Pages

Senin, 29 September 2025

Jangan Tergila-gila pada Nafsumu!


Mobil pikap warna putih itu melewati kerumunan orang-orang yang tengah lalu lalang pada sebuah pasar yang cukup ramai di pagi hari. Sinar matahari menerpa lukisan hidup tersebut. Memberikan warna kuning dan oranye yang menerpa orang-orang tersebut lalu memunculkan sebuah bayangan yang terpantul. Di pasar tentu saja banyak ragam aktivitas. Tak hanya jual-beli tetapi gosip-gosip murahan dari bapak-bapak, baik dari para penjual atau para petugas keamanan pasar. Terkadang dalam gosip-gosip itu juga ada ibu-ibu yang nimbrung, kebanyakan yang berbelanja.

Gosip-gosip murahan ini melintas bersama dengan bau amis dari ikan yang dijual, bau segar dari sayur-mayur dan buah-buahan yang selalu terpajang rapi dan mengilap, serta bau daging-daging ayam dan sapi yang sangat mencolok di hidung. Dan, begitulah yang setiap hari terjadi di pasar apalagi sebuah pasar besar yang takkan pernah mati. Mobil pikap yang melintasi pasar beraneka macam kebutuhan perut itu kemudian melintas ke bagian pasar yang lain. Sebenarnya bukan cuma pikap putih tapi ada juga kendaraan lain berupa motor bebek dan motor angkat barang yang menjejak roda di atas aspal pasar yang tidak pernah kering dan berbecek.

Pikap putih itu melintas di bagian pasar yang menjual sapu lidi, sapu lantai, pengki, panci, kompor, dan barang-barang rumah tangga lainnya yang hanya berfungsi bukan untuk selera kampung tengah. Saat melintas itu ada seseorang bermotor kumbang warna merah dan hijau muda menghentikan mobil yang melintas pelan. Ia memang kenal dengan sopir dan orang yang berada di tempat menaruh barang di belakang.

"Ron, apaan tuh di belakang yang ketutup terpal," katanya heran karena melihat sesuatu yang ditutup kain terpal warna biru. Barang yang tertutup itu tampak dalam keadaan berdiri, "Gede banget kaya orang?"

"Ah, kau tidak tahu saja itu apa?" kata si sopir dengan tatapan malas serta mulut yang juga malas menjawab. Ia lalu mengeluarkan kepalanya dari jendela, dan memanggil temannya yang ada di tempat menaruh barang di pikap,

"Hai, kau, Jon" katanya dengan suara sedikit besar untuk mengalahkan suara ramai di pasar, "Kau jelaskan saja ke Si Curut ini barang yang kita bawa!"

Orang yang dipanggil Jon itu segera memanggil Si Curut, si pengendara motor kumbang, "Hai, kau kemari saja ke sini!"

Si Curut segera turun dari motor kumbangnya kemudian segera naik ke belakang pikap. Kini dilihatnya dari dekat barang besar yang diterpal itu. Memang benar barang itu setinggi orang dewasa namun lebarnya seperti lebar sebuah lemari 3 pintu. Ia lalu melihat ada batu-batu ukuran sedang mengganjal bagian bawah terpal.

"Memang apa ini?" tanya Si Curut yang tambah penasaran, " Boleh saya lihat?"

Menanggapi penasaran Si Curut, Jon berkata santai,

"Ya, paling habis itu kamu biasa lagi,"

Jon kemudian mengambil batu yang mengganjal terpal setelah itu ditariklah terpal hingga menurun. Dari situ perlahan terlihatlah sebuah benda berupa patung yang tampak terbuat dari batu kali. Pahatannya begitu detail dan sangat presisi. Patung-patung adalah patung 3 orang dewasa namun dalam gestur yang ketakutan. Hal itu terlihat dari mulut ketiga patung yang berteriak dengan mata membelalak, dan salah satu patung malah tangannya ke depan seperti orang yang hendak menghalangi sesuatu. Semua tampak sempurna dan terlihat nyata seolah-olah itu bukan patung dari batu kali dari orang yang dikutuk jadi patung.

Ketika itu tersingkap, Si Curut langsung berubah pandangannya, dan benar kata Jon, ia merasakan hal yang biasa,

"Ah, ini mah kerjaan Nenek Marniah," katanya setelah itu, "Saya kira hal lain yang bagus,"

"Nah, kan saya bilang juga apa?" kata Jon mengonfirmasi anggapannya tadi yang memang benar.

"Heran, masih aja yang berani godain Nenek Marniah?" tanya Si Curut heran, "Apa orang-orang ini nggak tahu kalau dia marah orang bisa jadi batu?"

"Kayaknya mereka bukan orang sini," kata Si Jon menanggapi, "Makanya sembarangan aja. Kalau orang sini kan udah pada tau," Ia lalu melihat orang-orang yang pada berlalu lalang di antara mereka. Tampak mereka biasa-biasa saja, tidak heboh soal patung yang diperlihatkan di atas pikap.

"Ini mau dibawa ke mana, Jon?" tanya Si Curut

"Ya, dibuanglah" kata Jon, "Orang benda nggak guna gini ngapain dipajang?"

Saat mereka bicara, Ron, si sopir menoleh dan berteriak,

"Udah belum ngobrolnya?" tanyanya dengan tatapan keheranan, "Ngobrol kok kaya ibu-ibu,"

Mendengar itu, Si Curut dan Jon segera mengakhiri pembicaraan mereka. Si Curut lalu turun sedangkan Jon segera menutupi tiga patung dengan terpal dan memasang batu untuk mengganjal.

Mobil pikap putih itu melaju kembali menuju ke tempat pembuangan patung sementara Si Curut bermotor ke arah berlawanan. Suasana kembali seperti sedia kala dan seperti tidak ada apa-apa. Namun akan timbul pertanyaan soal 3 patung dan Nenek Marniah. Mengapa dan siapa dia? Tentu, kamu penasaran kan?

Baiklah, kita coba ceritakan dulu supaya ketahuan titik temunya. Jadi, di sebuah tempat bernama Rawa Bulak, ada seseorang yang sudah cukup tua bernama Marniah. Usianya sekitar 65 tahun, dan memang tergolong lansia. Nenek Marniah ini tinggal di sebuah pondok dari bambu yang di dalamnya juga ada pohon bambu serta pagar-pagarnya juga dari bambu. Rumah bambunya berbentuk panggung. Hal ini sangat berbeda dari rumah kanan dan kirinya yang berbentuk kotak dan menempel di tanah. Jarak antara rumah bambu Nenek Marniah itu adalah 3 meter sehingga ada jalan atau celah di antara rumahnya dan rumah-rumah sekitar. Ia sendiri tinggal bersama dengan seorang cucu bernama Piah. Cucunya ini adalah seorang wanita muda yang kulitnya bening susu dan selalu tampak bersinar, yang tentu saja menarik minat orang-orang di Rawa Bulak. Tetapi, Piah ternyata belum mau dengan alasan ingin konsentrasi ke Nenek Marniah dahulu.

Nenek Marniah sendiri orang yang sangat baik, ramah, serta tidak segan membantu orang-orang sekitarnya kala dibutuhkan. Akan tetapi, ia tidak segan-segan akan menjadi sesuatu yang menakutkan jika orang-orang itu berani macam-macam atau mengganggunya atau juga mengganggu cucunya. Mereka yang kena marah Nenek Marniah kebanyakan akan dikutuk jadi patung yang nilai seninya sangat indah, dan mengalahkan patung-patung marmer putih dan krem di rumah orang-orang berada.

Nah, karena itu, banyak orang akhirnya segan dan hormat kepada Nenek Marniah. Tak sekalipun yang mencoba mengusik bahkan untuk perkara yang kecil. Anak-anak kecil pun tahu diri. Mereka tidak berani mendekat apalagi sekadar memanjat pagar bambu rumah Nenek Marniah. Jika mereka bermain layangan, dan layangan itu putus lalu mendarat di halaman rumah Nenek Marniah atau atap rumahnya, ya mereka ikhlas saja daripada nanti jadi patung yang malah ujung-ujungnya ditimbun di halaman rumah masing-masing. Kalau ada anak yang jadi patung, para orang tua anak ini cuma bisa pasrah alias terima saja daripada urusannya panjang.

Sebenarnya, Nenek Marniah itu tidak seperti itu mengutuk mereka yang menganggunya atau menganggap cucunya jadi patung batu kali. Ia tidak marah seperti halnya si ibu Malin Kundang atau Medusa, tetapi ada sesuatu yang buat mereka jadi patung, dan ini tidak boleh dilihat sama sekali. Lalu apa sesuatu itu? 

Saya tidak akan ungkapkan dulu tapi kita akan ceritakan kejadian yang menimpa 3 pemuda yang dikutuk jadi patung. Semua berawal dari 3 pemuda ini yang tampaknya bukan dari kampung sebelah. Mereka adalah Irwan, Fandi, dan Rudi. Ketiganya adalah pemuda maniak seks alias gemar berhubungan badan berulang kali tanpa masa bodoh dengan raja singa yang akan timbul suatu hari. 

Namun, ketiganya ternyata lebih suka berhubungan badan dengan nenek-nenek, bukan dengan wanita muda yang kencang dan berisi kulitnya. Ada sesuatu yang membuat mereka terpesona menumbuk batang pada orang-orang yang sudah turun mesin, kulit berkeriput serta bau tanah. Mereka merasa nenek nenek itu adalah objek yang bisa dengan mudah dijadikan pelampiasan hasrat mereka yang membabi buta. Apalagi kebanyakan nenek-nenek tidak bisa melawan dan cepat pasrah sehingga enak rasanya bisa mengeluarkan cairan hina hasil dari imajinasi yang terlalu liar. 

Irwan, ia sering berhubungan badan dengan lansia karena ia tiba-tiba merasa nafsu melihat neneknya sendiri yang hanya memakai handuk setelah mandi. Hal yang kemudian keluarganya terguncang. Ia kemudian dihukum keluarganya lalu diserahkan ke polisi, dan dipenjara. Selepas dari penjara, ia yang tahu tidak akan diterima keluarganya kini berkelana dari satu tempat ke tempat lain, mencari para lansia untuk memuaskan hasrat seksualnya.

Kemudian Fandi, yang menyukai berhubungan dengan lansia karena tidak sengaja juga melihat tetangganya yang sudah lansia hanya memakai daster tanpa lengan sehingga terlihat lengannya dari atas hingga bawah. Membuat Fandi berhasrat, dan dengan nekat bersetubuh dengan tetangganya itu. Namun, tetangganya itu malah ketagihan karena ada anak muda yang akhirnya menjebol kesuciannya. Usut punya usut ternyata si nenek itu belum pernah kawin. Apalagi si nenek itu tinggal sendiri, dan setiap malam mereka berdua selalu berpesta.

Terakhir, Rudi. Ia sering dan suka berhubungan dengan nenek-nenek karena mengalami trauma dan kekecewaan terhadap wanita yang masih muda-muda yang kolagen di kulitnya masih kenyal. Para wanita muda itu baginya cukup juga menakutkan sehingga Rudi enggan berhubungan badan dengan mereka lagi. Lagipula dengan nenek-nenek ia bisa dengan puas karena tidak ada perlawanan sama sekali.

Suatu hari 3 pemuda ini datang ke Rawa Bulak. Jalan-jalan sekaligus mencari mangsa berupa nenek-nenek yang akan mereka mainkan bareng-bareng. Mereka sama sekali tidak tahu Si Nenek Marniah itu karena di pikiran mereka cuma seks, seks, dan seks. Setelah jalan-jalan ke sana kemari di Rawa Bulak, mereka lantas memutuskan beristirahat di sebuah warung makan. Di warung makan itu yang melayani seorang perempuan muda cantik tampaknya gadis yang dari mata orang normal, seharusnya membius pandangan apalagi bagi hidung belang yang ternyata sudah punya banyak buntut.

Namun, mereka sebaliknya. Menganggap perempuan muda ini biasa-biasa saja karena mereka lebih tertarik ke nenek-nenek.

"Apa di sini udah nggak ada nenek-nenek lagi ya?" keluh Irwan yang ditanggapi oleh Rudi yang juga sama mengeluhnya, 

"Iya, nih, banyakan yang muda semua,"

"Kalau nggak ada kita pulang aja, yuk!" ujar Fandi yang tampak lelah, "Bikin capek aja,"

Saat seperti itu melintaslah Nenek Marniah dengan memakai kebaya hijau toska serta kain jarik pada bagian bawah dengan corak batik parang. Pada rambutnya ia tutup dengan selendang warna kuning. Ketiganya lantas bagai digebuk oleh martil, malah terpesona saat Nenek Marniah melintas. Mereka tampak melihat ada sesuatu yang bersinar dari tubuh lansia tersebut. Meski lansia, Nenek Marniah masih berjalan tegak dan cepat. Bagi orang yang melihatnya itu bukan nenek-nenek tetapi wanita muda yang menyamar. Namun bagi 3 orang ini, Nenek Marniah itu tetaplah nenek yang segera menimbulkan hasrat liar bagai serigala yang akhirnya menemukan kelinci yang dinanti-nanti.

Mereka tampak salah tingkah dengan Nenek Marniah itu sampai-sampai Fandi malah menuangkan air di atas kepala Irwan yang kemudian terkejut. Nah, karena hal itu juga, Rudi segera bertanya ke si penjual warung,

"Itu siapa tadi yang lewat?" tanya Rudi disertai dengan hasrat yang tiba-tiba bergolak kencang dan membuncah. Ia tampak tidak sabar menunggu jawaban,

"Oh, itu Nenek Marniah," kata si penjual warung makan yang tampaknya menyadari sesuatu yang tidak beres dengan Rudi apalagi ketika Rudi bertanya,

"Dia tinggal di mana?"

Si penjual warung makan yang merasakan ketidakberesan itu menjawab,

"Itu di rumah bambu nggak jauh dari warung ini, lurus aja," ketika si wanita muda ini menjawab, Fandi dan Irwan segera menoleh. Si penjual warung makan melihat ada juga sesuatu yang tidak beres pada Irwan dan Fandi. Ia lantas menilai ketiga orang ini tampak ingin berbuat macam-macam ke Nenek Marniah. Ia lalu berkata dengan memperingatkan,

"Mas-mas ini jangan berbuat nggak baik ya ke Nenek Marniah. Nanti kalau dia marah, mas-mas jadi patung,"

Mendengar itu ketiganya tertawa-tawa kencang,

"Memangnya dia tukang sihir?"

"Mak Lampir kali!"

Mereka kembali tertawa.

"Ya, udah saya cuma bilangin ya. Nanti jangan nyesal kalau udah kejadian. Cari yang muda-muda, Mas. Bukan nenek-nenek!" kaya si wanita penjual warung makan kesal dengan tingkah laku ketiga pemuda itu.

Selepas itu, mereka bertiga lantas mengikuti Nenek Marniah dari warung. Ketika sedang mengikuti itu, tiba-tiba di jalan mereka bertemu dengan Piah yang dari kejauhan sudah mengawasi tingkah para pemuda yang dipenuhi nafsu ini. Sama seperti si wanita muda di warung nasi, Piah yang terlihat sangat cantik bagi yang matanya normal, juga dianggap biasa saja.

"Kalian semua mau ke rumah Nenek Marniah ya?" tanya Piah dengan selidik. Ia tidak suka dengan tampang ketiganya.

Mereka bertiga kompak menjawab, "Ya!"

"Sebaiknya jangan ya," kata Piah mulai memperingatkan dengan tatapan tajam dan juga nada bicara yang tajam, "Nanti kalian menyesal. Kasian, dia juga mau istirahat!"

Angin berembus. Suasana yang tadinya terang perlahan akan gelap. Pertanda sore mau digantikan malam,

"Kalian pulang saja" kata Piah lagi, "Sebentar lagi malam. Sayang, kalau kalian cuma menuruti nafsu gila kalian. Pulanglah. Jangan sampai menyesal. Pagi bisa tidak kalian rasakan lagi.

Tapi apa peduli mereka apalagi jika nafsu sudah menguasai diri. Yang namanya logika dan akal sehat pun ampas. Ketiganya malah tertawa-tawa bahkan Fandi menantang,

"Katanya Nenek Marniah bisa ubah kita jadi patung ya? Kalau iya, buktikan!"

Melihat itu, Piah tidak habis pikir dengan ketiga pemuda ini yang matanya sudah gelap. Ia sedikit geleng-geleng kepala. 

"Oke, silakan, kalau itu yang kalian mau," kata Piah yang kemudian memilih mengalah saja. Toh, ia pun sudah memperingatkan. Ketiga pemuda itu melanjutkan perjalanan mereka menembus hari yang sudah gelap, lampu-lampu mulai dinyalakan, dan suara jangkrik dan tongeret bermunculan. Piah yang di belakang mereka setelah itu meloncat ke atas dan terbang.

Tak lama kemudian, sampailah mereka di rumah bambu itu. Mereka segera memanjat pagar lalu mendarat di halaman. Perlahan mereka coba masuk ke rumah. Saat mereka membuka pintu ternyata tidak dikunci sehingga mudah dibuka. Mereka bertiga lalu masuk. Dengan nafsu yang sangat menggebu-gebu mereka celingak-celinguk lalu berjalan pelan di dalam rumah yang ternyata besar juga, memeriksa setiap kamar yang ternyata tidak ada orang sama sekali. Hal ini membuat mereka bingung. Tapi mereka terus mencari sampai akhirnya menemukan sebuah kamar di belakang.

"Pasti dia di situ," kata Irwan. Mereka lalu membuka perlahan, dan ternyata di situ ada Nenek Marniah yang sedang tidur dengan dilapisi selimut. Bagai serigala lapar yang akhirnya mampu menemukan kelinci di pelupuk mata, dan dengan nafsu gila yang membayangi, segera diserbulah Si Nenek Marniah.

Dicengkeramnya kaki dan tangan Nenek Marniah lalu dicengkram juga bahu Nenek Marniah yang terbuka itu. Disingkaplah selimutnya. Ternyata Nenek Marniah memakai kemben. Mereka tambah bernafsu. Nenek Marniah yang dalam keadaan seperti itu tentu saja terkejut bukan main. Ia yang sedang berpetualang di alam mimpi seperti merasakan sebuah tarikan yang kuat pada dirinya. Ketika tersadar ia melihat ada 3 pemuda tak dikenal di hadapannya bahkan salah satunya sudah menggagahinya.

"Mau apa kalian?" Cuma itu yang bisa ia katakan dalam keterkejutannya. Namun itu tidak dijawab oleh ketiga pemuda itu yang semakin liar, dengan merobek kemben dan kain sehingga tidak ada sehelai benang pun yang menempel. Mereka semakin bernafsu gila, dan pesta sepertinya mulai digelar.

Nenek Marniah yang menyadari hal ini segera berkata supaya yang dilakukan ketiga pemuda yang sangat keterlaluan ini berhenti. Ia merasakan jantungnya berdetak sangat kencang dan tubuhnya gemetar. Ia yang terkejut bagaimanapun harus bisa mengendalikan situasi jangan sampai terbawa arus deras dari ketiga pemuda itu.

"Sebentar," katanya, "Kalian boleh main sama saya. Tapi tolong lepaskan dulu tangan kalian dari tubuh saya biar kita mainnya nikmat,"

Ketiga pemuda yang tampak bagai serigala lapar itu menuruti permintaan Nenek Marniah yang pelan dan lembut namun tegas. Nenek Marniah yang sudah tidak dalam keadaan berbusana itu kemudian berdiri dan meminta ketiga pemuda menjauh. Tampak terlihat kerutan-kerutan pada semua tubuhnya bahkan pada kewanitaan dan pesonanya.

"Sebelum kalian main sama saya. Ada yang mau saya perlihatkan!"

Ketiga pemuda yang masih terpesona oleh tubuh Nenek Marniah yang sebenarnya sudah tidak bisa dikatakan indah itu bingung dengan maksud Si Nenek. Tapi karena sudah dikuasai nafsu, mereka sudah tidak bisa berpikir sehat lagi.

Nenek Marniah yang dalam keadaan tanpa benang itu berdiri tegak. Matanya menatap tajam pada pemuda penuh nafsu itu dan seakan menantang mereka. Para pemuda yang tidak bisa menahan air liur mereka juga tonjolan pada diri mereka tampak ingin terus merajah tubuh itu. 

Sesuatu kemudian terjadi. Dari tubuh Nenek Marniah kemudian muncul sebuah sinar. Sinar yang perlahan membuat silau mata. Lalu terjadilah sesuatu yang buat mereka terhenyak. Sinar itu perlahan menghilangkan kerutan-kerutan pada tubuh Nenek Marniah juga pada bagian sensitifnya. Wajahnya terlihat muda begitu juga bahu, tangan, dan kakinya. Perutnya tidak lagi menurun malah menaik dan tegap berotot. Dadanya yang turun kini naik serta berisi. Kini ia tampak seperti apsara yang bersinar terang. Itulah wujud aslinya.

Para pemuda yang terhenyak itu jelas tidak bisa berkata-kata. Mereka terkejut bukan main dan berteriak karena ternyata di depan mereka bukanlah lagi nenek-nenek tapi seorang wanita muda. Sinar dari wanita muda yang memang apsara itu perlahan membuat tubuh ketiga pemuda kaku lalu mengeras, dan pada akhirnya menjadi patung manusia yang ketakutan. Selepas itu, sinar pada si Apsara memudar ia lalu memakaikan selimut pada dirinya.

Ia lalu berjalan mendekat ke arah patung, dan pandang ketiga patung dengan kasihan,

"Saya sebenarnya tidak mau kalian begini. Tapi kalian memaksa,"

Ia lalu memanggil Piah yang ternyata juga apsara. Piah yang melihat itu hanya menggelengkan kepala lalu berkata,

"Ketiga pemuda malang. Sungguh keras kepala,"

"Kamu buang mereka ke sungai pas pagi. Minta sama Ron dan Jon" kata si Apsara lalu menghela napas, "Kalau banyak yang muda kenapa harus suka sama yang tua dan berbau tanah? Heran,"

***

Jon bersama dengan Ron menggotong patung-patung yang sudah diturunkan dari pikap untuk ditenggelamkan ke dalam sebuah sungai besar. Tadi saat ia hendak menurunkan terdengar suara tangisan penyesalan yang tampaknya dari patung.

"Tolong, tolong, tolong, ampuni kami, ampuni kami, kami menyesal,"

"Ah, udah telat!" kata Jon tegas dan masa bodoh karena itu derita mereka tidak mau mendengarkan peringatan-peringatan yang sudah diberikan.

Ketiga patung perlahan mulai ditenggelamkan, dan air sungai tampak begitu senang menelan mereka satu per satu seiring dengan kicauan burung-burung pada pohon-pohon di pinggirnya. Matahari mulai bersinar sangat terang.

Minggu, 28 September 2025

Matahari dan Bulan Takkan Pernah Satu


Angin berembus kencang sedingin malam yang aku rasakan saat ini. Kertas-kertas beterbangan ke sana kemari tak beraturan. Ada yang ke jalan namun ada juga ke arah lampu-lampu jalanan yang temaram dan bernuansa neon. Kerlap-kerlip terlihat lampu-lampu yang lain bagai di sebuah diskotik. Bau petrikor menguak sangat kuatnya pada lapangan di depanku yang memang basah dan ada genangan karena sehabis hujan deras yang melanda. Di sudut lapangan yang diapit oleh gedung-gedung tinggi bagai kala di malam hari yang siap menginjak dan menelan bangunan-bangunan kecil di sekitarnya yang sudah tak berdaya oleh himpitan yang kian kencang, tikus-tikus muncul dari lubang, bergerak sangat cepat bagai ninja, meloncat dan melebur dalam kegelapan demi mencari makanan yang tersisa.

Kondisi ini aku sangat yakin tak akan pernah dirasakan oleh mereka di gedung-gedung tinggi yang selalu bermandikan cahaya bagai di surga yang turun ke bumi. Sayang, seribu sayang, surga itu memang hanya untuk mereka yang selalu diselimuti oleh bau-bau parfum mahal dan bau-bau emas dari yang sering dilekatkan pada tubuh sebagai bentuk sebuah status.

Tapi, baiklah, aku tak mau membahas hal itu. Biarlah sekarang mereka menikmati semua surga itu sebelum berubah jadi sebuah neraka. Aku yang berdiri di sebuah lapangan besar kosong sedari tadi terus mengamati dengan tajam ke sebuah pintu masuk lapangan. Menunggu ia datang. Angin malam yang kencang berembus cukup untuk menurunkan selendangku yang berwarna hijau muda ke leher dari tempatnya berawal, kepalaku. Aku jadikan ia sebagai penutup rambut hitam panjang yang merupakan mahkota alamiku.

Malam sehabis hujan tiada bulan juga bintang. Semua terasa pekat. Sesekali aku lihat ada kelelawar lewat, juga burung celepuk yang kemudian hinggap di pohon cempaka yang ada di lapangan. Ia bersuara puk puk puk seperti menandakan akan datangnya makhluk halus berambut panjang berjubah putih yang sering duduk di pohon pisang lalu mengeluarkan suara mengikik. Sudah sering aku mendengar suara burung celepuk ini yang sama seramnya dengan suara burung kedasih yang sebenarnya adalah sebuah peringatan akan datangnya bahaya dan malapetaka sehingga jika mendengar ini di malam hari harus segera ke rumah supaya tidak terkena bahaya tersebut.

Namun tidak bagiku sebab bunyi celepuk ini tidak biasanya. Ini pertanda dia akan datang. Dari jauh aku seperti mencium sebuah aroma khas tulip dan plum. Kedua aroma ini sungguh akrab di hidungku. Aromanya begitu wangi berseliweran di antara petrikor dan bau bunga cempaka kuning. Namun pada kedua bau yang wangi ini aku seperti merasakan ada bau anyir dan sebuah dendam. Aku rasakan bau ini begitu menguat dan sangat kencang mendekat. Ada sebuah langkah kaki yang terasa dan menginjak genangan dengan pelan. Aku perhatikan ada sebuah siluet hitam di depan yang diiringi oleh sebuah kabut malam sehabis hujan. Ya, itu dia. Aku yang sedari tadi berdiri kini merasakan guncangan dalam hatiku. Jantungku berdetak sangat kencang dari biasanya seperti orang yang menabuh drum berulang kali. Nadiku bergetar. Adrenalin naik seperti mengendarai roller coaster. Keringat perlahan mengucur di tubuhku, mengalir ke kulitku, dan aku rasakan membasahi kebaya encim warna merah yang kupakai. 

Tapi, aku harus tenang. Aku harus kendalikan diriku ini. Aku tetap posisikan dengan tegak berdiriku serta sedikit melebarkan kakiku yang dibalut oleh sebuah celana panjang kuning. Mataku tetap menatap tajam seperti mata burung hantu di malam hari. Perlahan sosok itu keluar dari siluetnya, dan berjalan lurus ke arah aku lalu berhenti sekitar 5 meter. Ya, ternyata memang dia.

Aku pandangi sesosok wanita muda dengan rambut pirang dan bermata biru. Ia berbadan tinggi, lebih tinggi dariku hampir seperti menara. Ia memakai klederdracht warna biru tua dengan gradasi merah dan putih serta sebuah celana panjang ketat di bawah dengan kets sebagai alas. Beda denganku yang hanya memakai sandal gunung. Matanya yang biru tampak menyala di gelap malam yang temaram disertai dengan sebuah senyuman kepuasan karena sepertinya berhasil menemuiku.

"Halo, Marhani," ujarnya membuka sebuah percakapan denganku yang aku merasa itu seperti sebuah tembok yang dibongkar karena tidak pernah mendengar namaku dipanggil lagi oleh dia sebelumnya. Aku merasakan kekakuan luar biasa saat disebut namaku. Perlahan ingatan masa silam muncul kembali dalam memori. Aku merasakan semacam keterkejutan juga dalam tubuhku. Darah dalam tubuhku serasa berhenti. Seperti ada sebuah jam yang tiba-tiba berbunyi perlahan. Oh, tidak aku harus tenang. Aku tidak boleh chaos cuma karena ini saja. Aku harus bisa kendalikan diriku. Kuatur napas perlahan, kuhela, kubuang, dan mulailah aku menjawab dengan tegas,

"Ya, Janneke," sebuah nama muncul dari dalam mulutku yang sempat kaku, dan untuk kali pertama aku menyebut nama itu lagi bahkan di depan orangnya, orang yang pernah ada di masa laluku.

Tentu kamu ingin tahu kenapa aku bisa kenal dia, Janneke, dan dia kenal aku juga? Baiklah, aku ingin menceritakannya dahulu supaya kamu tahu.

***

Dahulu sebelum aku tinggal di sebuah tempat bernama Balewarge, sebuah kota dengan sejuta pencakar langit yang terkadang ramah, terkadang tidak terhadap warganya meskipun warganya sudah patuh pada setiap peraturan dan rela menjalankan sampai kantong untuk kehidupan sehari-hari menipis, aku pernah tinggal di sebuah tempat di yang sangat jauh dari Balewarge. Tempat itu bernama Lagelanden. Tempat yang selalu ada salju, cuaca selalu ungu, dan banyak kanal yang dingin. Aku menghabiskan sebagian besar waktuku di sana, mengikuti orang tuaku yang mencoba mencari peruntungan supaya asap di dapur tetap mengebul karena tidak ada setitik cahaya terang di Balewarge.

Di sinilah aku berkenalan dengan Janneke, anak dari tetangga kami yang ramah. Dia seorang gadis periang seperti Cinderella dan Belle, selalu tiap hari bernyanyi dengan merdu. Suaranya seperti seorang penyanyi opera, dan kemerduan suaranya bagai sebuah oasis untuk mengobati rasa dingin yang sering aku alami sejak kali pertama tiba. Janneke juga orang yang bersahabat, dia tak malu-malu mengajakku bermain terutama di sebuah hutan pinus belakang kanal. Hutan pinus yang terlihat berwarna-warni dengan hijau yang tak sehijau di Balewarge. Hutan pinus yang juga bisa menjadi tempat menghangatkan hati meski dingin selalu menyelimuti. 

"Kamu tahu," kata Janneke padaku saat kami berjalan di dalam hutan pinus itu, "Dahulu di sini ada seekor serigala besar yang sering memakan orang dan memangsa binatang ternak,"

Aku yang mendengar itu mencoba membayangkan binatang yang seperti anjing tersebut dengan warna bulu kadang hitam, kadang abu-abu, dan kadang putih.

"Memang sebesar apa?" tanyaku penasaran.

"Sebesar orang dewasa!" kata Janneke tegas. Ia lalu berhenti. Aku mengikutinya. Ia kemudian menurunkan badannya mengambil sebuah daun kering di hutan itu.

"Rasanya aku ingin menjadi serigala," ujarnya kemudian. Aku yang mendengarnya agak heran, dan sedikit membelalakkan mata,

"Kenapa kamu mau jadi serigala?" tanyaku karena keheranannya.

Ia lalu menoleh kepadaku. Ia menatapku tajam dan tubuh tingginya membayangiku. Aku perlahan seperti melihat nenek grandong jahat yang hendak memangsa anak kecil. Aku merasa takut.

"Supaya aku bisa makan kamu yang kayak kelinci!" Ia mengangkat kedua tangan ke atas membentuk gestur menakut-nakuti. Aku langsung teriak dan lari. Ia mengejarku begitu kencang sembari tertawa-tawa puas. Aku kemudian sadar ini sebuah candaan. Aku pun berhenti. Lalu menatap dia balik. Aku segera bahasakan tubuhku supaya dia berhenti dengan tangan.

"Bagaimana kalau kelinci yang kecil ini jadi seekor harimau besar yang juga ganas, dan bisa memakan serigala?" kataku setelah itu. Aku segera buat gestur menakut-nakuti. Ia terkejut dan berlari. Kini balik aku yang mengejar dia. Tentu saja aku juga tertawa-tawa. Kami lalu berhenti karena capek berkejaran kemudian tiduran di lantai hutan. Sembari memandang langit yang tumben berwarna biru cerah, Janneke berkata kepadaku,

"Kalau matahari dan bulan, apakah kira-kira bisa menyatu, Hani?" tanyanya sembari menyebut nama panggilanku. Nama yang sebenarnya ia berikan, dan aku terima karena lebih mudah diucapkan daripada Marhani.

Aku berupaya menjawab logis menurut aturan ilmu alam,

"Aku rasa tidak, Janneke," kataku.

"Kenapa?" tanyanya heran.

"Kan matahari ada di siang hari, bulan di malam hari," jawabku pelan. Di saat itu aku merasakan ada angin berembus di dalam hutan. Suasana pun jadi sejuk. Bau pinus juga menguap ke mana-mana seiring angin berembus, "Kalau keduanya bersatu, nanti semesta akan hancur karena keluar dari sistemnya,"

"Kalau begitu, biar nanti aku yang buat keduanya bersatu, dan mereka harus bersatu supaya bisa mudah diatur," jawab Janneke dengan ambisius. Aku yang mendengar ini kurang suka karena sudah menyalahi aturan semesta. Aku langsung menanggapinya,

"Apollo tidak bisa begitu saja memaksa Ratih, kawan. Kasihan!"

"Siapa itu Ratih?" tanya Janneke kebingungan atas jawabanku. Apalagi aku menyebut nama yang asing baginya. Nama yang sering disebut orang-orang di Balewarge.

"Itu orang yang tinggal di bulan,"

Aku lihat Janneke masih bingung.

Hari demi hari aku selalu bermain dengan Janneke bahkan saat bersekolah. Aku saat bersekolah ini merasakan ketidaknyamanan karena teman-temanku yang tinggi seperti raksasa dengan tatapan yang meremehkan. Mereka begitu karena aku tampak bagai liliput. Tetapi, Janneke selalu melindungiku. Ya, ia adalah salah satu raksasa yang baik. Dari sini aku menyadari perbedaan aku dan mereka.

Perbedaan itu semakin terasa lagi saat aku dan dia memutuskan mandi bersama setelah berlari pagi. Ketika Janneke satu per satu membuka semua yang membalut dirinya, aku melihat sebuah batu pualam putih yang bersinar seperti Minerva. Lekukan tubuhnya sungguh luar biasa apalagi pahatan itu tampak sempurna. Aku merasakan diriku iri dan minder ingin seperti dia. Saat aku memandang diriku yang tidak putih dari atas sampai bawah, aku merasa tidak percaya diri. Apalagi saat aku memandang diriku sendiri di cermin sehabis mandi. Aku perhatikan keseluruhan tubuhku. Muka dan kulitku benar-benar sawo matang bahkan pada bagian sensitifku. Ah, aku memang berbeda dengan dia dan ingin seperti dia.

Semakin hari semakin terlihat semua perbedaanku dengannya. Apalagi saat kami berdua menginjak masa remaja dan dewasa. Di masa ini Janneke kulihat gemar memamerkan bagian-bagian tubuhnya dengan memakai baju setengah terbuka. Ia sering memamerkan punggungnya, bahunya hingga terlihat belahannya serta pusar. Bahkan ia sering memakai bawahan yang memerlihatkan pahanya yang memang mulus. Katanya, demi kebebasan dan kenyamanan berekspresi. 

Berbeda denganku yang disuruh memakai pakaian sopan dan tertutup. Awalnya aku merasa tidak nyaman karena aku beranggapan aku punya tubuh yang ingin aku perlihatkan juga seperti Janneke supaya orang-orang tahu. Tetapi ayah dan ibuku selalu bilang,

"Marhani, kita ini orang Timur, bukan Barat. Kita tahu sopan santun dan adab. Jangan kamu seperti mereka. Kita harus berbeda. Punya identitas. Tidak boleh barang pribadi kamu kamu perlihatkan ke orang lain. Jangan, Nak! Bahaya! Apa kamu mau buku kamu Ayah atau Ibu ambil? Nggak, kan? Jadi, berpenampilan sopanlah dan tahu adab,"

Pada akhirnya mereka benar. Bahwa aku harus berbeda. Aku bukan mereka. Mereka juga bukan aku. Aku harus punya pembeda dengan mereka. Harus. Aku sawo matang, dia putih. Karena itu juga aku sering menolak ajakan Janneke untuk berpesta bareng dengan lawan jenis serta meminum bir bahkan membawa pulang pria ke rumah. Aku merasakan itu semua tidak sesuai dengan diriku. Aku pikir wanita tetap harus bisa jaga kehormatannya saat bergaul supaya tidak mudah dipermainkan oleh para lelaki.

Akibat perbedaan pandangan itu pula, hubunganku dengan Janneke merenggang. Kami saling menjauh dan tidak pernah bertegur sapa lagi. Aku sebenarnya tidak mau begini. Cuma aku membawa prinsip jika di tanah orang aku harus pertahankannya supaya tidak mudah hanyut oleh arus di sekitar. Ini identitasku. Tiada apalah aku korbankan pertemanan ini, yang penting identitasku jangan sampai.

Akan tetapi, Janneke yang tidak bertegur sapa denganku tiba-tiba datang kepadaku dengan marah-marah. Aku jujur terkejut orang ini tiba-tiba ada di depanku namun dengan kondisi yang jelek,

"Kamu berani-beraninya mengalihkan perhatian Ruud dariku!" Ia begitu emosi. Aku yang dibegitukan mencoba tenang, dan jangan terpancing seperti harimau yang selalu bisa berjalan tenang dalam gelapnya hutan namun tetap waspada akan bahaya yang bisa mengancam.

"Kamu apakan dia? Kamu mantra-mantra ya! Dasar kurcaci coklat!"

Aku jujur tersinggung disebut seperti itu karena itu sama saja merendahkanku. Ingin aku membalas cuma aku diam saja. Aku tak mau ada keributan. Aku tahu soal Ruud itu. Pemuda rupawan yang tinggi, dan juga pirang seperti Janneke. Tapi aku tidak seperti yang ia bilang. Ruud memang menyukaiku, dan mencoba merayuku bahkan hendak memegang tanganku tapi selalu aku tolak karena tidak sopan, dan tidak sesuai adat dan identitasku sebagai orang Timur. Janneke yang tahu aku diam lagi-lagi cuma bisa mencak-mencak. Aku yang tidak tahan akhirnya cuma bilang,

"Sebaiknya kamu tanya ke Ruud langsung," Ia lalu terdiam dan berlalu dari hadapanku. Semenjak itu aku tak pernah bertatap muka lagi dengannya bahkan ketika aku akhirnya pulang ke Balewarge bersama orang tuaku yang memutuskan kembali karena merasa di Lagelanden sudah tidak memberikan kenyamanan dan penghidupan lagi.

Aku pun kembali ke asalku. Di sini aku bertemu keluarga besarku yang asli Balewarge. Aku diajarkan silat oleh kakekku, Engkong Ali, untuk jadi pegangan supaya tidak ada lelaki yang kurang ajar terutama para hidung belang. Apalagi kondisi di Balewarge yang semakin hari semakin membahayakan bagi para wanita. Aku kemudian juga mengambil kuliah tentang lingkungan dan selepas lulus aktif sebagai pegiat lingkungan untuk menyuarakan rusaknya ekologi di Balewarge terutama sungai yang semakin kotor. Tentu beda sungai di Balewarge dan Lagelanden. Perlahan semua tentang Janneke hilang.

Namun, semua terasa berubah ketika ada berita marak di televisi dan media sosial bahwa sering terjadi pembunuhan orang-orang di jalanan secara acak. Banyak yang melihat yang melakukan itu adalah sesosok makhluk seperti serigala. Aku langsung berpikir sembari bertanya, apa itu dia?

Ketika itu sering terjadi aku malah jadi yakin kalau itu dia, dan selalu terjadi di malam hari. Gara-gara ini sampai-sampai kakekku bilang, 

"Neng, udah saatnya lo turun ya. Kasih pelajaran tuh serigala. Keluarin harimau yang udah Engkong ajarin,"

"Iya, Kong," kataku.

Kemudian ada sebuah pesan tak dikenal yang muncul di WA telepon pintarku. Aku hanya heran nomorku bisa-bisanya dimasuki sebuah pesan yang berbunyi,

"Wanita harimau, keluar kau! Sudah lama aku mencarimu. Di lapangan kita buktikan!"

Aku yang membaca pesan ini semakin yakin kalau ini adalah Janneke, si wanita serigala yang meneror di malam hari.

***

"Hari ini aku ingin tuntaskan dendamku padamu, Hani" kata Janneke dengan mata tajam dan raut muka menunjukkkan rasa tidak sukanya padaku setelah perpisahan tidak menyenangkan lima tahun silam. Ia tampak bersiap-siap dengan posisi kuda-kuda tangan hendak meninju, dan posisi kaki kiri ke depan, dan kanan memanjang di belakang. Tampak ia juga sudah belajar bela diri sama sepertiku. Tapi tentu saja ia bela diri ala Barat. Aku merasa itu Savate. Sedangkan aku Pencak Silat.

"Silakan saja kamu tuntaskan dendamu," kataku tegas dan menantang balik. Suasana dingin mulai menjadi panas, "Tapi, jangan kamu bunuh orang-orang di sini yang tidak tahu apa-apa. Jangan buat kekacauan di tempatku karena aku tidak pernah berbuat yang sama di tempatmu!"

"Justru aku ke sini untuk datang mengacau, dan nanti biar aku satukan matahari dan bulan" ujarnya yang tampak memuncak emosinya seperti Freya yang gemar bertarung. Hal yang aku tidak suka karena Freya itu agresif. Aku harus melawan sifat ini yang jika dibiarkan malah mengancam identitas orang-orang di Balewarge.

Aku lihat Janneke yang tiba-tiba saja memuncak emosinya dengan berteriak mulai berubah pada fisiknya. Tangan dan kakinya serta badannya perlahan membesar dan berbulu lalu muncul kuku-kuku tajam di kaki dan tangannya itu. Baju yang ia pakai beserta celana panjang dan sepatu semuanya terkoyak dan hancur. Lalu kepalanya maju ke depan dengan perubahan pada mata yang membesar, kuping yang memanjang. Dari moncongnya muncul gigi-gigi tajam yang berliur. Ia lalu melolong panjang. Kini benar Janneke adalah manusia serigala.

Aku tentu saja tidak tinggal diam. Aku harus lawan monster besar warna hitam ini yang terlihat nafsu seperti kelaparan dan buas. Aku pasang kuda-kuda ala silat dengan mencondongkan badan ke depan kemudian posisi tangan kanan dan kiri juga. Kaki kanan juga ke depan, dan kiri panjang ke belakang.

Aku konsentrasi ke depan pada tubuh, pikiran, dan jiwaku. Aku rasakan ada gejolak dalam diriku. Sebuah energi yang luar biasa. Energi yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Energi ini menuntunku untuk melepas raga manusiaku. Benar-benar seperti gairah yang memuncak. Aku rasakan ada perubahan pada tangan dan kakiku. Mereka membesar, ada buku-bulu lebat pada mereka, bulu-bulu kuning dengan loreng-loreng hitam. Kemudian ada kuku-kuku yang memanjang tajam. Aku rasakan keterkejutan juga kesakitan saat ada perubahan gila padaku. Seperti disuntik vaksin berkali-kali. Perubahan juga terjadi pada badanku. Membesar sampai merobek pakaian yang aku kenakan. Bahkan sandal gunung pun hancur terkoyak. Kemudian pada kepala aku mulai merasa kepalaku membesar, maju sedikit ke depan lalu telinga berubah juga membesar. Hidungku pun berubah mendelep dan ada kumis-kumis melintang di dekat mulutku yang juga berubah searah dengan mulut. Aku setelah itu menggeram kencang menantang si manusia serigala. Kini aku adalah Marhani si wanita harimau. 

Aku pasang kuda-kuda siap menyerang dengan auman kencang. Ia juga kulihat sembari melolong lalu menatap ke arahku dengan tajam. Makhluk ini harus segera diberi pelajaran. Aku meloncat tinggi ke arahnya. Dia juga. Sebuah pertarungan besar baru saja akan dimulai. Malam dingin sehabis hujan dan petrikor itu jadi saksi.


Sabtu, 27 September 2025

Lepaskan Mereka Atau Kamu Aku Tenggelamkan!

"Lepasin dia, bro," kata Rio kepada Ardi saat keduanya ada di sebuah perahu motor kecil yang ada di atas laut yang dalamnya terlihat sangat jernih. Sinar matahari menerobos masuk ke dalam dengan mudahnya. Memancarkan sebuah dunia yang ada di bawahnya. Terumbu-terumbu karang yang eksotis serta ikan-ikan berenang dengan bebas dan tampaknya gembira, menyusuri dan masuk-keluar karang. Sebuah simfoni di lautan yang terlihat begitu indah dan memukau secara visual. Hati siapa yang tentu tidak ingin menelusuri dan merasakan langsung keelokannya.

Rio dan Ardi tengah berada di atas keindahan bawah air karena aktivitas yang dilakukan Ardi yang memang di situ bukan untuk mengagumi lukisan kenyataan dan natural, tetapi untuk mengambil salah satu penghuni dunia bak negeri dongeng tersebut. Apalagi kalau bukan ikan-ikan yang ada di situ. Mereka sangat berwarna-warni, juga indah, berpadu dengan karang-karang serta rumput laut dan alga yang menari-nari melambaikan tangan kepada yang melihat mereka. Lagi-lagi, hati siapa yang tidak terpukau.

Seekor ikan kupu-kupu warna kuning dengan corak biru di badan dan sirip ditangkap oleh Ardi. Tampak ada kepuasan pada wajahnya menangkap ikan yang bersinar bagai pertama tersebut. Yang kilaunya bisa mengalahkan terik matahari, dan seakan percuma menembus kulit manusia.

Namun tidak halnya dengan Rio. Ia tidak menyukai tindakan Ardi ini yang malah merusak lukisan alam itu.

"Kasihan, bro, tuh ikan," katanya sembari melihat ikan itu yang ada dalam genggaman Ardi dengan posisi ditidurkan, mata melotot, mata menganga, dan insangnya megap-megap. Pertanda ia kaget karena perubahan cepat dari dalam air ke daratan. Ardi yang tahu hal itu segera menaruh si ikan dalam sebuah kotak berisi air. Ikan itu kemudian normal lagi karena bertemu dengan habitatnya meski dalam sebuah kotak.

"Kasihan apanya?" tanya Ardi heran selepas itu. Ia pandangi Rio yang tampak terang karena terik matahari. Rio yang ditatap Ardi seperti itu berusaha tenang seperti tenangnya lautan yang menaungi mereka.

"Kasihan aja harus lo ambil dari rumahnya dia," kata Rio menanggapi keheranan Ardi, "Pasti teman-teman dan orang tuanya bertanya-tanya,"

Ardi yang mendengar itu malah tertawa geli, "Ya elah, Bro, gue kan ngambil juga gue kasih makan dia," Ia lalu menoleh ke bawah ke kotak air yang ada ikan kupu-kupunya yang kini berenang namun sepertinya bingung karena dunianya cuma sebuah kubus yang tidak transparan pula.

"Lo lihat dia," kata Ardi melanjutkan sembari menoleh ke arah ikan, "Dia itu indah banget kayak kupu-kupu di kebun raya yang terbang melintang, membuat penasaran semua orang lalu ditangkap, dan diabadikan dalam lemari kaca super transparan. Lagian kalau itu indah ya apa salahnya selalu harus diperhatikan?"

 "Gue ngerinya dia bakal gigit lo, bro," kata Rio kembali menanggapi jawaban Ardi yang agak pragmatis.

Mendengar jawaban itu, Ardi kembali tertawa-tawa, "Lo kenapa sih? Tumben banyak komentar? Biasanya nggak! Emangnya ini ikan hiu bisa gigit? Kebanyakan nonton film lo ya?"

Rio cuma diam. Ia tak mau menanggapi jawaban sahabatnya itu. Ia hanya melihat laut yang tenang dan sekarang tiada ombak meskipun angin kencang menerpa mukanya. Laut walau terlihat tenang di atas, bawahnya adalah sebuah misteri. Demikian ia membatin. Ikan-ikan yang ada di dalamnya memang indah dan memukau, akan tetapi mereka suatu saat akan melawan jika diperlakukan tidak pantas.

"Kalau ikannya berubah jadi cewek cantik sih gue nggak masalah, Bro," kata Ardi lagi di tengah heningnya Rio, "Nah kaya di legenda Danau Toba tuh. Bisa masakin makanan enak dan ya main ke ranjang," Ia lalu tertawa lagi.

"Hati-hati, bro," kata Rio mengingatkan akan perilaku Ardi yang mulai berkhayal dengan hasrat seksualnya, "Cantik-cantik nanti lo yang kapok!"

Ardi sekali lagi cuma tertawa-tawa besar menanggapi perkataan sahabatnya yang dianggap ngalor-ngidul. Tawanya cukup untuk mengalahkan embusan angin yang menerpa mereka berdua. Laut masih terlihat tenang, dan dari kejauhan ada nyiur-nyiur melambai.

***

Air laut datang dan pergi menerjang pantai. Pasir-pasir yang tadinya belum sempat kering harus basah lagi. Kondisi yang sebenarnya tidak menyenangkan tetapi mau bagaimana lagi karena siklus itu akan terus berulang. Sinar matahari menerangi sebagian pasir dan pantai itu. Di situ juga terdapat karang dan bukit yang ditumbuhi rumput-rumput. Bukit-bukit itu tampak cocok jadi pelindung dari sinar matahari tersebut.

Namun suasana di pantai itu sendiri belumlah begitu terik karena masih pagi hari. Ada kabut di sekitar pantai kemudian ada suara burung-burung camar yang saling berkaokan saat terbang dan mendarat. Suara-suara mereka mengalahkan kesunyian pagi pada pantai yang selalu jadi tempat sebuah pengharapan.

Ardi tiba-tiba mendapati dirinya pada sebuah pantai itu. Ia merasa dirinya agak heran kenapa bisa ada di sebuah pantai yang pasirnya cukup putih tersebut. Tiada orang di situ selain dirinya. Yang ia ingat adalah ia berada di sebuah ruangan yang berisikan akuarium besar untuk wadah ikan-ikan hias yang selama ini ia tangkap. Mulai dari ikan badut, ikan malaikat, ikan singa hingga ikan napoleon yang sebenarnya dilarang. Semuanya bagai sebuah orkestrasi yang memukau mata. Ardi tampak puas melihat para koleksi hidupnya berenang ke sana-kemari dalam sebuah ekosistem aquascape yang ia ciptakan. Ia masukkan pohon-pohon daratan, ia buat air terjun, jembatan, dan rumah-rumahan seolah-olah ikan-ikan itu membutuhkannya. Ia yang tersenyum puas melihat koleksinya tiba-tiba merasa kantuk menyerangnya. Ia pun tak kuat, dan jatuh tertidur...

Hanya itu yang ia ingat. Namun, ia tak menyangka jika terbangun di sebuah pantai yang benar-benar sunyi namun indah. Ia coba sadarkan dirinya dengan mengucek-ngucek mata atau menampar mukanya untuk menegaskan yang dialaminya hanya mimpi. Sayang, tetap saja semua seperti itu. Ia tetap di pantai. Ya sudah, mau bagaimana lagi, katanya. Ia kemudian bangun, dan ingin sekali menjelajahi pantai yang sepi ini yang mungkin nanti bisa bertemu orang untuk membantunya.

Saat ia bangun dan berdiri tiba-tiba dari ombak yang berdebur muncullah seseorang yang berjalan mendekat kepadanya. Ia adalah sesosok wanita berambut panjang, yang memakai kemben panjang sampai kaki warna biru laut. Sinar matahari menerpa kedua bahunya sehingga terpantul keindahan itu. Ardi yang melihatnya terkejut. Sangat terkejut. Ia merasa seperti ketiban durian runtuh di hadapannya ada seorang wanita yang ke arahnya sembari tersenyum. Wanita itu sangat cantik baginya berpadu dengan senyum yang menggoda serta warna kulit sawo matangnya yang terlihat putih karena terkena sinar matahari.

Ardi sekali lagi menampar mukanya hanya untuk memastikan yang dilihatnya ini bukan halusinasi. Dan, setelah ditampar, ternyata masih sama. Ini nyata.

"Kenapa mukanya ditampar?" tanya wanita itu kemudian yang tanpa disadari sudah di depannya. Ardi yang melihatnya malah gemetaran pada sekujur tubuh. Ia berupaya menjawab di tengah gemetaran itu,

"Eh, nggak saya kira ada nyamuk datang," ujarnya berdalih dengan senyum seperti orang ketakutan.

Melihat Ardi seperti itu, si wanita dari laut ini tampak bisa membaca yang dirasakan Ardi. Ia lalu berujar,

"Apa saya menakutkan? Kok kamu ketakutan?" 

"Eh, tidak," kata Ardi terbata-bata, "Kamu cantik. Cantik sekali!" 

"Benarkah?" Si wanita lalu mendorongkan kepala ke arah Ardi. Ia tatap Ardi dalam-dalam. Ia lihat raut ketakutan sekaligus kekaguman. Ardi dari dekat melihat sosok wanita dari laut ini yang benar-benar cantik seperti cantiknya lautan yang penuh dengan karang-karang dan rumput laut. Membuat ia jadi berkhayal lebih jauh akan wanita itu, bagai seorang bidadari yang muncul tanpa disangka-sangka.

Si wanita laut lalu menarik balik kepalanya. Ia kembali tersenyum,

"Main, yuk!" Kata si wanita laut setelah itu.

Mendengar kata itu, Ardi terheran-heran. Ia pun bertanya,

"M..maksudnya?"

Si wanita laut tetap tersenyum, dan dengan pelan ia menjawab,

"Ya, kita main ke laut. Aku mau ajak kamu berenang ketemu teman-teman aku di istana,"

Sekali lagi Ardi keheranan,

"Berenang? Istana? Apa kamu dewi?"

"Ya, boleh dibilang begitu," kata si wanita laut tetap tersenyum lalu mengubah nada bicara dan tatapannya, "Tentu kamu mau juga kan teman-temanku yang seperti aku ini. Mereka bisa bikin kamu melayang dan puas,"

"I..iya, aku mau!" Kata Ardi kini dengan semangat. Tampak hilang sudah gemetar di badannya. Si wanita yang melihat itu kemudian bernyanyi dengan merdu sekali. Ardi yang mendengarnya tampak terpesona luar-dalam. Oh, sudah cantik bisa bersenandung pula, gumamnya kagum.

Si wanita laut yang bernyanyi itu perlahan melepas kemben panjangnya. Kini terlihatlah sebuah keindahan yang bersinar, yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ardi merasa terguncang melihat lekuk dan pahatan indah yang seperti pada dewi Yunani dan Romawi. Sungguh sempurna meski ia punya wajah sawo matang. Tapi itu perpaduan yang aduhai dan sangat berkelas serta elegan. Ditambah ia terus bersenandung dengan tatapan yang buat Ardi tidak bisa menahan air liurnya. Dirinya terus bergolak. Ia sungguh tidak bisa menahan. Ia tak kuat luar dalam.

Ia lepas juga yang melekat pada dirinya. Kini ia sama dengan si wanita laut. Ia ingin mencicipi tubuh si wanita laut dengan keperkasaannya yang menegang. Si wanita laut yang masih bersenandung itu melihat laki-laki yang ada di hadapannya kini sudah seperti dia. Ia lalu melihat benda panjang yang menjadi simbol kekuatan Ardi berkata,

"Kamu boleh juga," ia kemudian bernyanyi lagi kemudian menjauhi Ardi. Ardi pun jadi penasaran dan terpancing. Wanita ini benar-benar memikat dirinya. Embusan angin yang mengibarkan rambut si wanita yang tampak halus semakin meliarkan dirinya. Dengan nyanyian, si wanita laut yang berupaya menjauhi Ardi terus mengajak dengan gestur pada tangannya. Ardi terpancing, dan mengejar. Ia kini bisa mendekati si wanita laut. Ardi yang kini dikuasai nafsu tanpa malu-malu langsung merajah tubuh si wanita laut bahkan bagian sensitifnya. Si wanita laut membiarkan saja sembari merasakan rangsangan. Mereka lalu berciuman dengan mesra. Disaksikan oleh ombak berdebur dan camar-camar beterbangan.

Ardi yang baru kali ini merasakan kenikmatan itu, dan bukan mimpi kini diajak si wanita laut untuk berenang. Mereka berdua berlari dan menerjang ombak. Mulailah mereka berdua menjelajah isi lautan, menyaksikan keindahan laut yang tiada tara, ikan-ikan yang berenang bebas ke sana kemari tanpa hambatan, rumput laut, anemon, ganggang, alga juga terumbu karang. Baru kali ini juga Ardi merasakan keindahan itu seperti ini apalagi bersama dengan seorang wanita cantik. Bahkan Ardi merasa tidak ketakutan ketika ada ikan hiu di depannya yang malah sepertinya hormat pada si wanita laut. Ia lalu bergumam, ternyata benar dia seorang dewi.

Setelah berenang itu mereka berdua muncul ke permukaan. Rambut mereka yang basah kini terlihat menempel terutama si wanita laut yang rambut basahnya menempel sampai ke bahunya yang tampak bersinar. Tampak ada raut gembira pada wajah Ardi. 

"Kamu kayaknya senang ya?" Kata si wanita laut menanggapi raut muka Ardi. Ia mulai memandang dengan perasaan tidak suka.

"Ya, senanglah!" ujar Ardi semangat, "Bisa melihat ikan-ikan lalu berenang bersama wanita cantik apalagi dalam keadaan tidak berpakaian seperti ini. Rasanya seperti terbang!"

"Begitu ya?" tanya si wanita laut kini dengan nada menyelidik, "Kamu senang terus kalau aku tidak senang bagaimana?"

Ardi yang mendengar pertanyaan itu hanya menjawab dengan santai,

"Ya, aku tidak peduli kan yang penting aku senang. Aku senang bisa main sama ikan. Apalagi kalau ikannya kamu yang begitu indah dan bersinar. Coba kamu jadi salah satu koleksiku bersama ikan-ikan yang ada di rumahku!"

Si wanita laut tampak tidak suka dengan jawaban Ardi yang egois. Semua diambil demi kepuasan diri dan nafsu tanpa peduli nasib yang diambil. 

"Baiklah, kalau kamu senang," kata si wanita laut yang bola matanya kini membesar tajam. Rasa tidak suka itu semakin muncul. Tapi Ardi tampak tidak peduli. Ia anggap paling itu main-main, "Kamu boleh ambil aku sebagai koleksimu tapi..."

"Apa?" tanya Ardi penasaran.

Tiba-tiba ditariknya kepala Ardi ke arah muka dan bibirnya hingga bersentuhan satu sama lain. Ardi merasakan keterkejutan. Ia lumat bibir wanita laut yang tipis dengan penuh kenikmatan di antara kering dan basahnya air. Ia merasakan jiwanya melayang. Namun, di saat seperti itu juga ia rasakan sebuah cengkraman kuat di lehernya. Ia lihat tatapan si wanita laut yang kini berubah menjadi sebuah kemarahan luar biasa. Ia merasa tidak bisa berkata-kata. Ia mencoba berontak. Si wanita laut malah membenamkan tubuhnya ke dalam air mendorong ke dalam. Ardi benar-benar dalam kuasanya. Tak bisa ia melawan,

"Lepaskan mereka atau kamu aku tenggelamkan!" Ujar si wanita laut yang masih berkata nyaring di dalam air. Ardi hanya bisa melotot kaget. Ia benar-benar tidak bisa melawan. Ia rasakan kaki dan tangannya kini dipegang oleh para wanita laut yang lain yang juga marah kepadanya. Perlahan mereka mendorong Ardi sampai ke lapisan laut paling dalam ketika matahari sudah tidak bisa menembusnya. Mereka lalu menghilang seiring dengan hilangnya keterkejutan Ardi.

***

"Loh, ikan-ikan piaraan lo pada kemana?" tanya Rio kepada Ardi saat ia sedang berada di rumahnya untuk sekadar berkunjung. Dilihatnya sudah tidak ada ikan-ikan lagi dalam akuarium besar itu. Benar-benar kosong melompong.

Ardi yang ditanya begitu hanya bisa menjawab sekadarnya ketika sahabatnya tahu bahwa semua koleksi peliharaannya sudah tidak bersamanya lagi.

"Udah pada gue lepasin ke laut," 

"Kenapa?" tanya Rio dengan heran karena ia merasa tidak biasanya sahabatnya berlaku hal seperti itu.

"Gue didatangin dewi laut di mimpi gue minta semua dilepasin," kata Ardi dengan perasaan yang tiba-tiba takut, "Dia cantik tapi kayak monster. Gue ngeri deh!"

Rio lantas menimpali,

"Kan gue bilang juga apa? Hati-hati cantik-cantik bisa jadi monster,"

"Iya, gue nggak mau deh miara lagi," ujar Ardi menyesali, "Kasihan. Biarin deh pada di rumahnya,"

"Nah, gitu dong," kata Rio yang tampak senang sahabatnya menyesali. Ia kemudian menunjukkan foto seorang wanita di hapenya.

"Mau nggak gue kenalin?" tanya Rio setelah itu, "Lagi cari pasangan nih!"

Ardi yang melihat foto itu tampak terkejut. Matanya melotot, mulut menganga lalu menjauh dari foto dengan rasa gemetar dan ketakutan,

"Nggak deh! Makasih!"

Kenapa memang?" Rio pun heran karena kelakuan sahabatnya itu.

"Dia itu yang muncul di mimpi gue!" Jawab Ardi dengan tegas walau ketakutan.

Jumat, 26 September 2025

Udah Mati, Tapi Kok Masih Berantem?



Juliana berlari sangat kencang seperti orang dikejar-kejar harimau ke dalam rumah. Tanpa memerhatikan kondisi di sekeliling ia langsung masuk ke kamarnya yang berada di dekat ruang tengah. Di situ ia langsung melompat ke ranjangnya kemudian menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang tinggi dan putih itu. Ia rasakan keringat keluar dari dari tubuhnya seiring dengan gemetarnya badan yang terasa bagai gempa bumi. Rambut pirangnya yang tadi kering pun basah seperti habis mandi. Ia menutup kedua matanya rapat-rapat seakan-akan tidak mau melihat sesuatu yang membuatnya berlari kencang.

Tak lama kemudian datanglah orang tua si Juliana yang sedari tadi melihat anaknya berlari kencang dari arah kebun belakang yang besar, rimbun, dan gelap walau di pagi dan siang hari. Sebuah kebun yang di situ ada pohon-pohon beringin yang cukup besar, pohon bambu, juga pohon pisang. 

Kedua orang tua Juliana ini merasa heran dengan tingkah anaknya yang demikian. Mereka merasa ada yang tidak beres. Keduanya kemudian masuk ke kamar, dan mendapati anak mereka sedang menutupi diri dengan selimut begitu kencang. Tercium sebuah aroma yang wangi dari selimut itu berpadu dengan aroma dari suasana siang yang mendekati sore, hangat-hangat panas. Apalagi di luar jendela terlihat sinar matahari mulai berkurang warna teriknya, dari kuning menyengat ke oranye yang pudar.

Melihat anak perempuannya seperti orang yang ketakutan, si Bapak yang badannya tinggi tegap, berkulit putih namun kecoklatan, berambut pirang, dan bermata biru layaknya bule, dengan firasat yang kuat berkata pada istrinya yang juga punya ciri fisik hampir sama namun matanya coklat.

"Jangan-jangan mereka berulah lagi?" ujarnya sembari melihat ke Julia dengan tajam seperti busur panah. "Nggak ada kapok-kapoknya orang-orang ini!"

"Kamu jangan ngawur!" ujar istrinya menanggapi omongan suaminya yang terkesan main tuduh karena belum ada bukti yang kuat, "Bisa jadi bukan mereka, mungkin yang lain!"

Si Ibu segera berkata pelan pada Juliana yang masih ketakutan,

"Kamu kenapa, Nak? Kok lari-lari kayak habis melihat setan?"

Dari dalam selimut, Juliana yang ketakutan itu menjawab,

"Aku memang dikejar setan, Bu!" kata Juliana dengan nada besar untuk menegaskan hal yang baru saja ia alami "Mereka juga menakut-nakuti aku!"

Ibunya yang mendengar jawaban itu heran meski sebenarnya ia tidak merasa terlalu heran dalam hati. Ia lalu melihat ke suaminya. Sang suami hanya melihat tajam padanya seolah-olah ia ingin berkata bahwa firasatnya itu memang benar. Si Ibu lalu menoleh ke Juliana lagi yang masih betah membungkus dirinya dengan selimut.

"Memang siapa, Nak?" tanya sang Ibu yang sebenarnya tahu dalam hatinya tapi ia ingin mengonfirmasi ke anaknya.

Mendengar pertanyaan itu, Juliana segera membuka selimutnya. Dilihatnya kini wajah bapak dan ibunya. Sang Bapak diam menatap tajam. Kumisnya yang warna kuning semakin menegaskan diamnya itu. Si ibu tersenyum. 

"Ah, Ibu jangan pura-pura nggak tahu!" ujar Juliana kesal setelah membuka selimutnya, "Siapa lagi kalau bukan para hantu penghuni kebun, kuntilanak, pocong, tuyul, dan genderuwo. Aku paling kesal dengan si genderuwo yang selalu terpesona sama kulit putihku sampai-sampai si kuntilanak meradang, dan mau mencekik aku! Emangnya Bapak sama Ibu nggak bisa ngusir mereka dari kebun kita. Bukan cuma di kebun kalau malam di teras belakang sering ada pocong meloncat-loncat nggak jelas, juga tuyul! Semuanya menyebalkan, dan nggak tahu kesopanan!"

"Lagian kamu ngapain main di kebun kalau di sana kamu diganggu mulu?" kini si ibu balik bertanya dengan nada dan tatapan tajam.

Juliana memperhatikan raut wajah ibunya, dan ia tampak ketakutan. Ia lihat wajah bapaknya yang tampak tidak berubah seperti wajah para petinggi di lukisan yang selalu tersenyum namun dipaksakan.

Juliana mulai mengubah nada bicaranya sembari tetap menatap ibunya,

"Kan aku ke sana ingin main, Bu, sekaligus menjelajah isi kebun kita. Ya buat apa punya kebun besar tapi tidak pernah dijelajahi?"

"Kalau kamu memang mau menjelajah, kamu harus berani, dan tunjukkan siapa kita mereka. Kita ini adalah raksasa. Masa takut sama tikus-tikus penganggu kayak gitu?" Kata sang ibu menegur sekaligus memotivasi Juliana. Ia kemudian melanjutkan bicaranya,

"Kita ini terdidik. Mereka tidak dan terbelakang. Kerjanya cuma bisa menakut-nakuti!"

Setelah itu, barulah sang Bapak berbicara dengan nada yang tegas.

"Kamu kalau ke kebun seharusnya bersama Johan. Biar ia yang akan menembak mereka! Bilang ke Bapak lain kali ke kebun biar Bapak suruh Johan!"

Setelah itu, si Bapak memanggil Johan. Beberapa menit kemudian datanglah seseorang berbadan tegap, mempunyai fisik yang sama dengan Juliana dan kedua orang tuanya serta memakai seragam militer dan ditemani seekor anjing herder galak yang selalu menggeram.

"Kau jaga Juliana kalau ke kebun!" Kata si bapak dengan tegas, "Kasih pelajaran setan-setan itu kalau perlu usir mereka!"

"Siap, Pak, laksanakan!" jawab Johan dengan singkat dan tegas.


Ranti menangis dengan suara yang nyaring. Nyaringnya itu hampir memekakkan telinga. Itu yang membuat Randu terganggu. Begitu juga Reda dan Anto.

"Kamu kenapa sih?" Kata Randu yang terganggu sekaligus heran, "Nangis tapi juga seperti orang tertawa?"

"Iya, nih" kata Reda yang ada di samping Randu. Anto walau terganggu tetap menghitung uang yang cukup banyak bahkan sampai bertumpuk-tumpuk. Cukup buat makan tahunan.

"Kamu yang kenapa?" Kini Ranti yang bertanya balik lalu menatap Randu dengan tajam. Dilihatnya Randu yang berbadan besar hitam dengan gig putih menonjol layaknya taring, "Tiap kali si noni itu datang selalu saja berahimu naik seperti gunung mau meletus. Kenapa sih kamu selalu nafsu dengan dia? Matamu kok nggak bisa dikontrol? Emangnya aku kurang apa? Apa aku kurang putih? Atau juga aku kurang seram? Lama-kelamaan kamu malah kaya mereka nanti. Tinggal di rumah besar gedongan yang sangat-sangat dingin, dan para penghuninya seperti kelelawar pengisap darah!"

Randu hanya diam mendengar ocehan Ranti yang merupakan kekasihnya. Ia tidak bisa berdalih apa-apa karena juga percuma, dan apa yang diungkapkan Ranti itu fakta. Ia lihat wajah kekasihnya itu juga rambut hitam panjangnya yang selalu basah. Dalam hati ia ingin bilang, kamu memang kurang putih dan kurang seram. Ya, kamu memang seram buat orang-orang kita tapi buat mereka malah tidak. Kamu memang kurang putih dibandingkan si Noni itu. Putihnya dia buat aku bergairah tanpa henti. Namun, itu ia urungkan daripada menambah masalah. 

"Di rumah itu ada si tentara sama anjingnya yang galak" kata Reda menimpali, "Aku cuma dekat ke halaman belakang aja langsung ditembaki, dan anjingnya itu yang larinya sangat kencang sampai bisa menggigit kain-kainku"

Reda lalu melihat ke kain-kain yang membalut sekujur tubuhnya. Ada beberapa yang bekas gigitan anjing.

Anto yang sedari tadi sibuk menghitung uang juga menimpali,

"Jangan lupakan juga si sosok tanpa kepala yang selalu membawa kepala di tangannya dan juga dengan anjing. Dia kadang muncul di sayap rumah itu sama si Johan,"

"Ah, dia itu kan terkadang aja di situ," kata Reda lalu berdiri dan meloncat-loncat. Ia kemudian ke arah luar kemudian menatap sebuah bangunan besar dan megah dari kebun tetapi sangat menyeramkan. Ia lalu berbalik arah sembari meloncat-loncat.

"Aku lihat tadi ada Johan menjaga halaman belakang. Anjingnya kali ini benar-benar galak! Ini pasti si Noni melapor ke orang-orangnya. Khawatir aja lama-kelamaan kebun kita ini bakal bisa jadi bangunan lagi seperti rumah besar yang dulu kita tinggal di situ terus terusir ke sini!" Kata Johan dengan nada khawatir akan tempat tinggal mereka di masa depan.

"Kalau begitu kita harus lawan!" Kata Randu kemudian dengan nada semangat perjuangan, "Jangan sampai kejadian kemarin terulang lagi!"

Ranti yang mendengar itu menghentikan teriakannya kemudian berpaling ke Randu dengan tatapan sinis,

"Yakin kamu mau melawan? Sama si Noni itu aja kamu aja nggak kuat nahan nafsu. Lawan dulu nafsumu. Jadi orang kok lebih percaya hal dari luar ya! Yang dekat dilupain!"

Randu kembali terdiam. Seketika nyalinya ciut mendengar ocehan kekasihnya. Kalau kekasihnya marah ia memang tidak bisa berbuat apa-apa apalagi kemarahannya lebih menakutkan daripada orang-orang besar di rumah putih tersebut. Ia menyerah lalu bersandar pada tembok. Reda dan Anto tertawa-tawa puas, dan Reda pun berkata,

"Ah, badan gede doang kalau wanita marah ciut!" 

***

Mereka berhadap-hadapan. Tepatnya di halaman belakang rumah putih besar yang megah namun menakutkan bagi para penghuni kebun. Atau kalau dari si penghuni rumah putih besar, orang-orang dari kebun adalah para berandalan yang kerap menganggu, dan kebun tempat tinggal mereka merupakan tempat angker dan mistis.

Di sebelah kanan ada si bapak dan ibu orang tua Juliana yang berpakaian putih-putih ala Eropa serta rok panjang lalu ada Juliana yang tampilannya seperti noni kemudian ada Johan yang menenteng senapan, dan anjing herdernya serta temannya si tanpa kepala, dan kepala ada di tangan juga dengan anjing doberman.

Kemudian di sisi kiri ada Ranti dengan rambut panjang dan tampang seramnya tertawa mengikik, lalu Randu yang berbadan besar hitam serta mata merah, Reda yang melompat-lompat di tempat, dan Anto yang badannya kecil seperti anak kecil dengan kepala botak.

"Kalian berandalan kebun, berhentilah menakuti Juliana!" Kata si Bapak dengan nada tegas dan tatapan tajam yang meremehkan mereka, "Atau saya suruh Johan menghabisi kalian!" Ia lalu melihat Johan yang tampak siap dengan mengokang senjatanya serta bersiap menembak ke keempat penghuni kebun itu.

"Siap, meneer," kata Johan memanggil si Bapak dengan meneer. Anjing herdernya yang selalu menggeram dengan tatapan tajam kemudian menyalak kencang. Ini diikuti oleh anjing satunya.

Tak mau kalah Ranti malah menantang si Meneer, juga dengan tatapan menakutkan,

"Harusnya kalian yang berhenti ganggu kami! Buat apa kalian datang ke kebun kami? Memangnya belum puas tanah kami kalian ambil?" Ia lalu menatap tajam si noni dan berkata,

"Jangan kau datang ke kebun cuma untuk menganggu kekasihku!"

Mendengar itu Juliana tidak terima, ia langsung membalas,

"Kekasihmu yang matanya tidak bisa istirahat melihat orang kulit putih ke sana!" Ia lalu memandang remeh mereka, lalu berkata juga dengan meremehkan, "Sayang, kalian tidak akan bisa jadi kami meski kalian berusaha ikuti kami. Kami lebih tinggi daripada kalian!"

"Siapa juga yang mau ikut para pengisap darah?" tanya Reda menimpali Juliana. Ketika mereka seperti itu muncullah suara celetukan di antara mereka. Seseorang dengan wajah sawo matang, rambut hitam, hidung mancung, dan badan tinggi. Mereka tampak heran orang ini bisa melihat mereka, dan malah tidak ketakutan sama sekali. Ia bicara dengan santainya.

"Kalian para hantu masih aja berantem," kata orang itu kemudian menunjuk di samping kanannya, "Hantu-hantu Belanda! Oy, masih aja di sini! Indonesia udah merdeka, Bos! Pulang sana ke Belanda!" Hantu-hantu Belanda, Meneer, Mevrouw, Juliana si Noni Belanda, Johan si hantu tentara, dan si Pastor Jeruk Purut tampak tersinggung. Ia lalu ke kirinya yang di situ ada kuntilanak, genderuwo, pocong, dan tuyul, 

"Ini lagi hantu lokal. Ngapain sih masih lawan aja para Londo ini. Lawan sana hantu para koruptor. Takut-takutin!"

Para hantu itu kemudian mengarah tajam ke orang yang sebenarnya merupakan Indo, dan serempak berkata, 

"Jangan ikut campur, manusia!"

Si Indo yang ditatap yang tadinya biasa saja perlahan ciut dan takut lalu ambil langkah seribu.

Rabu, 24 September 2025

Jual Kumpulan Cerpen Terbaru September 2025

Apa kabar? Setelah 11 tahun tidak menulis buku, kali ini saya menulis buku terbaru, sebuah kumpulan cerpen yang berjudul Hancurnya Makam "Bapak".  Buku ini berisikan 11 cerpen yang saya pernah saya muat di blog ini. Adapun tema-tema dalam cerpen beragam. Mulai dari filsafat hingga poskolonial. 



Judul: Hancurnya Makam "Bapak"

Penulis: Faaqih Irfan Djaelani 

Jumlah halaman: 61

Penerbit: Mimekra

Tahun: 2025

Harga: Rp 10.000

Tertarik? Yuk, segera hubungi saya di:

Email: faqirfan@gmail.com

Yuk, tunggu apalagi

Minggu, 21 September 2025

Aku Teriak Karena Bayanganmu


Dia berteriak sangat kencang menembus tembok sampai yang di luar rumah pun harus merelakan kupingnya terbuka lebar. Teriakannya itu pun mengalahkan sound horeg sehingga sangat menganggu dan menyiksa bagi yang mau tidak mau harus mendengarnya. Beberapa orang yang melewati rumah tempat asal teriakan itu sering memasang muka sewot, jutek, cemberut, dan dengan gestur menutup telinga. Sebuah polusi suara yang sering tercipta. Tidak mengenal detik, menit, jam. Setiap hari selalu ada teriakan.

Bagi yang sudah terbiasa, akan menganggap itu adalah nada musikal paling indah sepanjang masa yang pernah didengar. Kekuatannya yang lebih dari 125 desibel itu sudah menjadi makanan sehari-hari dan sebuah nutrisi penting bagi telinga. Tak mengherankan, jika telinga terus-menerus bergoyang. Tak pernah ada lagi atau juga tidak terpikir rasa sakit yang ditimbulkan karena semuanya begitu hampa.

Akan tetapi, kalau yang sebaliknya. Ya akan mencak-mencak, marah tak keruan, mengutuk dengan sumpah serapah sampai membawa nama Tuhan dan kebun binatang,

"Demi Tuhan, tenggorokan kamu saya kutuk jadi hancur biar kamu nggak bisa teriak, anjing!"

Nah, seperti itulah kalau ada yang mengutuk seolah-olah ia punya daya magis untuk melakukannya dengan membawa nama Sang Pencipta. Sayang, itu juga tidak ada gunanya. Karena ia akan terus berteriak dan berteriak. Jadi, kalau yang sudah maklum dan mafhum, cukup terima saja, dan jika lewat pakai headset bulu tebal biar teriakan tidak menjamah telinga.

Siapakah yang berteriak itu?

Orang-orang yang sangat-sangat tahu akan menyebut nama Agus. Seorang lelaki berumur 40-an yang lahir di bulan Agustus tepat saat 17-an. Seharusnya ia menjadi orang yang istimewa karena lahir tepat saat perayaan ulang tahun negara. Jarang-jarang ada orang yang seperti itu. Namun entah, sesuatu yang istimewa itu seketika luntur dengan teriakan mega tersebut. 

Agus yang terus berteriak dari ranjang tidurnya disebut oleh orang-orang yang mengenalnya seperti kerasukan melihat sesuatu. Ia teriak dengan nada ketakutan, mata melotot lalu tubuh gemetar dan berkeringat dingin. Ia selalu menarik selimutnya untuk menutupi dirinya saat berteriak. Tentu bagi yang melihatnya akan merasa janggal dengan kelakuan ini.

Entah apa sesuatu yang dilihat itu? Agus cuma bilang itu seperti bayangan yang sangat besar. Ia sendiri juga tidak berkata dengan jelas karena teriakannya selalu mendominasi. Ya, mungkin, karena itu, keluarganya di awal-awal sering memanggil orang pintar dan ustad, dengan harapan Agus bisa normal. Tidak teriak-teriak lagi.

Oleh orang pintar ia dikomat-kamit, disemburkan air lalu pernah juga dibuat sebuah upacara besar dengan mempersembahkan sesajen diiringi dengan tarian dan kidung-kidung pengusir jiwa-jiwa halus yang membuat si orang pintar malah kerasukan dan memukul serta menendang dirinya sendiri, para asistennya, dan orang-orang di sekitar. Orang-orang pintar ini cukup kewalahan menghadapi teriakan Agus itu. Sebab, teriakan Agus itu seperti hendak menyasar ke sesuatu putih namun besar. Akan tetapi, siapa sesuatu itu? Ternyata, sangat samar. Mereka menyerah, dan kapok karena belum pernah menghadapi kekuatan besar seperti ini bagaikan tembok besar dan tinggi.

Karena orang-orang pintar tak punya daya, lalu didatangkanlah ustad-ustad yang terlihat simpel karena cukup dengan membaca ayat-ayat suci dan Agus diminumkan air. Akan tetapi, kondisinya sama saja. Para ustad ini ternyata tidak sanggup melawan teriakan Agus yang terus mengarah ke sosok seperti yang dilihat orang-orang pintar. Ada sesosok besar bayangan putih, berkulit putih, bermata biru, berhidung mancur, dan berambut pirang. Sosok itu bahkan mengeluarkan sebuah nada ancaman,

"Kowe, inlander, sebaiknya jangan ikut campur!"

Begitulah yang sering didengar para ustad yang menangani teriakan si Agus. Sosok itu seperti punya kuasa atas si Agus sehingga Agus harus terus berteriak. Para ustad ini pun mundur daripada harus menerima konsekuensi cukup berat karena sosok putih besar itu bisa mendatangkan bala tentara untuk menyerang mereka di waktu malam, dan mereka kebal terhadap lantunan ayat suci. 

Sebab dari orang pintar dan ustad tak mampu mengatasi, orang tua Agus akhirnya membawanya ke dokter. Sebenarnya, orang tuanya cukup segan membawa ke dokter karena lebih percaya pada orang pintar dan ustad daripada dokter yang bagi mereka terkesan seperti pejabat dan menjaga jarak. Apalagi salah satu kerabat Agus ada yang trauma dengan dokter karena kata-katanya dianggap mengancam. Karena itulah, awalnya salah satu kerabat itu cukup berat hati membawa Agus ke dokter. Tapi, demi Agus sembuh dan normal, mau tidak mau harus dilakukan.

Apakah hasilnya malah baik?

Sayangnya, tidak. Dokter malah memvonis Agus terkena gangguan jiwa sehingga harus dibawa ke psikiater dan dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Terang saja mereka menolak dengan marah-marah.

"Dok, jangan sembarangan dong ke anak saya" kata ayah Agus dengan nada penuh emosi ke dokter, "Anak saya kok dibilang sakit jiwa? Dia kan cuma teriak, Dok?"

Si dokter yang diserbu dengan ungkapan emosi itu, cuma berkata,

"Saya berdasarkan apa yang saya lihat dan analisis," kata dokter sembari melihat hasil analisisnya, "Kalau berdasarkan analisis ya, anak Anda memang sedang ada gangguan jiwa"

"Ah, nggak benar nih!" ujar si ayah Agus masih tak percaya. Ibu si Agus yang tadi di sampingnya berusaha menenangkannya.

Si dokter yang melihat si ayah Agus emosian lalu berkata pelan untuk menenangkan,

"Jangan emosian, Pak," Ia lalu melihat kondisi Agus yang masih berteriak kencang di ruangannya hingga menembus tembok, dan membuat orang-orang di luar tembok terus berjoget telinganya. 

"Saya sebenarnya ada solusinya," kata si dokter kemudian memberikan semacam harapan. Mendengar itu, ayah dan ibu Agus langsung membesar matanya.

"Apa solusinya, Dok?" tanya ayah Agus tidak sabaran, "Bukan rumah sakit jiwa, kan?"

"Bukan" si dokter lalu tersenyum. Ia tampak mempermainkan emosi orang tua Agus yang harap-harap cemas menunggu.

"Cukup mudah sebenarnya," kata dokter dengan nada pelan lalu mulai memberikan sebuah solusi yang harus dilakukan oleh orang tua Agus. Ia berkata pelan namun menekan,

"Bawa dia kembali ke rumah putih besar itu karena dia teriak sehabis dari rumah putih besar itu. Pertemukan dia dengan sosok putih besar yang sering ia lihat,"

***

Aku jujur tidak mengerti mengapa aku harus selalu berteriak kencang setiap hari tanpa kenal lelah. Ini jujur bukan mauku. Aku orangnya tidak suka berteriak-teriak karena itu bisa mengganggu ketenangan dan merusak kesehatan bagiku dan orang lain. Tapi ternyata diriku menyuruh aku teriak karena ia yang selalu mengikutiku ke manapun aku melangkah. Dan, itu adalah bayangan. Bayangan yang cukup besar. Mengalahkan bayanganku sendiri bahkan dia malah diinjak-injak oleh bayangan itu. Membuat aku berteriak. Aku tidak suka pantulan diriku diperlakukan seperti itu. Bayanganku itu sedari kecil selalu bersamaku bahkan saat ke kamar mandi. Dia tahu segala macam perilakuku. Jadi, wajar, aku bersahabat dengan bayanganku. Karena ketika dia diinjak-injak hati mana yang tidak pedih.

Aku ingin melawan bayangan besar itu. Tapi, ternyata tidak bisa. Dia selalu membayangiku. Membuatku tidak nyaman dan tersiksa. Kamu tahu kan rasanya? Ibarat mau mengerjakan apa pun tidak bisa leluasa dan tidak bisa merasakan kenikmatan. Aku benar-benar tidak menyangka akan mengalami hal seperti ini. Hal yang menurutku aneh, dan tidak masuk akal.

Jika malam tiba, bayangan itu akan berubah menjadi sosok putih besar dan tinggi, dengan muka putih, hidung mancung, mata biru, dan rambut pirang lalu tersenyum jahat dengan gigi-gigi tajam yang berderet layaknya drakula yang bersiap mengisap darahku. Aku tentu saja ketakutan dan berteriak kencang. Jika sudah begitu, ia senang bukan kepalang. Aku dianggap seperti mainan.

Aku sebenarnya ingin bilang sosok itu dengan lengkap tetapi mulut ini selalu teriak tidak memberikan kesempatan untuk bicara. Aku merasa mulutku ditutup dan disumpal. Aku tidak ingat persis darimana semua ini berasal tapi sepertinya dari rumah besar putih seperti yang dikatakan dokter. Rumah itu rumah temanku. Namanya Adrian. Ia punya perawakan tinggi putih seperti orang-orang blasteran. Ya, dia sendiri punya darah Belanda dari keluarga bapaknya. Disebut ia adalah keturunan seorang tuan tanah Belanda bernama Van Polen, yang jika dirunut ternyata seorang tuan tanah yang kejam karena gemar menindas rakyat jelata melalui pajak dan menyerbu orang-orang yang menentangnya di malam hari terutama dari kaum santri. Semua itu tentu saja di zaman Belanda.

"Berarti kejam ya juga leluhur lo," kataku ketika di rumah Adrian. Aku pandang rumah besar gedongan itu dengan terkesima seperti halnya anak udik yang baru kali pertama main ke kota.

"Kok lo mau ya punya leluhur kejam?" tanyaku lagi dengan terkekeh tanpa disadari. Adrian yang aku tanya begitu tampak menunjukkan raut yang tidak suka juga tersinggung.

"Itu bukan mau gue! Gue kan cuma keturunan dia. Lagian itu kan udah masa lalu. Leluhur gue udah balik ke Belanda. Mati di sana. Di sini cuma ada gue dan keluarga gue. Gue lagian blasteran. Lo taulah warna kulit gue cuma jadi cemoohan kalo dia masih ada,"

Aku yang mendengar reaksinya yang cukup emosional lantas meminta maaf,

"Sori, Bro. Gue nggak bermaksud nyinggung lo," kataku dengan rasa tidak enak.

Dia lalu menatapku tajam. Setajam pisau yang baru diasah.

"Bro, Lo mau tau nggak rasanya dihantui leluhur gue? Anggap aja dia belum mati, dia terus ngikutin lo, ngebayangin lo, dan makan lo!"

"Apaan sih, lo? Kok kaya cerita horor aja!" ujarku tidak percaya dengan perkataannya yang malah menakuti-nakuti.

"Beneran," kata Adrian kembali menatap tajam dan berkata dengan nada yang horor, "Dia akan mengikuti lo, ngebayangin lo mulu!"

Tiba-tiba dari belakang Adrian aku melihat sesosok besar berbadan tinggi, memakai baju putih mandor, mengenakan topi bundar, bermata biru, hidung mancung, dan tersenyum jahat sembari mengisap pipa. Sosok itu sama persis dengan sosok dalam foto besar dan panjang yang dipajang di tengah ruangan. Ia digambarkan seperti seorang patriot dengan memegang pedang di tangan kanan yang disilangkan di dada. Tangan kirinya mengepal. Kaki kanannya ditopang di atas bangku dan kirinya tegak. Aku yang melihat itu lantas lari tunggang-langgang keluar dari rumah. Tak peduli lagi apa yang kuinjak.

Dalam kondisi aku sering diikuti dan dihantui bayangan itu, aku sering melihat dalam mimpiku ada seorang wanita tinggi kulit putih dengan muka blasteran memakai kebaya. Aku merasa mengenal wanita ini apalagi saat bertutur kata,

"Kamu nggak perlu takut, Agus," kata wanita itu dengan pelan dan lembut, "Itu cuma bayangan kok. Kamu harus lawan dia ya! Jangan sampai kamu kalah. Ini kan tanah kamu. Bukan tanah dia. Tante aja udah ikhlas, dan sudah jadi bagian di sini, kan? Jadi, lawan ya!" Selalu ia memberi motivasi agar aku kuat menghadapi cobaan dan tekanan dari bayangan itu. Akan tetapi, aku heran dan bertanya-tanya soal kata 'tante' yang digunakan. Apa berarti ia mengenalku?

***

"Agus, maafin gue ya!" ujar Adrian dengan terenyuh kepada Agus saat keduanya bertemu di sebuah rumah putih besar, bangunan muasal Agus sering berteriak kencang. Orang tua Agus, atas saran dokter, memutuskan membawa ke rumah putih besar itu sebagai sebuah solusi untuk menyembuhkan.

"Gara-gara gue lo teriak," Ia lalu memeluk Agus dengan hangat. Agus yang diberikan ucapan maaf dan dipeluk tiba-tiba merasakan ada sesuatu yang plong dalam dirinya. Ia tidak ingin teriak lagi, dan bayangan yang menghantuinya hilang tanpa bekas. Ketika ia menyadari ada Adrian yang memeluknya, ia merasa heran.

"Bro, kenapa, bro?" tanya Agus setelahnya. Ia lalu melihat sekelilingnya yang kini ada di dalam sebuah rumah putih besar. Di situ ada ayah dan ibunya, Adrian, dan Tante Marianne. Sosok ini Agus seperti melihatnya dalam mimpi. Mukanya begitu mirip. Tapi, ia juga merasakan kesamaran.

"Sudah, baikannya?" tanya Tante Marianne dengan senyum kepada mereka berdua. Ia lalu menatap ayah dan ibu Agus, dan berkata:

"Tolong maafkan anak saya yang sudah membuat anak bapak dan ibu ketakutan. Sekali lagi, saya minta maaf!" Ia menghaturkan tangan dengan gestur maaf ke mereka yang disambut dengan dengan terbuka. Tante Marianne lalu menatap Agus kembali,

"Agus, Adrian jadi merasa bersalah karena menakuti kamu banget. Dia nggak ada maksud sebenarnya seperti itu. Dia tersinggung karena kamu dianggap mengejek leluhurnya. Tapi, setelah itu, Adrian katanya juga selalu dihantui bayangan orang kecil dengan bambu runcing dan keris hingga tidak bisa tidur dalam beberapa hari. Tante cuma bilang kalau itu setimpal"

Agus yang mendengar itu langsung mengarah ke Adrian. Dengan rasa tidak percaya, ia bertanya:

"Benar, bro?"

Adrian cuma mengangguk.

"Maafin gue juga ya, bro!"

Mereka kembali berpelukan dengan haru. Kini semua menjadi lega, dan keadaan seperti sediakala. Sejak itu, kejadian itu perlahan dilupakan selamanya.

Sabtu, 20 September 2025

Kata Ini Aku Makan



"Kalian ngapain di situ?"tanya seorang nenek kepada lima anak kecil dengan nada ingin marah, "Sudah berulang kali Nenek bilang tidak boleh main dekat situ. Mau kalian dimakan?"

Demikianlah yang sering diucapkan seorang nenek kepada lima anak kecil yang merupakan cucu-cucunya. Si nenek sudah lama melarang para cucunya mendekati sebuah gerbang yang mengarah masuk ke sebuah hutan hitam pekat yang di atasnya dipayungi langit kelam, petir, dan awan kelabu. Kondisi ini sangat kontras dengan di luar gerbang yang tampak cerah penuh dengan warna yang memanjakan mata, dan juga bisa menenangkan batin.

Nenek itu, sebut saja namanya Nenek Tinga adalah seseorang tua yang telah lama tinggal di sebuah rumah besar berbahan kayu jati yang di sekelilingnya ada pohon-pohon besar seperti beringin dan kihujan serta pohon bambu. Rumah dari kayu jati itu berbentuk seperti rumah panggung dengan atap yang tampak seperti gunting bersilangan serta ada lubang besar pada bagian atas untuk keluar-masuk angin.

Nenek Tinga memang seorang nenek. Akan tetapi, jangan tertipu oleh tampilannya. Dia bukan seorang nenek renta. Dia masih seorang nenek yang berbadan tegap serta atletis dan lentur sehingga orang akan melihatnya bukan seperti nenek-nenek. Wajahnya juga tidak tampak seperti seorang nenek karena masih terlihat awet muda dan seperti orang berusia 40-an tahun. Ia dipanggil nenek karena mempunyai lima orang cucu yang sedari kecil ia asuh. Cucu-cucu ini tak sekalipun diketahui kedua orang tuanya sebab Nenek Tinga menemukan mereka berlima saat sedang menyapu halaman rumah. Mereka ditemukan dalam keadaan dibungkus daun pisang. Karena kasihan, Nenek Tinga memutuskan merawat dan mengasuhnya.

Mulanya ia bingung cara merawat kelima anak itu karena sepanjang hidupnya ia tidak pernah berurusan dengan anak kecil bahkan dengan lelaki sekalipun sehingga bunga dalam dirinya selalu wangi. Selain itu, ia bingung soal menamai anak-anak ini. Tak pernah dalam hidupnya ia harus memberi mereka nama sebab ia tak ahli dalam memberi nama atau menamakan sesuatu. Nama Tinga juga karena pemberian orang lain sebab ia punya kebiasaan selalu memberi ingat pada orang lain.

Dalam kebingungan itu, Nenek Tinga cuma bisa berdoa kepada Sang Pencipta supaya diberikan kemudahan karena ia menghadapi hal yang belum pernah dialaminya.

"Ya, Tuhan," ujarnya pada suatu malam setelah menemukan kelima anak itu dengan nada memohon yang sangat kuat sembari mengangkat kedua tangannya ke atas kepala, "Berikan hamba kekuatan dan kemudahan serta jalan keluar untuk merawat mereka!"

Dalam kesyahduan doa di malam itu, angin berembus pelan, bersemilir menerpa mukanya. Nenek Tinga yang merasa seperti diusap itu tiba-tiba pandangannya berat seperti dijejali oleh banyak besi berton-ton. Ia rasakan kantuk. Tubuhnya mulai menolak kesadaran. Memberontak. Ia tak kuasa menahan lalu melayang kemudian tertidur.

Di dalam mimpi Nenek Tinga terbangun di sebuah tempat dengan awan-awan di sekitarnya. Ia yang menyadarinya merasakan ketakutan sebab bisa di tempat yang sangat tinggi yang selama ini tak pernah ia bayangkan. Tubuhnya keringat dan bergetar.

Belum sempat ia lepas dari rasa itu, sebuah suara mengejutkannya. Ia merasa campur aduk dan ketakutan sembari berkata:

"Ampun, Tuhan," katanya memohon dengan bersujud, "Ampuni salah hamba, ampuni salah hamba,"

"Kau, tenanglah," kata suara itu kemudian dengan pelan namun bergetar. Kondisi ini semakin menambah ketakutan pada diri Nenek Tinga. Ia terus bersujud sembari komat-kamit minta ampun.

"Bangunlah. Jangan takut," kata suara itu lagi kemudian, "Kau adalah hambaKu yang mulia. Jangan takut. Duduklah sebab Aku akan memberikan kabar gembira untukmu,"

Nenek Tinga yang masih bersujud itu awalnya masih belum yakin tetapi kemudian ia perlahan bangun dari sujudnya lalu mendengarkan suara tanpa wujud tersebut.

"Kau telah diberi hal yang istimewa karena berhasil menemukan lima bayi di halaman rumahmu. Kau tidak perlu bingung dengan mereka. Mereka adalah keturunanku dari hamba-hambaKu yang saleh, yang ketika dewasa mereka akan melawan kezaliman yang sudah terjadi oleh Raja Tahaj. Dia berupaya menyerupaiKu, menganggap dirinya lebih perkasa, dan menyuruh orang-orang menyembah selainKu. Aku bisa saja secara langsung memusnahkan dia tapi dia kuberi kesempatan hingga nanti masa tiba,"

Dalam mimpi itu, Sang Suara segera membantu Nenek Tinga memberi nama kelima bayi tersebut, dan kemudian si Nenek terbangun serta tersadar. Semenjak itu, berdasarkan arahan Sang Suara ia menamai kelima bayi yang kini ia rawat. Bayi pertama ia namakan W. Bayi kedua ia namakan N. Bayi ketiga ia namakan L, serta bayi keempat dan kelima ia namakan A dan A. Keduanya kembar. Supaya tidak bingung, Nenek Tinga memberi pembedaan. A pertama ia beri nama A tinggi dan A kedua ia beri nama A pendek. Semua bayi itu laki-laki.

Semenjak itu kehidupan Nenek Tinga berubah total. Ia yang tadi sendiri, dan hanya berpikir untuk diri sendiri kini harus juga mengurusi kelima anak ini yang di awal membuat ia pusing tujuh keliling sampai ia hendak menyerah. Namun, Sang Suara selalu menegurnya untuk bisa merawat mereka sampai dewasa, dan melawan Raja Tahaj. Karena itulah, Nenek Tinga bertahan. 

Dalam mimpi, Sang Suara juga selalu mengingatkannya untuk tidak membiarkan kelima anak itu mendekati hutan yang terlihat selalu gelap bahkan pintu gerbangnya sekalipun sebab di dalam situ hidup raksasa pemakan anak-anak bernama Hamnus. Jika anak-anak itu dimakan Hamnus, Tahaj akan terus berkuasa. 

Karena itu, berulang kali Nenek Tinga memperingatkan mereka meski ia sebenarnya sudah bosan.

"Kami kan cuma main di sekitar sini saja, Nek," kata W menanggapi larangan Nenek Tinga. W sendiri sebenarnya dalam dirinya penasaran akan larangan itu. Berulang kali Nenek Tinga bercerita itu kepadanya dan saudara-saudaranya. Ia sering kali bertanya pada dirinya juga saudara-saudaranya soal raksasa pemakan anak-anak. Saudara-saudaranya juga penasaran dan bertanya hal yang sama.

"Apa iya, Nek, si Hamnus itu ada?" Kali ini si L yang bertanya terang-terangan tanpa basa-basi, "Apa ia akan memakan kami? Memangnya kami siapa?"

Mendengar itu Nenek Tinga jadi emosi. Anak-anak ini yang juga cucu-cucunya malah membuat naik pitam, dan ini untuk pertama kalinya.

"Kalau Nenek bilang tidak boleh ya tidak boleh!" Katanya dengan nada marah, "Sekarang kalian pergi dari situ. Pergi!"

Ia mengusir mereka berlima yang segera berlari ke arah rumah. Nenek Tinga mengikuti mereka. Begitu sampai di rumah, dikuncilah pintu rumah sehingga kelima anak itu tidak bisa keluar sama sekali.

"Jangan ada yang keluar lagi hari ini apalagi sampai main ke dekat gerbang itu. Paham!" Ancam nenek Tinga kemudian pada mereka. Mereka berlima segera ke lantai atas. Tampak ada raut kesal di wajah mereka sekaligus rasa penasaran yang membuncah.

"Apa benar Hamnus itu ada?" tanya N ketika duduk di tepi tempat tidur. Ia memandang wajah saudara-saudaranya. L tampak gusar. W penasaran sembari melihat ke jendela melihat ke hutan hitam di kejauhan. Hutan itu seperti sebuah wilayah yang harus dimasuki. Siapa tahu di dalam itu bukan Hanmus yang ada tetapi mungkin ada burung, ada kelinci, dan kancil yang sering mereka lihat saat bermain.

Kembar A juga cuma terdiam tetapi tetap dengan perasaan yang sama. A tinggi lalu tiduran sembari menatap pada langit-langit. Ia tampak berpikir soal Hutan Hitam yang tidak boleh dimasuki itu sementara A pendek cuma duduk namun dengan perasaan yang sama seperti saudara-saudaranya. Ia merasakan penasaran juga bosan yang melingkupi dirinya setiap hari. Ia bosan harus bermain mulu di area yang terang dan cerah sementara yang gelap tidak boleh karena ada yang suka makan anak-anak.

Mereka benar-benar dalam kondisi batin di antara rasa penasaran namun juga dilarang oleh Nenek Tinga yang akan terus melarang dan melarang. Entah sampai kapan. Dalam kondisi yang demikian itu, A pendek malah berkata:

"Udah ah kita ke sana aja. Bodoh amat Nenek marah-marah,"

Semua pada menatap pada dirinya dengan terkejut.

***

Suasana tampak begitu gelap. Petir menggelegar tanda mau hujan. Angin berembus kencang. Pohon-pohon kehitaman dengan ranting-ranting seperti tangan tampak menyapa kelima saudara ini yang akhirnya melanggar ketetapan dari Nenek Tinga: masuk ke Hutan Hitam. Mereka berlima secara diam-diam pergi meninggalkan rumah ketika tahu Nenek Tinga tertidur lelap. Ketika masuk mereka merasakan perasaan yang tidak biasanya: cemas dan takut. Suasana sekitar tampak tidak ramah. Menyeramkan. Di dalam hutan itu ada suara-suara seperti suara hantu yang memanggil-manggil. Mereka bergidik. Keringat keluar sangat deras. Seperti hendak diikuti dan diburu dari berbagai arah. Was-was.

"Wah, ternyata seram juga ya," kata L mulai menyadari kondisi di sekitarnya, "Kalau tahu begitu jangan masuk deh,"

"Nanti kamu malah ribut kalau nggak masuk," kata A tinggi menyangga ucapan saudaranya itu. Tidak terima L lantas membalas, "Kamu juga kan?"

"Sudah kalian jangan ribut, "kata W berusaha menengahi situasi mencekam yang tengah mencengkram mereka luar dalam, "Ada baiknya sekarang kita berbalik arah saja ya. Semakin ke dalam semakin bahaya,"

"Tapi, kalau kita balik kita tidak akan dapat apa-apa," Kata N menolak usul W, "Kan kita nggak tahu Hanmus seperti apa? Jangan-jangan dia kancil yang sering kita kejar,"

Dari semua itu cuma A pendek yang diam. Ia tak mau ikut bersuara seperti monyet-monyet. Ia coba berusaha tenang meski ada rasa cemas dan takut dalam dirinya. Ia pimpin dan pandu para saudaranya menyusuri hutan.

Petir kembali menggelegar. Angin semakin kuat berembus. Burung gagak berkaok-kaok sangat kencang. Semakin menambah kesan horor. Ketika mereka mencoba melangkah lagi, dan kini memasuki ruang yang terbuka tanpa disadari di depan mereka ada sesosok besar berkulit lebat, bermata merah menyala layaknya Banaspati, dan bergigi runcing tajam dengan lidah menjulur seperti Leak. Tangan dan kakinya berkuku panjang dan tajam. Ia menatap mereka dengan tajam.

Kelima saudara itu terkejut bukan main. Mereka berdiri membatu. W membatin, inikah Hamnus? L, N, W, serta A kembar juga demikian. Keringat mengucur deras dari tubuh mereka membasahi tanah yang mereka pijak.

Sosok besar seperti raksasa itu tampak tersenyum lebar melihat kelima anak di depannya kaku. Ia tertawa sangat kencang. Tawanya membuat hutan bergetar dan menembus keluar hutan.

"Akhirnya, kalian datang juga," ujarnya dengan suara besar bergetar dengan senyum jahat menyeringai, "Sudah lama aku menunggu kalian semenjak Raja Tahaj mengutusku untuk menghabisi kalian!" Ia kemudian tertawa lagi.

Ia lalu berjalan mendekat ke kelima anak itu. Langkah kakinya yang besar membuat bumi bergetar. Mereka sekali lagi hanya bisa membatu. Rasa cemas sudah menghantui mereka. Sepertinya mereka sudah akan jadi santapan si Hamnus. Ketika Hanmnus sampai di depan mereka, ia berhenti lalu menurunkan tubuhnya lalu memandang wajah kelima anak itu per satu. Mereka semua tampak takut. 

"Hari ini riwayat kalian akan berakhir," kata Hamnus setelah itu dengan nada dan senyum penuh kepuasan. Ia tampak akan merayakan sebuah kemenangan yang sudah dinanti-nantikan.

"Kalian tidak akan mengancam lagi Raja Tahaj yang akan selamanya jahat dan berkuasa. Aku, Hanmus, si raksasa akan membuat kalian musnah sampai ke akar-akar sampai tidak ada lagi kata lawan dalam diri kalian seperti nama-nama kalian. Aku akan memakan kata-kata kalian,"

Ia kembali tertawa kencang dan menggetarkan. Kelima saudara ini tampak pasrah tidak bisa berbuat apa-apa apalagi ketika tangan besar berkuku panjang milik Hamnus mulai menggengam mereka semua bersiap dimasukkan dalam mulut. Kini penyesalan melingkupi mereka. Sayang, sudah terlambat.

Tetapi apakah harus berakhir lawan ini?

Dunia dalam Semaket Diorama



Aku terbang tinggi di angkasa. Melesat menembus awan bagaikan jet tempur supersonik dengan kekuatan hampir 3 mach. Langit begitu cerah seperti halnya hari-hari kemarin. Tampak memang garis-garis putih membusur dari atas ke bawah. Aku terbang tanpa ada yang bisa menghalangi atau menandingi bahkan burung elang sekalipun. Sungguh nikmat rasanya bisa melesat tanpa batasan-batasan. Benar-benar seperti manusia bebas yang punya kehendak mengatur dirinya sendiri tanpa perlu bergumul dalam sebuah lingkup yang pada akhirnya mencederai keberadaan diri sendiri.

Aku juga adalah yang tidak perlu jadi menjadi objek yang harus ditentukan oleh mereka yang berkuasa. Aku adalah subjek, dan mereka yang berkuasa adalah objekku. Aku bukanlah realita yang dibentuk mereka para objek itu karena aku sendiri yang menentukan realita itu. Dan, kini langit-langit ini adalah objekku. Begitu juga sekelilingnya. Aku yang membentuk mereka dan merasai mereka lewat ucapan yang aku tuturkan. Pada, intinya, akulah sang penguasa itu.

Dan, kini dalam duniaku yang tanpa batas ini, aku melihat di bawahku sebuah pemandangan indah yang memukau batinku. Ada gunung, pepohonan, juga air terjun. Semua bersembunyi di bawah cerahnya awan yang diselingi oleh kabut tipis. Memberi kesan mistis yang sungguh memesona. Warna-warna kehijauan di bawahku yang seperti samudra terasa menyegarkan mataku. Aku merasa ada kesyahduan alam yang tercipta. Benar-benar sebuah kenikmatan yang tidak dapat didustakan.

Gunung-gunung tinggi kehijauan gradasi biru itu seakan menyambutku masuk ke alam raya ini. Mereka seperti pintu gerbang yang selalu dibuka lebar-lebar. Aku lantas turun untuk coba mengetahui kondisi yang ada di bawah. Sebuah kondisi yang ada di tepi sungai besar yang selalu mengalir tiada henti bermuara pada lautan di kejauhan. Barisan pohon kelapa yang melambai-lambai seakan menambah sebuah simfoni alam itu. Benar-benar menakjubkan.

Aku lalu turun, dan melihat sebuah keramaian, dengan banyak orang berlalu-lalang. Ada yang membawa kayu besar dua batang dengan gerobak, ada yang naik motor untuk mengangkut sayur-mayur hasil bumi lalu ada yang tampak berbelanja. Tak jauh dari situ ada sebuah truk besar untuk mengangkut bermacam rempah yang belum diolah. Sepertinya ini sebuah pasar, kataku. Aku kemudian mencoba melihat lagi lebih dekat. Dan, memang. Sebuah pasar tradisional yang cukup ramai, yang rupanya tidak jauh dari gunung-gunung besar yang kulewati tadi sebagai sebuah latar belakang sebuah lukisan realisme karya para naturalis yang selalu memuji keindahan alam lewat goresan-goresan kuasnya.

Aku lantas coba masuk ke dalam pasar itu. Jika di luar saja ramai, bagaimana jika di dalam? Oh, ternyata semakin ramai. Transaksi jual-beli terjadi membentuk sebuah orkestra kehidupan yang tidak habis-habis. Ada yang menjual sayuran. Ada yang menjual daging lalu ada yang menjual bumbu-bumbu dapur serta protein, dan tak lupa juga kue-kue. Tampak seperti sebuah etalase yang beragam namun melebur.

Aku kelilingi tiap sudut pasar itu, dan ketika puas aku keluar. Aku lihat gunung-gunung di kejauhan itu masih tersenyum padaku seolah mengatakan padaku untuk berpuas-puas bermain di pasar ini. Saat itu pula dari arah berlawanan ada seorang perempuan muda dengan paras yang cantik dan kulit kuning langsat datang tiba-tiba kepadaku. Ia kulihat sedang membawa sebuah tas untuk berbelanja sepertinya.

"Mas, wartawan?" tanyanya membuka sebuah percakapan denganku. Aku lihat matanya mengarah kamera yang aku bawa.

Aku yang sadar akan pertanyaan dan lirikannya itu segera berkata,

"Nggak, saya cuma pemotret kehidupan," jawabku sembari berusaha tersenyum.

"Ah, Mas, jawabnya pakai kiasan segala," ujarnya yang kemudian menatap tajam padaku beserta sebuah bibir yang berubah kecut disertai dengan nada bicara yang tampak curiga kepadaku. Aku merasakannya seperti orang yang berupaya membongkar diriku.

"Mas, wartawan, kan?" sekali lagi ia bertanya seperti itu. Sebuah pengulangan yang berupa penegasan menuntut sebuah jawabanku dariku yang masih samar baginya. Dan, ini seperti sesuatu yang sudah tidak bisa ditawar-tawar.

Aku yang mendapat todongan pertanyaan seperti itu berupaya menahan diriku, mengendalikan diriku yang terkejut, juga bergetar. Aku tatap dia. Si makhluk cantik yang sepertinya bukan sembarang cantik tetapi ini melebihi cantik. Seketika wajah cantik itu berubah jadi seperti wajah polisi yang menakutkan yang selalu bertanya dengan penuh intimidasi demi sebuah pengakuan. Pujianku jadi buyar. Aku bergidik. Aku berusaha mengatur napas yang terasa sesak di dada dan membuatku terhenyak. Aku merasa tidak bisa berkata-kata.

"Lho kok, Mas, Masnya jadi panik gitu?" tanyanya yang mengubah nada bicaranya setelah ia melihat aku dalam keadaan panik. Ya, benar, aku memang panik. Aku rasakan ada keringat keluar dari tubuhku. Sialan, gumamku, kenapa baru kali ini aku merasa sangat panik ditanya sesuatu yang sebenarnya sederhana tapi malah membuat mulut ini terkunci. Apa karena aku terpesona oleh perempuan di depanku ini atau aku tertekan oleh cara bicaranya yang perlahan menusuk hatiku.

"Tapi, Mas memang wartawan ya?" Lagi-lagi ia berucap sesuatu yang tampaknya sudah merupakan penegasan namun hanya membutuhkan kepastian kecil. Aku kembali terdiam. Aku mematung. Batinku berkata, kenapa aku yang tadi bebas di angkasa malah jadi tak berdaya olehnya. Apa aku salah tempat? Atau aku salah ajak bicara orang?

Aku pandangi lagi dia yang kecantikannya memudar karena pertanyaannya. Aku kini berusaha menjawab semampuku. Aku tarik napas, dan ketika lega aku langsung berkata,

"Saya bukan wartawan, Mbak," jawabku berusaha tenang, "Saya pemotret kehidupan. Saya hanya ingin mengetahui saja kondisi di luar dan dalam pasar ini. Saya tertarik melihatnya saat dari atas,"

Ia yang mendapat jawaban dariku segera memajukan kepalanya ke mukaku. Tampak ia seperti ingin berciuman bibir. Terlihat dari dekat alisnya yang tipis hitam, jidat yang tampak polos namun seperti orang yang sering berpikir, bola mata yang berwarna hitam kecoklatan yang kembali menatap tajam padaku, dan bibir tipis merah muda yang dari dalamnya keluar kata-kata,

"Jangan bohong, Mas" ia berucap pelan dengan menekan, "Mas, itu memang wartawan. Buat apa, Mas, pakai ke segini segala kalau tidak ada maksud tertentu,"

Setelah ia mundurkan kepalanya dan kini tersenyum. Aku yang diperlakukan seperti itu jadi merasa tertekan batinku apalagi ketika ia tersenyum yang menurutku palsu.

"Saya sebenarnya tidak ada masalah Mas mau meliput di sini," ujarnya setelah itu berusaha akrab denganku, dan kini tampak seperti perempuan cantik yang dari awal aku lihat, yang selalu tersenyum meski dalam sebuah bingkai, dan selalu tersiram oleh kilatan cahaya foto para fotografer.

"Tapi, ingat, jangan macam-macam ya. Kalau macam-macam tahu sendiri akibatnya" ujarnya setelah itu dengan nada bicara yang diubah kembali dengan pelan, dan menyelipkan sebuah ancaman. Aku lagi-lagi bergidik. Ucapan itu ucapan yang benar-benar serius. Aku perhatikan di sekelilingku beberapa mata menatapku tajam. Seolah mengatakan hal yang sama dengan si perempuan ini. Mereka tampak bersiap-siap menghajarku jika aku macam-macam. Aku yang melihatnya kembali merasa terintimidasi.

"Baik," kataku pelan mencoba menanggapi ancaman darinya, "Saya tidak akan macam-macam. Saya hanya ingin tahu kehidupan di sini. Tidak lebih dari itu,"

Perempuan muda itu membesarkan bola matanya. Raut mukanya seolah tidak percaya dengan jawabanku yang masih dirasa tidak memberikan sebuah jawaban. Ia memandangku dengan sinis.

"Jangan terlalu normatif menjawab, Mas," ujarnya lagi setelah itu, "Kami yang ada di pasar ini bukan orang-orang bodoh yang bisa diatur seenaknya dari atas kemudian seperti masakan diberi bumbu sana-sini supaya enak dipandang. Nah, kalau sudah dipandang kami dibuang,"

Aku kali ini tidak menjawab sanggahannya yang begitu dalam. Ia dan orang-orang ini ternyata di luar dugaanku. Mereka cukup cerdas walau tampak polos dalam berpakaian dan bertindak sehingga ada kesan mudah dibodohi. Sepertinya memang aku salah masuk sebuah dunia. Dunia yang tampak indah bagai sebuah lukisan pemandangan alam yang selalu berwarna-warni. Goresan-goresan yang selalu menonjolkan sebuah objek untuk dijadikan sebagai bahan melihat, dan orang-orang di dalamnya tak lebih dari sebuah pelengkap yang terkadang atau sering dilupakan daripada benda-benda mati di dalamnya. Padahal, merekalah inti lukisan itu.

Tapi benarkah aku yang selalu bebas ini berada dalam sebuah lukisan ketika aku menyadari mereka tampak nyata secara dimensi? Raut wajahnya seperti sebuah kenyataan. Begitu juga lekuk tubuh, dan cara bicaranya apalagi orang-orang yang berada di dalam dan luar pasar. Lalu aku melihat gunung-gunung yang menjadi gerbang pembuka aku masuk ke pasar ini. Ia yang sedari tenang aku perhatikan ada gejala seperti ingin melepaskan sesuatu. Ada asap keluar terus-menerus dari dalam kawahnya kemudian disusul dengan lontaran api dan bebatuan. Firasatku, gunung ini akan meletus. Aku lantas berpaling ke perempuan di depanku yang sedari tadi jadi lawan bicaraku. Ia tampak diam. Masih menatapku dengan tajam. Aku ajak ia bicara tetapi ia cuma diam. Posenya berdiri tegak. Aku merasakan ada keanehan. Begitu juga dengan orang-orang di sekitarku. Ada apa ini? Kenapa semua tidak bergerak? Kenapa semua mematung?

Dari kejauhan suara gemuruh gunung menggelegar layaknya petir yang menyambar bumi berulang kali. Langit tiba-tiba berubah gelap. Matahari dimakan Sang Kala. Aku yang melihat itu merasakan ada sesuatu yang mengancam diriku, juga dia dan mereka. Ternyata, benar, gunung-gunung itu meletus. Ia sudah memuntahkan lahar yang sekarang mengalir seperti sungai, dan dengan cepat menuju ke arahku berdiri.

Kalau sudah begini sudah saatnya bagiku untuk beranjak. Namun, aku merasa tidak bisa terbang sendirian. Aku harus membawa si perempuan ini juga. Aku harus menyelamatkannya. Karena, bagaimanapun ia adalah objek yang tidak boleh rusak sedikit pun apalagi oleh gunung meletus. Ia harus terus ada dalam pandanganku agar aku bisa terus berbincang sekaligus mengawasinya. Dia cantik tetapi berbahaya.

Ketika aku berusaha membawanya dengan memegang tangannya yang halus, secara refleks ia mendorongku jatuh ke tanah. Aku pun terkejut. Lalu dengan nada marah, ia berkata mengecamku,

"Mas jangan bawa saya pergi dari sini cuma buat kepuasan Mas!" Ia lalu melihat gunung-gunung yang meletus itu, "Biarlah gunung-gunung yang kami anggap sebagai ibu itu memakan saya daripada saya harus ikut dalam bingkai yang Mas buat!"

Setelah itu nada bicaranya berubah kencang dan menggelegar seperti petir.

"Pergi kau, Mas! Pergi ke atas sana! Kami di sini adalah orang-orang merdeka yang tidak bisa diatur-atur seenak perut!"

Aku yang melihatnya kembali merasakan ketakutan. Matanya memancarkan kemarahan seperti Calon Arang. Kemarahan yang sangat luar biasa yang membuat aku tunduk. Aku lantas bangkit dan terbang. Terbang meninggalkan dia yang menatapku tajam kemudian menolehkan pandangan ke arah lahar gunung yang mengalir ke arahnya. Begitu juga orang-orang sekelilingnya. Mereka tampak menyambut gembira aliran lahar itu, dan membiarkan diri diterpa dan tenggelam di dalamnya tanpa merasakan sakit yang sangat perih. Perlahan aku lihat tangannya masih tampai ke atas kemudian mulai tenggelam oleh lahar, dan ketika itu pula pada jari-jarinya bergerak dengan mengacungkan jari tengah kepadaku. Setelah itu, barulah lenyap. Aku yang melihat gestur menantang itu terhenyak, dan menyadari memang ada perlawanan di dalamnya.

Aku segera terbang meninggi. Meninggalkan situasi itu yang terlihat seperti sebuah kebakaran hutan dengan asap di mana-mana. Perlahan warna hijau dan keramaian itu sirna sudah tak berbekas. Aku kemudian benar-benar terbang tinggi di langit meninggalkan kondisi itu yang sebenarnya adalah sebuah diorama, dan aku hanyalah sebuah drone yang bertugas mengamati kehidupan itu.

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran