Pages

Senin, 29 September 2025

Jangan Tergila-gila pada Nafsumu!


Mobil pikap warna putih itu melewati kerumunan orang-orang yang tengah lalu lalang pada sebuah pasar yang cukup ramai di pagi hari. Sinar matahari menerpa lukisan hidup tersebut. Memberikan warna kuning dan oranye yang menerpa orang-orang tersebut lalu memunculkan sebuah bayangan yang terpantul. Di pasar tentu saja banyak ragam aktivitas. Tak hanya jual-beli tetapi gosip-gosip murahan dari bapak-bapak, baik dari para penjual atau para petugas keamanan pasar. Terkadang dalam gosip-gosip itu juga ada ibu-ibu yang nimbrung, kebanyakan yang berbelanja.

Gosip-gosip murahan ini melintas bersama dengan bau amis dari ikan yang dijual, bau segar dari sayur-mayur dan buah-buahan yang selalu terpajang rapi dan mengilap, serta bau daging-daging ayam dan sapi yang sangat mencolok di hidung. Dan, begitulah yang setiap hari terjadi di pasar apalagi sebuah pasar besar yang takkan pernah mati. Mobil pikap yang melintasi pasar beraneka macam kebutuhan perut itu kemudian melintas ke bagian pasar yang lain. Sebenarnya bukan cuma pikap putih tapi ada juga kendaraan lain berupa motor bebek dan motor angkat barang yang menjejak roda di atas aspal pasar yang tidak pernah kering dan berbecek.

Pikap putih itu melintas di bagian pasar yang menjual sapu lidi, sapu lantai, pengki, panci, kompor, dan barang-barang rumah tangga lainnya yang hanya berfungsi bukan untuk selera kampung tengah. Saat melintas itu ada seseorang bermotor kumbang warna merah dan hijau muda menghentikan mobil yang melintas pelan. Ia memang kenal dengan sopir dan orang yang berada di tempat menaruh barang di belakang.

"Ron, apaan tuh di belakang yang ketutup terpal," katanya heran karena melihat sesuatu yang ditutup kain terpal warna biru. Barang yang tertutup itu tampak dalam keadaan berdiri, "Gede banget kaya orang?"

"Ah, kau tidak tahu saja itu apa?" kata si sopir dengan tatapan malas serta mulut yang juga malas menjawab. Ia lalu mengeluarkan kepalanya dari jendela, dan memanggil temannya yang ada di tempat menaruh barang di pikap,

"Hai, kau, Jon" katanya dengan suara sedikit besar untuk mengalahkan suara ramai di pasar, "Kau jelaskan saja ke Si Curut ini barang yang kita bawa!"

Orang yang dipanggil Jon itu segera memanggil Si Curut, si pengendara motor kumbang, "Hai, kau kemari saja ke sini!"

Si Curut segera turun dari motor kumbangnya kemudian segera naik ke belakang pikap. Kini dilihatnya dari dekat barang besar yang diterpal itu. Memang benar barang itu setinggi orang dewasa namun lebarnya seperti lebar sebuah lemari 3 pintu. Ia lalu melihat ada batu-batu ukuran sedang mengganjal bagian bawah terpal.

"Memang apa ini?" tanya Si Curut yang tambah penasaran, " Boleh saya lihat?"

Menanggapi penasaran Si Curut, Jon berkata santai,

"Ya, paling habis itu kamu biasa lagi,"

Jon kemudian mengambil batu yang mengganjal terpal setelah itu ditariklah terpal hingga menurun. Dari situ perlahan terlihatlah sebuah benda berupa patung yang tampak terbuat dari batu kali. Pahatannya begitu detail dan sangat presisi. Patung-patung adalah patung 3 orang dewasa namun dalam gestur yang ketakutan. Hal itu terlihat dari mulut ketiga patung yang berteriak dengan mata membelalak, dan salah satu patung malah tangannya ke depan seperti orang yang hendak menghalangi sesuatu. Semua tampak sempurna dan terlihat nyata seolah-olah itu bukan patung dari batu kali dari orang yang dikutuk jadi patung.

Ketika itu tersingkap, Si Curut langsung berubah pandangannya, dan benar kata Jon, ia merasakan hal yang biasa,

"Ah, ini mah kerjaan Nenek Marniah," katanya setelah itu, "Saya kira hal lain yang bagus,"

"Nah, kan saya bilang juga apa?" kata Jon mengonfirmasi anggapannya tadi yang memang benar.

"Heran, masih aja yang berani godain Nenek Marniah?" tanya Si Curut heran, "Apa orang-orang ini nggak tahu kalau dia marah orang bisa jadi batu?"

"Kayaknya mereka bukan orang sini," kata Si Jon menanggapi, "Makanya sembarangan aja. Kalau orang sini kan udah pada tau," Ia lalu melihat orang-orang yang pada berlalu lalang di antara mereka. Tampak mereka biasa-biasa saja, tidak heboh soal patung yang diperlihatkan di atas pikap.

"Ini mau dibawa ke mana, Jon?" tanya Si Curut

"Ya, dibuanglah" kata Jon, "Orang benda nggak guna gini ngapain dipajang?"

Saat mereka bicara, Ron, si sopir menoleh dan berteriak,

"Udah belum ngobrolnya?" tanyanya dengan tatapan keheranan, "Ngobrol kok kaya ibu-ibu,"

Mendengar itu, Si Curut dan Jon segera mengakhiri pembicaraan mereka. Si Curut lalu turun sedangkan Jon segera menutupi tiga patung dengan terpal dan memasang batu untuk mengganjal.

Mobil pikap putih itu melaju kembali menuju ke tempat pembuangan patung sementara Si Curut bermotor ke arah berlawanan. Suasana kembali seperti sedia kala dan seperti tidak ada apa-apa. Namun akan timbul pertanyaan soal 3 patung dan Nenek Marniah. Mengapa dan siapa dia? Tentu, kamu penasaran kan?

Baiklah, kita coba ceritakan dulu supaya ketahuan titik temunya. Jadi, di sebuah tempat bernama Rawa Bulak, ada seseorang yang sudah cukup tua bernama Marniah. Usianya sekitar 65 tahun, dan memang tergolong lansia. Nenek Marniah ini tinggal di sebuah pondok dari bambu yang di dalamnya juga ada pohon bambu serta pagar-pagarnya juga dari bambu. Rumah bambunya berbentuk panggung. Hal ini sangat berbeda dari rumah kanan dan kirinya yang berbentuk kotak dan menempel di tanah. Jarak antara rumah bambu Nenek Marniah itu adalah 3 meter sehingga ada jalan atau celah di antara rumahnya dan rumah-rumah sekitar. Ia sendiri tinggal bersama dengan seorang cucu bernama Piah. Cucunya ini adalah seorang wanita muda yang kulitnya bening susu dan selalu tampak bersinar, yang tentu saja menarik minat orang-orang di Rawa Bulak. Tetapi, Piah ternyata belum mau dengan alasan ingin konsentrasi ke Nenek Marniah dahulu.

Nenek Marniah sendiri orang yang sangat baik, ramah, serta tidak segan membantu orang-orang sekitarnya kala dibutuhkan. Akan tetapi, ia tidak segan-segan akan menjadi sesuatu yang menakutkan jika orang-orang itu berani macam-macam atau mengganggunya atau juga mengganggu cucunya. Mereka yang kena marah Nenek Marniah kebanyakan akan dikutuk jadi patung yang nilai seninya sangat indah, dan mengalahkan patung-patung marmer putih dan krem di rumah orang-orang berada.

Nah, karena itu, banyak orang akhirnya segan dan hormat kepada Nenek Marniah. Tak sekalipun yang mencoba mengusik bahkan untuk perkara yang kecil. Anak-anak kecil pun tahu diri. Mereka tidak berani mendekat apalagi sekadar memanjat pagar bambu rumah Nenek Marniah. Jika mereka bermain layangan, dan layangan itu putus lalu mendarat di halaman rumah Nenek Marniah atau atap rumahnya, ya mereka ikhlas saja daripada nanti jadi patung yang malah ujung-ujungnya ditimbun di halaman rumah masing-masing. Kalau ada anak yang jadi patung, para orang tua anak ini cuma bisa pasrah alias terima saja daripada urusannya panjang.

Sebenarnya, Nenek Marniah itu tidak seperti itu mengutuk mereka yang menganggunya atau menganggap cucunya jadi patung batu kali. Ia tidak marah seperti halnya si ibu Malin Kundang atau Medusa, tetapi ada sesuatu yang buat mereka jadi patung, dan ini tidak boleh dilihat sama sekali. Lalu apa sesuatu itu? 

Saya tidak akan ungkapkan dulu tapi kita akan ceritakan kejadian yang menimpa 3 pemuda yang dikutuk jadi patung. Semua berawal dari 3 pemuda ini yang tampaknya bukan dari kampung sebelah. Mereka adalah Irwan, Fandi, dan Rudi. Ketiganya adalah pemuda maniak seks alias gemar berhubungan badan berulang kali tanpa masa bodoh dengan raja singa yang akan timbul suatu hari. 

Namun, ketiganya ternyata lebih suka berhubungan badan dengan nenek-nenek, bukan dengan wanita muda yang kencang dan berisi kulitnya. Ada sesuatu yang membuat mereka terpesona menumbuk batang pada orang-orang yang sudah turun mesin, kulit berkeriput serta bau tanah. Mereka merasa nenek nenek itu adalah objek yang bisa dengan mudah dijadikan pelampiasan hasrat mereka yang membabi buta. Apalagi kebanyakan nenek-nenek tidak bisa melawan dan cepat pasrah sehingga enak rasanya bisa mengeluarkan cairan hina hasil dari imajinasi yang terlalu liar. 

Irwan, ia sering berhubungan badan dengan lansia karena ia tiba-tiba merasa nafsu melihat neneknya sendiri yang hanya memakai handuk setelah mandi. Hal yang kemudian keluarganya terguncang. Ia kemudian dihukum keluarganya lalu diserahkan ke polisi, dan dipenjara. Selepas dari penjara, ia yang tahu tidak akan diterima keluarganya kini berkelana dari satu tempat ke tempat lain, mencari para lansia untuk memuaskan hasrat seksualnya.

Kemudian Fandi, yang menyukai berhubungan dengan lansia karena tidak sengaja juga melihat tetangganya yang sudah lansia hanya memakai daster tanpa lengan sehingga terlihat lengannya dari atas hingga bawah. Membuat Fandi berhasrat, dan dengan nekat bersetubuh dengan tetangganya itu. Namun, tetangganya itu malah ketagihan karena ada anak muda yang akhirnya menjebol kesuciannya. Usut punya usut ternyata si nenek itu belum pernah kawin. Apalagi si nenek itu tinggal sendiri, dan setiap malam mereka berdua selalu berpesta.

Terakhir, Rudi. Ia sering dan suka berhubungan dengan nenek-nenek karena mengalami trauma dan kekecewaan terhadap wanita yang masih muda-muda yang kolagen di kulitnya masih kenyal. Para wanita muda itu baginya cukup juga menakutkan sehingga Rudi enggan berhubungan badan dengan mereka lagi. Lagipula dengan nenek-nenek ia bisa dengan puas karena tidak ada perlawanan sama sekali.

Suatu hari 3 pemuda ini datang ke Rawa Bulak. Jalan-jalan sekaligus mencari mangsa berupa nenek-nenek yang akan mereka mainkan bareng-bareng. Mereka sama sekali tidak tahu Si Nenek Marniah itu karena di pikiran mereka cuma seks, seks, dan seks. Setelah jalan-jalan ke sana kemari di Rawa Bulak, mereka lantas memutuskan beristirahat di sebuah warung makan. Di warung makan itu yang melayani seorang perempuan muda cantik tampaknya gadis yang dari mata orang normal, seharusnya membius pandangan apalagi bagi hidung belang yang ternyata sudah punya banyak buntut.

Namun, mereka sebaliknya. Menganggap perempuan muda ini biasa-biasa saja karena mereka lebih tertarik ke nenek-nenek.

"Apa di sini udah nggak ada nenek-nenek lagi ya?" keluh Irwan yang ditanggapi oleh Rudi yang juga sama mengeluhnya, 

"Iya, nih, banyakan yang muda semua,"

"Kalau nggak ada kita pulang aja, yuk!" ujar Fandi yang tampak lelah, "Bikin capek aja,"

Saat seperti itu melintaslah Nenek Marniah dengan memakai kebaya hijau toska serta kain jarik pada bagian bawah dengan corak batik parang. Pada rambutnya ia tutup dengan selendang warna kuning. Ketiganya lantas bagai digebuk oleh martil, malah terpesona saat Nenek Marniah melintas. Mereka tampak melihat ada sesuatu yang bersinar dari tubuh lansia tersebut. Meski lansia, Nenek Marniah masih berjalan tegak dan cepat. Bagi orang yang melihatnya itu bukan nenek-nenek tetapi wanita muda yang menyamar. Namun bagi 3 orang ini, Nenek Marniah itu tetaplah nenek yang segera menimbulkan hasrat liar bagai serigala yang akhirnya menemukan kelinci yang dinanti-nanti.

Mereka tampak salah tingkah dengan Nenek Marniah itu sampai-sampai Fandi malah menuangkan air di atas kepala Irwan yang kemudian terkejut. Nah, karena hal itu juga, Rudi segera bertanya ke si penjual warung,

"Itu siapa tadi yang lewat?" tanya Rudi disertai dengan hasrat yang tiba-tiba bergolak kencang dan membuncah. Ia tampak tidak sabar menunggu jawaban,

"Oh, itu Nenek Marniah," kata si penjual warung makan yang tampaknya menyadari sesuatu yang tidak beres dengan Rudi apalagi ketika Rudi bertanya,

"Dia tinggal di mana?"

Si penjual warung makan yang merasakan ketidakberesan itu menjawab,

"Itu di rumah bambu nggak jauh dari warung ini, lurus aja," ketika si wanita muda ini menjawab, Fandi dan Irwan segera menoleh. Si penjual warung makan melihat ada juga sesuatu yang tidak beres pada Irwan dan Fandi. Ia lantas menilai ketiga orang ini tampak ingin berbuat macam-macam ke Nenek Marniah. Ia lalu berkata dengan memperingatkan,

"Mas-mas ini jangan berbuat nggak baik ya ke Nenek Marniah. Nanti kalau dia marah, mas-mas jadi patung,"

Mendengar itu ketiganya tertawa-tawa kencang,

"Memangnya dia tukang sihir?"

"Mak Lampir kali!"

Mereka kembali tertawa.

"Ya, udah saya cuma bilangin ya. Nanti jangan nyesal kalau udah kejadian. Cari yang muda-muda, Mas. Bukan nenek-nenek!" kaya si wanita penjual warung makan kesal dengan tingkah laku ketiga pemuda itu.

Selepas itu, mereka bertiga lantas mengikuti Nenek Marniah dari warung. Ketika sedang mengikuti itu, tiba-tiba di jalan mereka bertemu dengan Piah yang dari kejauhan sudah mengawasi tingkah para pemuda yang dipenuhi nafsu ini. Sama seperti si wanita muda di warung nasi, Piah yang terlihat sangat cantik bagi yang matanya normal, juga dianggap biasa saja.

"Kalian semua mau ke rumah Nenek Marniah ya?" tanya Piah dengan selidik. Ia tidak suka dengan tampang ketiganya.

Mereka bertiga kompak menjawab, "Ya!"

"Sebaiknya jangan ya," kata Piah mulai memperingatkan dengan tatapan tajam dan juga nada bicara yang tajam, "Nanti kalian menyesal. Kasian, dia juga mau istirahat!"

Angin berembus. Suasana yang tadinya terang perlahan akan gelap. Pertanda sore mau digantikan malam,

"Kalian pulang saja" kata Piah lagi, "Sebentar lagi malam. Sayang, kalau kalian cuma menuruti nafsu gila kalian. Pulanglah. Jangan sampai menyesal. Pagi bisa tidak kalian rasakan lagi.

Tapi apa peduli mereka apalagi jika nafsu sudah menguasai diri. Yang namanya logika dan akal sehat pun ampas. Ketiganya malah tertawa-tawa bahkan Fandi menantang,

"Katanya Nenek Marniah bisa ubah kita jadi patung ya? Kalau iya, buktikan!"

Melihat itu, Piah tidak habis pikir dengan ketiga pemuda ini yang matanya sudah gelap. Ia sedikit geleng-geleng kepala. 

"Oke, silakan, kalau itu yang kalian mau," kata Piah yang kemudian memilih mengalah saja. Toh, ia pun sudah memperingatkan. Ketiga pemuda itu melanjutkan perjalanan mereka menembus hari yang sudah gelap, lampu-lampu mulai dinyalakan, dan suara jangkrik dan tongeret bermunculan. Piah yang di belakang mereka setelah itu meloncat ke atas dan terbang.

Tak lama kemudian, sampailah mereka di rumah bambu itu. Mereka segera memanjat pagar lalu mendarat di halaman. Perlahan mereka coba masuk ke rumah. Saat mereka membuka pintu ternyata tidak dikunci sehingga mudah dibuka. Mereka bertiga lalu masuk. Dengan nafsu yang sangat menggebu-gebu mereka celingak-celinguk lalu berjalan pelan di dalam rumah yang ternyata besar juga, memeriksa setiap kamar yang ternyata tidak ada orang sama sekali. Hal ini membuat mereka bingung. Tapi mereka terus mencari sampai akhirnya menemukan sebuah kamar di belakang.

"Pasti dia di situ," kata Irwan. Mereka lalu membuka perlahan, dan ternyata di situ ada Nenek Marniah yang sedang tidur dengan dilapisi selimut. Bagai serigala lapar yang akhirnya mampu menemukan kelinci di pelupuk mata, dan dengan nafsu gila yang membayangi, segera diserbulah Si Nenek Marniah.

Dicengkeramnya kaki dan tangan Nenek Marniah lalu dicengkram juga bahu Nenek Marniah yang terbuka itu. Disingkaplah selimutnya. Ternyata Nenek Marniah memakai kemben. Mereka tambah bernafsu. Nenek Marniah yang dalam keadaan seperti itu tentu saja terkejut bukan main. Ia yang sedang berpetualang di alam mimpi seperti merasakan sebuah tarikan yang kuat pada dirinya. Ketika tersadar ia melihat ada 3 pemuda tak dikenal di hadapannya bahkan salah satunya sudah menggagahinya.

"Mau apa kalian?" Cuma itu yang bisa ia katakan dalam keterkejutannya. Namun itu tidak dijawab oleh ketiga pemuda itu yang semakin liar, dengan merobek kemben dan kain sehingga tidak ada sehelai benang pun yang menempel. Mereka semakin bernafsu gila, dan pesta sepertinya mulai digelar.

Nenek Marniah yang menyadari hal ini segera berkata supaya yang dilakukan ketiga pemuda yang sangat keterlaluan ini berhenti. Ia merasakan jantungnya berdetak sangat kencang dan tubuhnya gemetar. Ia yang terkejut bagaimanapun harus bisa mengendalikan situasi jangan sampai terbawa arus deras dari ketiga pemuda itu.

"Sebentar," katanya, "Kalian boleh main sama saya. Tapi tolong lepaskan dulu tangan kalian dari tubuh saya biar kita mainnya nikmat,"

Ketiga pemuda yang tampak bagai serigala lapar itu menuruti permintaan Nenek Marniah yang pelan dan lembut namun tegas. Nenek Marniah yang sudah tidak dalam keadaan berbusana itu kemudian berdiri dan meminta ketiga pemuda menjauh. Tampak terlihat kerutan-kerutan pada semua tubuhnya bahkan pada kewanitaan dan pesonanya.

"Sebelum kalian main sama saya. Ada yang mau saya perlihatkan!"

Ketiga pemuda yang masih terpesona oleh tubuh Nenek Marniah yang sebenarnya sudah tidak bisa dikatakan indah itu bingung dengan maksud Si Nenek. Tapi karena sudah dikuasai nafsu, mereka sudah tidak bisa berpikir sehat lagi.

Nenek Marniah yang dalam keadaan tanpa benang itu berdiri tegak. Matanya menatap tajam pada pemuda penuh nafsu itu dan seakan menantang mereka. Para pemuda yang tidak bisa menahan air liur mereka juga tonjolan pada diri mereka tampak ingin terus merajah tubuh itu. 

Sesuatu kemudian terjadi. Dari tubuh Nenek Marniah kemudian muncul sebuah sinar. Sinar yang perlahan membuat silau mata. Lalu terjadilah sesuatu yang buat mereka terhenyak. Sinar itu perlahan menghilangkan kerutan-kerutan pada tubuh Nenek Marniah juga pada bagian sensitifnya. Wajahnya terlihat muda begitu juga bahu, tangan, dan kakinya. Perutnya tidak lagi menurun malah menaik dan tegap berotot. Dadanya yang turun kini naik serta berisi. Kini ia tampak seperti apsara yang bersinar terang. Itulah wujud aslinya.

Para pemuda yang terhenyak itu jelas tidak bisa berkata-kata. Mereka terkejut bukan main dan berteriak karena ternyata di depan mereka bukanlah lagi nenek-nenek tapi seorang wanita muda. Sinar dari wanita muda yang memang apsara itu perlahan membuat tubuh ketiga pemuda kaku lalu mengeras, dan pada akhirnya menjadi patung manusia yang ketakutan. Selepas itu, sinar pada si Apsara memudar ia lalu memakaikan selimut pada dirinya.

Ia lalu berjalan mendekat ke arah patung, dan pandang ketiga patung dengan kasihan,

"Saya sebenarnya tidak mau kalian begini. Tapi kalian memaksa,"

Ia lalu memanggil Piah yang ternyata juga apsara. Piah yang melihat itu hanya menggelengkan kepala lalu berkata,

"Ketiga pemuda malang. Sungguh keras kepala,"

"Kamu buang mereka ke sungai pas pagi. Minta sama Ron dan Jon" kata si Apsara lalu menghela napas, "Kalau banyak yang muda kenapa harus suka sama yang tua dan berbau tanah? Heran,"

***

Jon bersama dengan Ron menggotong patung-patung yang sudah diturunkan dari pikap untuk ditenggelamkan ke dalam sebuah sungai besar. Tadi saat ia hendak menurunkan terdengar suara tangisan penyesalan yang tampaknya dari patung.

"Tolong, tolong, tolong, ampuni kami, ampuni kami, kami menyesal,"

"Ah, udah telat!" kata Jon tegas dan masa bodoh karena itu derita mereka tidak mau mendengarkan peringatan-peringatan yang sudah diberikan.

Ketiga patung perlahan mulai ditenggelamkan, dan air sungai tampak begitu senang menelan mereka satu per satu seiring dengan kicauan burung-burung pada pohon-pohon di pinggirnya. Matahari mulai bersinar sangat terang.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran