Pages

Sabtu, 20 September 2025

Kata Ini Aku Makan



"Kalian ngapain di situ?"tanya seorang nenek kepada lima anak kecil dengan nada ingin marah, "Sudah berulang kali Nenek bilang tidak boleh main dekat situ. Mau kalian dimakan?"

Demikianlah yang sering diucapkan seorang nenek kepada lima anak kecil yang merupakan cucu-cucunya. Si nenek sudah lama melarang para cucunya mendekati sebuah gerbang yang mengarah masuk ke sebuah hutan hitam pekat yang di atasnya dipayungi langit kelam, petir, dan awan kelabu. Kondisi ini sangat kontras dengan di luar gerbang yang tampak cerah penuh dengan warna yang memanjakan mata, dan juga bisa menenangkan batin.

Nenek itu, sebut saja namanya Nenek Tinga adalah seseorang tua yang telah lama tinggal di sebuah rumah besar berbahan kayu jati yang di sekelilingnya ada pohon-pohon besar seperti beringin dan kihujan serta pohon bambu. Rumah dari kayu jati itu berbentuk seperti rumah panggung dengan atap yang tampak seperti gunting bersilangan serta ada lubang besar pada bagian atas untuk keluar-masuk angin.

Nenek Tinga memang seorang nenek. Akan tetapi, jangan tertipu oleh tampilannya. Dia bukan seorang nenek renta. Dia masih seorang nenek yang berbadan tegap serta atletis dan lentur sehingga orang akan melihatnya bukan seperti nenek-nenek. Wajahnya juga tidak tampak seperti seorang nenek karena masih terlihat awet muda dan seperti orang berusia 40-an tahun. Ia dipanggil nenek karena mempunyai lima orang cucu yang sedari kecil ia asuh. Cucu-cucu ini tak sekalipun diketahui kedua orang tuanya sebab Nenek Tinga menemukan mereka berlima saat sedang menyapu halaman rumah. Mereka ditemukan dalam keadaan dibungkus daun pisang. Karena kasihan, Nenek Tinga memutuskan merawat dan mengasuhnya.

Mulanya ia bingung cara merawat kelima anak itu karena sepanjang hidupnya ia tidak pernah berurusan dengan anak kecil bahkan dengan lelaki sekalipun sehingga bunga dalam dirinya selalu wangi. Selain itu, ia bingung soal menamai anak-anak ini. Tak pernah dalam hidupnya ia harus memberi mereka nama sebab ia tak ahli dalam memberi nama atau menamakan sesuatu. Nama Tinga juga karena pemberian orang lain sebab ia punya kebiasaan selalu memberi ingat pada orang lain.

Dalam kebingungan itu, Nenek Tinga cuma bisa berdoa kepada Sang Pencipta supaya diberikan kemudahan karena ia menghadapi hal yang belum pernah dialaminya.

"Ya, Tuhan," ujarnya pada suatu malam setelah menemukan kelima anak itu dengan nada memohon yang sangat kuat sembari mengangkat kedua tangannya ke atas kepala, "Berikan hamba kekuatan dan kemudahan serta jalan keluar untuk merawat mereka!"

Dalam kesyahduan doa di malam itu, angin berembus pelan, bersemilir menerpa mukanya. Nenek Tinga yang merasa seperti diusap itu tiba-tiba pandangannya berat seperti dijejali oleh banyak besi berton-ton. Ia rasakan kantuk. Tubuhnya mulai menolak kesadaran. Memberontak. Ia tak kuasa menahan lalu melayang kemudian tertidur.

Di dalam mimpi Nenek Tinga terbangun di sebuah tempat dengan awan-awan di sekitarnya. Ia yang menyadarinya merasakan ketakutan sebab bisa di tempat yang sangat tinggi yang selama ini tak pernah ia bayangkan. Tubuhnya keringat dan bergetar.

Belum sempat ia lepas dari rasa itu, sebuah suara mengejutkannya. Ia merasa campur aduk dan ketakutan sembari berkata:

"Ampun, Tuhan," katanya memohon dengan bersujud, "Ampuni salah hamba, ampuni salah hamba,"

"Kau, tenanglah," kata suara itu kemudian dengan pelan namun bergetar. Kondisi ini semakin menambah ketakutan pada diri Nenek Tinga. Ia terus bersujud sembari komat-kamit minta ampun.

"Bangunlah. Jangan takut," kata suara itu lagi kemudian, "Kau adalah hambaKu yang mulia. Jangan takut. Duduklah sebab Aku akan memberikan kabar gembira untukmu,"

Nenek Tinga yang masih bersujud itu awalnya masih belum yakin tetapi kemudian ia perlahan bangun dari sujudnya lalu mendengarkan suara tanpa wujud tersebut.

"Kau telah diberi hal yang istimewa karena berhasil menemukan lima bayi di halaman rumahmu. Kau tidak perlu bingung dengan mereka. Mereka adalah keturunanku dari hamba-hambaKu yang saleh, yang ketika dewasa mereka akan melawan kezaliman yang sudah terjadi oleh Raja Tahaj. Dia berupaya menyerupaiKu, menganggap dirinya lebih perkasa, dan menyuruh orang-orang menyembah selainKu. Aku bisa saja secara langsung memusnahkan dia tapi dia kuberi kesempatan hingga nanti masa tiba,"

Dalam mimpi itu, Sang Suara segera membantu Nenek Tinga memberi nama kelima bayi tersebut, dan kemudian si Nenek terbangun serta tersadar. Semenjak itu, berdasarkan arahan Sang Suara ia menamai kelima bayi yang kini ia rawat. Bayi pertama ia namakan W. Bayi kedua ia namakan N. Bayi ketiga ia namakan L, serta bayi keempat dan kelima ia namakan A dan A. Keduanya kembar. Supaya tidak bingung, Nenek Tinga memberi pembedaan. A pertama ia beri nama A tinggi dan A kedua ia beri nama A pendek. Semua bayi itu laki-laki.

Semenjak itu kehidupan Nenek Tinga berubah total. Ia yang tadi sendiri, dan hanya berpikir untuk diri sendiri kini harus juga mengurusi kelima anak ini yang di awal membuat ia pusing tujuh keliling sampai ia hendak menyerah. Namun, Sang Suara selalu menegurnya untuk bisa merawat mereka sampai dewasa, dan melawan Raja Tahaj. Karena itulah, Nenek Tinga bertahan. 

Dalam mimpi, Sang Suara juga selalu mengingatkannya untuk tidak membiarkan kelima anak itu mendekati hutan yang terlihat selalu gelap bahkan pintu gerbangnya sekalipun sebab di dalam situ hidup raksasa pemakan anak-anak bernama Hamnus. Jika anak-anak itu dimakan Hamnus, Tahaj akan terus berkuasa. 

Karena itu, berulang kali Nenek Tinga memperingatkan mereka meski ia sebenarnya sudah bosan.

"Kami kan cuma main di sekitar sini saja, Nek," kata W menanggapi larangan Nenek Tinga. W sendiri sebenarnya dalam dirinya penasaran akan larangan itu. Berulang kali Nenek Tinga bercerita itu kepadanya dan saudara-saudaranya. Ia sering kali bertanya pada dirinya juga saudara-saudaranya soal raksasa pemakan anak-anak. Saudara-saudaranya juga penasaran dan bertanya hal yang sama.

"Apa iya, Nek, si Hamnus itu ada?" Kali ini si L yang bertanya terang-terangan tanpa basa-basi, "Apa ia akan memakan kami? Memangnya kami siapa?"

Mendengar itu Nenek Tinga jadi emosi. Anak-anak ini yang juga cucu-cucunya malah membuat naik pitam, dan ini untuk pertama kalinya.

"Kalau Nenek bilang tidak boleh ya tidak boleh!" Katanya dengan nada marah, "Sekarang kalian pergi dari situ. Pergi!"

Ia mengusir mereka berlima yang segera berlari ke arah rumah. Nenek Tinga mengikuti mereka. Begitu sampai di rumah, dikuncilah pintu rumah sehingga kelima anak itu tidak bisa keluar sama sekali.

"Jangan ada yang keluar lagi hari ini apalagi sampai main ke dekat gerbang itu. Paham!" Ancam nenek Tinga kemudian pada mereka. Mereka berlima segera ke lantai atas. Tampak ada raut kesal di wajah mereka sekaligus rasa penasaran yang membuncah.

"Apa benar Hamnus itu ada?" tanya N ketika duduk di tepi tempat tidur. Ia memandang wajah saudara-saudaranya. L tampak gusar. W penasaran sembari melihat ke jendela melihat ke hutan hitam di kejauhan. Hutan itu seperti sebuah wilayah yang harus dimasuki. Siapa tahu di dalam itu bukan Hanmus yang ada tetapi mungkin ada burung, ada kelinci, dan kancil yang sering mereka lihat saat bermain.

Kembar A juga cuma terdiam tetapi tetap dengan perasaan yang sama. A tinggi lalu tiduran sembari menatap pada langit-langit. Ia tampak berpikir soal Hutan Hitam yang tidak boleh dimasuki itu sementara A pendek cuma duduk namun dengan perasaan yang sama seperti saudara-saudaranya. Ia merasakan penasaran juga bosan yang melingkupi dirinya setiap hari. Ia bosan harus bermain mulu di area yang terang dan cerah sementara yang gelap tidak boleh karena ada yang suka makan anak-anak.

Mereka benar-benar dalam kondisi batin di antara rasa penasaran namun juga dilarang oleh Nenek Tinga yang akan terus melarang dan melarang. Entah sampai kapan. Dalam kondisi yang demikian itu, A pendek malah berkata:

"Udah ah kita ke sana aja. Bodoh amat Nenek marah-marah,"

Semua pada menatap pada dirinya dengan terkejut.

***

Suasana tampak begitu gelap. Petir menggelegar tanda mau hujan. Angin berembus kencang. Pohon-pohon kehitaman dengan ranting-ranting seperti tangan tampak menyapa kelima saudara ini yang akhirnya melanggar ketetapan dari Nenek Tinga: masuk ke Hutan Hitam. Mereka berlima secara diam-diam pergi meninggalkan rumah ketika tahu Nenek Tinga tertidur lelap. Ketika masuk mereka merasakan perasaan yang tidak biasanya: cemas dan takut. Suasana sekitar tampak tidak ramah. Menyeramkan. Di dalam hutan itu ada suara-suara seperti suara hantu yang memanggil-manggil. Mereka bergidik. Keringat keluar sangat deras. Seperti hendak diikuti dan diburu dari berbagai arah. Was-was.

"Wah, ternyata seram juga ya," kata L mulai menyadari kondisi di sekitarnya, "Kalau tahu begitu jangan masuk deh,"

"Nanti kamu malah ribut kalau nggak masuk," kata A tinggi menyangga ucapan saudaranya itu. Tidak terima L lantas membalas, "Kamu juga kan?"

"Sudah kalian jangan ribut, "kata W berusaha menengahi situasi mencekam yang tengah mencengkram mereka luar dalam, "Ada baiknya sekarang kita berbalik arah saja ya. Semakin ke dalam semakin bahaya,"

"Tapi, kalau kita balik kita tidak akan dapat apa-apa," Kata N menolak usul W, "Kan kita nggak tahu Hanmus seperti apa? Jangan-jangan dia kancil yang sering kita kejar,"

Dari semua itu cuma A pendek yang diam. Ia tak mau ikut bersuara seperti monyet-monyet. Ia coba berusaha tenang meski ada rasa cemas dan takut dalam dirinya. Ia pimpin dan pandu para saudaranya menyusuri hutan.

Petir kembali menggelegar. Angin semakin kuat berembus. Burung gagak berkaok-kaok sangat kencang. Semakin menambah kesan horor. Ketika mereka mencoba melangkah lagi, dan kini memasuki ruang yang terbuka tanpa disadari di depan mereka ada sesosok besar berkulit lebat, bermata merah menyala layaknya Banaspati, dan bergigi runcing tajam dengan lidah menjulur seperti Leak. Tangan dan kakinya berkuku panjang dan tajam. Ia menatap mereka dengan tajam.

Kelima saudara itu terkejut bukan main. Mereka berdiri membatu. W membatin, inikah Hamnus? L, N, W, serta A kembar juga demikian. Keringat mengucur deras dari tubuh mereka membasahi tanah yang mereka pijak.

Sosok besar seperti raksasa itu tampak tersenyum lebar melihat kelima anak di depannya kaku. Ia tertawa sangat kencang. Tawanya membuat hutan bergetar dan menembus keluar hutan.

"Akhirnya, kalian datang juga," ujarnya dengan suara besar bergetar dengan senyum jahat menyeringai, "Sudah lama aku menunggu kalian semenjak Raja Tahaj mengutusku untuk menghabisi kalian!" Ia kemudian tertawa lagi.

Ia lalu berjalan mendekat ke kelima anak itu. Langkah kakinya yang besar membuat bumi bergetar. Mereka sekali lagi hanya bisa membatu. Rasa cemas sudah menghantui mereka. Sepertinya mereka sudah akan jadi santapan si Hamnus. Ketika Hanmnus sampai di depan mereka, ia berhenti lalu menurunkan tubuhnya lalu memandang wajah kelima anak itu per satu. Mereka semua tampak takut. 

"Hari ini riwayat kalian akan berakhir," kata Hamnus setelah itu dengan nada dan senyum penuh kepuasan. Ia tampak akan merayakan sebuah kemenangan yang sudah dinanti-nantikan.

"Kalian tidak akan mengancam lagi Raja Tahaj yang akan selamanya jahat dan berkuasa. Aku, Hanmus, si raksasa akan membuat kalian musnah sampai ke akar-akar sampai tidak ada lagi kata lawan dalam diri kalian seperti nama-nama kalian. Aku akan memakan kata-kata kalian,"

Ia kembali tertawa kencang dan menggetarkan. Kelima saudara ini tampak pasrah tidak bisa berbuat apa-apa apalagi ketika tangan besar berkuku panjang milik Hamnus mulai menggengam mereka semua bersiap dimasukkan dalam mulut. Kini penyesalan melingkupi mereka. Sayang, sudah terlambat.

Tetapi apakah harus berakhir lawan ini?

0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran