masa ini Janneke kulihat gemar memamerkan bagian-bagian tubuhnya dengan memakai baju setengah terbuka. Ia sering memamerkan punggungnya, bahunya hingga terlihat belahannya serta pusar. Bahkan ia sering memakai bawahan yang memerlihatkan pahanya yang memang mulus. Katanya, demi kebebasan dan kenyamanan berekspresi. 

Berbeda denganku yang disuruh memakai pakaian sopan dan tertutup. Awalnya aku merasa tidak nyaman karena aku beranggapan aku punya tubuh yang ingin aku perlihatkan juga seperti Janneke supaya orang-orang tahu. Tetapi ayah dan ibuku selalu bilang,

"Marhani, kita ini orang Timur, bukan Barat. Kita tahu sopan santun dan adab. Jangan kamu seperti mereka. Kita harus berbeda. Punya identitas. Tidak boleh barang pribadi kamu kamu perlihatkan ke orang lain. Jangan, Nak! Bahaya! Apa kamu mau buku kamu Ayah atau Ibu ambil? Nggak, kan? Jadi, berpenampilan sopanlah dan tahu adab,"

Pada akhirnya mereka benar. Bahwa aku harus berbeda. Aku bukan mereka. Mereka juga bukan aku. Aku harus punya pembeda dengan mereka. Harus. Aku sawo matang, dia putih. Karena itu juga aku sering menolak ajakan Janneke untuk berpesta bareng dengan lawan jenis serta meminum bir bahkan membawa pulang pria ke rumah. Aku merasakan itu semua tidak sesuai dengan diriku. Aku pikir wanita tetap harus bisa jaga kehormatannya saat bergaul supaya tidak mudah dipermainkan oleh para lelaki.

Akibat perbedaan pandangan itu pula, hubunganku dengan Janneke merenggang. Kami saling menjauh dan tidak pernah bertegur sapa lagi. Aku sebenarnya tidak mau begini. Cuma aku membawa prinsip jika di tanah orang aku harus pertahankannya supaya tidak mudah hanyut oleh arus di sekitar. Ini identitasku. Tiada apalah aku korbankan pertemanan ini, yang penting identitasku jangan sampai.

Akan tetapi, Janneke yang tidak bertegur sapa denganku tiba-tiba datang kepadaku dengan marah-marah. Aku jujur terkejut orang ini tiba-tiba ada di depanku namun dengan kondisi yang jelek,

"Kamu berani-beraninya mengalihkan perhatian Ruud dariku!" Ia begitu emosi. Aku yang dibegitukan mencoba tenang, dan jangan terpancing seperti harimau yang selalu bisa berjalan tenang dalam gelapnya hutan namun tetap waspada akan bahaya yang bisa mengancam.

"Kamu apakan dia? Kamu mantra-mantra ya! Dasar kurcaci coklat!"

Aku jujur tersinggung disebut seperti itu karena itu sama saja merendahkanku. Ingin aku membalas cuma aku diam saja. Aku tak mau ada keributan. Aku tahu soal Ruud itu. Pemuda rupawan yang tinggi, dan juga pirang seperti Janneke. Tapi aku tidak seperti yang ia bilang. Ruud memang menyukaiku, dan mencoba merayuku bahkan hendak memegang tanganku tapi selalu aku tolak karena tidak sopan, dan tidak sesuai adat dan identitasku sebagai orang Timur. Janneke yang tahu aku diam lagi-lagi cuma bisa mencak-mencak. Aku yang tidak tahan akhirnya cuma bilang,

"Sebaiknya kamu tanya ke Ruud langsung," Ia lalu terdiam dan berlalu dari hadapanku. Semenjak itu aku tak pernah bertatap muka lagi dengannya bahkan ketika aku akhirnya pulang ke Balewarge bersama orang tuaku yang memutuskan kembali karena merasa di Lagelanden sudah tidak memberikan kenyamanan dan penghidupan lagi.

Aku pun kembali ke asalku. Di sini aku bertemu keluarga besarku yang asli Balewarge. Aku diajarkan silat oleh kakekku, Engkong Ali, untuk jadi pegangan supaya tidak ada lelaki yang kurang ajar terutama para hidung belang. Apalagi kondisi di Balewarge yang semakin hari semakin membahayakan bagi para wanita. Aku kemudian juga mengambil kuliah tentang lingkungan dan selepas lulus aktif sebagai pegiat lingkungan untuk menyuarakan rusaknya ekologi di Balewarge terutama sungai yang semakin kotor. Tentu beda sungai di Balewarge dan Lagelanden. Perlahan semua tentang Janneke hilang.

Namun, semua terasa berubah ketika ada berita marak di televisi dan media sosial bahwa sering terjadi pembunuhan orang-orang di jalanan secara acak. Banyak yang melihat yang melakukan itu adalah sesosok makhluk seperti serigala. Aku langsung berpikir sembari bertanya, apa itu dia?

Ketika itu sering terjadi aku malah jadi yakin kalau itu dia, dan selalu terjadi di malam hari. Gara-gara ini sampai-sampai kakekku bilang, 

"Neng, udah saatnya lo turun ya. Kasih pelajaran tuh serigala. Keluarin harimau yang udah Engkong ajarin,"

"Iya, Kong," kataku.

Kemudian ada sebuah pesan tak dikenal yang muncul di WA telepon pintarku. Aku hanya heran nomorku bisa-bisanya dimasuki sebuah pesan yang berbunyi,

"Wanita harimau, keluar kau! Sudah lama aku mencarimu. Di lapangan kita buktikan!"

Aku yang membaca pesan ini semakin yakin kalau ini adalah Janneke, si wanita serigala yang meneror di malam hari.

***

"Hari ini aku ingin tuntaskan dendamku padamu, Hani" kata Janneke dengan mata tajam dan raut muka menunjukkkan rasa tidak sukanya padaku setelah perpisahan tidak menyenangkan lima tahun silam. Ia tampak bersiap-siap dengan posisi kuda-kuda tangan hendak meninju, dan posisi kaki kiri ke depan, dan kanan memanjang di belakang. Tampak ia juga sudah belajar bela diri sama sepertiku. Tapi tentu saja ia bela diri ala Barat. Aku merasa itu Savate. Sedangkan aku Pencak Silat.

"Silakan saja kamu tuntaskan dendamu," kataku tegas dan menantang balik. Suasana dingin mulai menjadi panas, "Tapi, jangan kamu bunuh orang-orang di sini yang tidak tahu apa-apa. Jangan buat kekacauan di tempatku karena aku tidak pernah berbuat yang sama di tempatmu!"

"Justru aku ke sini untuk datang mengacau, dan nanti biar aku satukan matahari dan bulan" ujarnya yang tampak memuncak emosinya seperti Freya yang gemar bertarung. Hal yang aku tidak suka karena Freya itu agresif. Aku harus melawan sifat ini yang jika dibiarkan malah mengancam identitas orang-orang di Balewarge.

Aku lihat Janneke yang tiba-tiba saja memuncak emosinya dengan berteriak mulai berubah pada fisiknya. Tangan dan kakinya serta badannya perlahan membesar dan berbulu lalu muncul kuku-kuku tajam di kaki dan tangannya itu. Baju yang ia pakai beserta celana panjang dan sepatu semuanya terkoyak dan hancur. Lalu kepalanya maju ke depan dengan perubahan pada mata yang membesar, kuping yang memanjang. Dari moncongnya muncul gigi-gigi tajam yang berliur. Ia lalu melolong panjang. Kini benar Janneke adalah manusia serigala.

Aku tentu saja tidak tinggal diam. Aku harus lawan monster besar warna hitam ini yang terlihat nafsu seperti kelaparan dan buas. Aku pasang kuda-kuda ala silat dengan mencondongkan badan ke depan kemudian posisi tangan kanan dan kiri juga. Kaki kanan juga ke depan, dan kiri panjang ke belakang.

Aku konsentrasi ke depan pada tubuh, pikiran, dan jiwaku. Aku rasakan ada gejolak dalam diriku. Sebuah energi yang luar biasa. Energi yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Energi ini menuntunku untuk melepas raga manusiaku. Benar-benar seperti gairah yang memuncak. Aku rasakan ada perubahan pada tangan dan kakiku. Mereka membesar, ada buku-bulu lebat pada mereka, bulu-bulu kuning dengan loreng-loreng hitam. Kemudian ada kuku-kuku yang memanjang tajam. Aku rasakan keterkejutan juga kesakitan saat ada perubahan gila padaku. Seperti disuntik vaksin berkali-kali. Perubahan juga terjadi pada badanku. Membesar sampai merobek pakaian yang aku kenakan. Bahkan sandal gunung pun hancur terkoyak. Kemudian pada kepala aku mulai merasa kepalaku membesar, maju sedikit ke depan lalu telinga berubah juga membesar. Hidungku pun berubah mendelep dan ada kumis-kumis melintang di dekat mulutku yang juga berubah searah dengan mulut. Aku setelah itu menggeram kencang menantang si manusia serigala. Kini aku adalah Marhani si wanita harimau. 

Aku pasang kuda-kuda siap menyerang dengan auman kencang. Ia juga kulihat sembari melolong lalu menatap ke arahku dengan tajam. Makhluk ini harus segera diberi pelajaran. Aku meloncat tinggi ke arahnya. Dia juga. Sebuah pertarungan besar baru saja akan dimulai. Malam dingin sehabis hujan dan petrikor itu jadi saksi.


0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran