Pages

Kamis, 09 Mei 2013

Dasar Artis!


Wajah itu begitu lemas. Tatapannya nampak sayu. Rambutnya yang tadinya lurus malah bercabang ke kiri dan ke kanan. Langkahnya pun juga terlihat pelan. Namun, begitu, ia tetap masih mau menyunggingkan senyum biarpun di dalam otaknya ada sesuatu yang membuat dirinya pusing.

Malam memang sudah larut. Jam sudah menunjukkan hampir ke angka 12. Meski berjalan lambat, tetapi terlihat penanda waktu itu semakin bergerak pasti. Helmi yang sedari tadi datang mengendarai motor ke kantornya menjelang pergantian hari itu duduk sebentar lalu mengambil sebatang rokok dari tasnya. Menyalakannya dan mengembuskannya. Terasa ada semacam kelegaan di dirinya.

Helmi adalah seorang pekerja media. Wartawan di sebuah majalah berita yang cukup terkenal. Di situ ia sudah bekerja selama hampir setahun. Menjadi wartawan memang keinginan Helmi semenjak kuliah. Dan itu baru ada di semester ke-4. Meskipun latar belakang kuliahnya adalah kuliah jurnalistik, tetapi Helmi tidak berpikir, ketika itu, menjadi kuli tinta, sebuah profesi yang dihormati sekaligus dicerca, serta mengandung banyak risiko. Ia malah berpikir untuk kerja di periklanan sebagai konsultan atau manajer iklan atau sebagai humas di kementerian. Namun semuanya berubah. Suatu hari seorang seniornya yang sudah lulus datang ke kampusnya bertemu dengan dirinya di kantin. Seniornya itu, Helmi lebih suka memanggilnya “kang Rusdi”, sudah bekerja sebagai wartawan di sebuah majalah berita. Kang Rusdi tampak mempengaruhi Helmi agar ia mengikuti jejaknya. Awalnya, Helmi ogah dengan alasan ini-itu. Tetapi, kang Rusdi terus meyakinkannya.

“Setiap pekerjaan memang ada risiko, bos,” kata kang Rusdi, “Kalau nggak ada risiko bukan pekerjaan namanya,”

Memang risiko akan selalu ada dalam setiap pekerjaan yang digeluti. Besar atau kecil. Tetapi itu adalah konsekuensi yang harus dijalankan. Apalagi pekerjaan sebagai wartawan, terutama wartawan perang. Nyawa menjadi pertaruhan. Cuma risiko itu ada karena ingin mendapatkan sebuah kebenaran alias fakta. Bukan sesuatu yang fiktif. Kang Rusdi pun mempengaruhinya bahwa menjadi wartawan berarti juga menjadi bagian perubahan dari bangsa. Ya untuk yang satu ini nampak Helmi mengiyakan. Tetapi, ia mengajukan pertanyaan,

“Kalau memang perubahan mengapa sekarang banyak jurnalis yang bekerja demi sebuah kepentingan orang-orang di tempatnya?”

Kang Rusdi paham maksud Helmi. Ia segera menjawab bahwa itu tergantung dari media massanya. Kalau media massanya tidak independen dan dikuasai sekelompok orang, ya beritanya terkesan berat sebelah. Tetapi kalau independen, beritanya bisa cover both side.

Jawaban kang Rusdi yang seperti itu membuat Helmi akhirnya memancangkan niat untuk menjadi wartawan. Apalagi di zaman reformasi sekarang, wartawan profesi yang banyak digandrungi. Semenjak itulah, Helmi terus giat dalam kuliahnya supaya bisa lulus tepat waktu. Dan itu pun terlaksana.

Selepas lulus, Helmi yang menganggur beberapa bulan, akhirnya melamar ke sebuah majalah berita ternama. Sesuatu yang memang ia inginkan daripada menjadi wartawan majalah gosip. Majalah berita pasti memberitakan fakta, bukan majalah gosip yang semuanya fiktif. Ia memang diterima. Bukan main senang hatinya. Impiannya terwujud. Menjadi bagian dari perubahan bangsa.

Awal-awal menjadi wartawan, ia cukup senang karena atasannya sering menugaskan ia ke masalah politik, sosial, ekonomi, dan hukum. Semua dijalani Helmi dengan senang hati, meski cukup berisiko juga ketika meliput tentang bentrokan massa preman dengan preman lainnya. Tetapi begitulah pekerjaan. Seperti yang ia ingat dari ucapan kang Rusdi, semua pasti ada risiko.

Prestasinya pun menanjak. Atasannya cukup suka dengan kinerjanya yang terlihat fleksibel, penuh semangat, dan sepertinya berhasil menerapkan teori jurnalistik semasa kuliah. Kemampuan reportase, kepiawaian menembus narasumber dijadikan oleh atasannya untuk terus mempertahankan Helmi yang nampaknya akan menjadi aset bagi majalah tersebut. Tetapi, Helmi bersikap biasa saja walau ia tahu dari atasannya yang lain. Ia sendiri tidak mau terpengaruh karena kalau terpengaruh ia bisa terlena dan semangat kerjanya hilang.
Namun, atasannya yang lain ---Helmi memang punya banyak atasan---- meminta agar supaya ia diterjunkan ke dalam entertaintment untuk rubrik artis di majalah tersebut. Ini supaya ia tidak terpaku pada bidang yang serius saja. Sidang redaksi menyetujuinya. Jadilah Helmi ditugaskan untuk reportase mengenai artis yang kebetulan sedang lekat dengan prestasi yang diraihnya menjadi pemain terbaik di filmnya.

Helmi awalnya kurang suka. Tetapi mau bagaimana lagi masa ia harus menolak. Menolak berarti mengkhianati kesepakatan ketika ia diwawancara bahwa ia bisa bergerak di semua bidang untuk liputan. Dan ujung-ujungnya, ya ujung-ujungnya, ia bisa tidak diperpanjang kontraknya atau malah diberhentikan.
Jadilah Helmi berangkat dengan bekal beberapa pertanyaan. Sebelum berangkat, ia terlebih dahulu menggali sumber data tentang kehidupan artis dari berbagai sumber yang bisa saja dijadikan pertanyaan. Setelah yakin, berangkatlah ia ke lokasi.

Saat Helmi sudah sampai di lokasi, tepatnya di sebuah gedung, acara penganugerahan kepada para para pekerja film dan iklan sedang dimulai. Helmi tentu menunggu sampai selesainya acara. Begitu acara selesai, ketika si artis keluar, dan ini bersama pasangannya, mulailah ia bergegas. Tentu bersama wartawan lain yang kebanyakan adalah wartawan hiburan.

Saat si artis dan pasangannya berhasil dihadang, salah satu wartawan, dan sepertinya wartawan gosip mulai menanyakannya,

“Aduh, serasinya kalian berdua. Makin awet aja. Apa nih rahasianya?”

Disusul pertanyaan lain yang kurang lebih sama. Helmi yang mendengarnya agak terkejut. Pertanyaan itu seperti bukan pertanyaan yang penting. Pertanyaan cere dan tidak berbobot. Helmi kurang suka dengan pertanyaan demikian. Tetapi, mau bagaimana lagi, mereka itu wartawan gosip jadi harus menanyakan hal-hal yang sejujurnya bertentangan dengan kaidah jurnalisme. Bahkan tak hanya dari pertanyaan, gestur mereka saja terlihat berbeda dengan dirinya yang harus menanyakan pertanyaan serius. Atasannya minta untuk menanyakan siapa yang menginspirasi dan mempengaruhi si artis sehubungan dengan prestasinya.

Ketika tiba gilirannya, Helmi langsung bertanya,

“Maaf, mbak, boleh saya tahu siapa yang kira-kira menginspirasi Anda sehingga bisa menang penghargaan ini?”

Si artis melongok. Ia merasa pertanyaan Helmi agak serius lalu bingung terlihat di wajahnya. Si artis kemudian menoleh ke kekasihnya,

“Ya mungkin bisa tanya ke dia,”

Jawaban si artis terang saja membuat Helmi jadi bingung sebab jawabannya terkesan tidak pasti dan main-main. Yang ditanya kok malah melemparkan lagi ke orang di sebelahnya,

“Yang, kamu tahu nggak siapa yang menginspirasi aku?”

“Ibu kamu mungkin,” kata si kekasihnya lalu tertawa-tawa. Jelas saja ini disambut wartawan lainnya yang langsung bertanya,

“Wah, inspirasinya seperti apa nih?”

Helmi malah tambah bingung dan bergumam, aduh, benar-benar nggak berbobot nih jawabannya. Si artis beserta kekasihnya kemudian buru-buru meninggalkan kejadian dan masuk ke mobil. Selepas itu, Helmi masih tambah bingung. Ini apa yang mau ditulis, gumamnya lagi sambil terus berpikir lalu bergegas kembali ke kantor.

Di kantor itulah, sembari mengembuskan asap rokok, salah seorang kawannya yang kebetulan lewat di mejanya,  menyapanya dan mengajaknya bicara. Kepada kawannya itu ia ceritakan apa yang tadi ia alami. Kawannya menjawab,

“Ya iyalah wartawan gosip, gaya bertanya mereka kan pasti nggak penting. Secara lo di majalah berita yang kulturnya serius karena harus mencari fakta,”

Lalu kawannya bertanya lagi,

“Kenapa sih harus dia bukan yang lain?”

“Yang minta dari atas,”

Tampak memang Helmi stres. Kawannya menyarankan agar ia, karena besok akhir pekan, jalan-jalan untuk menghilangkan stres. Helmi mengiyakan. Perasaan itu juga ia ungkapkan di jejaring sosial sehingga banyak yang kecengin dirinya dan bilang, sialan lo semua!

Jam menunjukkan pukul satu malam. Usai berbincang dengan kawannya, ia putuskan pulang. Di malam yang larut, sambil mengendarai sepeda motornya, Helmi berusaha berpikir bagaimana cara menulis laporannya ini supaya bisa menjadi empat paragraf. Dasar artis! Nggak menghargai pertanyaan gue! ujarnya kesal lagi dalam hati. Aduh, mas, ia berkeluh kesah lagi, kenapa sih harus dia yang diwawancarai. Nggak intelek begitu. Huh! Masa iya gue harus manipulasi laporan.

Malam semakin larut. Semua rumah sudah mematikan lampu tanda para penghuninya sudah terlelap dan sedang berkelana di alam mimpi. Tetapi, Helmi, mau tidak mau, tetap pusing. Tugas pertama untuk rubrik artis dengan jawaban yang main-main. Ampun!

0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran