Pages

Jumat, 12 September 2025

Karena Robot Tidak Punya Perasaan dan Emosi

Ia berjalan cepat sesekali berlari kemudian masuk ke dalam gang sempit dan gelap. Dari situ ia atur nafas terlebih dahulu lalu melihat ke luar di sekeliling, sebuah jalan besar. Di malam gelap yang sunyi dan sepi serta dingin, dan hanya bertemankan embusan angin yang terasa menusuk tulang, serta disirami lampu jalanan yang temaram, dan beberapa terkadang menyala hanya setengah hingga korslet bahkan laron pun enggan, tampak dua benda berjalan tegap dan berisik dengan suara mekanik pada kaki dan tangan. Benda tersebut rupanya para robot berwarna hitam legam namun terlihat rangka besi dan mesinnya pada leher, sikut tangan, dan lutut kaki. Pada dada mereka tertulis huruf-huruf besar berwarna kuning: POLISI. Mata para robot humanoid ini berwarna merah menyala dengan lampu kuning di atas kedua mata. Selaras dengan muka bengis yang mereka tampilkan: seperti tengkorak dengan gigi putih tajam. Di tangan para robot kejam ini ada sebuah senapan mesin warna hitam yang bisa mengeluarkan laser untuk melumpuhkan lawan.

Dewa Bagaskara yang tahu kondisi di depannya itu segera cepat memasukkan lagi kepalanya ke gang supaya tidak ketahuan karena bagaimanapun para robot polisi itu dirancang untuk bisa mengetahui pergerakan seseorang melalui sensor, yang juga bisa mencium bau bahkan dalam jarak jauh sekalipun. Karena tahu hal, itu Dewa segera menyemprotkan badannya dengan parfum untuk mengalihkan sensor tersebut.

Sembari memegang erat senapan mesin, ia mulai waspada kemudian mulai berjalan perlahan ke arah dalam gang yang sempit, bau, dan berair serta banyak tikus besar berkeliaran. Ia upayakan jangan sampai membuat bunyi 1 desibel pun yang bisa memancing para robot polisi itu. Ia segera pakai kacamata untuk bisa melihat dalam gelap yang dapat memandunya keluar gang.

Namun, sayang, secanggih-canggihnya teknologi terkadang tak sepadan dengan penggunanya. Langkahnya yang berjalan perlahan ternyata menginjak sebuah tikus besar yang tengah berkeliaran, dan tikus mencit kencang. Suara tikus itu terdengar sampai luar gang membuat para robot polisi segera menyadari lalu mulai masuk ke gang. Dewa yang menyadari itu segera berlari kencang dalam gelap, dan ternyata dalam gang itu banyak tikus berlalu-lalang. Namun, mau tidak mau, Dewa harus melewatinya berharap bisa menemukan ujung dan keluar dari gang.

Robot-robot polisi itu berlari dengan cepat mengejarnya. Kekuatan mereka melebihi manusia. Dewa sadar akan hal itu. Karena itu, ia harus segera berlari, dan jangan sampai memikirkan capek. Ketika di depan ia menyadari ada sebuah ujung, ia percepat lari. Sayang, di depan rupanya sebuah ruang besar dan buntu dengan udara terbuka yang dibatasi oleh tembok-tembok tinggi. Kini ia sadar bahwa telah terjebak. Keringat mulai mengucur deras di tubuhnya. Jantungnya berdetak kencang disertai getaran pada tangan kaki meskipun ia berusaha meredam dengan senapan mesin yang digenggam kedua tangannya. Ia mundur sembari mengarahkan senapan ke depan.

Di depan dari dalam gelap muncullah 2 robot polisi itu dengan suara langkah tegap dan mekanik pada kaki dan tangan. Mereka berseru dengan bahasa yang kaku:

"Segera buang senjata, angkat tangan, dan serahkan diri. Jika melawan, kami tidak segan mengambil tindakan terukur,"

Dewa yang mendengar bahasa mereka yang penuh ancaman tetap dalam posisi semula, dengan senapan siap ditembakkan jika memungkinkan. Pikirannya terus bekerja untuk bisa lolos dari dua robot ini.

"Apa Anda mendengar kami? Segera buang senjata, angkat tangan, dan serahkan diri. Jika melawan kami tidak segan mengambil tindakan terukur," Begitu para robot itu mengulang perintah yang sudah diprogram, yang dalam program tidak mengenal adanya emosi dan perasaan.

Dalam kondisi demikian, Dewa mulai memutuskan untuk melawan saja. Ia akan letupkan api dari senapan mesin di tangannya. Sebab, ia berpikir kondisinya sudah teramat genting sementara para robot terus mendekatinya dengan menodongkan senapan laser ke arahnya. Ia bersiap menarik pelatuk namun semua itu berubah ketika dalam sekejap ia melihat para robot tiba-tiba terjatuh, korslet, dan lumpuh. Dari atas tembok tinggi tampaklah seorang wanita berpakaian body suit hitam-hitam dengan garis merah-merah di dada dan tangan sedang memegang busur, dan tampak ia sehabis melepaskan panah ke robot-robot itu.

Wanita itu lalu turun. Dewa yang tahu wanita itu malah berucap kecewa,

"Ganggu kerja gue aja lo!" katanya dengan muka kecewa.

Wanita itu langsung membalas dengan nada tak terima dan raut kesal.

"Udah ditolongin bukannya berucap terima kasih," Ia kemudian mengalihkan kesalnya itu ke pernyataan lain, " Udah buruan pulang. Guru lagi nungguin lo. Keluar cari bahan aja sampai lama banget!"

Dewa tidak banyak berkomentar ketika adiknya, Dewi Murti, berkata demikian. Sebab, juga tak ada waktu untuk berdebat hal-hal yang tidak perlu kalau ada hal-hal penting. Mereka berdua segera loncat ke tembok yang tinggi lalu kembali meloncat dari satu gedung ke gedung lain.

***

Beberapa menit kemudian sampailah mereka di sebuah tempat di dalam sebuah hutan yang telah dilapisi oleh pelindung elektronik yang tidak mampu dilihat atau ditembus para robot yang kini malah jadi penjaga siang dan malam pada sebuah tempat bernama Angkara Murka. Sebuah tempat yang dahulunya damai dan sentosa namun seketika berubah suram dan menyeramkan serta dikuasai para robot yang kini menjadikan manusia sebagai budak.

Dalam hutan gelap dan lebat terdapat sebuah pondok reyot yang ternyata hanya sebuah pintu masuk ke sebuah ruang bawah tanah. Di ruangan bernuansa hijau gelap dengan lampu aksen biru kuning temaram yang terdapat sebuah layar tv dan sebuah komputer besar dengan meja besar di tengah itu ada seorang tua berjanggut putih yang sedang duduk bertapa dengan menutup mata sembari memegang sebuah tongkat panjang yang dapat mengeluarkan peluru dan listrik untuk pertahanan diri. Lelaki tua itu bernama Dharma Jayagiri. Ia dahulunya adalah seorang mantan pejabat yang mengajarkan etika dan moral serta bela diri. Namun, karena ada ketidakcocokan dengan pemimpin Angkara Murka kala itu yang menginginkan penerapan semua teknologi terutama pembuatan robot kepolisian membuat ia keluar. Ia khawatir adanya robot untuk kepolisian malah akhirnya menyingkirkan polisi manusia, dan jika itu terjadi tindakan represif bisa sangat-sangat terjadi karena robot sejatinya tidak punya emosi. Pada akhirnya, semua itu benar-benar terjadi karena keserakahan Sang Lanang yang kemudian mati oleh para robot yang berhasil mengudeta dia.

"Guru," ujar Dewa begitu ia sampai memanggil Dharma dengan sebutan guru begitu ia sampai. Di belakang Dewi mengikutinya. Mereka berdiri sembari memberi hormat, "Ini bahan yang guru minta. Maaf, agak lama mendapatkannya. Karena tadi sempat ada razia dari para robot itu di penadah,"

Dewa menyerahkan sebuah bungkusan kecil berupa sebuah kartu memori berwarna abu-abu ke Dharma yang menerimanya setelah membuka mata.

"Tidak apa-apa, Dewa," katanya kemudian berdiri dari duduknya lalu menaruh kartu memori itu di atas meja. "Saya tahu karena memang benda ini berisiko. Sebab, ini ditakuti mereka,"

"Tapi, sampai kapan, guru?" tanya Dewa setelah itu, "Sampai kapan para robot itu menguasai kita? Kita, para manusia, malah jadi budak. Manusia dijadikan buruh kerja paksa di tambang-tambang. Jujur, saya ingin tanya apa sebenarnya kita bisa mengalahkan mereka? Ini sudah hampir 10 purnama kita adakan perlawanan!"

Dewi yang mendengar ucapan kakaknya segera menyela sebab dianggap tidak patut,

"Lo kalo ngomong yang sopan dong ke guru!"

"Dewi, biarkan saja kakakmu," kata Dharma menghela napas pelan kemudian mengarahkan mata ke Dewa lalu berkata,

"Saya paham mau kamu. Bukan hanya kamu, saya, juga adikmu ingin merdeka. Tapi, bagaimanapun itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Para robot polisi itu sudah mapan, dan sangat terkoneksi. Mereka sudah memelajari manusia walaupun tidak punya perasaan dan emosi. Tapi, karena itulah mereka jadi sangat kuat. Sedangkan kita, manusia, dilemahkan oleh perasaan dan emosi kita,"

Ia kemudian menghela nafas lagi. Ia tatap Dewa yang tampak sudah tidak sabaran lalu berkata kembali sembari menepuk bahu Dewa,

"Tenang, Dewa, semua bisa diatasi asal sabar, dan kita harus punya strategi. Kita butuh strategi baru,"

"Tapi, guru..." Dewa berusaha menanggapi, tapi Dharma langsung memotong, "Besok kamu, adikmu, Dyah, dan Putu, segera ke Pulau Buana Loka untuk bertemu teman lamaku, Swara Dirga, belajar strategi baru sekaligus memperdalam bela diri kalian"

Mendengar itu Dewa dan Dewi terkesiap dan siap melaksanakan. Namun kemudian Dewa menyadari ada kata dari Dharma yang membuatnya terperangah.

"Guru bilang tadi ada Dyah dan Putu, "katanya setelah itu, "Bukannya mereka masih di Jagadkarta karena Dyah hendak menemui kakaknya?"

"Ya, memang," kata Dharma tersenyum, "Tapi saya suruh pulang karena tugas esok hari,"

Mendengar kata itu, muka Dewa langsung berubah, dari capek dan kesal menjadi ceria dan berbinar. Di belakangnya tiba-tiba ada suara memanggil,

"Kang," kata suara itu halus. Dewa kenal suara itu. Ia segera menoleh. Ternyata itu adalah Dyah Isyana, istrinya. Dewa tampak tak percaya melihat ada sesosok cantik yang sudah ia kenal ada di depannya dengan tampilan seperti biasa, body suit warna biru gelap gradasi putih, dan segera menuju ke arah Dyah lalu memeluk dan mencium mesra. Dua minggu lamanya mereka harus berpisah. Tentu semua tahu kalau orang yang sudah lama tidak bertemu melepas rindunya bisa di luar nalar.

"Akang baik-baik aja?" tanya Dyah setelah berpelukan dan berciuman dengan suaminya.

"Iya, baik-baik aja, " jawab Dewa tersenyum karena selama ditinggal selalu uring-uringan. Ia lalu balik bertanya ke Dyah, "Kamu gimana? Di Jagadkarta sudah beres?" 

"Aku baik-baik aja. Iya, Kang, udah!" Jawab Dyah kemudian mencium suaminya lagi.

Setelah itu muncullah Putu Rahayu yang juga disambut gembira oleh Dewa. Sedangkan Dewi yang sudah tahu kedatangan mereka sebelumnya langsung menyeletuk ke Dewa dan Dyah,

"Mas Dewa. Kan Teh Dyah udah datang tuh. Jadi, malam ini jangan kesal lagi ya. Pokoknya main! Kan kita berempat besok mau ke Buana Loka,"

Semua yang ada di ruangan tertawa terbahak-bahak. Dharma Jayagiri yang melihat keempat muridnya kini tersenyum. Ia melihat satu per satu mereka. Dewa Bagaskara dan Dewi Murti, kakak-adik asal Barapura yang ia temukan berada di tepi jalan sepertinya ditinggalkan orang tuanya atau mungkin ditelantarkan pihak lain.

Dyah Isyana asal Jagadkarta yang memang sengaja dititipkan keluarganya untuk belajar bela diri, dan Putu Rahayu dari Hindupuri yang ia temukan secara tidak sengaja di sebuah pasar, dan sedang dipaksa meminta-meminta.

Ketika keempat orang ini sedang belajar etika moral juga bela diri kepada diri, rupanya ada benih-benih cinta antara Dewa dan Dyah. Agar tidak terjadi hal yang diinginkan, Dharma segera menikahkan keduanya dengan restu penuh dari keluarga Dyah di Jagadkarta.

Besok, mereka berempat akan ke Buana Loka, dan sudah keinginan Dharma supaya perjuangan membebaskan diri dari para robot polisi yang kini menguasai mereka, dan pemimpinnya adalah sebuah komputer yang memakai suara Sang Lanang, bisa segera terlaksana dengan memakai strategi baru karena strategi lama sudah usang.

Di tengah kebersamaan itu, ia mengundurkan diri belakang. Putu Rahayu yang berada di samping Dewi Murti segera mengikutinya sementara Dewa Bagaskara dan Dyah Isyana masih asyik melepas rindu.

Di atas atap gubuk, Dharma melihat pemandangan Angkara Murka yang dahulu bernama Griya Swarga dari kejauhan. Kota yang tampak dingin dan menyeramkan berbeda dengan di masa silam yang tampak terang dan gemilang. Akan tetapi, batinnya menekankan ia tak mau menyalahkan siapa pun karena tidak ada gunanya saling menyalahkan. Ia selalu berharap Griya Swarga kembali.

Di belakang ada Putu Rahayu yang meloncat dari bawah. Ia mendekat ke gurunya. Dharma yang tahu muridnya itu segera berkata,

"Kamu ke sinilah,"

Putu yang memakai body suit warna oranye gradasi hitam itu segera mendekat. Dharma segera mengeluarkan sebuah batu zamrud warna hijau toska dari sakunya. Ia perlihatkan itu kepada muridnya yang lebih banyak diam itu,

"Kamu peganglah ini," ujarnya, "Ini sebagai antisipasi saja kalau kartu memori yang sudah kita kumpulkan selama ini gagal"

Putu hanya menjawab singkat dan dingin sedingin angin malam yang berembus,

"Baik, guru,"

0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran