Pages

Selasa, 06 Maret 2018

Jauh Panggang dari Api dalam Benyamin Biang Kerok

Istilah reborn acap kita dengar sebagai sesuatu yang berarti lahir kembali. Namun dalam arti lain reborn juga berarti meneruskan atau mentradisikan. Dan dalam belakangan tahun terakhir istilah itu begitu menggema terutama di dunia film Indonesia. Berawal dari Warkop Reborn pada 2016 dan 2017, dan pada 2018 ini muncul lagi film bertema reborn, Benyamin Biang Kerok.
jadwalnonton.com

Seperti halnya Warkop Reborn yang diciptakan untuk melestarikan dan meneruskan eksistensi grup Warkop yang legendaris itu, begitu juga dengan Benyamin Biang Kerok. Namun karena ada embel-embel reborn, karena itu jangan berharap jika para pemain yang memerankan para karakter legendaris harus benar-benar mirip dari kepala hingga ujung kaki. Para pemain ini malah pemain yang boleh dibilang menuruti kemauan pasar, dan tidak mempunyai latar belakang kekhasan suatu karakter. Itulah alasan ketika Tora Sudiro, Vino G. Bastian, dan Abisetya Abimana dipilih untuk memerankan Indro, Kasino, dan Dono. Memang ada pertentangan terutama dari para pecinta Warkop bahwa ketiga orang ini sama sekali tidak akan bisa memainkan apalagi menirukan dengan seutuhnya. Suatu hal yang disadari sang pembuat reborn. Ketiganya memang dimanipulasi, menyesuaikan para karakter legendaris. Dan boleh dibilang hampir sempurna.

Seperti itulah yang tampak di Benyamin Biang Kerok. Reza Rahadian boleh dibilang beruntung  bisa memainkan salah satu sosok legendaris dalam dunia hiburan Indonesia, Benyamin Sueb. Tentu ini bukan perkara mudah memainkan seniman serbabisa yang terkenal dengan ungkapan "kingkong dilawan, gue kate juga ape". Untuk peran ini, Reza benar-benar harus mendalami sosok Benyamin mulai dari mimik muka, gaya bicara, hingga berjalan. Bahkan menyanyi juga.

Hasilnya terlihat begitu sempurna. Seorang Reza Rahadian tampak lihai memainkan sosok Benyamin. Lihat saja dari akting aktor serbabisa ini dalam memvisualkan sang penghibur legendaris ini dalam bentuk kekinian bahkan yang konyol sekalipun. Kita bisa melihatnya pada adegan Reza tertawa ala Benyamin, dengan nyengir lebar dan suara khas, baik ketika bernyanyi atau sedang menggoda lawan mainnya, Aida (Delia Husein). Benyamin dalam film ini adalah Benyamin yang hidup serbamewah. Punya rekan-rekan yang ahli dalam teknologi kekinian, Akhir (Aci Resti) dan Somad (Adjis Doa Ibu).  Dan satu lagi, Benyamin yang terlalu "rupawan".

Benyamin Biang Kerok sebenarnya film yang sederhana saja. Mengangkat eksistensi perlawanan rakyat kecil, orang-orang Betawi asli melawan penggusuran yang dilakukan para mafia. Tapi saya di sini tidak untuk meresensi, tetapi menganalisis gaya reborn Benyamin yang diteruskan oleh Reza.

Memang benar tampak begitu sempurna. Kita benar-benar melihat Benyamin seolah-olah hidup kembali dalam sosok Reza. Namun ada permasalahan di sini terutama bagi saya yang cuma penonton amatir. Baiklah kita lupakan sejenak embel-embel reborn dalam film ini. Kalau memakai embel-embel itu sesuatu yang tidak sama malah ditoleransi sama sekali. Hal itulah yang membuat saya bisa menoleransi adegan-adegan yang dilakukan para pesohor kekinian dalam memvisualkan para personel Warkop.

Sebenarnya maksud dari reborn itu adalah meneruskan kembali sesuatu yang pernah ada dalam prakteknya. Namun karena reborn inilah hukum pasar berlaku. Kalau memang reborn sebenarnya banyak sosok yang bisa memerankan Benyamin, terutama dari segi kemiripan tampang, dan bukan hanya dari kualitas akting atau mahir menirukan gerak-gerik si seniman. Tetapi karena hukum pasar yang berlaku, dipilihlah aktor yang rupawan, dengan harapan bisa mendatangkan massa untuk menonton. Alih-alih kualitas malah menjadi kuantitas. Apalagi dalam konteks budaya populer Indonesia visualisasi tampang yang rupawan dan menjual lebih manjur dijadikan sebagai pelet.
Hasilnya bisa dilihat. Memang sempurna di permukaan. Kita tertipu bahwa yang bermain itu Benyamin bukan Reza. Lagu-lagu populer yang dimainkan sepanjang film semakin meneguhkan bahwa itu Benyamin. Benyamin hidup lagi. Akan tetapi, saya yang menyaksikan film ini malah sepertinya menyatakan bahwa itu tetap Reza. Dan, Benyamin mempunyai sesuatu yang benar-benar khas yang rupanya tidak bisa ditiru. Inilah yang tidak bisa dilakukan  Reza.

Spontanitas nama kekhasan itu. Kita tahu bahwa Benyamin adalah seniman yang juga punya spontanitas. Adakah yang ingat dalam Si Doel Anak Sekolahan, Benyamin yang bermain sebagai Sabeni berucap kepada Si Doel bahwa suatu saat Si Doel akan menjadi gubernur? Ucapan itu memang benar terbukti. Si Doel yang diperankan Rano Karno jadi Gubernur Banten. Dan itu berasal dari spontanitas.
Inilah yang saya rasakan tidak ada. Reza bermain hanya bermain. Mengikuti skrip sembari meniru gaya sang seniman. Dan pada akhirnya di beberapa adegan tiruan itu hilang, dan menjadi Reza lagi. Saya melihatnya seperti ada yang dipaksakan demi memenuhi unsur Benyamin dalam film.

Pada akhirnya saya yang menonton film ini cuma bisa berkesimpulan bahwa film ini tak lebih dari sekadar kopian di permukaan. Kopian yang diangkat cuma untuk memenuhi hasrat mereka yang merindukan si seniman hidup kembali dalam bentuk yang lain. Dan kopian itu diselingi cerita yang lebih mirip FTV, dan terkesan mengada-ngada, serta kelucuan-kelucuan sarkastis yang hanya menjadi pemancing tertawa.

Saya sepertinya juga kecewa setelah menyaksikan film ini. Kecewa karena saya yang masih tersamarkan menyamakan film biopic dengan reborn. Tidak ada hal yang membuat saya terpesona dan berpikir. Semua hilang begitu saja. Mungkin memang sulit membuat film dengan tema reborn namun berkualitas. Akan tetapi pasar budaya populer di Indonesia lebih menghendaki kuantitas, sebuah ciri khas pragmatis yang akan terus bertahan seiring dengan pikiran orang Indonesia yang demikian.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran