"Nak, sudah, Nak!" Suara itu kembali muncul. Terdengar begitu jelas meskipun hujan turun begitu deras disertai angin kencang dan petir yang sesekali menggelegar. Suara itu adalah suara tangisan seorang wanita yang terus saja merengek kepadaku untuk menghentikan hal yang sedang aku lakukan.
Tapi, peduli setan! Aku harus melakukan ini, dan ini sudah jadi keinginanku sejak lama yang terpendam dalam lubuk hati untuk mengobati rasa sakit itu. Hujan yang turun deras itu tak boleh jadi penghalangku apalagi suara wanita yang menangis itu yang bagaikan suara hantu yang melolong menyayat hati. Malam ini, semua harus teratasi. Semuanya.
Dengan palu besar yang sejak tadi aku genggam aku hancurkan keramik-keramik indah keemasan itu. Aku lakukan dengan sekuat tenaga, dengan marah yang membara luar biasa yang bahkan makhluk halus pun lebih baik berpikir dan permisi untuk meladeniku.
"Jangan, Nak, jangan," Lagi-lagi suara itu terus saja keluar di belakangku dengan tangisan yang sangat pilu. Petir pun kembali menggelegar. Tapi aku tak peduli. Aku tak peduli.
Ketika semua keramik keemasan itu hancur, aku kini mengarahkan pandangan pada sebuah tulisan nama yang terukir indah. Nama yang menurutku terkutuk karena kezaliman-kezalimannya. Aryaraja Brata. Begitulah nama itu. Tertera indah pada sebuah nisan berkilauan disertai tanggal lahir dan wafat. Ah, tapi apa peduliku soal ini. Aku harus hancurkan dia. Hancurkan kuburannya yang terbilang megah namun sayang kelakuannya malah seperti bedebah. Biarlah Tuhan dan kuburan-kuburan indah di sekelilingnya menjadi saksi bahwa aku menghancurkan dia sehancur-hancurnya meski dia sudah di alam lain.
Aku layangkan palu besar ke arah tulisan di makamnya, salah satu makam yang ada di lingkungan pemakaman keluarga. Palu itu menghantam dengan keras tulisan lalu retak, dan hancur.
"Nak, sudah, Nak. Kasihan Bapakmu. Dia sudah tenang di sana!" Suara itu muncul lagi. Aku lalu menoleh ke suara itu yang ada di belakangku. Aku lihat sesosok wanita tua yang sedang duduk lemas di lantai pemakaman sembari berpegangan pada malam lain, makam pakdeku. Dia adalah ibuku, wanita suami dari si keparat yang sudah terbujur kaku beberapa meter di bawah.
"Ibu selalu saja membela dia!" ujarku dengan nada kesal dan marah, "Orang yang berbuat zalim selama hidupnya tidak ada hak untuk dibela. Dia tidak akan pernah bisa tenang selama belum membayar atas kezaliman-kezalimannya kemarin!"
Ibuku cuma menangis melihat tingkahku yang sudah benar-benar dikuasai amarah. Ya, aku memang marah. Benar-benar marah terhadap si keparat Aryaraja ini. Sosok yang di masa hidupnya adalah seorang bapak bagi diriku dan juga adik-adikku. Sosok ini seharusnya bisa seperti Gatotkaca yang mampu melindungi aku, adik-adikku, juga ibuku. Tapi, dia malah jadi seorang Burisrawa yang benar-benar angkuh dan penindas.
Baiklah, akan aku ceritakan kenapa sangat membenci keparat bertopeng bapak ini sehingga aku harus menghakiminya meski ia sudah tak tampak lagi secara fisik.
Aku lahir dari keluarga yang berkecukupan, lahir dari seorang yang katanya masih punya darah biru. Dan, lahir dalam keadaan normal serta semua kebutuhan fisik dan materi terpenuhi. Bapakku, si keparat itu, sebenarnya adalah seorang yang cukup hangat di keluarga. Ia selalu memberikan curahan kasih dan sayangnya kepada aku dan adik-adikku. Aku selalu dibelikan barang meski aku tak pernah meminta. Ia juga sayang kepada ibuku, dan benar-benar mencintai ibuku. Tak pernah sekalipun ia selalu pulang malam, kecuali kalau ada urusan kantor yang harus diselesaikan segera. Ia selalu pulang membawa kehangatan dan keceriaan. Kami yang di rumah merasa bahagia saat ia pulang.
Kondisi ini berjalan sampai aku kelas 3 SMP. Tetapi, begitu aku kelas 2 SMA, semua mendadak berubah. Bapak yang tiba-tiba hangat menjadi pemarah dan sangat emosional. Ia yang tidak pernah bermain tangan tiba-tiba dengan mudahnya menampar pipiku, juga adik-adikku. Ibu pun tak luput. Bahkan, ia sampai dipukul dan ditendang serta dijambak. Setiap hari yang ada tangisan dan rasa pilu di hati.
Bapak yang tidak pernah pulang malam, kini selalu pulang malam, bahkan dengan kondisi mabuk dan membawa perempuan lain. Bagiku sungguh keterlaluan. Aku yang melihatnya sungguh merasa hal ini sudah tidak bisa diterima. Mabuk-mabukan apalagi membawa perempuan lain itu sama saja sudah mengkhianati cinta yang diberikan oleh ibuku. Dalam hatiku ada perasaan marah dan kesal. Aku pun segera tegur dia,
"Pak, apa-apaan sih pulang pakai mabuk-mabukan bawa perempuan segala? Memangnya yang diberikan Ibu sudah tidak cukup lagi?"
Dia yang mendengar teguranku itu langsung bereaksi dengan keras, dan dalam keadaan pengaruh alkohol.
"Tahu apa kamu, anak bau kencur? Kamu mau Bapak tempeleng lagi?"
Aku yang mendengar itu langsung membara emosiku, dan malah karena sudah kesalnya menantang balik.
"Silakan! Kalau Bapak berani, saya tidak takut!"
Ia dengan geram kemudian menyerangku sembari berkata,
"Kurang ajar kamu ya! Nggak sopan nantangin orang tua!"
Aku melihat ia menyerang bagai banteng. Aku ingin menahannya cuma aku tahu tenaganya besar dan badannya juga besar. Jadi, saat menyerang itu aku menghindar, dan ia malah menabrak tembok besar yang membuatnya jatuh tersungkur, dan mengeluarkan darah di dahi.
Ibuku yang mendengar suara itu tiba-tiba keluar dari kamar, dan terkejut. Begitu juga adik-adikku.
"Bapak kenapa, Nak?" tanya ibuku dengan raut terkejut panik karena melihat ada darah mengucur di dahinya.
"Ya tanya aja sama dia, Bu!" Jawabku masa bodoh sembari dalam hati merasakan kepuasan bisa mengalahkan dia.
"Nak, gini-gini dia Bapak kamu," kata ibu dengan suara marah sekaligus lirih, "Kamu sebagai anak seharusnya hormat!"
Aku yang mendengar itu lantas menanggapi,
"Ah, sudahlah, Bu. Orang yang sudah kasar sama ibu juga anak-anak ibu harus dikasih hormat? Ibu kok masih aja ngebelain dia? Emangnya ibu nggak merasa sakit batin ibu dia seenak jidat bawa perempuan lain masuk ke kamar, bersetubuh sementara ibu yang tidak terima malah ditendang! Kayak gitu masih harus dihormati?"
Ibuku cuma terdiam lalu menangis. Aku yang melihatnya malas karena selalu saja begitu seperti drama. Aku palingkan diri lalu ke kamar. Lalu kudengar ibu meminta adik-adikku untuk membantunya membopong si keparat itu.
Setelah kejadian itu, si keparat bertopeng bapak itu tidak pernah sekalipun pulang. Biasanya kalau anak yang normal akan bertanya-tanya dan merindukan. Ini sebaliknya. Aku jadi masa bodoh. Toh, rumah jadi tenang tidak ada dia. Kemudian beberapa bulan setelah tidak pulang, kami dapat kabar bahwa ia meninggal dalam sebuah kecelakaan bersama seorang wanita. Aku terkejut? Sudah pasti. Tapi, kemudian biasa saja. Begitu juga adik-adikku. Tapi, tidak dengan ibuku yang malah menangis tersedu-sedu. Dalam hati membatin, kenapa harus menangisi orang yang berbuat zalim?
Ketika pemakaman aku merasa biasa-biasa saja. Apalagi adik-adikku. Dan, lagi-lagi cuma ibuku. Ya, aku biarkan saja toh semua penderitaan berakhir. Semua ini diawali dengan si keparat itu bermain judi online diam-diam dengan beberapa teman kantornya. Dan, ternyata kalah telak, ia jadi frustasi dan marah-marah kepada kami yang ada di rumah.
Ternyata penderitaan belum berakhir. Kami yang masih hidup harus menanggung akibat dari semua perbuatannya. Ia rupanya banyak berutang sampai menggadaikan rumah untuk dijadikan jadi jaminan. Kami terkejut ketika petugas bank dan polisi datang untuk menyita rumah kami tanpa pemberitahuan. Gara-gara si keparat ini kami terusir, terusir dari sebuah rumah besar yang dahulu menjadi payung yang mampu meneduhkan kami dari panas dan hujan. Aku benar-benar marah. Benar-benar kesal. Ketika harus pindah dalam keadaan terpaksa itu, aku hancurkan foto-foto si keparat itu, aku robek-robek dokumennya. Ia tidak boleh terlihat lagi. Ibuku yang melihatnya langsung menamparku. Tapi, aku tak peduli. Aku bakar semua foto dan dokumennya sampai jadi abu, dan aku puas.
Pada akhirnya kami harus pindah ke sebuah rumah kontrakan yang kecil. Tapi, di situlah perjuangan dimulai. Aku mau tidak mau harus putus sekolah, dan bekerja serabutan untuk menyambung hidup. Begitu juga ibuku dan adik-adikku. Kondisi ini semakin diperparah ketika tak satu pun sanak keluarga mencoba membantu sehingga kami harus berusaha sendiri. Aku benar-benar kesal dan tidak terima. Aku berupaya minta bantuan tetapi selalu ditolak, dan mereka malah menyalahkan ibuku yang katanya tidak bisa memuaskan si keparat itu. Aku merasa janggal. Kok malah begitu? Kenapa mereka berkata seperti itu?
Ketika aku bercerita pada ibuku soal alasan itu, ibuku cuma bilang:
"Sudahlah, Nak, sudah. Ibu ikhlas menerima semuanya kalau itu semua salah ibu,"
Aku yang mendengar itu rada tersinggung dan heran dengan sikap ibuku,
"Kenapa ibu malah jadi mengiyakan mereka? Gara-gara keparat itu kita semua jadi begini!"
Semenjak itu aku jadi antipati pada sanak familiku. Tak pernah aku bertemu muka dengan mereka lagi. Tak pernah aku mau tahu kabar mereka. Akan tetapi, suatu hari, ibuku bilang, ada adik si keparat itu memberitahukan dengan bangganya bahwa makam si keparat malah sudah diperbagus dan dipercantik. Aku yang mendengarnya naik pitam. Aku ingin menghancurkan kesombongan itu.
Begitulah dengan rasa marah yang membara, aku bawa ibuku di malam hujan deras ini sebagai saksi untuk menghancurkan keangkuhan yang dahulu pernah ada, yang bersemayam beratapkan joglo dengan cungkup wijaya kusuma di atasnya. Ibuku tidak mau tapi aku paksa. Dia bilang aku gila, tak waras, dan kerasukan setan. Tapi, peduli amat. Ini sudah jadi hasratku. Aku tak beritahukan pada adik-adikku, dan lagipula mereka sedang membanting tulang.
Ketika nisan itu pecah berantakan disambut suara tangis yang semakin kencang, aku malah semakin tertantang untuk berbuat gila lagi. Batinku belum puas. Aku segera tancapkan cangkul ke tanah makam setelah kanan-kiri kijing hancur. Aku segera menggali tanah itu, mencari jasad si keparat di kedalaman beberapa meter. Ketika dapat, jasad yang sudah terbaring terbungkus kain kafan berbentuk pocong itu segera aku angkat keluar. Aku rasakan dalam bungkusan cuma itu tulang-belulang karena ulat dan bakteri sudah memakan lapisan luarnya. Tapi, tak apa. Aku puas. Aku senang.
Aku kemudian melempar ke atas, dan segera memanjat berpegangan pada sisi kijing yang hancur.
Ibuku yang melihatnya terkejut. Jasad suaminya kini ada di hadapannya. Ia kulihat kembali menangis lagi sembari berkata,
"Gusti, mohon maafkan hamba-Mu, dan juga anak hamba. Ampuni dosa-dosa kami!"
Tapi, aku tak peduli lagi. Aku buka kain kafan pocong itu. Kulihat tulang-belulang itu dari tengkokrak hingga kaki. Amarahku meledak melihat itu semua. Ini adalah si keparat. Si keparat yang menghancurkan kehidupan kami karena egonya. Aku merasa ia tersenyum mengejek. Membuatku meledak. Aku ambil palu besar di sampingku. Aku hancurkan tengkorak itu sampai terbelah dan menjadi pecahan lalu aku lanjutkan lagi dengan menggancurkan tulang yang lainnya termasuk tangan dan kaki yang dulu dipakai untuk menghajar aku, ibuku, dan adik-adikku. Semua kini benar-benar jadi pecahan. Ibuku sekali lagi cuma bisa menangis kencang atas tindakan gilaku ini. Menghukum si keparat diktator ini sampai ke akar-akarnya. Aku rasakan puas pada batinku. Benar-benar puas. Hasrat itu sudah terpenuhi. Apalagi saat aku putuskan membakar belulang itu jadi abu. Aku pun tertawa-tawa. Ibuku seperti aku bilang cuma bisa menangis kencang. Suaranya menyayat pilu bersanding dengan hujan, angin, dan petir.
Ketika tulang-tulang itu menjadi abu, ketika semua aku rasa berakhir, dan tidak ada jejak-jejak lagi. Ibuku berhenti menangis. Ia menatap abu-abu yang membuat lantai makam menghitam lalu menatapku tajam,
"Kamu memang berhasil menghancurkannya, Andre. Tapi, semua akan percuma kalau ternyata kamu malah mewarisinya,"
Aku hanya terdiam mendengar ucapan ibu yang terkesan ironis itu dalam kepuasan yang aku miliki. Dari kejauhan terdengar samar suara sirine mengarah ke kami. Ya, aku sudah tahu konsekuensinya.
0 komentar:
Posting Komentar