"Itu foto dipandang terus. Lama-lama jadi suka lho!" ujar Arya pada Indra ketika keduanya berada di sebuah ruangan berisi foto-foto hasil jepretan para fotografer termasuk mereka berdua. Ruangan ini memang ruangan yang dikhususkan bagi foto-foto fotografer yang pernah, sedang, dan tidak bekerja lagi di tempat mereka bekerja sekarang, sebuah majalah berita terkenal.
Ruangan ini dibuat supaya karya-karya foto berita yang pernah ditampilkan di majalah atau situs tidak hanya ada dalam cetakan saja tetapi keluar dari cetakan itu serta sebagai sebuah bentuk apresiasi. Namun, hanya foto-foto terbaiklah yang bisa dipajang. Foto-foto yang ada sekaligus sebagai pengingat bahwa gambar pun bisa berbicara.
Arya dan Indra adalah dua dari 5 fotografer di majalah berita tersebut. Mereka ada di ruangan karena sang redaktur foto meminta keduanya memeriksa foto-foto yang mungkin bisa ditampilkan pada pameran foto untuk acara ulang tahun kantor mereka.
Indra yang mendengar celetukan Arya hanya terdiam. Ia terus memandang foto berukuran setengah besar yang terpajang di dinding bersanding dengan foto-foto lainnya. Dalam foto tanpa bingkai itu tertangkap gambar seorang wanita yang sedang berdiri tersenyum sembari memegang cangkul dengan latar belakang sebuah kebun pisang dan langit biru. Wajahnya yang coklat terang selaras dengan baju merah gradasi kuning serta celana warna krem dengan sepatu juga warna yang sama.
Tentu saja Indra kenal wanita dalam foto itu. Ia adalah Isyana, seorang aktivis pertanian muda dari Priangan yang tampilannya jauh dari kesan sebagai seorang aktivis pertanian. Maklum, Isyana dahulunya adalah seorang foto model sebuah majalah gaya hidup laki-laki namun memilih keluar karena merasa sudah tidak cocok dengan dunia yang agak patriarkis, keindahan perempuan selalu dijadikan objek belaka.
Karena berlatar belakang model itulah, tak mengherankan jika Isyana selalu tampil modis. Tapi, itu umumnya untuk pertemuan formal saja. Kalau di sawah, ia tidak akan segan mencangkul, membungkuk menanam padi, serta tidak peduli kulit cantiknya kotor terkena lumpur. Toh, menurutnya, kalau tidak berlumpur nanti padi-padi tidak bisa ditanam lalu beras tidak ada sehingga tidak jadi nasi. Kalau sudah begitu, ya siap-siap lapar saja karena tidak ada usaha.
Indra yang ditugaskan redakturnya mengambil foto Isyana untuk menemani temannya, Winda, reporter untuk menulis profilnya, dalam hatinya merasa seperti melihat bidadari turun dari langit. Memang begitu memesona wanita-wanita Priangan. Sejak dahulu banyak terpukau oleh mereka. Ia tampak begitu tersihir oleh kecantikan mereka yang selaras dengan keindahan alam Priangan. Apalagi memang bahasa yang dituturkan pun begitu halus, dan enak didengar.
Tak pelak memang foto karya Indra itu jadi salah satu yang terbaik sehingga boleh dipajang di ruangan tersebut. Foto itu diambilnya 2 tahun silam.
"Ya, dibilangin jangan kelamaan mandang, ntar suka lho!" ujar Arya terus menyeletuk ke Indra yang masih serius memandang foto tersebut. Ia lalu mendekati Indra. Memegang bahunya lalu menepuk, dan berkata kembali:
"Kalau gue perhatiin dari tadi emang lo suka kan nih cewek?" Arya juga menyorotkan pandangannya ke foto karya Indra itu, "Ya, gue akui nih cewek dalam foto lo cakep banget. Gue aja jujur nggak tahan melihat kecantikannya. Buat gue melayang dan berkhayal. Terus juga lo emang pintar ambil gambarnya. Lo pintar ambil posenya. Bajunya juga oke, Dra? Lo yang milihin?"
"Kalo baju sih dia sendiri," ujar Indra akhirnya berbicara, "Gue cuma ngarahin aja. Kebetulan dia mantan foto model, jadi gampang ngarahinnya,"
"Nah, itu dia, foto model, men! Lo liat aja nih ya dari sudut pandang lelaki emang dia udah mantap apalagi buat main di ranjang! Hahahaha!"
"Pikiran lo cabul mulu, Bro!" kata Indra menanggapi temannya yang sudah mulai melihat wanita sebagai objek pemuas mata dan berahi.
Mendengar itu Arya sedikit terheran kemudian dengan sigap berkata balik,
"Ya elah, gue nggak mau munafik! Sebagai lelaki, cewek dalam foto lo ini memang bikin mata dan jiwa menggelegar luar-dalam. Lo liat senyum yang berpadu dengan kecantikannya. Ampun, dah! Dia itu udah paripurna banget bagi cowok kaya gue. Kalau dia bini gue, tiap malam gue habisin dah sampai puas!"
Arya kemudian tertawa lagi.
"Sayang, gue udah punya bini. Sama tuh kaya cewek dalam foto lo. Gue rada ngebet abis fotoin dia jadinya gitu. Gue nggak tahan, dia juga nggak tahan. Hahahaha!
Ia lalu terdiam,
"Tapi sekarang kok ngeliat dia udah nggak kaya dulu lagi ya? Apa karena tiap malam gue main mulu?"
Arya kemudian melihat hape di tangannya. Tampak ada sebuah pesan masuk.
"Nah, gue cuma bilang, mumpung masih bujang, lo puas-puasin deh. Kalau udah nikah, bakal susah lo mau ngapa-ngapain. Liat aja! Baru juga mau jam 8, orang rumah udah WA. Katanya alasannya sangelah. Lah, gue aja belum sange atau emang gue udah nggak sange. Gue justru sange lihat cewek di foto lo!"
"Ya, udah lo out deh!" kata Indra tampak mulai risih.
"Oke, brother!" jawab Arya dengan senyum, "Nanti, gue bilang ya ke Mbak Anna lo masih di sini mau ngewe sama cewek di foto lo!"
Arya pun terkikik, dan Indra cuma berkata: huss!!!
Selepas Arya pergi, Indra terus memandangi foto Isyana yang tampak bagaikan Srikandi. Cantik memesona tetapi juga kuat, tidak lemah, dan garang.
Isyana, bagaimana kabarnya sekarang? tanya Indra dalam hati, dan ia merasa Isyana tersenyum padanya membuatnya terlena, dan...
***
Isyana datang ke sebuah kafe sederhana dengan tampilan begitu kasual nan anggun. Memakai baju bermotif kembang hijau dan ada gradasi merah serta celana jins berwarna biru langit, dengan sepatu kets krem. Auranya masih tampak sebagai foto model meski ia sekarang adalah aktivis pertanian.
Indra yang melihatnya merasakan ada gejolak dalam diri dan hati. Keduanya berpadu membentuk nada-nada keterpersonaan yang tidak bisa diungkap dengan kata-kata, dan hanya bisa ditangkap dengan foto.
"Aku tahu kamu selalu merasa begitu kalau aku datang," kata Isyana yang memahami laki-laki di hadapannya ini tahu bahasa pujian dari sebuah gestur tubuh. Ia kemudian duduk berhadapan.
"Ya, habis kamu cantik banget kaya Sri Pohaci. Bagaimana aku tidak bisa selalu seperti ini?" ujarnya polos.
"Ah, kamu memang lelaki superpolos yang pernah aku temui. Sepolos foto-foto mu,"
Wajah yang cantik itu kini berhadapan muka dengan Indra. Ia semakin merasakan gejolak.
"Apa sih yang kamu pikirkan kalau lihat aku dan juga mikirin aku?" Isyana bertanya kepadanya dengan sorot mata ke atas, bawah, kiri, dan kanan.
"Ya, cantik. Kamu cantik," jawab Indra sekenanya meskipun ia tahu ingin berkata hal lain cuma itu dirasa tidak sopan.
Isyana yang tahu itu dari raut muka Indra langsung berkata dengan nada investigasi,
"Yakin? Cuma itu? Cantik?"
Indra terdiam. Alunan musik jazz di kafe seolah-olah menahannya untuk bicara lebih banyak mengenai perempuan yang kini ada di depannya.
"Dra, kan kamu tahu aku ini mantan foto model," Isyana lalu sedikit menjauhkan posisi duduknya dari Indra.
"Setiap hari aku kerja dengan para lelaki. Aku tahu semua lelaki. Dari baik hingga yang bejat. Mata mereka aku selalu wah saat memandangku, memandang aurat-auratku demi kepuasan mereka. Semua terlihat dari sorot mata mereka. Kamu lihat kan kulit tubuh ku yang tertutup ini setiap harinya bermandikan cahaya foto. Aku tahu mereka nafsu saat memotretku bahkan ada yang ngajak ke kamar tapi aku tolak. Sebab, aku masih ada moral meskipun auratku sudah jadi objek nafsu mereka bahkan saat juga aku berfoto telanjang,"
Indra yang mendengar itu langsung melotot matanya dan kaget,
"Kamu pernah foto telanjang?"
"Aku tahu kamu kaget. Atau mungkin kamu udah tahu kalau di internet ada banyak fotoku yang kayak gitu?
"Jujur, aku nggak tahu. Ini baru aja dengar dari kamu,"
"Oh, bagus deh kamu nggak tahu, dan baiknya jangan tahu. Bahaya buat otakmu," Isyana kemudian memajukan kepalanya,
"Tapi, jujur aja meski kamu tadi nggak tahu aku pernah pose telanjang yang sudah berulang kali, kamu juga pasti sering bayangin aku bugil, kan?"
"I, iya,"
"Nggak apa-apa. Aku senang kok kamu jujur. Memang rata-rata laki-laki seperti itu. Kamu tentu juga membayangkan aku sembari bermasturbasi, kan?"
"I, iya"
"Oke, aku suka kejujuran kamu. Karena itulah, aku mau jadi pacar kamu. Aku jujur aku juga sange melihat kamu. Tapi, aku berusaha tahan. Ya, di rumah aja aku keluarin! Ia lalu tertawa pelan.
"Kamu sange?" tanya Indra tak percaya.
"Lho, memangnya cuma laki-laki aja yang punya hak sange. Perempuan juga. Tapi, ya aku masih tahu moral dan agama ya. Jadi, kalau kamu mau merajah aku, halalin aku! Kamu siap?"
"Iya, aku siap!"
***
"Udah, Ndra, mandang fotonya?" Sebuah suara tiba-tiba ada di sampingnya. Indra merasa mengenal suara itu. Ia lalu menoleh. Rupanya Mbak Anna, redakturnya, "Mandang foto lama banget udah kayak orang melamun,"
"Eh, iya, mbak, maaf," ujar Indra lalu hanya tersipu dan sedikit salah tingkah.
" Udah tau mana aja foto yang mau dipamerin?" tanya Mbak Anna setelah itu.
"Udah sih, Mbak. Tinggal diambil aja," jawabnya sembari melihat foto-foto yang ia sudah tandai dalam pikirannya.
"Ya, udah, kamu panggil Harso buat ambilin,"
"Siap, Mbak,"
"O, iya, jangan kelamaan melamun kayak tadi. Kalau suka udah sana kejar," kata Mbak Anna sembari mengarahkan pandangannya ke foto karya Indra tersebut.
"Iya, Mbak,"
Mbak Anna kemudian meninggalkan Indra. Indra kini bersiap menghubungi Harso, si office boy, via WA untuk membantunya mengambilkan foto-foto yang ia sudah seleksi dan akan dipajang di pameran.
Ketika ia hendak melihat hapenya untuk WA, tampak ada pesan WA masuk, dan pesan itu bertulisan: Indra, apa kabar?, dengan nama pengirim: Isyana Aktivis Tani.
Indra langsung saja tersenyum dan jadi antusias.
"
0 komentar:
Posting Komentar