Tersebutlah Abah Denom. Ia seorang sesepuh sekaligus ketua sebuah kampung yang cukup dihormati. Kampung yang dipimpinnya berada di antara dua gunung dan dua sungai serta dibatasi oleh hutan-hutan lebat yang sangat hijau. Di kampungnya itu terdapat banyak sawah yang menghampar bagai lautan beserta kebun pisang dan singkong. Setiap hari burung-burung selalu bercericau jika matahari pagi timbul dari peraduan untuk menyemaikan sinarnya. Lalu setiap malam burung-burung hantu bersenandung bersama para jangkrik dan tongeret membentuk alunan nada untuk melukis malam yang selalu ada hamparan bintang di langit.
Dalam kampung yang bagai kampung negeri dongeng itu, Abah Denom adalah seorang pemimpin yang sangat dihormati. Bersama dengan Ratu Merangin, istrinya, ia sangat dicintai semua rakyatnya. Rakyatnya ini menganggap Abah Denom dan keluarganya bagaikan para dewa dan dewi yang mampu memakmurkan, juga menyejahterakan rakyatnya. Keadilan sangat ditegakkan tanpa pandang bulu. Orang-orang kepercayaan Abah Denom juga tak segan membantu rakyat bila ada kesusahan. Apalagi Abah Denom juga sering turun mendengarkan aspirasi dengan singsingkan lengan di baju. Rakyat pun tersenyum lebar, dan selalu mendoakan Abah Denom.
Abah Denom akan selalu tersenyum lalu akrab dengan rakyatnya sembari ia membenarkan kacamata bulat besar dengan corak labirin dan lingkaran pada lensanya. Sebab, dari situlah ia selalu bisa memandang dan bertindak.
Tapi....
Apakah kamu percaya begitu saja dengan cerita di atas?
Kalau aku sih nggak ya. Mohon maaf, bukannya meremehkan atau ingin menertawakan hagiografi murahan ini, cuma kenyataannya tidak seperti yang kamu baca, kamu bayangkan terus kamu lihat. Oh, tidak seperti itu. Jangan berharap ini seperti lukisan-lukisan pemandangan indah para naturalis yang cuma bisa menganggungkan keelokan dalam sebuah bingkai tetapi melupakan mereka yang di luar bingkai. Ini juga bukan lukisan sang tokoh heroik yang selalu digambarkan paling depan dan paling menonjol sehingga tak pernah memberi ruang bagi orang-orang yang dalam tanda petik berjasa namun ya dilupakan.
Ini semua adalah kebalikannya.
Abah Denom. Apa yang harus aku gambarkan tentang sosok yang selalu diagung-agungkan dalam buku-buku yang selalu baca, buku sejarah tetapi bercampur mitos-mitos ilahiah? Buku-buku yang sedari kecil aku lahap lalu aku telan sehingga yakin Abah Denom adalah sesosok Ratu Adil yang turun untuk memakmurkan kampung Griya Buana, kampung yang dipimpin oleh sosok ini, dan selalu jadi kampung yang indah.
Oke, baiklah, aku tidak mau berpanjang lebar soal ini nanti kamu bosan membaca ceritaku ini. Abah Denom bagiku tidak lebih adalah seorang pembohong. Pembohong kelas wahid. Dia bilang adalah seorang pemimpin yang dihormati sekaligus dicintai oleh semua rakyatnya. Lalu disebut juga kampung Griya Buana ini adalah kampung yang makmur, adil, dan sejahtera. Ah, omong kosong apa lagi ini? Omong kosong yang selalu meninabobokan.
Mari sekarang kita ubah pandangan kalian soal lukisan indah yang mewujud di kampungku. Kita hapus semua warna cerahnya, dan kini jadi sebuah lukisan yang sangat kelam dan menyeramkan. Di sinilah yang sebenarnya terjadi.
Abah Denom itu adalah seorang diktator. Ia memerintah dengan tangan besi. Tak pernah sekalipun ia dicintai dan dikagumi rakyatnya luar-dalam. Rakyatnya selalu dalam keadaan tersiksa serta dalam keadaan muram. Mereka bekerja bukan untuk diri mereka tetapi untuk si penguasa yang masih saja menganggap rakyat mencintainya berdasarkan kacamata yang ia pakai. Rakyat katanya selalu tersenyum lebar dengan gigi berseri saat ia datang ke mereka padahal mereka tidak bisa tersenyum. Kalaupun tersenyum, itu pun dipaksakan, dan ketika itu terlihat gigi-gigi mereka yang patah dan ompong.
Alih-alih memanfaatkan sumber daya yang ada untuk kepentingan bersama, ia malah menyuruh rakyat kerja paksa lalu hasilnya diberikan kepadanya. Jika tidak diberi siap-siap para paman gembul yang jadi pengawalnya akan menghajar dengan pentungan bahkan sampai tewas. Sudah terkuras pula tenaga dan pikiran, Abah Denom malah memberi beban berupa pajak yang is sebut sebagai bentuk kecintaan rakyat pada raja. Pajak-pajak itu akhirnya hanya dinikmati oleh segelintir elite di samping Abah Denom.
Pernah ada seseorang yang kritis lalu menyuarakan perlawanan. Namun, ujung-ujungnya ia malah dirapikan sampai tewas. Semenjak itu tak pernah ada lagi protes, dan rakyat mau tidak mau harus hidup dalam keadaan tertekan lahir-batin. Seharusnya mereka yang jadi tuan, buka para penguasa.
Abah Denom selalu disebutkan berpenampilan aristokratik bagai raja-raja di masa silam yang membawa mandat ilahi, dan selalu memakai kacamata yang tampilannya tidak biasa. Kacamata inilah yang selalu panduan bagi Abah Denom dalam melihat dunia. Kacamata itu tak pernah sama sekali dilepas bahkan dalam urusan ranjang pun. Ketika terlelap pun kacamata itu selalu akrab di dirinya.
Banyak yang melihat kacamata itu adalah sumber masalah. Aku demikian. Kacamata yang aku menyebutnya sebagai kacamata kuda karena Abah Denom selalu berpegangan padanya tidak mau mengganti dengan yang lain.
Bagi yang melihat dengan kacamata lain atau baru saja ke kampung Griya Buana akan terkejut luar biasa terhadap fakta yang ada di depan. Pernah suatu ketika ada seorang turis dari kampung lain yang memang ingin berekreasi untuk menikmati keindahan di Griya Buana ternyata mendapatkan hal yang ironis.
Dua sungai yang ada di kampung sebagai sumber kemakmuran malah berubah kotor. Airnya hitam kecoklatan dan bau. Ikan-ikan yang ada di dalamnya pada mati bermunculan dan menggelepar. Tak hanya itu, binatang yang lain juga pada teler meminum air sungai yang kotor itu karena keserakahan salah satu anak buah Abah Denom yang mendirikan sebuah pabrik di pinggir sungai.
Kebun-kebun pisang dan singkong yang juga jadi sumber penghasilan malah dirusak oleh para Buto Ijo yang sebenarnya harus menjaga perbatasan kampung. Para Buto Ijo ini juga bersama Paman Gembul sering berkongkalikong dan main di bawah tangan dengan mereka yang gemar memberikan suap supaya aksi lancar terlaksana.
Hamparan sawah yang membentang itu juga tak luput dari keserakahan para serigala berbulu domba. Sawah dihancurkan, diubah jadi sebuah rumah bordil. Mereka yang sawahnya diambil paksa cuma bisa meratap, dan malah akhirnya bekerja di sawah yang dikuasai para serigala tersebut. Lagi-lagi paman gembul dan Buto Ijo bermain dan malah ikut meneror rakyat.
Si turis yang terkejut ini sungguh tak habis pikir dengan apa yang terjadi di Griya Buana lalu membandingkan dengan kampungnya yang benar-benar makmur, rakyat berkuasa, dan para pejabat jadi teman akrab sehingga tidak ada jarak. Ia bersyukur lahir dan hidup di kampung yang tenang dan damai.
Ia juga tak habis pikir dan terkejut kalau Ratu Merangin itu sebenarnya adalah lelembut yang menyamar jadi seorang manusia. Seorang manusia yang normal tentu akan segera menyadari dan menjauh dari lelembut menyeramkan itu. Tapi, ini malah sebaliknya. Semua ini gara-gara kacamata kuda itu yang menghalanginya melihat dunia dari sudut pandang lain.
Soal kacamata kuda ini, pernah juga ada seseorang dari kampungku berupaya mengganti kacamata kuda yang ada di muka Abah Denom dengan sebuah kacamata yang super bening. Tapi, apa daya Abah Denom tidak mau karena katanya pusing saat mencoba kacamata super bening tersebut. Karena pusing itu juga ia menyuruh para paman gembul untuk merapikan orang ini luar dalam. Sejak saat itu, di orang yang memberi kacamata ini tak pernah terdengar lagi kabarnya.
Nah, itulah mengenai Abah Denom. Jangan selalu memuja dan memujinya karena semua tidak sesuai dengan fakta yang ada. Jadi, jangan percaya pada lukisan yang indah itu karena sebenarnya itu kelam dan menyeramkan. Aku yang berada di luar Griya Buana sebenarnya sudah sangat muak dengan kondisi ini. Aku muak kampungku yang indah malah jadi dikoyak-koyak jadi hancur oleh manusia yang selalu memandang dunia dengan kacamata kudanya.
Ya, akibatnya, dunia akan selalu berwarna dan baik-baik saja. Aku ingin melawan namun aku paham aku cuma seorang pencerita yang ada di luar, dan sekarang aku berharap pada mereka yang ingin menggelorakan perlawanan untuk menjungkalkan orang tua kolot ini.
"Oke, semua siap?" tanya seseorang kepada orang-orang yang berdiri tegak di depannya sembari menenteng ketapel juga ponsel pintar di masing-masing tangan.
Mereka kemudian kompak menjawab,
"Siap!!!"
Kemudian orang yang merupakan komandan ini segera berseru kepada anak buahnya ini,
"Malam ini kita serbu dan gulingkan Abah Denom juga hancurkan kacamata kudanya!"
Mereka bersorak-sorai lalu bergerak bergerombol menuju Griya Buana. Aku yang melihat dari puncak pucuk merah segera terbang mengiringi mereka dari atas. Aku pun membatin senang, revolusi sudah dimulai!
0 komentar:
Posting Komentar