Juliana berlari sangat kencang seperti orang dikejar-kejar harimau ke dalam rumah. Tanpa memerhatikan kondisi di sekeliling ia langsung masuk ke kamarnya yang berada di dekat ruang tengah. Di situ ia langsung melompat ke ranjangnya kemudian menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang tinggi dan putih itu. Ia rasakan keringat keluar dari dari tubuhnya seiring dengan gemetarnya badan yang terasa bagai gempa bumi. Rambut pirangnya yang tadi kering pun basah seperti habis mandi. Ia menutup kedua matanya rapat-rapat seakan-akan tidak mau melihat sesuatu yang membuatnya berlari kencang.
Tak lama kemudian datanglah orang tua si Juliana yang sedari tadi melihat anaknya berlari kencang dari arah kebun belakang yang besar, rimbun, dan gelap walau di pagi dan siang hari. Sebuah kebun yang di situ ada pohon-pohon beringin yang cukup besar, pohon bambu, juga pohon pisang.
Kedua orang tua Juliana ini merasa heran dengan tingkah anaknya yang demikian. Mereka merasa ada yang tidak beres. Keduanya kemudian masuk ke kamar, dan mendapati anak mereka sedang menutupi diri dengan selimut begitu kencang. Tercium sebuah aroma yang wangi dari selimut itu berpadu dengan aroma dari suasana siang yang mendekati sore, hangat-hangat panas. Apalagi di luar jendela terlihat sinar matahari mulai berkurang warna teriknya, dari kuning menyengat ke oranye yang pudar.
Melihat anak perempuannya seperti orang yang ketakutan, si Bapak yang badannya tinggi tegap, berkulit putih namun kecoklatan, berambut pirang, dan bermata biru layaknya bule, dengan firasat yang kuat berkata pada istrinya yang juga punya ciri fisik hampir sama namun matanya coklat.
"Jangan-jangan mereka berulah lagi?" ujarnya sembari melihat ke Julia dengan tajam seperti busur panah. "Nggak ada kapok-kapoknya orang-orang ini!"
"Kamu jangan ngawur!" ujar istrinya menanggapi omongan suaminya yang terkesan main tuduh karena belum ada bukti yang kuat, "Bisa jadi bukan mereka, mungkin yang lain!"
Si Ibu segera berkata pelan pada Juliana yang masih ketakutan,
"Kamu kenapa, Nak? Kok lari-lari kayak habis melihat setan?"
Dari dalam selimut, Juliana yang ketakutan itu menjawab,
"Aku memang dikejar setan, Bu!" kata Juliana dengan nada besar untuk menegaskan hal yang baru saja ia alami "Mereka juga menakut-nakuti aku!"
Ibunya yang mendengar jawaban itu heran meski sebenarnya ia tidak merasa terlalu heran dalam hati. Ia lalu melihat ke suaminya. Sang suami hanya melihat tajam padanya seolah-olah ia ingin berkata bahwa firasatnya itu memang benar. Si Ibu lalu menoleh ke Juliana lagi yang masih betah membungkus dirinya dengan selimut.
"Memang siapa, Nak?" tanya sang Ibu yang sebenarnya tahu dalam hatinya tapi ia ingin mengonfirmasi ke anaknya.
Mendengar pertanyaan itu, Juliana segera membuka selimutnya. Dilihatnya kini wajah bapak dan ibunya. Sang Bapak diam menatap tajam. Kumisnya yang warna kuning semakin menegaskan diamnya itu. Si ibu tersenyum.
"Ah, Ibu jangan pura-pura nggak tahu!" ujar Juliana kesal setelah membuka selimutnya, "Siapa lagi kalau bukan para hantu penghuni kebun, kuntilanak, pocong, tuyul, dan genderuwo. Aku paling kesal dengan si genderuwo yang selalu terpesona sama kulit putihku sampai-sampai si kuntilanak meradang, dan mau mencekik aku! Emangnya Bapak sama Ibu nggak bisa ngusir mereka dari kebun kita. Bukan cuma di kebun kalau malam di teras belakang sering ada pocong meloncat-loncat nggak jelas, juga tuyul! Semuanya menyebalkan, dan nggak tahu kesopanan!"
"Lagian kamu ngapain main di kebun kalau di sana kamu diganggu mulu?" kini si ibu balik bertanya dengan nada dan tatapan tajam.
Juliana memperhatikan raut wajah ibunya, dan ia tampak ketakutan. Ia lihat wajah bapaknya yang tampak tidak berubah seperti wajah para petinggi di lukisan yang selalu tersenyum namun dipaksakan.
Juliana mulai mengubah nada bicaranya sembari tetap menatap ibunya,
"Kan aku ke sana ingin main, Bu, sekaligus menjelajah isi kebun kita. Ya buat apa punya kebun besar tapi tidak pernah dijelajahi?"
"Kalau kamu memang mau menjelajah, kamu harus berani, dan tunjukkan siapa kita mereka. Kita ini adalah raksasa. Masa takut sama tikus-tikus penganggu kayak gitu?" Kata sang ibu menegur sekaligus memotivasi Juliana. Ia kemudian melanjutkan bicaranya,
"Kita ini terdidik. Mereka tidak dan terbelakang. Kerjanya cuma bisa menakut-nakuti!"
Setelah itu, barulah sang Bapak berbicara dengan nada yang tegas.
"Kamu kalau ke kebun seharusnya bersama Johan. Biar ia yang akan menembak mereka! Bilang ke Bapak lain kali ke kebun biar Bapak suruh Johan!"
Setelah itu, si Bapak memanggil Johan. Beberapa menit kemudian datanglah seseorang berbadan tegap, mempunyai fisik yang sama dengan Juliana dan kedua orang tuanya serta memakai seragam militer dan ditemani seekor anjing herder galak yang selalu menggeram.
"Kau jaga Juliana kalau ke kebun!" Kata si bapak dengan tegas, "Kasih pelajaran setan-setan itu kalau perlu usir mereka!"
"Siap, Pak, laksanakan!" jawab Johan dengan singkat dan tegas.
Ranti menangis dengan suara yang nyaring. Nyaringnya itu hampir memekakkan telinga. Itu yang membuat Randu terganggu. Begitu juga Reda dan Anto.
"Kamu kenapa sih?" Kata Randu yang terganggu sekaligus heran, "Nangis tapi juga seperti orang tertawa?"
"Iya, nih" kata Reda yang ada di samping Randu. Anto walau terganggu tetap menghitung uang yang cukup banyak bahkan sampai bertumpuk-tumpuk. Cukup buat makan tahunan.
"Kamu yang kenapa?" Kini Ranti yang bertanya balik lalu menatap Randu dengan tajam. Dilihatnya Randu yang berbadan besar hitam dengan gig putih menonjol layaknya taring, "Tiap kali si noni itu datang selalu saja berahimu naik seperti gunung mau meletus. Kenapa sih kamu selalu nafsu dengan dia? Matamu kok nggak bisa dikontrol? Emangnya aku kurang apa? Apa aku kurang putih? Atau juga aku kurang seram? Lama-kelamaan kamu malah kaya mereka nanti. Tinggal di rumah besar gedongan yang sangat-sangat dingin, dan para penghuninya seperti kelelawar pengisap darah!"
Randu hanya diam mendengar ocehan Ranti yang merupakan kekasihnya. Ia tidak bisa berdalih apa-apa karena juga percuma, dan apa yang diungkapkan Ranti itu fakta.
"Di rumah itu ada si tentara sama anjingnya yang galak" kata Reda menimpali, "Aku cuma dekat ke halaman belakang aja langsung ditembaki, dan anjingnya itu yang larinya sangat kencang sampai bisa menggigit kain-kainku"
Reda lalu melihat ke kain-kain yang membalut sekujur tubuhnya. Ada beberapa yang bekas gigitan anjing.
Anto yang sedari tadi sibuk menghitung uang juga menimpali,
"Jangan lupakan juga si sosok tanpa kepala yang selalu membawa kepala di tangannya dan juga dengan anjing. Dia kadang muncul di sayap rumah itu sama si Johan,"
"Ah, dia itu kan terkadang aja di situ," kata Reda lalu berdiri dan meloncat-loncat. Ia kemudian ke arah luar kemudian menatap sebuah bangunan besar dan megah dari kebun tetapi sangat menyeramkan. Ia lalu berbalik arah sembari meloncat-loncat.
"Aku lihat tadi ada Johan menjaga halaman belakang. Anjingnya kali ini benar-benar galak! Ini pasti si Noni melapor ke orang-orangnya. Khawatir aja lama-kelamaan kebun kita ini bakal bisa jadi bangunan lagi seperti rumah besar yang dulu kita tinggal di situ terus terusir ke sini!" Kata Johan dengan nada khawatir akan tempat tinggal mereka di masa depan.
"Kalau begitu kita harus lawan!" Kata Randu kemudian dengan nada semangat perjuangan, "Jangan sampai kejadian kemarin terulang lagi!"
Ranti yang mendengar itu menghentikan teriakannya kemudian berpaling ke Randu dengan tatapan sinis,
"Yakin kamu mau melawan? Sama si Noni itu aja kamu aja nggak kuat nahan nafsu. Lawan dulu nafsumu. Jadi orang kok lebih percaya hal dari luar ya! Yang dekat dilupain!"
Randu kembali terdiam. Seketika nyalinya ciut mendengar ocehan kekasihnya. Kalau kekasihnya marah ia memang tidak bisa berbuat apa-apa apalagi kemarahannya lebih menakutkan daripada orang-orang besar di rumah putih tersebut. Ia menyerah lalu bersandar pada tembok. Reda dan Anto tertawa-tawa puas, dan Reda pun berkata,
"Ah, badan gede doang kalau wanita marah ciut!"
***
Mereka berhadap-hadapan. Tepatnya di halaman belakang rumah putih besar yang megah namun menakutkan bagi para penghuni kebun. Atau kalau dari si penghuni rumah putih besar, orang-orang dari kebun adalah para berandalan yang kerap menganggu, dan kebun tempat tinggal mereka merupakan tempat angker dan mistis.
Di sebelah kanan ada si bapak dan ibu orang tua Juliana yang berpakaian putih-putih ala Eropa serta rok panjang lalu ada Juliana yang tampilannya seperti noni kemudian ada Johan yang menenteng senapan, dan anjing herdernya serta temannya si tanpa kepala, dan kepala ada di tangan juga dengan anjing doberman.
Kemudian di sisi kiri ada Ranti dengan rambut panjang dan tampang seramnya tertawa mengikik, lalu Randu yang berbadan besar hitam serta mata merah, Reda yang melompat-lompat di tempat, dan Anto yang badannya kecil seperti anak kecil dengan kepala botak.
"Kalian berandalan kebun, berhentilah menakuti Juliana!" Kata si Bapak dengan nada tegas dan tatapan tajam yang meremehkan mereka, "Atau saya suruh Johan menghabisi kalian!" Ia lalu melihat Johan yang tampak siap dengan mengokang senjatanya serta bersiap menembak ke keempat penghuni kebun itu.
"Siap, meneer," kata Johan memanggil si Bapak dengan meneer. Anjing herdernya yang selalu menggeram dengan tatapan tajam kemudian menyalak kencang. Ini diikuti oleh anjing satunya.
Tak mau kalah Ranti malah menantang si Meneer, juga dengan tatapan menakutkan,
"Harusnya kalian yang berhenti ganggu kami! Buat apa kalian datang ke kebun kami? Memangnya belum puas tanah kami kalian ambil?" Ia lalu menatap tajam si noni dan berkata,
"Jangan kau datang ke kebun cuma untuk menganggu kekasihku!"
Mendengar itu Juliana tidak terima, ia langsung membalas,
"Suamimu yang matanya tidak bisa istirahat melihat orang kulit putih ke sana!" Ia lalu memandang remeh mereka, lalu berkata juga dengan meremehkan, "Sayang, kalian tidak akan bisa jadi kami meski kalian berusaha ikuti kami. Kami lebih tinggi daripada kalian!"
"Siapa juga yang mau ikut para pengisap darah?" tanya Reda menimpali Juliana. Ketika mereka seperti itu muncullah suara celetukan di antara mereka. Seseorang dengan wajah sawo matang, rambut hitam, hidung mancung, dan badan tinggi. Mereka tampak heran orang ini bisa melihat mereka, dan malah tidak ketakutan sama sekali. Ia bicara dengan santainya.
"Kalian para hantu masih aja berantem," kata orang itu kemudian menunjuk di samping kanannya, "Hantu-hantu Belanda! Oy, masih aja di sini! Indonesia udah merdeka, Bos! Pulang sana ke Belanda!" Hantu-hantu Belanda, Meneer, Mevrouw, Juliana si Noni Belanda, Johan si hantu tentara, dan si Pastor Jeruk Purut tampak tersinggung. Ia lalu ke kirinya yang di situ ada kuntilanak, genderuwo, pocong, dan tuyul,
"Ini lagi hantu lokal. Ngapain sih masih lawan aja para Londo ini. Lawan sana hantu para koruptor. Takut-takutin!"
Para hantu itu kemudian mengarah tajam ke orang yang sebenarnya merupakan Indo, dan serempak berkata,
"Jangan ikut campur, manusia!"
Si Indo yang ditatap yang tadinya biasa saja perlahan ciut dan takut lalu ambil langkah seribu.
0 komentar:
Posting Komentar