Lampu dalam ruangan mulai dinyalakan. Pintu mulai dibuka. Meja-meja dan tempat duduk mulai dirapihkan dan dijejerkan dengan pas menyesuaikan bentuk ruangan. Kemoceng mulai berseliweran ke sana kemari untuk membersihkan debu-debu yang hinggap di atas bangku-bangku juga meja-meja. Di atas meja mulai ditumpuk berkas-berkas dari dalam laci. Komputer yang ada di meja juga segera dinyalakan oleh seorang wanita muda berbaju perawat.
Si perawat tampak mengambil sebuah pulpen untuk memeriksa kertas-kertas bertulisan catatan-catatan dan data-data pasien dalam sebuah buku. Ia juga melihat komputer lalu membuka Microsoft Excel untuk memasukkan data baru dan memeriksa data lama untuk mendapatkan kesesuaian pasien-pasien yang sudah pernah berobat dan baru berobat.
Dari ruangan samping kemudian datang seorang dokter yang memakai kemeja kerja. Ia lalu bertanya ke perawatnya tersebut. Diana namanya.
"Hari ini ada beberapa orang mau datang dari WA?"
"Ada 5 orang, Dok," ujar Diana sembari memperhatikan data WA tersebut di komputer.
"Oke, baik," kata si dokter yang kemudian bergegas masuk ke ruangannya lalu menutup pintu.
Di luar ruangan yang berupa halaman besar tampak cahaya terang dari matahari perlahan meredup. Rupanya, senja sebentar lagi mulai mendekati malam. Pohon-pohon besar di halaman juga sudah mulai berubah warna dari terang ke gelap. Lampu-lampu taman mulai menyala menggantikan sinar matahari meski ternyata tidak bisa benar-benar menggantikan. Tak hanya lampu taman yang menyala tetapi juga lampu pada plang berbentuk persegi panjang yang dipasang pada sebuah tiang yang ditancapkan di depan pagar rumah. Plang itu bertulisan dr. Sakti lalu di bawahnya ada tulisan jam praktek: Senin-Jumat pukul 18.00-21.000. Sabtu pukul 08.00-12.000, dan kemudian di bawah tulisan-tulisan ada tulisan nomor izin praktek beserta alamat.
Selain lampu taman dan plang yang menyala, lampu beranda luar juga menyala. Kini semua tampak siap memulai aktivitas dan menerima pasien. Dua puluh menit setelah klinik dokter itu dibuka, mulailah datang dua orang pasien. Tampaknya seorang perempuan muda sedang menggandeng anak kecil. Keduanya memakai masker lalu berjalan masuk ke ruangan. Seusai menemui perawat untuk urusan administrasi yang ternyata tahu kalau pasien yang datang ini adalah langganan dokter Sakti, dan sudah booking, mereka segera masuk ke ruangan dokter setelah si perawat memberi tahu si dokter.
"Wah, Mbak Chyntia, apa kabar?" tanya dokter Sakti akrab terhadap pasien langganannya itu. Ia lalu melihat ke anak kecil di samping orang yang disapanya, "Rendi, kamu kenapa lagi?"
"Biasa, dok, batuk lagi nih" kata Cynthia lalu duduk begitu juga Rendi.
"Makan permen lagi ya?" tanya dokter Sakti sembari menganalisis penyebab penyakit.
"Iya, Dok. Sama makan es krim mulu," kata Cynthia menatap kesal anaknya, Rendi, yang tampak batuk-batuk, "Udah saya bilangin berapa kali. Susah, Dok, dibilangin,"
"Sabar, Mbak Chyntia," kata dokter Sakti tersenyum kemudian menatap Rendi, "Enak ya, Ren, permennya?"
"Iya, dok," kata Rendi semangat walau batuk-batuk, "Enak banget!"
"Mau sembuh nggak? Mau nggak batuk-batuk lagi?" tanya dokter Sakti dengan nada halus memberi isyarat dan menekan.
Rendi mengangguk.
Masih dengan nada pelan, dokter Sakti berkata,
"Kamu sekarang jangan makan permen dulu ya sama es krim. Kalau udah sembuh baru boleh tapi jangan banyak-banyak. Oke?"
"Iya, Dok," jawab Rendi menurut.
"Anak pintar," kata dokter Sakti memuji sembari mengelus-elus kepala Rendi. Ia kemudian berkata kepada Cynthia, sang ibu, akan meresepkan obat-obatan yang harus diminum. Setelah selesai, Chyntia berucap terima kasih. Begitu juga Rendi. Mereka segera keluar menemui perawat untuk mengurus administrasi dan menerima obat.
Selanjutnya datanglah pasien-pasien lain yang ternyata sudah menunggu di bangku. Ada yang sudah booking via WA, ada yang tidak. Satu per satu masuk berdasarkan panggilan dari Diana yang tampak sigap dalam mengurus administrasi seorang diri. Pasien-pasien ini ada yang punya keluhan demam, sakit pinggang, dan tentu saja ada yang minta dibuatkan surat kesehatan karena ingin melamar kerja.
Dokter Sakti tampak melayani dengan ramah sesuai dengan kode etik kedokteran, memberikan saran dan resep. Beginilah yang setiap hari ia kerjakan. Pagi hari ia bekerja di sebuah poli di puskesmas kecamatan, sore hari di rumah sendiri. Sebuah rutinitas yang sebenarnya bisa menimbulkan kebosanan jika tidak diselingi canda dan tawa.
Sejauh ini, ia sering mendapatkan pasien dengan keluhan yang wajar, dan bisa ditangani secara medis. Kalaupun tidak bisa menangani secara dalam, ia akan menyarankan si pasien membuat surat rujukan dari puskemas supaya bisa ditangani di rumah sakit.
Kemudian datanglah seorang pasien. Seorang laki-laki berusia sekitar 35 tahun. Ia datang dengan muka merenggut dan sedikit kecut. Nada bicaranya tampak lemas dan putus asa. Itulah yang dihadapi Diana yang segera melapor ke dokter Sakti, yang kemudian menyuruh masuk.
Dalam keadaan setengah gontai dan badan tertunduk lelaki itu datang menghadap dokter Sakti. Dokter Sakti tentu saja terkejut melihat tingkah pasien di depannya, dan mempersilakan duduk.
"Boleh saya tahu, Mas, apa yang dialami?" ujar dokter Sakti seperti biasa membuka pembicaraan dengan pasien supaya pasien bercerita untuk dianalisis.
Lelaki yang merenggut itu menatap dokter Sakti dengan pandangan memelas. Dokter Sakti agak heran dengan pasien ini. Baru kali ini merasa menemukan pasien yang dirasa aneh. Lelaki itu lantas berbicara singkat,
"Istri saya, Dok!"
"Iya, kenapa dengan istri Anda? tanya dokter Sakti ingin tahu untuk bisa tahu permasalahan yang dialami.
"Istri saya, Dok!" Lagi-lagi si laki-laki itu cuma berkata hal yang sama.
"Iya, istri Anda kenapa?" tanya dokter Sakti dengan nada pelan dan sabar sembari meminta si pasien berucap hal yang dirasakan.
Si lelaki itu kembali menatap dokter Sakti dengan serius lalu sedikit menjulurkan kepala ke arahnya. Terang saja, si dokter kaget. Si lelaki lalu berkata,
"Istri saya maunya WOT mulu,"
"Maksudnya?" Dokter Sakti pun keheranan.
Si lelaki itu lalu bercerita jika ia merasa sedih karena ketika berhubungan seks istrinya selalu ingin dalam posisi WOT atau woman on top. Ia tidak mau posisi misionaris, doggy style atau samping.
"Jangan kira kamu aku istri yang bisa kamu tumbuk sana-sini sesuai kemauan kamu! Aku nggak mau badanku kamu timpa atau kamu tubruk dari belakang. Itu sama saja kamu menjajah aku. Nggak bisa selamanya perempuan dikuasai laki-laki. Dengan WOT begini, aku bisa mengekspresikan kebebasanku dari kamu, menunjukkan kalau aku juga perkasa. Aku tidak lemah. Dan, aku juga bisa mengawasi kamu!"
Si lelaki yang bisa menirukan ucapan istrinya itu kemudian menangis,
"Saya merasa kelelakian saya hilang. Saya jadi tidak punya harga diri"
Dokter Sakti yang mendengar keluhan si pasiennya hanya bisa geleng-geleng kepala dan membatin, kenapa bisa ada pasien kaya begini ya? Heran!
"Saya harus apa, Dok?" tanya si lelaki itu masih menangis.
Dokter Sakti yang disodori pertanyaan itu menjawab dengan pelan dan sopan,
"Mohon maaf, sebelumnya, ya, Mas," ujarnya kemudian menarik napas untuk mencari kata-kata yang pas sekaligus menghibur, "Saya ini kan cuma dokter biasa. Cuma bisa menangani penyakit yang sering diderita seperti batuk, flu, demam, atau penyakit-penyakit ringan. Nah, Mas, kan saya perhatikan mengalami hubungan seksual dengan istri Mas, dan tidak menyenangkan. Jadi, saya cuma bisa menyarankan Mas untuk berkonsultasi ke dokter jiwa atau psikiater. Nah, di situ Mas sama istri mas bisa konsultasi untuk dicarikan solusi,"
"Kalau psikiater saya bisa cari ke mana?" tanya si lelaki dengan raut berubah setelah menghentikan tangisnya.
Dokter Sakti segera mencari-cari sesuatu di dalam lacinya. Ia kemudian memberikan kartu berwarna putih dengan sebuah nama tertera di situ.
"Mas, silakan hubungi dan datangi klinik nama orang di kartu ini ya. Dia teman saya," kata dokter Sakti memberikan keterangan.
Si lelaki itu menatap kartu nama tersebut. Wajahnya kini berubah bersinar seperti menemukan sebuah harapan.
"Makasih, Dok," katanya dengan nada gembira.
"Sama-sama," jawab dokter Sakti yang kini merasa lega dan tambah lega ketika si lelaki yang tadinya merenggut itu keluar dari ruangannya. Selepas itu, ia merasa terheran-heran dan membatin, kenapa bisa ada orang kayak gitu ke sini ya?
Selepas pasien aneh tersebut, datanglah pasien-pasien lain namun dengan keluhan yang masih dianggap normal dan bisa ditangani secara medis. Untuk hal ini, ia merasa lega. Ketika jam praktek hendak berakhir, datanglah seorang pasien dengan wajah kesal. Ia seorang perempuan muda seperti Diana.
"Dokter," ujar si pasien tersebut, "Dokter, saya punya bapak. Orangnya religius banget. Rajin salat 5 waktu di masjid terus sering datang ke ceramah-ceramah,"
Mendengar ini, dokter Sakti mulai merasakan lagi jika ada pasien yang menurutnya aneh. Tetapi, ia berusaha menyimak.
"Lalu bapak Mbak sedang ada masalah?" tanya dokter Sakti menanggapi keluhan yang tampak seperti curhatan.
"Nah, ini, Dok. Saya nggak suka kalau dia ternyata jorok. Buang sampah sembarangan, malas bersihin rumah. Alasannya, nggak ada waktu karena pergi ke ceramah mulu. Ya, percuma dong dia koar-koar masalah agama di rumah, anaknya disuruh tutup aurat. Eh, dianya malah begitu!"
Dokter Sakti yang mendengar keluhan si pasien perempuan muda hanya bisa membatin lagi, ada apa hari ini kok ada orang-orang aneh?
"Saya harus bagaimana, Dok?" tanya si pasien itu setelahnya. Dokter Sakti kembali menarik napas sembari berpikir kata-kata yang tepat. Ia lalu memandang si pasien perempuan muda itu, dan berkata pelan,
"Saya mohon maaf sebelumnya. Jujur, ini bukan ranah saya. Saya hanya mampu menangani masalah yang bersifat medis saja. Saya tidak ahli dalam masalah yang berhubungan dengan akhirat karena saya tahu kalau sesuatu tidak dipegang sama yang ahlinya bisa berakibat kehancuran. Saya cuma bisa menyarankan untuk bicarakan masalah ini kepada ustad yang paham masalah ini. Maaf, saya tidak bisa,"
Raut muka si pasien perempuan muda itu berubah kecewa dan kesal,
"Kan dokter orang pintar masa iya nggak bisa nanganin?" tanyanya heran, "Nama dokter kan Sakti. Harusnya bisa dong!"
Dokter Sakti hanya tersenyum tipis seperti dipaksakan terhadap pasien aneh di depannya. Ia tak mau berdebat soal nama yang diberikan orang tuanya. Karena ia yakin orang tuanya memberikan nama tentu dengan penuh pertimbangan. Tidak asal.
"Maaf, sekali lagi saya tidak bisa. Ini bukan bidang saya,"
"Ah, payah nih!" Si pasien itu tambah kecewa, "Saya kira dokter kayak Google. Ternyata nggak!" Ia lalu beranjak dari tempat duduk, dan tanpa berucap terima kasih segera keluar ruangan.
Dokter Sakti hanya terdiam. Ia tak mau berdebat hal yang bukan bidangya dengan pasiennya itu. Karena percuma juga, buat apa. Semua sudah sesuai takarannya. Selepas itu, ia melihat jam dinding di ruangannya yang ternyata sudah pukul 21.05. Lima menit telat dari jam tutup hanya karena pasien terakhir yang membuatnya terus geleng-geleng kepala. Ia lalu membereskan barang-barangnya. Memasukkan beberapa arsip di dalam laci. Selagi itu, datanglah Diana.
"Tiba-tiba ngeloyor aja tuh, Dok, tanpa permisi," ujar Diana memulai pembicaraan tentang pasien terakhir.
"Biarkan saja," kata dokter Sakti yang tampak lelah kemudian menutup laci begitu arsip terakhir dimasukkan, "Saya hanya agak heran hari ini kok bisa ada 2 pasien dengan keluhan tidak wajar?"
"Iya, Dok. Saya juga," kata Diana mengiyakan.
"Ya, saya kan cuma dokter umum. Bukan dokter spesialis atau ustad yang bisa menenangkan jiwa orang-orang yang resah. Kamu tahu, kan?" Kata dokter Sakti yang masih tidak habis pikir serta kesal" Dibilang tadi saya Google. Aneh!" Diana hanya diam melihat kekesalan atasannya.
Setelah ruangan praktek rapi, mereka berdua kemudian keluar. Ruangan yang tadi terang kini sudah gelap karena lampu sudah dimatikan kecuali di bagian luar. Meja sudah dirapikan, begitu juga bangku-bangku. komputer sudah dimatikan. Pintu sudah ditutup dan dikunci. Tanda klinik sudah tutup. Diana yang sudah mengerjakan semua itu sebelumnya pamit pulang ke dokter Sakti. Ia cuma berkata hati-hati di jalan. Cukup semua untuk hari ini. Besok semua dimulai lagi.
0 komentar:
Posting Komentar