Pages

Rabu, 05 Desember 2012

Dewi dan Devi

Pada suatu hari, di sebuah taman kota, duduklah dua anak perempuan. Umur mereka sama. Jenjang sekolah mereka juga sama. Kalau dilihat dari cara bicaranya menunjukkan bahwa dua anak perempuan ini sedang berada di bangku sekolah menengah atas.

Nah, sedang asyiknya mengobrol, yang sudah tentu tidak akan jauh-jauh dari segala macam yang berbau dunia mereka ---dunia anak remaja--- termasuk di antaranya gaya hidup dan juga cowok, datanglah seorang lelaki mencoba berada di antara mereka berdua. Tanpa sungkan, keduanya menerima lelaki itu yang mereka anggap sepantaran guru mereka di sekolah. Lalu ditanyalah satu per satu nama keduanya. Dengan sigap mereka menjawab,

“Dewi,”
“Devi,”
Si lelaki yang menanyakan pun tersenyum sambil bertanya,
“Kok namanya mirip?”
Mendengar pertanyaan seperti itu keduanya lantas heran,
“Apanya yang mirip, pak? Kan saya Dewi dia Devi,”
Yang juga diiyakan setelah itu.
Si lelaki itu sekali lagi tersenyum sambil menggeleng kepala perlahan. Perlahan juga ia berbicara,
“Nama kalian memang berbeda, tetapi sebenarnya sama,”
“Maksud bapak apa?” Si Devi lantas bertanya kembali.
“Iya, maksud bapak apa?” ucap si Dewi mengikuti.

Si lelaki tampak tenang menghadapi pertanyaan si dua anak perempuan tersebut yang terlihat penasaran. Seperti memaklumi tingkah para remaja yang selalu penasaran, mudah terbisiki, lalu gampang dimainkan emosinya, serta bertindak tanpa pikir panjang.

“Dewi, Devi,” Si lelaki itu mulai berseloroh dengan pelannya. Mencoba mempermainkan emosi keduanya, “Kalian sadar tidak kalau nama kalian itu sama sebab berasal dari satu sumber: Devi. Itu dari bahasa Sansekerta. Kalau diucapkan dalam bahasa itu Devi menjadi Dewi,”
“Wah kok bisa, pak?” tanya Devi yang kini penasaran, “Lalu bahasa Sansekerta itu apa, pak?”
Hm...rupanya si lelaki itu menyadari kedua anak ini sepertinya kurang menyukai kegiatan membaca. Ya, ia sadar realitanya memang demikian di negaranya. Maka, perlahan dijelaskannya apa bahasa Sansekerta itu, dan mengapa Devi diucapkan menjadi Dewi.
Kasus di atas sebenarnya hanyalah sekian dari kasus dalam berbahasa, terutama pada pemberian nama orang. Memang, sudah secara umum, kita mengenal Indonesia sebagai negara yang kaya kultur, agama, dan juga bahasa. Proses ini pun terjadi semenjak berabad lalu melalui asimilasi dan akulturasi. Dimulai dari zaman Hindu-Buddha hingga ke zaman kolonialisme. Selain Dewi dan Devi, sering juga kita jumpai nama Widya-Vidya, yang juga berasal dari bahasa yang sama. Dalam bahasa Sansekerta memang, huruf v akan selalu dibaca huruf w. Pengucapan ini sama dengan di Polandia, negara-negara Slavia serta Jerman. Bahasa Sansekerta sendiri merupakan bahasa dari rumpun dari Indo-Eropa dan berkerabat dekat dengan bahasa-bahasa di Eropa.

Ketika bahasa Sansekerta masuk ke Indonesia, dan dalam abjad bahasa Melayu tidak ada huruf v, otomatis dua bentuk penamaan itu terterima sehingga meragamkan bentuk fisik dan bunyi, tetapi mendualismekan arti yang ternyata malah untuk kedua-duanya tidak ada artinya sama sekali sebab diucapkan sesuai dengan bentuk katanya.

Kasus yang sama juga terjadi dari serapan bahasa Arab. Misal nama Rahmat dan Rohmat. Kedua nama ini juga bisa akhirannya ditulis dengan huruf -d. Atau Yusuf-Yusup. Untuk kasus pertama dikarenakan pelafalan nama yang sesuai dengan bahasa aslinya, dan ketika dilatinkan mengikuti pelafalan itu. Ketika serapan Arab di-KBBI-kan, otomatis yang lafalnya o harus dirubah menjadi a. Kasus kedua karena dalam abjad Melayu tidak ada huruf f yang alih-alih diucapkan menjadi p

Dualisme penamaan ini pun akhirnya, karena belum adanya penyeragaman dan pengetahuan ejaan bahasa Indonesia yang benar, sering muncul di kehidupan sehari-hari, terutama di dalam ijazah. Yang demikian pun terkadang sering membingungkan apalagi jika nama yang bersangkutan ketika hendak ditulis tidak dieja. Hal ini karena yang menulis merasa sudah tahu (sok tahu) bentuk kata dalam nama itu.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran