Pages

Jumat, 07 Desember 2012

Indonesia-Malaysia dalam Sastra

Hate-love relationship. Inilah jenis hubungan yang sering dialamatkan pada Indonesia dan Malaysia. Kadang benci, kadang rindu. Kadang acuh, kadang membutuhkan. Hubungan kedua negara serumpun itu memang sering pasang-surut seiring dengan maraknya konflik-konflik yang berkenaan dengan kedua negara belakangan ini. Mulai dari TKI, klaim perbatasan, klaim budaya, hingga olahraga (sepak bola dan bulutangkis). Hubungan yang berawal dari kisah "ganyang Malaysia" oleh Sukarno pada era 60-an. Dan memanaskan kuping bagi mereka yang berada di Jakarta dan Kuala Lumpur.
 https://mail-attachment.googleusercontent.com/attachment/u/0/?ui=2&ik=622f15a617&view=att&th=13b74a1ba28cfeef&attid=0.1&disp=inline&safe=1&zw&saduie=AG9B_P_fWcq81_rmj_2g_atR0tBv&sadet=1354871645636&sads=sLsqk1wCv4zKwEaczlH2PZUraXo

Padahal, pada masa-masa sebelumnya, sampai era 50-an hubungan kedua negara begitu akrab. Sama seperti hubungan dalam sastra yang masih terlihat mesra dan menyatu. Beribukan Raja Ali Haji dan Abdulkadir Munsyi, sastra Indonesia dan Malaysia sebenarnya identik dengan gambaran kedua bangsa yang serumpun dalam bahasa, budaya, dan agama. Bahkan, dirunut secara genealogis, sebagian besar orang-orang Malaysia itu mempunyai nenek moyang dari Indonesia. Ada yang berasal dari Jawa, Aceh, Minangkabau, Mandailing, Makassar, dan Banjar. Semuanya di Malaysia disebut Melayu. Di Indonesia Melayu selalu merujuk ke Sumatera. Keadaan demikian, dalam kasus budaya, karena para diasopra itu masih mempraktekkan adat-istiadat bawaan, sering terjadi apa yang dinamakan klaim oleh salah satu pihak sehingga pihak yang merasa sah pun marah.

Berbicara sastra dua negara yang beribukan bahasa Melayu pada tiap perkembangannya pun mengalami banyak perubahan, terutama sebagai dua negara yang pernah dijajah dua penjajah berbeda, Belanda dan Inggris. Sifat kedua negara tersebut yang berbeda juga merambat pada kultur dua negara yang beridentitas Melayu rersebut, terutama pada cara transfer pengetahuan dari negara penjajah masing-masing, seperti bahasa, yang terlihat sangat menonjol perbedaannya.

Perbedaan ini pula yang melahirkan perbedaan cara pandang kedua negara apalagi jika dikaitkan dengan kemajuan ekonomi Malaysia yang membuat ribuan pekerja Indonesia rela datang ke negeri sekandung tetapi malah menerima perlakuan tidak manusiawi.

Dalam sastra kedua negara, hal-hal demikian dicatat dan dijadikan latar belakang cerita hubungan manusia dari kedua negara tersebut yang masih mengaku serumpun. Relasi kedua negara melalui manusia-manusianya dalam karya sastra tentu sudah banyak yang menuliskannya. Apalagi jika penulisannya mengambil dari salah satu sudut pandang.

Mencintai Malaysia karya Dr. Sidik Jatmika dan Dunia Tanpa Kasatmata (The Map of Invisible World) dari Tash Aw bisa dibilang mewakili relasi manusia antar kedua negara, yang bukan hanya terpisah karena suatu peristiwa, tetapi juga terpisah secara kultur dan cara pandang hidup. Di Mencintai Malaysia, menggambarkan hubungan percintaan antara Sinta dan Oddy. Sinta adalah mahasiswi semester akhir di UGM, sedangkan Oddy mahasiswa dari Malaysia yang belajar di UGM. Keduanya menjalin cinta di tengah memanasnya hubungan kedua negara. Dalam hubungan percintaan itu, jelas keduanya mengalami keterkejutan. Mulai dari bahasa hingga aksi unjuk rasa. Dalam satu bagian, ketika maraknya aksi anti-Malaysia melalui unjuk rasa, Oddy terheran-heran dengan aksi yang terlihat beringas dan radikal lalu membayangkan jika aksi seperti itu di negaranya akan dikenai hukuman penjara tanpa diadili sebab melanggar Akta Keamanan Dalam Negeri atau Internal Security Act. Belakangan diketahui, keduanya saudara kandung.

Akan halnya juga dalam Dunia Tanpa Kasatmata. Adam, seorang pemuda dari sebuah pulau terpencil di Indonesia hendak bertemu dengan ayah angkatnya, Karl, seorang warga negara Indonesia keturunan Belanda. Dalam pencarian sampai ke Jakarta, ia menemui banyak hal dan orang-orang yang kemudian membuat ia menyadari mempunyai saudara kandung bernama Johan yang diyakini hidup di Malaysia. Dalam novel yang juga bersetting tentang konflik kedua negara, baik dari politik maupun olahraga (bulutangkis) pada 1960-an, terlihat perbedaan yang jelas antara hidup keduanya. Adam hidup sendiri, dan hampir sebatang kara, sedangkan Johan malah hidup layak, dan terkesan bermewah-mewahan. 

Dari dua novel tersebut terlihat bagaimana gambaran relasi kedua negara melalui orang-orangnya, yang ternyata masih memiliki ikatan persaudaraan. Namun ikatan persaudaraan itu pun berubah arahnya seiring dengan pengaruh lingkungan sekitar. Dalam kedua novel itu, kedua penulis tentu menggunakan sudut pandang subjektifnya. Memandang negara sendiri sebagai yang harus dibela tetapi menganggap musuh negara yang kurang ajar. Boleh dibilang, gambaran relasi itu merupakan gambaran dari kenyataan hubungan antara kedua negara yang berbasiskan hate-love relationship.





 


0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran