Pages

Senin, 06 Mei 2013

Nah Lho!


Jarum jam berputar ke angka satu. Putarannya nampak lambat namun sangat berarti bagi Wuri. Dinaungi ruangan yang cukup ber-AC, ia duduk di dekat sebuah ruangan yang bertulisan dr. Arya Pamungkas, salah seorang dokter di sebuah rumah sakit terkenal di Yogyakarta. Wuri berada di situ bukan karena hendak berobat, melainkan ingin menemui sang dokter untuk keperluan wawancara. Maklum, ia sendiri seorang wartawan sebuah majalah, dan sedang mendapat tugas dari atasannya untuk mewawancarai dokter ini perihal penyakit stroke yang bisa menyerang kaum muda.


Ia sendiri baru sekitar lima belas menit di ruangan dekat ruangan si dokter yang diincarnya itu. Baru juga lima belas menit yang lalu sampai di Yogyakarta usai penerbangan dari Jakarta pada pukul setengah 12. Sebuah penerbangan yang harus dilakoni dengan keburu-buruan sebab terjebak macet di tol menuju bandara. Sesuatu yang membuatnya menarik nafas dalam-dalam karena akan tertinggal pesawat.

Di sebelahnya ada sebuah tas yang memuat semua kelengkapannya untuk wawancara. Perekam, kamera, kartu pers, dan juga notes. Tepat setelah jarum jam perlahan meninggalkan angka satu, seorang perempuan berjilbab menyapanya dari balik ruangan. Perempuan itu mempersilakannya masuk sebab sang dokter siap untuk diwawancara. Wuri mengatakan dalam hatinya itu pasti asisten dokter. Ia segera bergegas.

Di dalam ruangan itu yang terlihat lebih besar, dan ada dua meja. Satu berdekatan dengan pintu masuk, satu lagi berada jauh dan membelakangi jendela besar yang tertutupi horizontal blind. Di meja tampak seorang dokter yang Wuri pastikan itu dokter Arya. Ketika diantar masuk itu, tepat di mejanya, ia menatap dokter itu, dan terkejut.
***
Wuri berlari secepat mungkin. Kedua kakinya ia arahkan langsung ke gerbang penerbangan domestik begitu turun dari taksi yang mengantarnya ke Bandara Soekarno-Hatta. Sudah mau jam setengah 12. Itu artinya pesawat akan terbang ke Yogyakarta sesuai dengan jadwal. Ia terpaksa seperti itu akibat macet di tol bandara dikarenakan kecelakaan sedan yang mengakibatkan antrean panjang. Ketika terjadi macet itu, Wuri nampak ketar-ketir. Bagaimana tidak, macet ini pasti akan membuatnya telat sampai di bandara. Ia sendiri juga sudah berjanji kepada si narasumber, seorang dokter di Yogyakarta, dokter Arya untuk wawancara pada pukul satu. Itu yang Wuri lakukan dua hari sebelumnya sesaat setelah mendapatkan tugas dari atasannya. Ketika macet, sambil berharap dalam hati macet terurai, ia mengirim pesan pendek ke narasumbernya,
“Maaf, Pak Dokter, ini saya lagi terjebak macet. Mungkin saya telat,”

Beberapa menit setelahnya muncul pesan pendek balasan,

“Iya, tidak apa-apa,”

Aduh, gawat ini kalau sampai ketinggalan pesawat, ujar Wuri dalam hati sambil terus berlari mengejar, bisa-bisa poin gue negatif.

Ia terus berlari mencari tempat pesawat ke arah Yogyakarta berada. Rupanya pesawat belum berangkat. Katanya ditunda sekian menit. Menunggu pengisian avtur secara optimal. Wuri lega dan bersyukur dalam hati. Ia segera masuk lalu duduk berdasarkan nomor yang tertera di tiket. Ketika hendak duduk, di deretannya telah banyak penumpang berbagai rupa. Wuri berucap permisi sebagai basa-basi untuk duduk.

Ia mendapat duduk agak mendekat dengan jendela. Di samping kiri dan kanannya, ada ibu tua dan seorang anak muda yang mungkin seumuran dirinya. Dan di samping ibu-ibu itu ada seorang bapak berjas hitam rapih. Wajahnya kotak dengan beberapa kerutan di bawah kelopak mata. Di bawah hidungnya ada kumis yang nampak tebal. Potongan rambutnya pendek rapi. Wuri tidak menangkap kesan istimewa pada bapak itu. Ia tadi hanya tersenyum berucap permisi ketika hendak duduk.

Sepanjang perjalanan di udara, tak ada sama sekali percakapan yang timbul antara Wuri dan penumpang lainnya. Hening. Yang ada cuma percakapan di tempat duduk lain dan suara pramugari melalui pengeras suara. Perjalanan udara itu sendiri berdurasi sejam. Segera setelah itu buru-buru Wuri mencari taksi, dan langsung mengatakan alamat ke si sopir taksi yang mengantarkannya. Rupa-rupanya rumah sakit yang ia tuju berada di luar kota Yogyakarta. Tepatnya di Sleman. Perjalanan dari bandara kurang lebih memakan waktu lima belas menit. Itu pun kalau tidak terkena macet. Wuri berharap semoga ia sampai di tujuan. Harapannya terkabul. Ia pun sampai. Setelah membayar uang ke si sopir taksi, ia segera masuk dan langsung menuju bagian informasi untuk memberitahukan kedatangan diri beserta identitasnya.

***
Lho, bukankah ini bapak yang tadi? Tanya Wuri dalam hati mengenai dokter yang akan ia wawancarai. Wajahnya nampak mengandung raut keterkejutan juga keheranan seakan-akan seperti pernah bertemu orang yang akan diwawancarainya. Ia lihat lagi wajah dokter itu. Ini benar-benar bapak yang tadi, gumamnya lagi dengan penuh keyakinan.

“Maaf, mbak ada apa?” tanya si dokter seakan-akan ia bisa menangkap pesan wajah dari Wuri. Si dokter ini juga menyadari bahwa Wuri tadi adalah orang yang ia temui di pesawat. Tetapi, ia berusaha bersikap biasa saja seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

“Eh, bapak yang tadi di pesawat kan?” tanya Wuri seolah-olah tanya itu untuk mewakili keheranan dan keterkejutannya.

“Betul,” kata dokter Arya, “Saya yang tadi di pesawat. Kenapa memangnya?”

“Eh, tidak apa-apa, pak,” kata Wuri masih terjaring dalam keheranan dan keterkejutannya, “Cuma saya tidak mengira aja bapak narasumber saya,”

“Ah, wajarlah itu,” kata dokter Arya sembari berbasa-basi, “Kan hanya kebetulan. Ada banyak kebetulan di dunia ini,”

“Iya, pak,”

“Ya sudah, bisa kan dimulai wawancaranya. Soalnya sebentar lagi saya harus mengecek pasien,”

“Bisa pak,”

Mulailah Wuri mewawancarai dokter Arya. Beberapa daftar pertanyaan yang telah ia siapkan ia lempar satu per satu. Tampak Dokter Arya menjawab dengan santai dan jelas, serta mendetail. Wuri merekam jawaban itu dengan perekam yang telah ia siapkan. Wawancara itu sendiri berjalan hampir 20 menit. Ketika selesai,

“Kamu sudah berapa lama menjadi wartawan?” tanya dokter Arya setelah itu.

“Baru aja, pak,” jawab Wuri sembari membereskan alat-alatnya, “Baru sebulan ini,”

“Tapi, kok cara bertanyamu seperti wartawan berpengalaman ya?” tanya dokter Arya heran, “Lulusan jurnalistik?”

“Bukan, pak, saya cuma lulusan hukum,” jawab Wuri seadanya.

“Hukum?” Dokter Arya kembali heran, “Lho kok malah wawancara kesehatan? Memangnya nyambung?”

“Kalo udah jadi wartawan nggak mandang latar belakang pendidikan lagi, pak,” kata Wuri menjelaskan, 

“Kalo atasan kita suruhnya meliput kesehatan ya harus dikerjakan. Nggak boleh menolak,”

“Oke-oke, saya mengerti,”

Setelah wawancara itu, Wuri memohon pamit. Ia kemudian keluar dari ruangan. Raut lega tergambar jelas di wajahnya. Narasumber telah diwawancarai, dan tinggal menulis serta menyortir laporan ke atasannya.

Huff...hampir aja poin gue negatif, ujarnya dalam hati sembari melangkahkan kaki ke luar dan melihat langit di Yogyakarta yang masih siang dan terasa terik namun terasa menyejukkan hati.

Handphone yang sedari tadi di dalam kantongnya ia ambil lalu ia nyalakan. Facebook pun ia sasar, dan ia tulis status di dalamnya,

“Abis wawancara. Ternyata narasumbernya orang yang satu pesawat. Hahaha,”

Status itu kemudian mendapatkan banyak respons dari teman-temannya,

“Wah, kok bisa?”

“Wah, asyik dong satu pesawat dengan narasumber. Eh, ganteng nggak?”

“Pasti ini kebetulan?”

Wuri menjawab respons itu satu per satu. Setelah itu, ia langkahkan kaki kembali. Sebuah taksi ia setop. Sore ini ia harus kembali ke Jakarta. Padahal, dalam hati kecilnya, ia ingin sekali berjalan-jalan di Yogyakarta. Menikmati kota itu. Namun mau bagaimana lagi. Tugas selanjutnya menanti.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran