Pages

Selasa, 09 September 2025

Sesosok Dia Saat Aku Mengheningkan Diri



"Kamu yakin kalau kecerdasan buatan itu benar-benar memberikan sesuatu yang nyata?" Tiba-tiba suara itu datang lagi ke dalam pikiranku. Memecah keheningan yang aku ciptakan di halaman belakang rumahku yang berupa taman kecil dan kebun tropis. Aku berada di tengah taman kecil itu untuk sekadar menikmati pagi hari yang tampak indah, dengan matahari yang sudah terbangun dalam rona kemerahan khas paginya. Mengisyaratkan bahwa kehidupan sudah dimulai lagi hingga nanti matahari digantikan bulan di malam hari.

Jika pagi datang akan selalu saja aku ingat sebuah lagu yang sudah membahana semenjak aku masih duduk di bangku SD. Ya, lagunya Wayang yang berjudul Damai itu sangat menyentuh hatiku. Lirik yang cukup sederhana bagi seorang anak SD kala itu untuk selalu diingat hingga beranjak dewasa, dan sekarang memahami bahwa lagu dengan lirik yang sederhana itu sebenarnya merupakan ungkapan rasa syukur seseorang kepada penciptanya bahwa ia tanpa disadari selalu diberikan anugerah bisa menghirup udara segar, menikmati indahnya sinar matahari sehingga memberikan damai di hati. Hal yang sebenarnya tidak memerlukan uang untuk mendapatkannya di tengah manusia yang selalu tanpa henti menginginkan uang, dan menjadi budak materi. Sungguh, kebebasan dasar dan eksistensi mereka terenggut.

Dan, kala matahari sudah sangat tampak di belakang awan-awan putih lalu menaik di atas awan, tanpa kusadari sebuah lagu lain merasuk ke dalam pikiranku, mendawai nada-nada pada telingaku. Ya, itu adalah lagu Negeri di Awan-nya Katon Bagaskara. Lagu yang lagi-lagi telah membahana kala aku masih kecil, dan juga di bangku SD. Sekali lagi, sekali lagi, alunan nada dan lirik lagu yang sederhana walaupun ada banyak kiasan di dalamnya membuatku terus mengingatinya meski sudah 3 dekade berlalu. Lagu yang akan selalu ingat jika terjadi konflik yang terjadi di seluruh dunia yang katanya aman dan sentosa. Tetapi, malah kebalikannya. Pada akhirnya, Negeri di Awan menjadi semacam keinginan yang utopis sebagai jawaban kala konflik selalu datang dan tiada henti. Menimbulkan pertanyaan: kapan semua ini akan berakhir?

Aku kini di tengah taman pada pagi hari dengan keheningan yang kuciptakan dan kurasakan sedang menatap layar pada laptopku yang menyala di atas sebuah meja yang sengaja kubawa dari beranda belakang beserta tempat duduk plastik sebagai alas dudukan. Tangan-tanganku tiada henti menari-nari di atas tuts, membentuk barisan-barisan kata yang menjadi kalimat. Sudah hampir 2 halaman aku berlayar pada laptopku hanya untuk membuat sebuah tulisan mengenai perbandingan dua karya sastra bertema sejarah. Aku sedang mencoba mengulas karya-karya sastra sejarah dari Pramoedya Ananta Toer dan Remy Sylado. Dua orang ini menurutku master dalam penulisan sastra bertema sejarah. Meskipun, harus aku akui, karya sastra sejarah Pram lebih berbobot secara isi daripada Remy yang lebih tampak sebagai deskripsi sosiologis orang-orang di masa lampau dengan atribut visualnya. Aku buat ini juga untuk bahan presentasi mingguan di depan mahasiswa-mahasiswa kuliah sastra.

"Bisa jadi semua yang diberikan oleh kecerdasan buatan itu palsu, dan tak terukur!" Ah, lagi-lagi dia menyerocos dalam pikiranku. Jujur, sebenarnya aku tidak suka ketenangan dan kehehinganku diusik oleh pikiran-pikiran yang selalu muncul ini.

"Tergantung bagaimana kamu menyikapinya," kataku berusaha tenang menghadapi sosok imajiner dalam pikiranku yang sebenarnya sama denganku.

"Kalau aku sih melihat kecerdasan buatan ini sangat membantu dalam banyak hal terutama ilmu pengetahuan. Tapi, memang, namanya kecerdasan buatan itu kan buatan manusia juga. Pasti ada dong kekurangan, juga kesalahannya. Wajar, kan? Kan nggak semua buatan manusia itu sempurna, kawan,"

"Jadi, kamu melegalkan semua yang dihasilkan kecerdasan buatan itu," ujarnya bereaksi terhadap pernyataanku.

Aku lantas menyanggahnya,

"Aku tidak melegalkan semua yang ada dalam kecerdasan buatan kalau ternyata itu ada juga yang sesat secara empiris, juga akademis. Nah, kalau yang itu aku ya buang aja. Kan, simpel? Gitu aja kok repot!"

"Macam Gus Dur saja kau berbicara," Ia lalu tertawa-tawa, "Semua dianggap remeh begitu saja padahal itu tidak bisa diremehkan!"

"Wah, maaf, saya bukan dia!" Kataku tidak mau kalah, "Saya hanya bilang, kalau memang tidak sesuai kaidah empiris dan akademis ya jangan dijadikan rujukan. Kita tanyakan saja pada ahlinya. Bukankah setiap kecerdasan buatan juga menyadari bahwa mereka ada kekurangannya saat membuat kesalahan kemudian menyarankan kita untuk meminta lagi ke manusia?"

"Pintar juga bicaramu, kawan!" Ia lalu menatapku tajam, "Kalau memang begitu kenapa kamu lebih percaya kepada kecerdasan untuk membuat foto yang realistis daripada kamu membuat sendiri? Lihat saja foto-foto dalam folder laptopmu. Semuanya palsu, dan seakan nyata padahal tidak nyata!"

"Ya, kalau foto kan beda urusannya," aku mencoba membela diri, "Aku membuat foto-foto ini kan cuma demi kesenanganku aja. Kesenangan akan sesuatu yang bersifat visual. Manusia kan senang dengan hal begituan karena memanjakan mata,"

"Berarti kamu tidak ada bedanya dengan orang-orang sekarang yang lebih percaya sesuatu yang visual tetapi dibuat-buat. Foto-foto realistis dalam laptopmu, konten-konten di media sosial yang cuma dalam sebuah bingkai tetapi sudah dipercaya sebagai kebenaran. Tidak ada lagi logika, tidak ada lagi kritis dalam diri. Yang ada cuma emosi! Akhirnya, kamu lihat kekacauan yang ada di dunia ini karena salinan-salinan kenyataan yang tidak bertanggung jawab!"

"Tolong, jangan salahkan salinannya. Salahkan pada siapa yang membuat salinan itu: manusia. Manusia yang membuat prompt atas salinan itu, dan terjadilah. Jadi, itu semua hasil dari imajinasi manusia juga. Dalam hal ini kamu harus bisa melihat secara jernih bahwa manusia juga yang punya kuasa atas salinan itu melalui kata-kata yang diberikan,"

Ia lalu tertawa terbahak-bahak. Aku yang melihatnya sebenarnya tersinggung. Ingin rasanya menyingkirkan persona reseh ini. Tapi aku tahan,

"Kok kamu jadi lucu ya, kawan!" Ia kemudian duduk menatapku kembali dengan tajam, "Kamu bilang manusia menguasai salinan itu? Ayo, berpikirlah dengan jernih! Kamu udah bertahun-tahun belajar filsafat, sejarah, linguistik, dan kamu sekarang adalah dosen juga kritikus sastra ternama masa kamu dengan gamblang bilang manusia menguasai salinan. Padahal, manusia itu yang dikuasai salinan, didorong oleh salinan, direnggut dan disandera kebebasan diri dan eksistensinya! Manusia pada hari ini sudah tidak menjadi manusia!"

"Baiklah," ujarku sedikit menurunkan tensi, "Memang manusia pada hari ini sudah tidak jadi manusia lagi karena semua bergantung pada salinan dan mendewakan salinan. Manusia juga tidak bisa lepas dari semua algoritma yang awalnya mereka ciptakan, dan akhirnya membentuk big data. Tetapi, kan tidak semua seperti itu. Mereka yang seperti itu kan yang sepenuhnya bergantung pada media sosial. Itu berarti yang tidak bergantung adalah tetap manusia. Bagaimanapun sebergantungnya manusia pada media sosial dan kecerdasan buatan, mereka tetap punya emosi,"

"Ah, kamu ini terlalu apologis. Selalu saja berapologi. Bilang saja kamu sudah tidak menjadi manusia. Kamu adalah bagian dari salinan itu. Kamu juga diam-diam mengagumi salinan-salinan itu. Dan, kamu adalah hamba materialistis!"

Jujur, aku agak emosi mendengar ucapan itu. Ingin aku menghajarnya sampai bonyok. Toh, kalau dihajar juga ia tidak akan melapor pada siapa pun. Tetapi, yang aku perhatikan ia malah meninjuku dengan satu kepalan besar dan cepat. 

Aku lantas menutup mata. 

Tiba-tiba sebuah suara muncul di depanku. Aku seperti mengenal suara itu. Kubuka mata perlahan, dan tampak sesosok wanita berkulit sawo matang, bermata coklat, hidung mancung, muka oval, bibir tipis, berambut panjang serta memakai daster motif kembang kuning hijau dengan bagian terbuka pada bahu sehingga cuma ada tali tips menyangga di situ. Ia wanita berumur sekitar 40-an. Sama seperti diriku. Kulihat ia sedang memegang dua cangkir teh hangat.

Aku jujur langsung terkejut pada sosok di depanku ini yang kutahu adalah istriku sendiri.

"Lho, Bu? Kamu nyata, kan?"

Ia cuma menggeleng kepala mendengar ucapanku itu.

"Kamu ini ngomong apa sih, Pak? Ia kemudian duduk sembari memberikan satu cangkir teh padaku, "Sedari tadi Ibu perhatiin, kamu terlihat ngobrol sendiri bahkan seperti orang berdebat. Kamu ini sebenarnya lagi buat materi ajar buat kuliahmu atau berpantomim?"

"Ya, dua-duanya, Bu" kataku sembari menyesap teh hangat itu yang rasanya sejurus dengan kehangatan pagi.

"Untung Ibu sudah paham dengan Bapak sejak 20 tahun lalu. Memang, Bapak itu aneh ya! Tapi, itu yang buat Ibu suka sama Bapak,"

Aku hanya terkekeh dan tersipu. Istriku kemudian membawa tempat duduk di depanku dan pindah ke sampingku.

"Biar Bapak fokus, sini Ibu bantuin deh buat ringkasan yang Bapak perlu,"

Tercium bau harum bunga dari tubuhnya saat di dekatku. Bau yang membuat aku jadi terlena dan melayang-layang, dan ini yang membuat aku jadi jatuh cinta kepadanya 20 tahun lalu selain wajahnya yang manis.

"Boleh, Bu," kataku senang, "Tapi, habis ini kita main ya!"

"Iya" ujarnya setuju.

Aku lantas mencium kening dan bibirnya kemudian kembali menarikan jemari di atas tuts laptop, dan kembali juga berkonsentrasi pada Pram dan Remy. Sementara, dia yang tadi mendebatku sudah menghilang seiring dengan burung-burung yang terbang mencari rezeki.


#cerpen #cerpenfilsafat #filsafat #postruth #simulakra #baudrillard #sartre #habermas #harari #ai

0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran